Beranda / Romansa / Cintai aku, Berondong! / Serendah Itukah Janda?

Share

Serendah Itukah Janda?

Penulis: ARCELYOS
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-07 14:00:34

Sore menjelang malam itu, taman kecil di sudut kota menjadi saksi bisu dua dunia yang bersinggungan. Tirta berdiri di hadapan Meysi, mencoba menahan dua pria bersetelan gelap yang mendekat dengan raut tegas.

“Saya gak akan pergi,” ucap Meysi pelan, tapi tegas. "Saya mau sama Tirta."

Salah satu pria bertubuh kekar maju setengah langkah.

“Kami hanya ingin mengantar Ibu Meysi. Tidak ada maksud buruk. Kami diutus oleh keluarga Linggabuana.”

“Gue bagian dari keluarga itu, dan gue gak nyuruh,” potong Tirta, suaranya berubah dingin. "Lo semua mau dipecat?"

Pria itu memandang Tirta dengan tatapan datar.

“Tapi Anda juga tahu, keputusan keluarga besar bukan hanya urusan Anda seorang.”

Meysi menahan napas, merasakan bagaimana situasi bisa lepas kendali dalam satu detik. Ia menarik lengan Tirta, memaksa lelaki itu mundur.

“Sudah, Tirta. Aku ikut bicara. Tapi hanya bicara, ya?” Meysi menatap pria itu. “Saya akan ikut, tapi Tirta tetap di sini. Ini antara saya dan keluarga Anda.”

Tirta menoleh dengan wajah tak setuju.

“Teh—”

“Gue tahu apa yang gue lakukan,” bisik Meysi cepat. “Gue cuma mau tahu sampai sejauh mana keluarga lo akan campur tangan.”

Dengan berat hati, Tirta membiarkan Meysi melangkah masuk ke mobil sedan hitam yang berhenti di pinggir taman. Mobil itu melaju pelan, meninggalkan Tirta yang berdiri diam menatap kepergiannya, seolah langit mendadak kehilangan warna.

**

Mobil berhenti di sebuah rumah besar bergaya kolonial yang berdiri megah di kawasan elite. Pintu kayu besar terbuka otomatis, menyambut kedatangan mereka dengan suasana dingin dan steril, jauh dari hangatnya rumah manusia biasa.

Meysi dibawa masuk ke sebuah ruangan berlampu kuning keemasan. Di tengahnya, duduk seorang wanita paruh baya dengan setelan batik mahal, rambut disanggul sempurna, dan tatapan yang bisa memotong baja. Ibu Tirta.

Astaga. Apakah ia Geum Jandi untuk Goo Jun Pyo di drama Boys Before Flower?

“Silakan duduk,” katanya tanpa senyum.

Meysi duduk dengan punggung tegak.

“Nama saya Kusumadewi Linggabuana. Anda tentu tahu siapa saya.”

“Ibu dari Tirta.”

“Satu-satunya anak lelaki saya,” lanjut Kusumadewi. “Dan juga... satu-satunya pewaris keluarga ini.”

Meysi menelan saliva. Ia sudah tahu apa kelanjutannya.

“Saya tidak berniat mengganggu hidup Tirta. Kami hanya... berteman.”

Wanita itu tersenyum tipis.

“Berteman tidak perlu tidur bersama. Anakku memang sudah dewasa, tapi bercinta dengan janda rasanya hanya objek fantasi lelaki kebanyakan.”

Meysi terdiam. Serendah itukah status janda?

“Saya paham, Bu Meysi. Janda, punya anak, dan bekerja keras untuk hidup. Tapi jangan jadikan anak saya bagian dari perjuangan Anda. Tirta masih muda, masih labil. Dia tidak tahu apa-apa tentang dunia. Anda tahu itu, bukan?” tanya Bu Kusuma.

“Saya tidak meminta apapun darinya.” ujar Meysi. "Saya baru kenal Tirta satu bulan dan itu diluar rencana saya. Enam tahun sendiri pun saya tidak merasa kesepian."

“Tapi anak saya berubah. Dia menolak pekerjaan keluarga, menolak kontrak musik dari label. Semua karena Anda!"

