Sore menjelang malam itu, taman kecil di sudut kota menjadi saksi bisu dua dunia yang bersinggungan. Tirta berdiri di hadapan Meysi, mencoba menahan dua pria bersetelan gelap yang mendekat dengan raut tegas.
“Saya gak akan pergi,” ucap Meysi pelan, tapi tegas. "Saya mau sama Tirta." Salah satu pria bertubuh kekar maju setengah langkah. “Kami hanya ingin mengantar Ibu Meysi. Tidak ada maksud buruk. Kami diutus oleh keluarga Linggabuana.” “Gue bagian dari keluarga itu, dan gue gak nyuruh,” potong Tirta, suaranya berubah dingin. "Lo semua mau dipecat?" Pria itu memandang Tirta dengan tatapan datar. “Tapi Anda juga tahu, keputusan keluarga besar bukan hanya urusan Anda seorang.” Meysi menahan napas, merasakan bagaimana situasi bisa lepas kendali dalam satu detik. Ia menarik lengan Tirta, memaksa lelaki itu mundur. “Sudah, Tirta. Aku ikut bicara. Tapi hanya bicara, ya?” Meysi menatap pria itu. “Saya akan ikut, tapi Tirta tetap di sini. Ini antara saya dan keluarga Anda.” Tirta menoleh dengan wajah tak setuju. “Teh—” “Gue tahu apa yang gue lakukan,” bisik Meysi cepat. “Gue cuma mau tahu sampai sejauh mana keluarga lo akan campur tangan.” Dengan berat hati, Tirta membiarkan Meysi melangkah masuk ke mobil sedan hitam yang berhenti di pinggir taman. Mobil itu melaju pelan, meninggalkan Tirta yang berdiri diam menatap kepergiannya, seolah langit mendadak kehilangan warna. ** Mobil berhenti di sebuah rumah besar bergaya kolonial yang berdiri megah di kawasan elite. Pintu kayu besar terbuka otomatis, menyambut kedatangan mereka dengan suasana dingin dan steril, jauh dari hangatnya rumah manusia biasa. Meysi dibawa masuk ke sebuah ruangan berlampu kuning keemasan. Di tengahnya, duduk seorang wanita paruh baya dengan setelan batik mahal, rambut disanggul sempurna, dan tatapan yang bisa memotong baja. Ibu Tirta. Astaga. Apakah ia Geum Jandi untuk Goo Jun Pyo di drama Boys Before Flower? “Silakan duduk,” katanya tanpa senyum. Meysi duduk dengan punggung tegak. “Nama saya Kusumadewi Linggabuana. Anda tentu tahu siapa saya.” “Ibu dari Tirta.” “Satu-satunya anak lelaki saya,” lanjut Kusumadewi. “Dan juga... satu-satunya pewaris keluarga ini.” Meysi menelan saliva. Ia sudah tahu apa kelanjutannya. “Saya tidak berniat mengganggu hidup Tirta. Kami hanya... berteman.” Wanita itu tersenyum tipis. “Berteman tidak perlu tidur bersama. Anakku memang sudah dewasa, tapi bercinta dengan janda rasanya hanya objek fantasi lelaki kebanyakan.” Meysi terdiam. Serendah itukah status janda? “Saya paham, Bu Meysi. Janda, punya anak, dan bekerja keras untuk hidup. Tapi jangan jadikan anak saya bagian dari perjuangan Anda. Tirta masih muda, masih labil. Dia tidak tahu apa-apa tentang dunia. Anda tahu itu, bukan?” tanya Bu Kusuma. “Saya tidak meminta apapun darinya.” ujar Meysi. "Saya baru kenal Tirta satu bulan dan itu diluar rencana saya. Enam tahun sendiri pun saya tidak merasa kesepian." “Tapi anak saya berubah. Dia menolak pekerjaan keluarga, menolak kontrak musik dari label. Semua karena Anda!" “Karena saya, atau karena akhirnya dia menemukan sesuatu yang ingin dia kejar sendiri?” Kusumadewi menatapnya lama, matanya tajam namun tetap tenang. “Saya bisa mengakhiri karier