Dua minggu berlalu tanpa Tirta. Meysi mengabaikan pesan Tirta ataupun telefonnya. Bukan pertama kali kehilangan, akan tetapi Meysi merasa hampa dan sakit yang teramat sangat.
Sial. Sepertinya ia benar-benar patah hati. Ya... tidak bisa dipungkiri karena berhubungan badan adalah mengikat hormon kedua manusia, dan untuk perempuan... mereka cenderung jadi ketergantungan. Pagi itu terlalu sunyi untuk sebuah rumah yang biasanya dipenuhi suara Naya bernyanyi kecil. Bahkan ketukan sendok di gelas kopi terasa seperti letusan kecil yang menggetarkan dada Meysi. Ia menatap meja makan dengan tatapan kosong, lalu pandangannya jatuh pada kalender dinding di sebelah kulkas. Saat itulah Meysi menyadari sesuatu. Delapan hari terlambat. Tangan Meysi gemetar saat meraih ponsel dan membuka aplikasi catatan siklus. Hatinya berdegup pelan tapi pasti. Ia mencoba mengingat terakhir kali ia benar-benar merasa "normal". Tidak pusing, tidak mual, tidak sesak. Tidak… terlambat. Belakangan ini Meysi tidak bisa makan karena memikirkan Tirta. Namun, apakah itu normal? Dengan napas tertahan, ia meraih tas dan mengambil kunci motor untuk pergi ke sebuah tempat. Apotek itu sepi. Hanya ada satu petugas kasir muda yang terlihat lebih tertarik dengan ponselnya daripada pelanggan. Meysi memungut kotak mungil itu dari rak dengan tangan kanan yang menggigil. Tes Kehamilan. Akurasi 99%. Hasil dalam 5 menit. Ia bahkan tak membaca sisanya. Ini pertama kalinya lagi, setelah enam tahun. ** Kamar mandi sempit di rumahnya tiba-tiba terasa seperti ruang interogasi. Kotak putih kecil di atas wastafel menunggu dengan diam yang menyiksa. Meysi duduk di lantai, lututnya terlipat rapat ke dada, tangan meremas ujung baju tidur. Takut dan beragam perasaan bercampur aduk dalam benaknya. Detik demi detik menetes bersama keringat dingin. Pandangannya sesekali menatap arloji, lalu kembali ke alat kecil itu. Satu garis. Masih satu garis. Namun, pada menit keempat, garis kedua itu muncul. Samar. Tapi nyata. Dan mendadak dunia runtuh dalam senyap. Meysi terduduk di ruang tamu, tak lagi menangis. Air mata sudah habis sejak satu jam lalu. Yang tertinggal kini hanya rasa hampa dan sebuah kotak kecil berisi jawaban atas malam yang seharusnya ia anggap khilaf. Hamil. Satu kata yang merontokkan pertahanan yang telah ia bangun sejak bercerai lima tahun lalu. Ia memikirkan Naya. Ia memikirkan pekerjaannya. Ia memikirkan Tirta. Dan lebih dari itu, ia memikirkan betapa rumit dan rusaknya hidupnya sekarang. Gadget di meja bergetar. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya kembali berdegup cepat. Tirta. Ia biarkan dering itu mati seperti biasanya. Tapi ponsel kembali bergetar. Kali ini pesan masuk. Tirta: Teteh, kamu baik-baik aja? Aku mimpi aneh banget semalem. Kayak kamu nangis di kamar mandi. Aku nelponin cuma pengen denger suara kamu. Tirta: Teteh? Please jawab. Aku gak kuat nahan kangen, kepikiran kamu terus. Meysi tak sanggup. Ia tak sanggup mengatakannya, bahkan menuliskannya. Tapi jarinya malah mengetik pelan. Meysi: Kita bisa ketemu sore ini? Apa bakal bermasalah? Balasan datang dalam 10 detik. Tirta: Bisa banget! Jam berapa, Teh? Di mana? Meysi: Taman yang biasa. ** Langit mendung