Share

Dua Garis Merah

Author: ARCELYOS
last update Last Updated: 2025-06-07 14:06:43

Dua minggu berlalu tanpa Tirta. Meysi mengabaikan pesan Tirta ataupun telefonnya. Bukan pertama kali kehilangan, akan tetapi Meysi merasa hampa dan sakit yang teramat sangat.

Sial. Sepertinya ia benar-benar patah hati. Ya... tidak bisa dipungkiri karena berhubungan badan adalah mengikat hormon kedua manusia, dan untuk perempuan... mereka cenderung jadi ketergantungan.

Pagi itu terlalu sunyi untuk sebuah rumah yang biasanya dipenuhi suara Naya bernyanyi kecil. Bahkan ketukan sendok di gelas kopi terasa seperti letusan kecil yang menggetarkan dada Meysi. Ia menatap meja makan dengan tatapan kosong, lalu pandangannya jatuh pada kalender dinding di sebelah kulkas. Saat itulah Meysi menyadari sesuatu.

Delapan hari terlambat.

Tangan Meysi gemetar saat meraih ponsel dan membuka aplikasi catatan siklus. Hatinya berdegup pelan tapi pasti. Ia mencoba mengingat terakhir kali ia benar-benar merasa "normal". Tidak pusing, tidak mual, tidak sesak.

Tidak… terlambat. Belakangan ini Meysi tidak bisa makan karena memikirkan Tirta. Namun, apakah itu normal?

Dengan napas tertahan, ia meraih tas dan mengambil kunci motor untuk pergi ke sebuah tempat.

Apotek itu sepi. Hanya ada satu petugas kasir muda yang terlihat lebih tertarik dengan ponselnya daripada pelanggan. Meysi memungut kotak mungil itu dari rak dengan tangan kanan yang menggigil.

Tes Kehamilan. Akurasi 99%. Hasil dalam 5 menit.

Ia bahkan tak membaca sisanya. Ini pertama kalinya lagi, setelah enam tahun.

**

Kamar mandi sempit di rumahnya tiba-tiba terasa seperti ruang interogasi. Kotak putih kecil di atas wastafel menunggu dengan diam yang menyiksa. Meysi duduk di lantai, lututnya terlipat rapat ke dada, tangan meremas ujung baju tidur. Takut dan beragam perasaan bercampur aduk dalam benaknya.

Detik demi detik menetes bersama keringat dingin. Pandangannya sesekali menatap arloji, lalu kembali ke alat kecil itu.

Satu garis.

Masih satu garis.

Namun, pada menit keempat, garis kedua itu muncul. Samar. Tapi nyata.

Dan mendadak dunia runtuh dalam senyap.

Meysi terduduk di ruang tamu, tak lagi menangis. Air mata sudah habis sejak satu jam lalu. Yang tertinggal kini hanya rasa hampa dan sebuah kotak kecil berisi jawaban atas malam yang seharusnya ia anggap khilaf.

Hamil.

Satu kata yang merontokkan pertahanan yang telah ia bangun sejak bercerai lima tahun lalu.

Ia memikirkan Naya. Ia memikirkan pekerjaannya. Ia memikirkan Tirta. Dan lebih dari itu, ia memikirkan betapa rumit dan rusaknya hidupnya sekarang. Gadget di meja bergetar. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya kembali berdegup cepat.

Tirta.

Ia biarkan dering itu mati seperti biasanya.

Tapi ponsel kembali bergetar. Kali ini pesan masuk.

Tirta: Teteh, kamu baik-baik aja? Aku mimpi aneh banget semalem. Kayak kamu nangis di kamar mandi. Aku nelponin cuma pengen denger suara kamu.

Tirta: Teteh? Please jawab. Aku gak kuat nahan kangen, kepikiran kamu terus.

Meysi tak sanggup. Ia tak sanggup mengatakannya, bahkan menuliskannya.

Tapi jarinya malah mengetik pelan.

Meysi: Kita bisa ketemu sore ini? Apa bakal bermasalah?

Balasan datang dalam 10 detik.

Tirta: Bisa banget! Jam berapa, Teh? Di mana?

