Leo menjemput Mira di stasiun, dengan memakai pakaian casual, lelaki itu tampak lebih macho dari yang dilihat Mira enam bulan yang lalu. Tubuhnya yang tinggi nampak begitu menjulang di hadapan Mira, wajahnya dihiasi jenggot tipis dan sedikit cambang menambah aura maskulinnya begitu kentara.
"Hai, Kakak Ipar! Bagaimana perjalananmu?" sapa lelaki itu dengan wajah gembira."Hai ...." Mira merasa canggung dengan lelaki di hadapannya, rasa gugup terlihat jelas di matanya, bagaimana tidak? Dia baru sekali bertemu dengan adik suaminya, maaf ralat, mungkin sudah menjadi mantan suaminya saat ini. Berkomunikasi jarak jauh lewat sambungan Vidio call juga cuma sekali ketika Hendri mengabarkan kehamilannya dengan gembira, selanjutnya hanya menelponnya ketika dia berencana untuk pergi dari sisi Hendri. Mira hanya tahu jika lelaki ini selalu melanjutkan studi, belum pernah menginjak dunia kerja, tetapi sering melakukan berbagai penelitian di dunia sains dan teknologi, wajar saja jika diusianya ke 26 tahun ini dia sudah mengambil program doktoral. Leo memang tampak cedas dan pembawaannya sedikit kalem, terlihat low profile berbanding terbalik dengan Hendri yang temperamen dan sedikit angkuh."Em, Leo ... Panggil namaku saja, aku bukan lagi kakak iparmu," ujar Mira."Aku selalu memanggilmu demikian, rasanya aku gak bisa memanggilmu dengan sebutan lain. Oh ya, bagaimana kabar keponakanku?"Mira mengernyit mendengar perkataan lelaki itu, namun untuk sesaat dia tersenyum dengan canggung menanggapinya."Oh, dia baru dua bulan di sini, aku juga belum tahu bagaimana kabarnya di dalam sini."Mira menunjuk perutnya membuat Leo tertawa lepas, memperlihatkan sederetan gigi seputih pualam. Sejenak Mira terpana melihat ketampanan lelaki di hadapannya itu hingga pikirannya mengelana, sayang sekali, mungkin saja jika dia bertemu Leo lebih dulu sebelum ketemu Hendri, Mira akan jatuh cinta dengan pria tampan ini."Maksudku, apakah kondisi kandunganmu baik-baik saja selama melakukan perjalanan?" ujar Leo masih ada sisa senyuman di bibirnya."Oh, aku baik-baik saja." Semburat merah terlihat di pipi Mira, dia merasa konyol dengan jawabannya tadi."Syukurlah, aku sudah menyewakan sebuah apartemen untuk tempat tinggalmu, masih satu gedung dengan tempat tinggalmu. Ayo kita ke sana," ujar Leo sambil meraih tas ransel di bahu Mira."Baiklah." Mira tidak membawa barang yang banyak untuk kepergiannya ini, hanya lima stel pakaian yang di masukkan ke tas ransel, itupun dua pasang baju dan sebuah jaket dia beli di Kota Moscow. Dia tentu saja tidak sempat mengepak baju, karena kepergiannya yang mendadak, selain itu semua pakaian dan barang-barangnya masih berada di rumah kediamannya bersama Hendri. Mira tentu tidak akan mengambil resiko untuk bertemu dengan lelaki itu, kepergiaannya ini benar-benar minggat dari rumah.Mendengar Leo telah menyewakan apartemen untuknya sendiri, Mira merasa lega dan tenang. Dia tentu saja keberatan tinggal serumah dengan pria yang bukan mahramnya, akan menimbulkan fitnah. Tiap hari bertemu dan berinteraksi dengan pria setampan dan selembut Leo tentu saja bisa menimbulkan gesekan hati suatu hari nanti, tidak menutup kemungkinan mereka akan saling jatuh cinta. Mira tidak ingin hal itu terjadi, jatuh cinta dengan mantan adik iparnya? Rasanya itu sangat tidak etis. Sejak bertemu dengan Hendri, rasanya hati Mira sudah habis di rampas lelaki itu, melihat lelaki setampan Leo hatinya biasa-biasa saja, tidak menimbulkan gejolak apapun."Kenapa tasmu begitu ringan, apakah kau hanya membawa pakaian sedikit?" Leo akhirnya menyadari dengan bawaannya, mereka berjalan kaki menuju halte