Anda. Bahkan kehidupan Anda jika saya mau. Tapi saya bukan wanita sepicik itu. Saya hanya minta satu hal: pergi. Sekarang juga. Tanpa pamit. Hilang dari hidup Tirta.” “Dan kalau saya tidak?” “Anak Anda akan kehilangan ibunya dalam waktu yang sangat singkat. Bukan secara fisik. Tapi secara ekonomi, sosial, mental. Saya tidak akan menyentuh Naya. Tapi saya bisa menghancurkan dunia tempat Anda berdiri.” Ada jeda panjang yang membekukan udara. Ah sial, karena anaknya dianggap "dalam bahaya" maka wanita itu juga mengancam putri Meysi. Jika sampai terjadi. Meysi akan menarik sanggul wanita itu dan menendangnya, sumpah! “Saya beri Anda waktu dua hari,” Kusumadewi bangkit, berjalan mendekat. “Dua hari untuk mundur, atau saya akan menarik semua kartu yang saya punya.” ** Malam itu, Meysi kembali ke rumah dengan tubuh seperti tanpa jiwa. Tirta menunggu di depan pagar, duduk di motor sport-nya sambil memainkan ponsel. Begitu melihat Meysi, ia berdiri. “Teh. Lo gak kenapa-kenapa?!" Meysi mengangguk, meski jelas tubuhnya gemetar. “Ayo masuk. Lo kelihatan... kedinginan.” Di dalam rumah, Naya sudah tidur. Kata Tirta, Neneknya barusan mengantar dan baru saja pulang sehingga ia berjaga di depan. Meysi menuang teh hangat, duduk di kursi makan dengan pandangan kosong. “Mereka ngancem ya, Teh?” Tirta duduk di seberangnya. Meysi tak menjawab. Ia hanya menghela napas berat. “Teh, gue tahu nyokap gue bisa keras. Tapi dia gak berhak—” “Dia gak salah,” potong Meysi lirih. “Lo belain dia sekarang? Karena lo seorang Ibu?” “Bukan. Tapi gue paham. Dia cuma ibu yang sayang anaknya. Sama kayak gue. Gue juga mau Naya punya masa depan. Dan kalau gue terus dekat sama lo, masa depan lo... mungkin gak akan ada.” terang Meysi dengan suara sumbang. Tirta terdiam. Meysi sebenarnya merasa senang belakangan ini karena Tirta mewarnai hidupnya. Namun, ia bisa apa? “Lo pikir semua bisa lo lawan dengan nyali? Enggak, Tirta. Dunia nyata gak sesimpel itu.” Tirta menggenggam tangan Meysi, wajahnya serius. “Kalau lo minta gue ninggalin lo sekarang, gue bisa. Tapi cuma kalau itu memang keinginan lo. Bukan karena lo takut omongan Nyokap." Meysi menarik napas panjang. “Gue gak takut. Gue cuma realistis. Lo enam tahun lebih muda dari gue. Dunia lo baru dimulai. Dunia gue... udah rusak sejak lama.” “Dan gue pengen bantu lo bangun ulang.” “Tapi lo gak bisa, Tir.” Tirta menatapnya lama, lalu berdiri. “Gue gak akan maksa. Tapi ingat satu hal, Teh. Kadang langit memang gak bisa jatuh ke tanah. Tapi bukan berarti mereka gak bisa saling lihat.” "Tirta...." "Lo sayang kan sama gue? Jujur aja." Meysi merasakan air mata mengalir dari kedua bola matanya. Ia menghela napas menahan kesedihan itu sambil menekan dadanya. "Gue gak tahu." "Terus kenapa lo nangis? Ngapain nangis kalau enggak sayang gue?" Meysi menutup wajahnya dan menangis. Tirta bergegas memeluk Meysi dengan erat, ada kehangatan yang sudah lama tidak menyentuh hati Meysi. Meysi bisa merasakan bila Tirta adalah lelaki yang tulus. Ia menyukai keberadaan Tirta meskipun situasinya tak memungkinkan. "Gue nyoba bayangin hidup tanpa lo lagi, padahal baru sebulan." ujar Meysi lirih. "Sial, lo pake pelet apa sih?" "Ya udah, yang penting gue tahu