Meysi: Taman yang biasa.

**

Langit mendung menggantung rendah di atas taman kecil itu. Tirta datang dengan jaket denim kebesaran dan celana panjang santai, rambutnya sedikit acak dan wajahnya... terlalu cerah untuk seseorang yang akan mendengar kabar seberat ini. Ia tampak keren dengan anting-anting panjang di telinganya.

“Teteh.” Suaranya lembut, senyumnya seperti biasa: tengil, tapi menenangkan.

Meysi memaksa tersenyum. Tirta menghela napas sambil mendekat ke arah Meysi.

“Gue mikir terus dari tadi pagi. Kayaknya lo lagi banyak pikiran, ya? Gue juga sih Teh, gue gak mau jauh dari lo."

Ia tak menjawab. Matanya hanya menatap kursi kayu yang mereka duduki minggu lalu dengan sendu. Bagaimana mengatakannya pada Tirta?

“Ada yang mau gue kasih tahu,” gumam Meysi akhirnya.

Tirta mengangguk, bersandar santai.

“Gue juga. Tapi lo duluan.”

“Gue...” Meysi menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. “Gue hamil.”

Tirta diam. Untuk beberapa detik, dunia seperti menekan tombol ‘pause’. Burung-burung berhenti bersuara, angin pun seolah terdiam.

“Apa?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.

“Dua garis. Tadi pagi. S-sorry karena udah-”

Tirta menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Meysi menahan napas, menanti apakah tawa tengil itu akan keluar. Tapi tak ada. Sepertinya Tirta kecewa. Namun, ternyata yang keluar justru... air mata.

“Teh... kenapa lo gak bilang dari tadi?” lirihnya. “Kenapa lo nahan ini sendirian? Astaga.”

“Aku gak tahu harus gimana. Aku takut.” ujar Meysi lirih.

Tirta mengangguk pelan, lalu duduk lebih dekat.

“Gue juga takut. Tapi, entah kenapa... gue juga seneng.”

“Lo seneng?” Meysi menatapnya tajam.

“Iya. Bukan hanya karena lo hamil, tapi karena lo masih jujur ke gue. Karena lo gak ninggalin gue sendirian dengan keadaan ini. Gue seneng lo ngelibatin gue."

Meysi menggigit bibir, tak tahu harus tertawa atau menangis.

“Gue tahu hidup lo gak gampang, Teh. Tapi lo gak sendirian. Kita bertiga sekarang. Gue... gue gak akan ninggalin lo.”

“Empat,” koreksi Meysi cepat. “Sama Naya.”

Tirta tertawa kecil, dan akhirnya, ia meraih tangan Meysi. Tirta mengelus perut Meysi dan mencium perut itu.

“Gue tahu ini gak ideal. Gue tahu nyokap gue bakal meledak. Tapi lo tahu? Gue gak peduli. Gue pengen tanggung jawab. Gue pengen jadi ayah—entah itu artinya apa buat lo.”

Meysi terdiam lama.

“Gue gak tahu, Tir. Gue gak yakin lo ngerti apa yang bakal terjadi. Anak itu... bukan solusi. Dia tanggung jawab. Dia akan butuh banyak.”

Tirta menatapnya dalam, dengan wajah yang tak lagi penuh guyon.

“Dan gue mau belajar. Demi lo. Demi mereka.”

Langit mulai gerimis, tapi mereka tetap duduk di sana. Basah. Diam. Tapi utuh. Setidaknya untuk saat itu.

**

Malamnya, setelah Naya tidur dan lampu rumah diredupkan, Meysi berdiri di depan cermin kamarnya. Perutnya masih rata, tubuhnya tak berubah. Tapi ada yang tumbuh di dalam sana. Sebuah kehidupan. Sebuah kemungkinan. Sebuah masa depan yang tak pernah ia bayangkan akan datang dalam bentuk setenang itu.

Ponselnya kembali bergetar.

Tirta: Teh, gue gak bisa tidur.

Tirta: Anak kita cewek atau cowok ya?

Tirta: Lo pengen nama siapa?

Meysi tersenyum, untuk pertama kalinya hari itu.

