Kepala Desa Waru merasa geram dengan kejadian yang menimpa putri tunggalnya, ia pun memanggil semua orang yang berhubungan dengan Steven, agar menemuinya di balai desa.
Bahkan Devan juga turut dipanggil ke sana. Hanya Bos besar dan para elit politik yang terkait dengan kasus pembangunan mercusuar, yang tidak hadir."Dimana rumah Steven? Dia sudah mengambil hartaku yang paling berharga! Dan sekarang, dia kabur begitu saja! Dasar laki laki b4jing@n!" Kepala Desa mengumpat.Hubungan intim yang pernah dilakukan oleh Steven dan Mayang pun dibeberkan oleh Kepala Desa.Devan melongo mendengar hal itu, namun kecerobohan yang dilakukan oleh Steven, berhasil menghantarkan ia menjadi orang kepercayaan Pak Wira."Steven, sudah memiliki istri. Dan istrinya sedang hamil besar. Masalah ini, tidak akan mudah untuk diselesaikan!" sahut Devan."Apa?" Kepala Desa kaget bukan main mendengar perkataan Devan."Iya Pak Kades, saya minta maafSteven bangkit berdiri. Ia meninggal Viola, tak mau lagi berdebat dengan istrinya. "Ayo ceraikan aku!" teriak Viola, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Tidak! Aku tidak akan pernah menceraikan dirimu!" seru Steven seraya melangkah pergi. Wajah Steven terlihat kesal. Ia memilih keluar rumah untuk menenangkan diri. "Mas, apa aku boleh ikut?" ucap Mayang penuh godaan. "Tidak! Aku ingin sendirian saja. Lagipula aku harus bertemu klien untuk membicarakan soal pekerjaanku!" Steven berbohong. Mayang hanya bisa melihat bayangan mobil Steven perlahan menghilang ditelan malam. Hingga pagi berikutnya, Steven tak kunjung pulang ke rumah. "Dimana Steven?" ucap Emma sambil melihat ke arah kursi kosong yang biasa ditempati oleh Steven. "Semalaman Steven tidak pulang. Ia bertengkar dengan Viola!" seru Mayang, mengadu domba. Emma menoleh ke arah Viola yang hanya diam tak menan
Saat Viola keluar dari kamar, ia bertemu dengan Emma. "Viola, kau akan pergi kemana? Kenapa membawa tas koper?" Emma panik. "Aku memang harus pergi kan Ma? Steven sudah memiliki istri lagi. Untuk apa aku masih tinggal di rumah ini? Aku sudah tidak ada gunanya tinggal di sini." "Tidak Viola! Jangan bicara seperti itu! Kau harus tetap ada di sini. Jika kau pergi, maka wanita itu yang akan menang! Steven akan selamanya pergi darimu!" "Aku tak peduli lagi." Viola menggeleng. Hatinya benar benar hancur. Ia tak lagi mampu bertahan di dalam benteng yang telah dibombardir secara membabi buta oleh lawannya. "Viola, anakmu masih kecil. Kau butuh banyak biaya untuk membesarkannya! Jika kau keluar dari sini, apa kau yakin kau bisa membesarkan anakmu?" tanya Emma. "Aku bisa bekerja di toko kue atau dimanapun." Viola menjawab sambil menundukkan wajahnya. "Tidak sayang, jangan lakukan itu. Ka