perasaan kita sama. Gue yakin... kita bakal ketemu lagi karena kita jodoh." Tirta mencium kening Meysi dengan lembut. Wajah tampan itu... Meysi merasa tenang saat memandang kedua bola mata Tirta. Perlahan Meysi mencium kelopak mata Tirta yang indah sebelum lelaki itu pergi. "Jaga diri lo." bisik Tirta. Meysi terdiam, menatap punggung Tirta yang pergi dengan langkah berat. Dan malam itu, langit benar-benar terasa jauh. Sakit.Kota Paris... ya, kota yang selalu berhasil membuat siapa pun jatuh cinta. Malam itu, lampu kota berpendar di sepanjang jalan Champs-Élysées, berkilauan seperti ribuan bintang yang turun ke bumi. Romantis dengan suasana sedikit glommy tapi tetap indah saat ditapaki.Meysi berdiri terpaku di depan butik besar yang namanya hanya pernah ia dengar dari televisi. Walaupun ia penulis dengan nama "besar" tapi Meysi sendiri pun belum pernah berbelanja atau menyambangi tempat tersebut.“Ayo masuk,” suara Tirta terdengar ringan, tapi tangannya sudah menarik lembut tangan Meysi.“Tirta… kamu serius mau belanja di sini?” Meysi ragu, menoleh ke papan harga kecil di kaca display yang membuat matanya membelalak. Mahal banget woi! Harga sebuah gantungan kunci di sana bisa membeli sebuah rumah di Bandung timur.Pemuda itu hanya menyeringai, senyum nakal khasnya muncul. Ia kemudian melingkarkan tangannya di bahu Meysi, seperti kawan akrab.“Kamu pikir aku ajak kamu ke Paris cuma buat jalan-jalan doang
Langit Paris sore itu berwarna oranye keemasan, membalut kota dengan nuansa hangat dan romantis, yaaa kurang lebih sama seperti narasi orang-orang yang menceritakan bagaimana romantisnya kota tersebut. Mobil hitam berlogo mewah berhenti di depan hotel bintang lima yang berdiri megah di jantung kota. Tirta turun lebih dulu, lalu memutar untuk membukakan pintu Meysi. Meysi yang hampir saja tertidur langsung membuka mata ketika mereka tiba.“Selamat datang di Paris, Madame Tirta,” ujar Tirta dengan senyum menggoda."Huaaah udah sampe tah sayang?" tanya Meysi sambil mengucek mata."Udah cintaku... bobok di kamar aja yuk, kita masuk?"Meysi melangkah keluar, matanya terbelalak melihat interior hotel yang berlapis marmer putih, lampu kristal berkilauan, dan karpet merah tebal. Meysi yang setengah mengantuk itu terlihat berbinar-binar, entah bermimpi apa dirinya bisa menginjakkan kaki ke tempat semewah itu.“Astaga, Ayang… ini hotel atau istana?” tanya Meysi seperti anak kecil yang tengah k
Langit sore di bandara pribadi itu berwarna jingga keemasan ketika Tirta menggenggam tangan Meysi, membimbingnya menuju sebuah jet putih berkilau dengan logo kecil berbentuk bintang di ekornya. Ada logo bernama, 'Tirta' di sana yang terlihat sangat mewah dalam sekejap pandangan.Meysi berhenti sejenak, matanya membesar.“Ayang… ini… jet pribadi punya kamu?!"Tirta hanya terkekeh, matanya menyipit nakal. Ia kemudian menganggukkan kepalanya.“Nggak usah kaget gitu. Aku kan nggak bilang kalau aku miskin sejak awal ngejar Teteh.”Meysi memukul pelan pipinya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tirta memang kaya, tapi ia tidak berekspektasi bila Tirta benar-benar sekaya itu!Bila sudah sekaya itu, kenapa ia memilih susah-susah jadi penyanyi? Ah baik... passion, itulah kira-kira jawabannya.“Tapi… aku beneran nggak nyangka. Aku pikir kita naik pesawat komersial kayak orang normal.” ujar Meysi.“Kalau ada cara yang lebih nyaman, kenapa nggak?” Tirta menariknya masuk, membukaka