bus."Ya, aku tentu saja tidak sempat mengepak barang. Kau kan tahu aku kabur," jawab Mira."Tidak perlu kuatir, kita akan berbelanja baju yang cukup untukmu besok.""Baiklah ...."Akhirnya mereka sampai di sebuah apartemen yang berada di gedung lantai dua, Mira mengamati semua kondisi apartemen, terdapat tiga buah kamar, ruang tamu, ruang keluarga dan dapur. Tiap kamar memiliki kamar mandi sendiri, apartemen ini sudah siap huni, karena sudah dilengkapi segala macam furniture."Apertemen ini tertalu besar untuk aku yang hidup sendirian," kata Mira."Nantikan enam bulan lagi kau tidak tinggal sendirian lagi, akan ada anggota keluarga baru yang akan hadir," ujar Leo."Dia hanya seorang bayi, tentu aku akan kerepotan membersihkan rumah ini," keluh Mira. "Tenang saja, nanti aku akan mencari seorang pembantu part time untuk membersihkan rumah dan beres-beres, kau jangan capek-capek, jaga saja keponakanku.""Baiklah, terima kasih. Ngomong-ngomong, di mana apartemenmu?" tanya Mira "Tepat di depan apartemenmu, jadi jika ada apa-apa denganmu, aku bisa sigap menolongmu." Sudut bibir Leo melengkung.Mira menghela napas berat, di depan apartemennya? Apa maksudnya itu? Biarpun tidak serumah mereka akan menjadi tetangga dekat. Ah, ambil sisi positifnya saja, seperti yang Leo katakan, agar dia menjadi paman siaga buat kepanakannya. "Sekarang istirahatlah, besok banyak barang yang akan kita beli, semua keperluanmu, kau bebas memilih barang dan pakaian yang kau suka, tidak usah sungkan. Besok aku akan menjemputmu setelah pulang dari kampus, untuk makan malam ini aku akan memesankan makanan, aku ada kelas penelitian hingga larut malam nanti," kata Leo."Em, Leo ... Sebaiknya, aku besok belanja sendiri, maksudku memakai uangku sendiri, aku memiliki uang yang cukup. Kau cukup menemaniku dan menunjukkan di mana saja tempatnya," kata Mira sungkan."Kakak Ipar, sebaiknya kau simpan saja uangmu untuk masa depan, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Kau tidak perlu memikirkan biaya hidupmu di sini, aku tidak melakukan apapun, hanya menggantikan tanggung jawab kakakku yang tidak melakukannya. Kau tidak perlu memikirkannya, sebagai bagian dari keluarga Kusuma, aku akan bertanggung jawab karena kau ibu dari keponakanku." Leo menatap Mira dengan serius, dan berlalu meninggalkannya.Mira hanya menatap punggung lelaki itu tanpa mengucapkan satu katapun. Tanggung jawab? Itu sebuah kata yang agung di benak Mira, dia pernah merasakan seseorang yang memiliki rasa itu beberapa bulan lalu. Hendri dulu seorang yang gentleman dan bertanggung jawab, setiap ucapan janji dari mulutnya selalu berusaha lelaki itu penuhi. Hari itu Hendri berjanji akan menikahinya di depan ayah Mira yang tengah terbaring sakit dan besok janji itu dia wujudkan, di depan ayahnya yang tengah di rawat di rumah sakit, lelaki itu mengucapkan ijab qobul."Aku ingin ayahmu tenang, karena putrinya satu-satunya sudah ada yang menjaga dan bertanggung jawab terhadap hidupnya," ujar lelaki itu setelah Mira menanyakan kenapa Hendri harus buru-buru menikahinya.Mendengar itu, hati wanita mana yang tidak tersentuh, hati Mira bahkan meleleh, lelaki itu bukan hanya peduli padanya tapi juga pada ayahnya. Padahal awal bertemu lelaki itu benar-benar seperti balok es, acuh dan dingin. Namun siapa sangka, setelah jatuh cinta dengan Mira, Hendri menjadi lelaki dengan kepribadian sehangat mentari pagi.Mira kembali meneteskan air mata jika mengingat lelaki yang selalu memeluknya ketika tidur selama lima bulan yang lalu, entah racun apa yang perempuan itu berikan padanya hingga sikapnya berbanding seratus delapan puluh derajat. "Edi, apakah