Ini bukan pertama kalinya bagi Ellena menginjakkan kakinya di rumah Erwin, namun entah mengapa hari ini Ellena merasa suasana rumah ini terasa lebih mencekam.
Pajangan kepala hewan buas yang sengaja diawetkan dalam wadah terbuat dari kaca, entah mengapa terasa seperti hidup, seolah seperti sedang mengintimidasi Ellena dengan sorot mata tajam yang siap menerkamnya.
Di tengah rasa takutnya Ellena sampai tidak sadar jika Erwin memberhentikan langkahnya ketika akan menaiki tangga, hingga tanpa sengaja Ellena menubruk punggung Erwin.
"Huh, kebohongan apa lagi yang akan kamu ucapkan sebagai alasan menabrakku," sarkas Erwin dengan nada dingin.
"Hah, a-aku-"
Ellena belum selesai berbicara, namun sudah dipotong Erwin terlebih dahulu.
"Stop! Aku malas mendengar suaramu!" Tukas Erwin, membuat Ellena semakin gemetar ketakutan, seolah baru saja disadarkan oleh kenyataan, bahwa orang di depannya inilah yang lebih menyeramkan dari hewan paling buas sekalipun.
Setelah mengatakan itu Erwin melanjutkan langkahnya, sedangkan Ellena lebih memilih tetap diam di tempatnya sambil menundukkan kepalanya.
Hingga terdengar suara pintu kamar ditutup dengan keras dari lantai atas, pertanda Erwin sudah masuk ke dalam kamarnya, baru setelah itu Ellena berani menegakkan kepalanya, menghembuskan napas dalam, inilah kehidupan setelah pernikahan yang disebut neraka cinta oleh tuan Erwin.
Dengan lesu Ellena mulai menaiki tangga, dia baru melangkah di kehidupan barunya, namun pengalaman yang baru saja dijalaninya ini membuatnya ingin lari seketika.
"Aku butuh istirahat, agar bisa memikirkan jalan apa yang harus aku ambil kedepannya," gumam Ellena dalam hati.
Lagi-lagi Ellena harus masuk ke dalam kamar yang membuat dadanya semakin sesak, air matanya sudah jatuh ke pipi tidak dapat lagi ia cegah.
Jika mungkin waktu itu Erwin melakukannya karena cinta, mungkin Ellena tidak akan merasa sesakit ini. Badannya yang terasa lelah akhirnya membawanya masuk ke dalam alam mimpi.
Matahari tepat berada di atas kepala, tidur siang Erwin dibangunkan oleh alarm yang tadi dia setel, ada sedikit masalah di markas yang membuatnya harus datang sekarang.
Setelah mandi dan bersiap Erwin keluar dari kamarnya, Erwin sempat menoleh ke kamar Ellena yang pintunya telah tertutup rapat, hanya sekilas saja setelah itu dia kembali melanjutkan langkahnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
***
Jam makan malam tiba, Erwin baru saja datang dari markas. Perutnya terasa keroncongan meski tadi siang dia tidak lupa mengisinya, tanpa pikir panjang dia langsung menuju dapur.
"Selamat malam, Tuan," sapa bi Ema ramah.
"Malam Bi," sahut Erwin datar.
"Apa yang dikerjakan wanita itu setelah aku pergi ke markas?" Tanya Erwin.
"Tidak ada Tuan, nona tidak keluar sama sekali, nona mengeluh tidak enak badan," jawab Bi Ema, dia melirik tuan mudanya yang memberikan sorot mata tajam, yang semakin membuat bi Ema ragu mengatakan hal selanjutnya.
"Apakah dia juga tidak makan siang?" Informasi inilah yang ingin Bi Ema sembunyikan, mengingat sifat tuan mudanya yang pasti jawabannya akan memancing kemurkaannya.
"Ti-tidak Tuan," jawab Bi Ema tergagap.
"Suruh dia kemari! jika tidak mau seret saja!" Perintahnya yang membuat Bi Ema segera melaksanakannya, dia tidak ingin membuat tuan mudanya semakin murka.
Setelah cukup lama membujuk Ellena, akhirnya Ellena dan Bi Ema sampai di depan pintu ruang makan, baru saja mereka memasuki ruangan itu...
Praankkk
Suara piring pecah yang jatuh tepat di depan kaki Ellena, Erwin lah yang melemparkannya.