“Karena saya, atau karena akhirnya dia menemukan sesuatu yang ingin dia kejar sendiri?”

Kusumadewi menatapnya lama, matanya tajam namun tetap tenang.

“Saya bisa mengakhiri karier Anda. Bahkan kehidupan Anda jika saya mau. Tapi saya bukan wanita sepicik itu. Saya hanya minta satu hal: pergi. Sekarang juga. Tanpa pamit. Hilang dari hidup Tirta.”

“Dan kalau saya tidak?”

“Anak Anda akan kehilangan ibunya dalam waktu yang sangat singkat. Bukan secara fisik. Tapi secara ekonomi, sosial, mental. Saya tidak akan menyentuh Naya. Tapi saya bisa menghancurkan dunia tempat Anda berdiri.”

Ada jeda panjang yang membekukan udara. Ah sial, karena anaknya dianggap "dalam bahaya" maka wanita itu juga mengancam putri Meysi.

Jika sampai terjadi. Meysi akan menarik sanggul wanita itu dan menendangnya, sumpah!

“Saya beri Anda waktu dua hari,” Kusumadewi bangkit, berjalan mendekat. “Dua hari untuk mundur, atau saya akan menarik semua kartu yang saya punya.”

**

Malam itu, Meysi kembali ke rumah dengan tubuh seperti tanpa jiwa. Tirta menunggu di depan pagar, duduk di motor sport-nya sambil memainkan ponsel.

Begitu melihat Meysi, ia berdiri.

“Teh. Lo gak kenapa-kenapa?!"

Meysi mengangguk, meski jelas tubuhnya gemetar.

“Ayo masuk. Lo kelihatan... kedinginan.”

Di dalam rumah, Naya sudah tidur. Kata Tirta, Neneknya barusan mengantar dan baru saja pulang sehingga ia berjaga di depan. Meysi menuang teh hangat, duduk di kursi makan dengan pandangan kosong.

“Mereka ngancem ya, Teh?” Tirta duduk di seberangnya.

Meysi tak menjawab. Ia hanya menghela napas berat.

“Teh, gue tahu nyokap gue bisa keras. Tapi dia gak berhak—”

“Dia gak salah,” potong Meysi lirih.

“Lo belain dia sekarang? Karena lo seorang Ibu?”

“Bukan. Tapi gue paham. Dia cuma ibu yang sayang anaknya. Sama kayak gue. Gue juga mau Naya punya masa depan. Dan kalau gue terus dekat sama lo, masa depan lo... mungkin gak akan ada.” terang Meysi dengan suara sumbang.

Tirta terdiam. Meysi sebenarnya merasa senang belakangan ini karena Tirta mewarnai hidupnya. Namun, ia bisa apa?

“Lo pikir semua bisa lo lawan dengan nyali? Enggak, Tirta. Dunia nyata gak sesimpel itu.”

Tirta menggenggam tangan Meysi, wajahnya serius.

“Kalau lo minta gue ninggalin lo sekarang, gue bisa. Tapi cuma kalau itu memang keinginan lo. Bukan karena lo takut omongan Nyokap."

Meysi menarik napas panjang.

“Gue gak takut. Gue cuma realistis. Lo enam tahun lebih muda dari gue. Dunia lo baru dimulai. Dunia gue... udah rusak sejak lama.”

“Dan gue pengen bantu lo bangun ulang.”

“Tapi lo gak bisa, Tir.”

Tirta menatapnya lama, lalu berdiri.

“Gue gak akan maksa. Tapi ingat satu hal, Teh. Kadang langit memang gak bisa jatuh ke tanah. Tapi bukan berarti mereka gak bisa saling lihat.”

"Tirta...."

"Lo sayang kan sama gue? Jujur aja."

Meysi merasakan air mata mengalir dari kedua bola matanya. Ia menghela napas menahan kesedihan itu sambil menekan dadanya.

"Gue gak tahu."

"Terus kenapa lo nangis? Ngapain nangis kalau enggak sayang gue?"