kau mendengar dengan jelas perkataan wanita itu?" tanya Mira sesaat setelah pertemuannya dengan Sarah "Ya, Bu. Saya mendengarnya," jawab Edi sambil menyetir mobil."Apa kau percaya guna-guna? Pelet? Sepertinya perempuan jalang itu menghipnotis Mas Hendri, membuatnya menjadi membenciku," ujar Mira gusar."Kita orang Indonesia, Bu. Bukannya hal-hal klenik dan mistik masih berkembang di sini?" "Rasanya aku tidak percaya, seorang psikolog yang brilian seperti dia, seorang yang sepertinya relistis dalam berpikir, bisa melakukan semua ini," sudut mata Mira berkedut, dia tak malu lagi menangis sesenggukan di depan Edi "Sabar, Bu. Ini hanya menyangkut personal, bukan profesi. Menurut orang-orang seperti itu semua halal demi cinta, harta dan tahta."Tangis Mira menjadi-jadi mengingat itu semua, bahkan tubuhnya limbung ke lantai, disenderkan bahunya ke sofa, wajahnya menelungkup di kedua tangannya yang dilipat. Tak ada gunanya lagi diselali, dia sendiri yang dengan suka rela meninggalkan pria yang dicintainya hingga ke aliran darah, walaupun menahan sakit dan derita, demi melihat laki-laki itu tetap hidup, dia rela walau raganya hancur sekalipun. Ini hanya perpisahan raga, Mira merasa akan baik-baik saja.Edi menemani Hendriyanto ke dokter Pamungkas, klinik mereka ada di lantai satu, Edi memang selalu mengikuti Hendriyanto kontrol, karena segala jenis surat menyurat dan tagihan rumah sakit Edi yang mengurusnya. Ketika mereka selesai pemeriksaan, dokter mengambil sperma Hendriyanto dan akan mengeceknya di labolatorium, hasil kemarin tidak ada masalah pada kesuburan lelaki itu, tetapi kenapa kejantanannya tidak bisa ereksi? Ketika keluar dari ruang dokter, tidak sengaja melihat Mira yang akan menuju ke kasir pembayaran, mata Mira memicing menatap lelaki yang masih jadi suaminya itu keluar dari ruang praktek dokter andrologi. Hendri yang melihat Mira tentu mendengus kesal, dari tadi ditungguin kenapa wanita ini malah berada di sini. Ditelpon tidak diangkat, di kirimi pesan juga tidak dibalas, boro-boro dibalas, dibaca saja tidak. "Mas Hendri, kenapa kau keluar dari ruang praktek dokter andrologi? Apa anu-mu bermasalah?" Wajah Hendri langsung menegang mendengar pertanyaan Mira, sedangk
Sementara Hendriyanto sudah semangat empat lima ingin menjemput Mira. Dia memarkirkan kendaraannya di tempat Mira tadi memarkirkan mobilnya. Namun Hendriyanto tidak melihat keberadaan mobil wanita itu, apakah sudah dibawa oleh temannya? Waktu sudah menunjukkan jam satu lewat lima belas menit, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangan wanita yang ditunggunya. Hendriyanto keluar dari mobil, berdiri mondar-mandir dengan gelisah. Apakah wanita itu sengaja mangkir dari pertemuannya? Hendriyanto menunggu selama sepuluh menit lagi, tetapi masih juga Mira tidak muncul, lelaki itu semakin tidak sabar. Lelaki itu langsung saja berjalan menuju ke kantor dosen, untuk mencari Mira. Sampai di kantor dosen, Hendriyanto bertanya pada seseorang yang ditemuinya, orang itu menunjukkan di mana letak kantor Mira, ketika dia menuju kantor Mira, di lorong dia bertemu dengan Jovan, Hendriyanto hapal betul jika lelaki itu bersama Mira waktu pesta itu. "Maaf, permisi ... Apa anda kenal Mirayanti, dosen di sini