Ruang keluarga terasa hening, hanya suara televisi yang memutar breaking news memenuhi udara. Di layar, wajah Prabu Linggabuana muncul singkat sebelum diganti visual ruang sidang. Tirta duduk di sofa sambil menggigit ujung jempolnya.Pembawa berita membacakan putusan dengan suara tegas, “Majelis hakim memutuskan hukuman penjara selama dua tahun kepada terdakwa Prabu Linggabuana dalam kasus korupsi dana investasi. Sementara itu, Kusumadewi, istri terdakwa, dinyatakan bebas karena tidak terbukti terlibat.”Tirta duduk di ujung sofa, rahangnya mengeras. Ia tidak bergeming hingga berita berlanjut pada liputan protes masyarakat di depan gedung pengadilan. Sejumlah poster bertuliskan Hukum Koruptor Setimpal! terguncang di tangan massa. Kenangan masa lalu bergulir, seketika Tirta gemetar karena kejadian masa lalu hingga membuatnya koma itu seakan terputar dalam benaknya.Menakutkan. Tirta benci sekali kenangan itu bergulir.Tanpa berkata apa-apa, Tirta meraih remote dan mematikan televisi. W
Notifikasi ponsel Meysi tak berhenti berbunyi sejak pagi. Setiap kali ia membuka layar, deretan berita dan postingan tentang konser terakhir Tirta memenuhi timeline. Foto-foto saat Tirta menggamit tangannya, bernyanyi tepat di depannya, hingga menciumnya di tengah sorotan lampu, tersebar ke seluruh penjuru jagat maya.Hashtag #TirtaMeysiLoveStory, #KonserTerakhirTirta, dan #LookUpAtTheStars menjadi trending di berbagai platform. Media gosip mengulasnya dari semua sudut, sementara akun-akun fanbase Tirta saling berdebat—ada yang patah hati, ada yang baper, ada pula yang masih denial.Meysi duduk di sofa ruang tengah, memegang ponsel sambil menggulir komentar-komentar netizen. Beberapa membuatnya terkejut, beberapa membuatnya tak tahan tertawa."Kok mereka bisa-bisanya mereka bahagia di atas penderitaan aku?""Kursi Indomaret mana yang harus aku kunjungi Mas Tirtaaaaaa😭""Oh gitu. Btw, langgeng-langgeng sampai maut memisahkan. Oh iya kenalin, aku maut🙂""Guys, tanya keadaan aku sekar
Lampu-lampu panggung menyala terang, membanjiri arena dengan warna-warna memukau. Sorakan penonton menggetarkan udara panas Jakarta di Istora Senayan. Berbondong-bondong fans Tirta datang dengan pakaian tercantik mereka, berfoto di vanue, berfoto di foto Tirta yang sangat besar dan lain sebagainya."Foto dulu Mbak!"Siti mengantar Meysi hari itu, sementara Naya bersama Ibu Meysi. Meysi mengenakan rok manis terusan berwarna pink seperti mic yang dipakai Tirta, ia sangat cantik dengan rambut panjang hitamnya yang diikat setengah menggunakan pita. Wajahnya dirias ala igari yang tentunya menonjolkam kecantikan Meysi yang memang sudah cantik. Bahkan beberapa fans Tirta mengajak Meysi foto bersama karena ia sangat bersinar dengan pakaian itu."Ini mah, Tirtanya juga pasti naksir sama Mbak!" celetuk salah satu fans yang berfoto.Meysi hanya menyeringai sambil melirik Siti yang cekikikan mendengar itu. Bukan hanya naksir, fansnya saja tidak tahu jika Tirta selalu 'menyusu' setiap kali mereka