"Steven! Aku sedang bicara padamu! Kenapa kau membawaku ke luar kota? Kita akan pergi kemana sebenarnya?" Yasmin menjadi histeris. "Kau belum melihat sisi lainku yang ini kan? Jadi aku akan perlihatkan padamu!" Steven menjawab dengan kalimat aneh yang tak dipahami oleh Yasmin. "Steven apa yang kau katakan?" Yasmin bergidik. "Mengenai Viola, apa kau tahu kenapa aku menikahinya secara resmi?" Steven sesekali melihat ke arah Yasmin sambil mendelik. "Tidak! Aku tidak tahu! Dan aku tidak peduli!" teriak Yasmin. "Kau harus peduli! Karena ini berhubungan dengan Kakakmu, Jihan. Viola memiliki kecantikan yang paripurna. Maka aku menikahinya tak peduli seperti apa latar belakang keluarganya. Sedangkan Jihan, dia yang menyerahkan tub*hnya untuk aku tid*ri dan nikmati setiap malam. Gara gara dia, Swastika salah paham dan bun*h diri." Steven malah menyudutkan Yasmin. "Steven! Apapun alasanmu, kau telah men
Emma turun ke lantai bawah. Ia terlihat sangat tergesa gesa. Setelah sampai di halaman, ia memindai sekelilingnya dengan cepat. Tapi orang yang ia cari sudah tak ada di sana. "Kemana Yasmin? Baru saja dia di sini, sekarang sudah menghilang!" seru Emma. Yang dilihat oleh Emma, hanya Steven, anaknya. Steven sedang sibuk bicara dengan telepon genggam miliknya. "Aku ingin mengusirnya pergi ke rumahnya sendiri. Tapi jika aku melakukan hal itu, maka Viola akan bersedih!" ucap Emma dalam hati. **** Di dalam kamarnya, Viola mengirim pesan teks pada sahabat dekatnya, Ayu. Ia mengatakan, jika ia ingin bertemu dengan Ayu. Tapi saat ini, Ayu sedang tidak bisa diganggu. Ia sedang berada di tempat yang jauh untuk menyelesaikan program KKN di kampusnya. Rasa sakit dan kecewa yang menggerogoti hatinya, membuat Viola memikirkan Dona. Ia pun menelepon Dona, berharap agar Dona bisa menjadi teman s
"Ma! Kenapa Mama men4mpar Mayang?" Ada yang aneh dengan Steven, lelaki ini justru membela istri barunya. "Kalian berdua mirip dengan bin4tang!" Emma menghina Steven tanpa basa basi, lalu pergi berjalan meninggalkan pasangan pengantin baru tersebut. Pemandangan itu membuat Viola merasa muak. Ia juga kembali masuk ke dalam kamarnya. "Kau harus makan Viola," ucap Alland. Viola berhenti sejenak, namun tak menoleh. Ia berjalan lagi tanpa menanggapi ucapan Ayah mertuanya. Alland lantas meminta asisten rumah tangga, untuk mengantarkan sarapan ke kamar Viola. Sementara itu, Emma yang kesal memilih untuk menonton TV di kamarnya. Ia merasa frustasi dengan keadaan anaknya, tapi ia tak dapat berbuat apa apa. Yasmin baru saja tiba di sana. Seperti biasa, Yasmin langsung menuju ke kamar Elisa. Ia membantu Elisa untuk bersiap ke sekolah. "Elisa, apa kabarmu?" Yasmin menyapa den
Mayang masuk ke ruang kerja Steven tanpa permisi. Saat itu, Steven sudah memegangi kepalanya karena obat yang dimasukkan Mayang, mulai menunjukkan reaksi. "Steven, apa kau baik baik saja?" Suara Mayang terdengar seperti dengungan singkat di telinga Steven. Steven tidak menjawab, ia bahkan tidak melihat ke arah Mayang karena sakit kepala yang ia rasakan. "Ayo Steven, kita harus pergi ke kamar." Mayang menarik lengan Steven. Namun kekuatannya kurang sepadan, ia tidak berhasil menarik lengan Steven, malah ia yang ditarik oleh Steven ke kursi. Mayang hampir jatuh, untungnya ia berpegangan pada sisi meja kerja. "Steven, ayo kita pergi ke kamar. Kau harus segera istirahat." "Tidak!" ucap Steven. Rupanya obatnya sudah bekerja sampai ke akar. Steven membuka kain yang menutupi tubuhnya. Membuat Mayang melihat apa yang selama ini ia rindukan.