menggantung rendah di atas taman kecil itu. Tirta datang dengan jaket denim kebesaran dan celana panjang santai, rambutnya sedikit acak dan wajahnya... terlalu cerah untuk seseorang yang akan mendengar kabar seberat ini. Ia tampak keren dengan anting-anting panjang di telinganya. “Teteh.” Suaranya lembut, senyumnya seperti biasa: tengil, tapi menenangkan. Meysi memaksa tersenyum. Tirta menghela napas sambil mendekat ke arah Meysi. “Gue mikir terus dari tadi pagi. Kayaknya lo lagi banyak pikiran, ya? Gue juga sih Teh, gue gak mau jauh dari lo." Ia tak menjawab. Matanya hanya menatap kursi kayu yang mereka duduki minggu lalu dengan sendu. Bagaimana mengatakannya pada Tirta? “Ada yang mau gue kasih tahu,” gumam Meysi akhirnya. Tirta mengangguk, bersandar santai. “Gue juga. Tapi lo duluan.” “Gue...” Meysi menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. “Gue hamil.” Tirta diam. Untuk beberapa detik, dunia seperti menekan tombol ‘pause’. Burung-burung berhenti bersuara, angin pun seolah terdiam. “Apa?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar. “Dua garis. Tadi pagi. S-sorry karena udah-” Tirta menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Meysi menahan napas, menanti apakah tawa tengil itu akan keluar. Tapi tak ada. Sepertinya Tirta kecewa. Namun, ternyata yang keluar justru... air mata. “Teh... kenapa lo gak bilang dari tadi?” lirihnya. “Kenapa lo nahan ini sendirian? Astaga.” “Aku gak tahu harus gimana. Aku takut.” ujar Meysi lirih. Tirta mengangguk pelan, lalu duduk lebih dekat. “Gue juga takut. Tapi, entah kenapa... gue juga seneng.” “Lo seneng?” Meysi menatapnya tajam. “Iya. Bukan hanya karena lo hamil, tapi karena lo masih jujur ke gue. Karena lo gak ninggalin gue sendirian dengan keadaan ini. Gue seneng lo ngelibatin gue." Meysi menggigit bibir, tak tahu harus tertawa atau menangis. “Gue tahu hidup lo gak gampang, Teh. Tapi lo gak sendirian. Kita bertiga sekarang. Gue... gue gak akan ninggalin lo.” “Empat,” koreksi Meysi cepat. “Sama Naya.” Tirta tertawa kecil, dan akhirnya, ia meraih tangan Meysi. Tirta mengelus perut Meysi dan mencium perut itu. “Gue tahu ini gak ideal. Gue tahu nyokap gue bakal meledak. Tapi lo tahu? Gue gak peduli. Gue pengen tanggung jawab. Gue pengen jadi ayah—entah itu artinya apa buat lo.” Meysi terdiam lama. “Gue gak tahu, Tir. Gue gak yakin lo ngerti apa yang bakal terjadi. Anak itu... bukan solusi. Dia tanggung jawab. Dia akan butuh banyak.” Tirta menatapnya dalam, dengan wajah yang tak lagi penuh guyon. “Dan gue mau belajar. Demi lo. Demi mereka.” Langit mulai gerimis, tapi mereka tetap duduk di sana. Basah. Diam. Tapi utuh. Setidaknya untuk saat itu. ** Malamnya, setelah Naya tidur dan lampu rumah diredupkan, Meysi berdiri di depan cermin kamarnya. Perutnya masih rata, tubuhnya tak berubah. Tapi ada yang tumbuh di dalam sana. Sebuah kehidupan. Sebuah kemungkinan. Sebuah masa depan yang tak pernah ia bayangkan akan datang dalam bentuk setenang itu. Ponselnya kembali bergetar. Tirta: Teh, gue gak bisa tidur. Tirta: Anak kita cewek atau cowok ya? Tirta: Lo pengen nama siapa? Meysi tersenyum, untuk pertama kalinya hari itu. Meysi: Kalau cewek, gue yang milih. Meysi: Kalau cowok, lo. Tirta: Deal. Tapi gue tetap ngasih saran: kalau cowok, namanya “Langit”. Biar gak gampang jatuh. 