Mata Adeline melotot, “Navila kamu tidak serius bukan?”
Ia menganggukkan kepala.
“Aku tidak melarangmu jatuh cinta, tapi coba pikirkan suasana saat ini,” ucap Adeline dengan khawatir.
Ada salah paham dalam percakapannya, ia tak bermaksud mengiyakan soal jenderal itu. Tapi membulatkan tekadnya lagi untuk mendapatkan obat. Bahkan, meski nanti malam tak ada truk yang mengantar para pelacur dari kota, ia tetap akan berusaha untuk mendapatkannya segera.
“Bukan itu maksudku,” jawab Navila. Ia diam sebentar, menimbang harus mengatakan rencananya pada Adeline atau tidak, “Aku akan melakukannya lagi, aku harus kembali ke sana untuk mendapatkan obat.”
“Kita pikirkan besok.” Ekspresi wajah Adeline sedikit berubah, kekhawatirannya mengendur. Besok barulah para pelacur dikirim kembali, biasanya dua hari sekali dan sudah berlangsung selama hampir 3 minggu ini.
Navila menganggukkan kepalanya, lima
Suara mesin truk mengerang di jalan yang kasar. Truk itu merupakan truk militer tapi yang dibawanya bukanlah tentara sehat atau yang terluka, bukanlah kotak-kotak amunisi atau persediaan makanan, dan bukanlah tawanan dari musuh yang tertangkap. Truk itu membawa para pelacur dari kota. Di dalam kargo truk setengah terbuka itu, belasan perempuan muda mengenakan mantel dan sarung tangan hangat. Wajah mereka memakai riasan untuk mengikat pelanggan mereka— para tentara berpangkat rendah atau beberapa perwira. Banyak dari mereka yang diam dan tak saling bercerita karena mereka tahu tak ada kebanggaan dari perbuatan mereka. “Navila, kamu tak membawa sarung tangan hangatmu?” tanya Adeline dengan menggenggam tangan Navila. Navila menggelengkan kepalanya. Ia bisa merasakan hangatnya genggaman Adeline yang tulus. Jangankan sarung tangan, mantel hangat pun tak Navila bawa. Perang yang telah berkecamuk bertahun-tahun memaksanya menjual pakaiannya satu persatu. Ia ingat te
“Ikut aku,” ucap Tuan Deus yang langsung berbalik. “Tapi Tuan, bagaimana dengan yang lain?” Seorang tentara menyeimbangi langkah tapi tak bermaksud menghadang Tuan Deus. “Urus saja seperti biasanya,” ucap Tuan Deus tanpa memperlambat langkahnya. Tentara itu langsung berhenti dengan mengaruk-garuk dahinya seperti orang yang ragu. Beberapa langkah kemudian, Tuan Deus berhenti tepat sebelum memasuki teras bangunan itu. Tuan Deus kembali berbalik, “Ikuti aku, nona bergaun biru muda.” Navila tahu pria itu memanggil dirinya. Ia mencoba melangkah tapi kakinya sedikit gemetar. Udara malam mulai menembus pakaiannya. Lengan dan lututnya merasakan hembusan angin malam yang dingin. Kini Navila tahu mengapa para perempuan memakai mantel dan sarung tangan hangat. “Kau cantik tapi menyebalkan, Nona. Cepat kemarilah dan ikuti aku,” ucap Tuan Deus yang menahan emosinya. Dua jarinya mengisyaratkan agar Navila segera menghampirinya. Navila tak bisa mundur
Pintu kamar diketuk dan langsung terbuka, Andrey datang dengan nampan penuh makanan. Peter Zhukov masih berbaring terlentang di kasur dengan tangan sebagai bantalan. Setelah berminggu-minggu perjalanan, akhirnya ia mendapatkan tempat yang nyaman untuk beristirahat. “Makan malammu, Jenderal,” ucap Andrey yang melangkah masuk. “Ya,” jawab singkat Peter. Kamar itu cukup bagus, ranjangnya bersih, dan ada kamar mandi dalam ruangan, tapi sayang tak ada meja kerja untuk menulis di sana. Peter bangun dan duduk di samping ranjang. Ia menyambut Andrey yang hendak meletakan nampan yang berisi roti kayu manis dengan selai apel, semangkuk bubur gandum yang hangat, satu kentang rebus seukuran kepalan tangan, gelas kosong, dan botol anggur. “Aku perlu meja untuk menulis,” ucap Peter. Andrey meletakan nampan penuh makan itu di sebuah meja kecil samping ranjang. Dia melangkah mundur dengan sopan tanpa membelakangi Peter. “Ya, Jenderal,” ucap An
Si pelacur berdiri dengan wajah memelasnya, si muncikari telah pergi. Perempuan itu memiliki wajah yang sangat cantik. Pipinya sedikit berisi dan bibirnya sangat tipis menggoda. Matanya bulat dengan manik mata cokelat muda, menyatu dengan warna pirang cokelat rambutnya. Dia mengenakan dress biru muda dengan motif berbunga-bunga yang membuatnya semakin cantik dipandang. Lekukan tubuhnya sedikit berisi, perempuan itu sungguh sempurna, tapi Peter tidak tertarik. “Pergilah,” usir Peter dengan halus. “A-aku mohon terima aku,” ucap perempuan itu dengan gemetar. Sejujurnya, jiwa laki-laki Peter sedikit tertarik dengan paras cantik dan suara lembut perempuan itu. “Tidak, tidak. Aku bukan laki-laki seperti itu, Nona. Bila kamu ingin makanan atau uang, aku bisa memberimu sedikit, tapi pergilah,” ucap Peter. Kemudian ia sadar bahwa perkataannya mungkin terdengar bodoh karena menolak tawaran perempuan itu. “Aku perlu obat,” sahut perempuan itu. “Aku bukan