Meysi: Kalau cewek, gue yang milih.

Meysi: Kalau cowok, lo.

Tirta: Deal. Tapi gue tetap ngasih saran: kalau cowok, namanya “Langit”. Biar gak gampang jatuh. 😎

Air mata mengalir pelan di pipi Meysi. Tapi kali ini bukan karena takut. Tapi karena untuk pertama kalinya... ada seseorang yang tidak lari saat hidup menampar dirinya.

Dan mungkin, hanya mungkin... cinta memang selalu datang dengan cara paling aneh dan tak terduga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintai aku, Berondong!   Si Paling Bucin

    Kota Paris... ya, kota yang selalu berhasil membuat siapa pun jatuh cinta. Malam itu, lampu kota berpendar di sepanjang jalan Champs-Élysées, berkilauan seperti ribuan bintang yang turun ke bumi. Romantis dengan suasana sedikit glommy tapi tetap indah saat ditapaki.Meysi berdiri terpaku di depan butik besar yang namanya hanya pernah ia dengar dari televisi. Walaupun ia penulis dengan nama "besar" tapi Meysi sendiri pun belum pernah berbelanja atau menyambangi tempat tersebut.“Ayo masuk,” suara Tirta terdengar ringan, tapi tangannya sudah menarik lembut tangan Meysi.“Tirta… kamu serius mau belanja di sini?” Meysi ragu, menoleh ke papan harga kecil di kaca display yang membuat matanya membelalak. Mahal banget woi! Harga sebuah gantungan kunci di sana bisa membeli sebuah rumah di Bandung timur.Pemuda itu hanya menyeringai, senyum nakal khasnya muncul. Ia kemudian melingkarkan tangannya di bahu Meysi, seperti kawan akrab.“Kamu pikir aku ajak kamu ke Paris cuma buat jalan-jalan doang

  • Cintai aku, Berondong!   Teror Ginanjar Lagi

    Langit Paris sore itu berwarna oranye keemasan, membalut kota dengan nuansa hangat dan romantis, yaaa kurang lebih sama seperti narasi orang-orang yang menceritakan bagaimana romantisnya kota tersebut. Mobil hitam berlogo mewah berhenti di depan hotel bintang lima yang berdiri megah di jantung kota. Tirta turun lebih dulu, lalu memutar untuk membukakan pintu Meysi. Meysi yang hampir saja tertidur langsung membuka mata ketika mereka tiba.“Selamat datang di Paris, Madame Tirta,” ujar Tirta dengan senyum menggoda."Huaaah udah sampe tah sayang?" tanya Meysi sambil mengucek mata."Udah cintaku... bobok di kamar aja yuk, kita masuk?"Meysi melangkah keluar, matanya terbelalak melihat interior hotel yang berlapis marmer putih, lampu kristal berkilauan, dan karpet merah tebal. Meysi yang setengah mengantuk itu terlihat berbinar-binar, entah bermimpi apa dirinya bisa menginjakkan kaki ke tempat semewah itu.“Astaga, Ayang… ini hotel atau istana?” tanya Meysi seperti anak kecil yang tengah k

  • Cintai aku, Berondong!   Pikiran Yang Terbang

    Langit sore di bandara pribadi itu berwarna jingga keemasan ketika Tirta menggenggam tangan Meysi, membimbingnya menuju sebuah jet putih berkilau dengan logo kecil berbentuk bintang di ekornya. Ada logo bernama, 'Tirta' di sana yang terlihat sangat mewah dalam sekejap pandangan.Meysi berhenti sejenak, matanya membesar.“Ayang… ini… jet pribadi punya kamu?!"Tirta hanya terkekeh, matanya menyipit nakal. Ia kemudian menganggukkan kepalanya.“Nggak usah kaget gitu. Aku kan nggak bilang kalau aku miskin sejak awal ngejar Teteh.”Meysi memukul pelan pipinya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tirta memang kaya, tapi ia tidak berekspektasi bila Tirta benar-benar sekaya itu!Bila sudah sekaya itu, kenapa ia memilih susah-susah jadi penyanyi? Ah baik... passion, itulah kira-kira jawabannya.“Tapi… aku beneran nggak nyangka. Aku pikir kita naik pesawat komersial kayak orang normal.” ujar Meysi.“Kalau ada cara yang lebih nyaman, kenapa nggak?” Tirta menariknya masuk, membukaka