"Kamu benar-benar ingin membuat reputasiku terlihat jelek di mata Azkia, tidak mau makan, agar sakit?! Aku akui otakmu sungguh licik," cibir Erwin.
"Maaf, aku hanya-"
"Berhenti mencari alasan! Cepat makan atau aku akan membuatmu makan dengan caraku!" Ancaman Erwin membuat Ellena segera duduk di hadapan Erwin bersiap untuk mengambil makanan.
"Siapa yang menyuruhmu makan makanan ini, masak sendiri! Ataukah aku perlu ingatkan, jika kamu tidak lebih dari seorang pelayan?"
"Maaf," setelah mengatakan itu sambil menundukkan kepalanya, Ellena segera beranjak ke dapur.
Beruntung dia pernah belajar memasak dengan para koki ketika bekerja di rumah Deffin, cukup lama berkutat di dapur, akhirnya bau harum masakan yang dibuatnya telah menggoda Indra penciuman orang yang berada tidak jauh dengan ruang dapur itu.
Termasuk dengan Erwin, wangi masakan itu sudah pasti jelas mempunyai rasa yang enak, hingga membuat Erwin memikirkan cara untuk kedepannya agar dia bisa selalu makan hasil masakan Ellena.
Entah cara apa yang sedang dipikirkan Erwin...
***
Bersambung
Beberapa hari kemudian...Semenjak kejadian itu, Ellena sering merenung sendirian. Namun, jika ada Erwin di rumah, Ellena menjadi sosok yang seperti biasanya. Sebab, Ellena tidak ingin Erwin melihat dirinya yang sebenarnya masih tertekan atas kejadian di hari itu.Sedangkan Erwin sendiri, ia sangat tahu apa yang dirasakan Ellena saat ini, meskipun Ellena selalu berusaha menutupinya.Namun, Erwin juga tidak akan memaksa Ellena agar mau bercerita kepadanya, Erwin mengerti jika Ellena butuh ruang untuk berdamai dengan batinnya sendiri.Ellena yang sedang melamun di balkon kamarnya, ia tersentak saat tiba-tiba Erwin memeluknya dan berbicara padanya."Sayang, maukah kamu menemaniku pergi ke rumah, Tuan Deffin?" tanya Erwin lembut."Sayang, kamu membuatku terkejut. Sejak kapan kamu pulang?""Sudah dari sepuluh menit yang lalu," sahut Erwin seraya mencium pipi Ellena. "Bagaimana dengan pertanyaanku yang tadi? Maukah kamu menemaniku ke rumah Tuan Deffin?"Ellena tersenyum, ia juga langsung men
Meskipun Erwin menyadari apa yang sedang dilakukan Camelia, Erwin tetap mengabaikannya, seolah-olah nyawanya memang tak berharga."Hei, letakkan pistolmu! Ataukah kau ingin mati juga?" teriak Lucas seraya mengacungkan pistol miliknya ke arah Camelia.Camelia tertawa frustasi. "Dia sudah membunuh Kakak ku, apakah kau pikir dia masih pantas untuk hidup?" Julian sebenarnya bukanlah kakak kandung Camelia. Namun, karena Julian pernah menyelamatkan hidupnya, Camelia menganggapnya sebagai kakak, dan karena Camelia telah melihat Erwin membunuh Julian, semua pandangan Camelia terhadap Erwin telah berubah, termasuk perasaannya. Yang ada kini hanyalah dendam yang membara.Mendengar keributan di sekelilingnya, Ellena sontak mendongakkan kepalanya, ia terkejut ketika melihat Camelia mengacungkan pistol ke arah suaminya. Namun, ia lebih terkejut karena Erwin tidak bereaksi sama sekali, justru Erwin masih asyik memeluknya untuk menenangkannya."Apakah kamu juga mencintainya? Kenapa kamu membiarkan