Navila menggelengkan kepalanya, tubuhnya menahan pintu agar tidak terbuka. Ia tak ingin keluar dari kamar itu tanpa membawa obat. Ia tak mengerti sikap jenderal itu yang mengatakan tidak tertarik, tapi tiba-tiba menarik dirinya dan memberikan ciuman yang tak singkat. Navila tak menyangka bahwa jenderal itu masih berumur muda, mungkin seumuran dengan kakaknya. Ia akui jenderal itu sedikit tampan meski dengan potongan rambut cepak khas gaya tentara. Rambutnya pendeknya berwarna pirang emas seperti beberapa orang-orang dari Kerajaan Erdan. Sorot matanya tajam, serius, dan penuh wibawa, tapi dagunya membentuk wajah yang tampan. Dia memakai kaos dan celana panjang, tubuhnya terlihat berotot dan kekar, tubuh sempurna seperti kesatria di dongeng. Andai bukan dalam situasi rumit dan perang, mungkin Navila akan jatuh cinta pada jenderal itu. Obat dan Ayahnya sakit, hanya itu yang ada dalam pikiran Navila kali ini. Jenderal itu sudah menolak memberikan obat dan bersike
Jenderal itu menutup pintu tanpa menguncinya. Dia memandu Navila berjalan turun. Di lantai tiga hanya ada koridor sepi dan kamar-kamar tertutup, Navila pikir lantai paling atas ini khusus ditempati oleh para perwira tinggi seperti jenderal dan mayor itu. Di lantai dua, ruangannya lebih luas dan ada meja makan yang sangat besar. Hanya ada seorang prajurit yang berbaring santai di lantai dengan bantalan tas. Dia langsung berdiri dengan sikap siap saat melihat jenderalnya. “Hidup untuk Erdan!” ucap prajurit itu sedikit berteriak. Dia mengepalkan tangan kanannya dan menaikkannya hingga sejajar dengan bahu, salam khas tentara Erdan. “Hidup untuk kedamaian,” balas sang jenderal dengan mengeluarkan tangannya dari balik mantel. Dia juga mengepalkan tangan kananya untuk membalas salam itu. Jenderal itu kemudian melangkah turun ke lantai satu. Ada sebuah perapian dengan nyala api yang hampir padam dan ada sisa botol anggur di meja dekat perapian itu. Dibandingk
Seorang tentara medis mulai terlihat, ruang perawatan yang dituju semakin dekat. Bangunan itu terletak di tengah-tengah benteng, sebenarnya bangunan itu merupakan aula tempat jamuan makanan. Sejak tentara Erdan menduduki Benteng Esthaz, aula itu dialih fungsikan sebagai tempat korban terluka. Tak ada prajurit yang berjaga di sana. Rintihan orang-orang sakit mula terdengar samar-samar. Peter berharap Dokter Leniski tidak sendang mengoperasi pasien. Ia tak ingin menunggu lebih lama dengan perempuan Agelan itu. Ia masih sedikit bersalah telah menjepit jari perempuan itu hingga terluka. Karena itu, ia akan memberikan obat yang perempuan itu minta, sebagai permintaan maaf dan sebagai sedikit bayaran untuk ciuman manis tadi. Peter akui dia sempat tergoda ingin menciumnya lagi. Andai situasi bukan dalam keadaan perang, ia ingin memasukkan perempuan itu ke dalam bagian hatinya. Sayangnya Peter sadar, bukan karena perempuan itu seorang pelacur— si muncikari meng
Peter beranjak duduk di samping perempuan itu, tatapan mereka tak putus, tapi perempuan itu terlihat sedikit canggung atau mungkin gugup. Peter juga sama, perasaannya tidak karuan. Di sisi lain hatinya, ia ingin ciuman itu atau bahkan lebih. Di sisi lain hatinya juga, ia ingin perempuan itu segera pergi agar dirinya tidak bersikap lebih buruk. Bibir bawah perempuan tiba-tiba menekuk ke dalam. Perempuan itu seperti sedang menggigit bibirnya sendiri, mungkin sedang mencicipi rasa dari bekas ciuman tadi. Peter merasa ingin tertawa saat melihat tingkat polos perempuan itu. “Beri aku sekali lagi,” minta Peter. Perempuan itu tiba-tiba merapatkan bibirnya, tapi dia langsung menganggukkan kepalanya sekali. Peter anggap perempuan itu telah setuju. Ia langsung menggeser posisi duduknya agar semakin mendekat. Tatapan mereka masih belum putus. Rona di pipi perempuan itu semakin memerah seperti ingin meledak. Wajah Peter semakin menjulurkan ke depan, perempuan itu