  • Cintai aku, Berondong!   Jawaban Atas Segala Derita

    Ruang keluarga terasa hening, hanya suara televisi yang memutar breaking news memenuhi udara. Di layar, wajah Prabu Linggabuana muncul singkat sebelum diganti visual ruang sidang. Tirta duduk di sofa sambil menggigit ujung jempolnya.Pembawa berita membacakan putusan dengan suara tegas, “Majelis hakim memutuskan hukuman penjara selama dua tahun kepada terdakwa Prabu Linggabuana dalam kasus korupsi dana investasi. Sementara itu, Kusumadewi, istri terdakwa, dinyatakan bebas karena tidak terbukti terlibat.”Tirta duduk di ujung sofa, rahangnya mengeras. Ia tidak bergeming hingga berita berlanjut pada liputan protes masyarakat di depan gedung pengadilan. Sejumlah poster bertuliskan Hukum Koruptor Setimpal! terguncang di tangan massa. Kenangan masa lalu bergulir, seketika Tirta gemetar karena kejadian masa lalu hingga membuatnya koma itu seakan terputar dalam benaknya.Menakutkan. Tirta benci sekali kenangan itu bergulir.Tanpa berkata apa-apa, Tirta meraih remote dan mematikan televisi. W

  • Cintai aku, Berondong!   Hadiah Untuk Meysi

    Notifikasi ponsel Meysi tak berhenti berbunyi sejak pagi. Setiap kali ia membuka layar, deretan berita dan postingan tentang konser terakhir Tirta memenuhi timeline. Foto-foto saat Tirta menggamit tangannya, bernyanyi tepat di depannya, hingga menciumnya di tengah sorotan lampu, tersebar ke seluruh penjuru jagat maya.Hashtag #TirtaMeysiLoveStory, #KonserTerakhirTirta, dan #LookUpAtTheStars menjadi trending di berbagai platform. Media gosip mengulasnya dari semua sudut, sementara akun-akun fanbase Tirta saling berdebat—ada yang patah hati, ada yang baper, ada pula yang masih denial.Meysi duduk di sofa ruang tengah, memegang ponsel sambil menggulir komentar-komentar netizen. Beberapa membuatnya terkejut, beberapa membuatnya tak tahan tertawa."Kok mereka bisa-bisanya mereka bahagia di atas penderitaan aku?""Kursi Indomaret mana yang harus aku kunjungi Mas Tirtaaaaaa😭""Oh gitu. Btw, langgeng-langgeng sampai maut memisahkan. Oh iya kenalin, aku maut🙂""Guys, tanya keadaan aku sekar

  • Cintai aku, Berondong!   Cinta Diantara Riuh Penonton

    Lampu-lampu panggung menyala terang, membanjiri arena dengan warna-warna memukau. Sorakan penonton menggetarkan udara panas Jakarta di Istora Senayan. Berbondong-bondong fans Tirta datang dengan pakaian tercantik mereka, berfoto di vanue, berfoto di foto Tirta yang sangat besar dan lain sebagainya."Foto dulu Mbak!"Siti mengantar Meysi hari itu, sementara Naya bersama Ibu Meysi. Meysi mengenakan rok manis terusan berwarna pink seperti mic yang dipakai Tirta, ia sangat cantik dengan rambut panjang hitamnya yang diikat setengah menggunakan pita. Wajahnya dirias ala igari yang tentunya menonjolkam kecantikan Meysi yang memang sudah cantik. Bahkan beberapa fans Tirta mengajak Meysi foto bersama karena ia sangat bersinar dengan pakaian itu."Ini mah, Tirtanya juga pasti naksir sama Mbak!" celetuk salah satu fans yang berfoto.Meysi hanya menyeringai sambil melirik Siti yang cekikikan mendengar itu. Bukan hanya naksir, fansnya saja tidak tahu jika Tirta selalu 'menyusu' setiap kali mereka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status