😎 Air mata mengalir pelan di pipi Meysi. Tapi kali ini bukan karena takut. Tapi karena untuk pertama kalinya... ada seseorang yang tidak lari saat hidup menampar dirinya. Dan mungkin, hanya mungkin... cinta memang selalu datang dengan cara paling aneh dan tak terduga.Dua minggu berlalu tanpa Tirta. Meysi mengabaikan pesan Tirta ataupun telefonnya. Bukan pertama kali kehilangan, akan tetapi Meysi merasa hampa dan sakit yang teramat sangat.Sial. Sepertinya ia benar-benar patah hati. Ya... tidak bisa dipungkiri karena berhubungan badan adalah mengikat hormon kedua manusia, dan untuk perempuan... mereka cenderung jadi ketergantungan.Pagi itu terlalu sunyi untuk sebuah rumah yang biasanya dipenuhi suara Naya bernyanyi kecil. Bahkan ketukan sendok di gelas kopi terasa seperti letusan kecil yang menggetarkan dada Meysi. Ia menatap meja makan dengan tatapan kosong, lalu pandangannya jatuh pada kalender dinding di sebelah kulkas. Saat itulah Meysi menyadari sesuatu.Delapan hari terlambat.Tangan Meysi gemetar saat meraih ponsel dan membuka aplikasi catatan siklus. Hatinya berdegup pelan tapi pasti. Ia mencoba mengingat terakhir kali ia benar-benar merasa "normal". Tidak pusing, tidak mual, tidak sesak.Tidak… terlambat. Belakangan ini Meysi tidak bisa m
Sore menjelang malam itu, taman kecil di sudut kota menjadi saksi bisu dua dunia yang bersinggungan. Tirta berdiri di hadapan Meysi, mencoba menahan dua pria bersetelan gelap yang mendekat dengan raut tegas.“Saya gak akan pergi,” ucap Meysi pelan, tapi tegas. "Saya mau sama Tirta."Salah satu pria bertubuh kekar maju setengah langkah.“Kami hanya ingin mengantar Ibu Meysi. Tidak ada maksud buruk. Kami diutus oleh keluarga Linggabuana.”“Gue bagian dari keluarga itu, dan gue gak nyuruh,” potong Tirta, suaranya berubah dingin. "Lo semua mau dipecat?"Pria itu memandang Tirta dengan tatapan datar.“Tapi Anda juga tahu, keputusan keluarga besar bukan hanya urusan Anda seorang.”Meysi menahan napas, merasakan bagaimana situasi bisa lepas kendali dalam satu detik. Ia menarik lengan Tirta, memaksa lelaki itu mundur.“Sudah, Tirta. Aku ikut bicara. Tapi hanya bicara, ya?” Meysi menatap pria itu. “Saya akan ikut, tapi Tirta tetap di sini. Ini antara saya dan keluarga Anda.”Tirta menoleh deng
Pagi itu, suara centang dari aplikasi chatting membangunkan Meysi sebelum alarm sempat berdering. Ia meraih ponsel dengan mata setengah tertutup, lalu terdiam melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal:“Masih berani dekat-dekat sama suami orang, Bu Janda? Tidak tahu malu.”Sekujur tubuh Meysi menegang. Jantungnya berdetak tak karuan. Belum sempat ia mencerna maksud pesan itu, satu pesan lain menyusul—kali ini foto dirinya dan Tirta yang sedang tertawa bersama, diambil diam-diam dari kejauhan.Memang Tirta suami orang? Ah masa?Meysi langsung duduk. Ruangan terasa sempit, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah kamar Naya yang masih tertutup rapat. Bocah itu masih tidur, syukurlah.Tak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Kali ini panggilan dari Tirta. Meysi menghela napas. Pasti Tirta akan klarifikasi.Klarifikasi kentut!“Teh, udah bangun? Udah buka media sosial belum?” tanya Tirta dengan suara serak.“Belum. Kenapa?” tanya Meysi setengah kesal.“Nama Teteh mulai disebut-sebut di T