"Halo, Cantik. Bagaimana keadaanmu sekarang?" sapa dokter itu dengan ramah. Mira menoleh ke sumber suara, tetapi matanya membelalak melihat siapa yang datang."Hasbi?" "Astaga! Mira?"Dokter Hasbi juga terkejut melihat teman lamanya berada di hadapannya, empat tahun tidak bertemu, tentu saja Hasbi sangat penasaran dengan kabar temannya yang dia bantu melarikan diri dari suaminya."Mira, jadi ini anakmu yang itu?" Hasbi mendekati Mira dengan senyum mengembang."Iya, yang kau bantu dulu.""Ternyata waktu cepat sekali berlalu, kau sudah besar, Nak." Hasbi mengelus kepala Winter yang kini dibalut oleh kain kasa."Halo, Sayang. Om ini teman Mama kamu, namamu Winter, bukan?" sapa Hasbi pada anak kecil di hadapannya."Jadi Om dokter temannya Mama Wintel?""Iya, senang banget melihatmu tumbuh besar dan sehat seperti ini.""Tapi aku cekalang lagi gak sehat, Om? Ini kepala aku cakit," ujar Winter membuat Hasbi tertawa, benar juga dia kan lagi sakit."Mira, bagaimana kabar kamu? Setelah melari
"Siapa Winter?" Hendri memang sungguh kepo dengan anak itu, bagaimanapun dia sudah melihat anak itu tadi, sikapnya yang terkesan dingin kepada Mira sesungguhnya hanya menutupi perasaannya yang menggebu dan penasaran dengan kehidupan istrinya sekarang ini. "Itu ... Winter, Winter itu anaknya Zahira. Zahira temanku satu rumah, kami sudah tinggal serumah sejak di Jerman, dia sudah seperti saudariku sendiri." "Oh? Ya, sudah. Nanti kita jemput bersama, bye ... Sampai jumpa nanti siang." Mira hanya terperangah melihat lelaki itu berlalu dari parkiran dengan berjalan tegap. Bahunya yang lebar dan tubuhnya yang jangkung sungguh mempesona terlihat dari belakang, kulitnya yang dulu putih, kini terlihat kecoklatan, justru menambah aura maskulin lelaki itu. Mira tersenyum licik, yah ... Begitu terus Hendri, memang tujuanku begitu. 'Aku harus bersikap sok jual mahal terus, kalau perlu judes dan acuh tak acuh, agar dia semakin penasaran. Kalau perlu kupanasi dengan jalan dengan lelaki lain, j
Pagi-pagi sekali Hendriyanto sudah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan di dekat rumah Mira, dari pinggir jalan ini, tampak dengan jelas pintu gerbang rumah istri pertamanya itu. Hendriyanto tidak perlu susah payah mencari keberadaan rumah Mira, cukup memerintah Edi maka semua urusan beres, memang sekretaris sekaligus asisten pribadinya itu dapat diandalkan untuk semua tugas yang dia perintahkan, baik itu kantor ataupun tugas diluar pekerjaannya.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, memang masih terlalu pagi, tetapi Hendri tidak ingin terlewat untuk melihat wanita itu keluar dari rumahnya. Pukul tujuh tepat pagar rumah bercat putih dan abu-abu itu terbuka, sebuah mobil Innova yang terparkir di garasi-pun sudah menyala. Hendriyanto duduk tegak dari duduk bersandarnya, mengamati dengan konsentrasi, dengan siapa Mira hidup di rumah ini? Dia tidak ingin langsung bertamu jika belum menyelidiki, tidak lucu jika ternyata Mira tinggal bersama laki-laki lain dan dia berk
Apa yang menimpa Waluyo tidak jauh berbeda dengan yang tengah dialami Hendriyanto sekarang. Semua pikiran lelaki itu tercurah sepenuhnya pada Mira, wanita yang dia nikahi empat tahun yang lalu. Selama ini Hendriyanto menganggap bahwa Mira bukanlah wanita yang dia cintai, sepenuhnya cintanya hanya untuk Sarah, tetapi ketika dia bertemu kembali dengan wanita itu setelah begitu lama tidak bertemu, kenapa perasaannya jadi tidak karu-karuan begini? Apakah ada yang salah? Perasaan marah, cemburu, rindu campur aduk menjadi satu. Melihat Mira memakai gaun yang sepenuhnya tertutup bahkan kepalanya juga tertutup justru membuat Hendriyanto terpesona, padahal tidak terlihat seksi sama sekali, tetapi aura Mira yang elegan seperti seorang ratu Inggris itulah yang membuat Hendriyanto terpikat dengan sangat dalam. 'Benarkah aku membenci Mira selama ini? Apakah tidak ada perasaan cinta secuilpun untuk wanita itu? Kenapa perasaanku seperti ini?' banyak pertanyaan yang bersemayam di benak lelaki itu.