Maju mati, mundur pun mati. Inilah yang harus dilalui Camelia saat ini. Camelia tidak bisa kabur, ataupun bisa bunuh diri dengan mudah. Hari ini ia harus menjalankan semua rencana yang sudah ia dan laki-laki misterius itu susun sebelumnya.Sedangkan di seberang sana, lelaki itu tidak curiga sama sekali, jika rencana mereka dipercepat. Sebab, ia memang pernah mendengar, bahwa Camelia telah jatuh cinta dengan Erwin. Jadi, lelaki itu berpikir bukanlah masalah, karena baginya yang penting adalah ia bisa mendapatkan Ellena, dan akan lebih baik jika Ellena bisa membenci Erwin, karena Erwin telah menyelingkuhinya.Semuanya begitu lancar, seolah pagi ini memang tidak ada kejadian yang aneh. Ellena dan Erwin bisa menikmati sarapan seperti biasanya, setelah tadi Ellena membantu Camelia memandikan Erlena.Jadi, pada waktu sarapan hingga sesudahnya, Ellena sudah tidak mengurus Erlena, sebab Camelia akan mengasuh Erlena hingga Erlena tertidur, baru setelah Erlena nanti bangun, Ellena akan membantu
Camelia baru saja membaringkan Erlena yang tertidur ke dalam boks bayi, lalu kemudian sejenak ia melihat jam yang menggantung di dinding."Lima menit lagi, syukurlah aku masih punya waktu untuk bersiap," ujar Camelia seraya mengambil sisir dan kemudian dengan cepat menyisir rambutnya.Tidak lupa, ia semprotkan parfum dengan wangi yang menggoda, lalu kemudian mengambil lipstiknya yang berwarna merah menyala dan dioleskannya ke bibir tebalnya.Untung saja malam ini Erlena bisa diajak bekerja sama, ia sudah terbangun dan selesai menyusu dengan asi yang sudah diletakkan ke dalam botol, tepat sebelum tengah malam tiba. Padahal biasanya bayi itu terbangun ketika tepat tengah malam. Jadi itu artinya, malam ini Camelia bisa menemani Erwin dengan tenang.Camelia sekali lagi mematut dirinya di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sempurna, dengan lingerie berwarna merah yang melekat ditubuhnya, Camelia sangat yakin bahwa malam ini ia bisa memuaskan Erwin di atas ranjang.Namun, Camelia
Ada yang retak, tapi bukan kaca. Kata-kata itu sedang menggambarkan perasaan Ellena pada saat ini. Selebihnya Ellena sudah tidak bisa mendengar lagi apa yang dikatakan oleh Wendy. Dalam benak Ellena, hanya berputar pernyataan, 'Tuan Erwin mengizinkan Camelia masuk ke dalam ruang kerjanya'.Sebenarnya itu hanyalah kalimat biasa, namun itu sudah seperti petir yang menggelegar di telinga Ellena.Padahal semua orang tahu bahwa tidak ada yang boleh masuk ke dalam ruang kerja Erwin, kecuali Erwin dan Lucas, dan juga Ellena tentunya. Namun, Ellena juga tidak bisa bebas keluar masuk. Bahkan Wendy pun juga harus mengantarkan kopi milik Erwin, hanya sampai di depan pintu ruangannya saja. Tapi, kenapa sekarang Erwin memperbolehkan Camelia masuk ke dalam ruang kerjanya Erwin?"Nyonya!" Wendy refleks mendekat ketika melihat Ellena terduduk lemas di atas sofa di dalam kamarnya, seraya memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Melihat Wendy cemas, Ellena memaksakan senyumnya. "Tidak apa-apa, Wendy.
Satu bulan kemudian..."Ellena ...." Ellena menolehkan kepalanya ke kiri, ketika ia mendengar suara Elma memanggilnya, dan benar saja, Elma sedang memanggilnya seraya melambaikan tangannya.Namun, bukan hanya Elma saja yang sedang berdiri di sana, ada Azkia, Jessie, beserta anak-anak mereka dan para pengasuhnya. Dan, tidak lupa juga dengan para pengawal yang selalu setia di belakang mereka, apalagi jika bukan karena perintah dari para suami posesif mereka, yaitu untuk menjaga keluarga tercinta mereka dari mara bahaya, terutama dari para lelaki yang tidak bisa menjaga matanya."Pagi, Nona Azkia, Kak Elma, Kak Jessie. Maaf kami terlambat," ujar Ellena yang tampak tidak enak. Jika saja pagi tadi Erwin tidak mengganggunya, Ellena tidak akan terlambat seperti ini."Tidak apa-apa, Ellena. Kita juga baru saja sampai," sahut Azkia seraya menepuk-nepuk pundak Ellena pelan."Hanya kamu dan Elma saja yang juga baru datang, sedangkan aku sudah tiba sejak lima belas menit yang lalu," sungut Jessi