Hari-hari terasa berbeda bagi Meysi semenjak Tirta ada di hidupnya.Sore itu langit menggantung abu-abu di atas atap rumah kontrakan kecil yang ditempati Meysi dan putrinya, Naya. Setelah tiga hari syuting beruntun dan revisi skrip yang tak kunjung selesai, akhirnya ia pulang lebih cepat. Jam baru menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit ketika ia membuka pintu rumah dan mencium aroma bubur ayam buatan ibunya yang menggoda.“MAAAA!” teriak Naya dari ruang tengah begitu melihat Meysi masuk. Bocah lima tahun itu berlari tanpa alas kaki, ikatan rambut yang sudah berantakan, pipi belepotan krayon warna oranye.Meysi menjatuhkan tasnya dan langsung berlutut, merentangkan tangan.“Naya sayaaang!”Anak kecil itu riang dan menyambut sang Mama. Mereka berdua berpelukan dengan erat.“Kenapa Mama lama banget sih? Aku gambar Mama di tembok sampe dua kali!” omelnya sambil memeluk leher Meysi erat-erat.“Iya, Maaf... Mama kerja, sayang.” Meysi memeluk anak itu lama sekali. Tubuh mungilnya, arom
Pagi itu, studio stasiun televisi sedang ribut. Bukan karena masalah teknis, bukan juga karena script yang belum selesai, melainkan karena satu makhluk bernama Tirta berdiri di tengah set, memakai kimono satin emas dan sepatu boots kulit ular. Di tangannya ada cangkir teh yang entah kenapa pura-pura diseruput sambil menyanyikan lagu opening sinetron jadul, "Keluara Cemara".Ternyata selain tengil. Tirta juga gila!"Harta yang paling berharga... adalah teman kaya... mutiara tiada tara adalah... Teteh Janda~"Meysi baru masuk dan langsung berhenti di pintu, speechless. Matanya menyipit. Beberapa staff tertawa dan menyuruh Meysi mendekat pada Tirta. Dengan langkah ogah-ogahan, Meysi mendekat ke arah Tirta sambil menahan malu. Jika seperti itu, Tirta memperjelas bila keduanya ada apa-apa bukan?Meysi akhirnya berjalan mendekat. Tatapannya kesal sekali.“Lu kenapa sih? Udah gila?!”Tirta berbalik, melemparkan senyum yang sangat manis kepada Meysi.“Karena kita bakal ketemu setiap hari. Sia
Suara ketukan itu bukan ilusi. Pintu kamar masih tertutup, tapi suara berat dan tegas di baliknya sudah cukup untuk membuat jantung Meysi nyaris copot.Sial."HRD?!" Ia berbisik keras pada Tirta. "Gue bakal dipecat! Mati gue! Artis sama penyelenggara gak boleh punya hubungan!"Tirta, bukannya panik, malah menyeringai sambil menarik kaus putih yang tergulung di lantai."Kalem, Teh. Kita gak bunuh orang. Cuma... tidur sambil berhubungan intim.""TIDUR SAMBIL—lu pikir ini lelucon?!" tanya Meysi panik."Sedikit."Meysi buru-buru meraih baju, celana, apa pun yang bisa dikenakan tanpa terlihat seperti habis... ya, habis ngapa-ngapain. Tirta malah bersiul sambil berkaca di pintu lemari. Seakan tidak punya masalah.Ketukan makin keras. Meysi keluar dari toilet setelah membersihkan diri."Meysi Pitaloka, ini menyangkut etika profesional. Kami tahu Anda di dalam!" ujar orang di luar kamar semakin keras.Meysi menelan ludah. Ia hampir tidak bisa menarik napas. Dengan langkah pelan tapi tegas, ia