Meysi menutup wajahnya dan menangis. Tirta bergegas memeluk Meysi dengan erat, ada kehangatan yang sudah lama tidak menyentuh hati Meysi. Meysi bisa merasakan bila Tirta adalah lelaki yang tulus. Ia menyukai keberadaan Tirta meskipun situasinya tak memungkinkan.

"Gue nyoba bayangin hidup tanpa lo lagi, padahal baru sebulan." ujar Meysi lirih. "Sial, lo pake pelet apa sih?"

"Ya udah, yang penting gue tahu perasaan kita sama. Gue yakin... kita bakal ketemu lagi karena kita jodoh."

Tirta mencium kening Meysi dengan lembut. Wajah tampan itu... Meysi merasa tenang saat memandang kedua bola mata Tirta. Perlahan Meysi mencium kelopak mata Tirta yang indah sebelum lelaki itu pergi.

"Jaga diri lo." bisik Tirta.

Meysi terdiam, menatap punggung Tirta yang pergi dengan langkah berat. Dan malam itu, langit benar-benar terasa jauh.

Sakit.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintai aku, Berondong!   Dua Garis Merah

    Dua minggu berlalu tanpa Tirta. Meysi mengabaikan pesan Tirta ataupun telefonnya. Bukan pertama kali kehilangan, akan tetapi Meysi merasa hampa dan sakit yang teramat sangat.Sial. Sepertinya ia benar-benar patah hati. Ya... tidak bisa dipungkiri karena berhubungan badan adalah mengikat hormon kedua manusia, dan untuk perempuan... mereka cenderung jadi ketergantungan.Pagi itu terlalu sunyi untuk sebuah rumah yang biasanya dipenuhi suara Naya bernyanyi kecil. Bahkan ketukan sendok di gelas kopi terasa seperti letusan kecil yang menggetarkan dada Meysi. Ia menatap meja makan dengan tatapan kosong, lalu pandangannya jatuh pada kalender dinding di sebelah kulkas. Saat itulah Meysi menyadari sesuatu.Delapan hari terlambat.Tangan Meysi gemetar saat meraih ponsel dan membuka aplikasi catatan siklus. Hatinya berdegup pelan tapi pasti. Ia mencoba mengingat terakhir kali ia benar-benar merasa "normal". Tidak pusing, tidak mual, tidak sesak.Tidak… terlambat. Belakangan ini Meysi tidak bisa m

  • Cintai aku, Berondong!   Serendah Itukah Janda?

    Sore menjelang malam itu, taman kecil di sudut kota menjadi saksi bisu dua dunia yang bersinggungan. Tirta berdiri di hadapan Meysi, mencoba menahan dua pria bersetelan gelap yang mendekat dengan raut tegas.“Saya gak akan pergi,” ucap Meysi pelan, tapi tegas. "Saya mau sama Tirta."Salah satu pria bertubuh kekar maju setengah langkah.“Kami hanya ingin mengantar Ibu Meysi. Tidak ada maksud buruk. Kami diutus oleh keluarga Linggabuana.”“Gue bagian dari keluarga itu, dan gue gak nyuruh,” potong Tirta, suaranya berubah dingin. "Lo semua mau dipecat?"Pria itu memandang Tirta dengan tatapan datar.“Tapi Anda juga tahu, keputusan keluarga besar bukan hanya urusan Anda seorang.”Meysi menahan napas, merasakan bagaimana situasi bisa lepas kendali dalam satu detik. Ia menarik lengan Tirta, memaksa lelaki itu mundur.“Sudah, Tirta. Aku ikut bicara. Tapi hanya bicara, ya?” Meysi menatap pria itu. “Saya akan ikut, tapi Tirta tetap di sini. Ini antara saya dan keluarga Anda.”Tirta menoleh deng

  • Cintai aku, Berondong!   Hah, Suami Orang?

    Pagi itu, suara centang dari aplikasi chatting membangunkan Meysi sebelum alarm sempat berdering. Ia meraih ponsel dengan mata setengah tertutup, lalu terdiam melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal:“Masih berani dekat-dekat sama suami orang, Bu Janda? Tidak tahu malu.”Sekujur tubuh Meysi menegang. Jantungnya berdetak tak karuan. Belum sempat ia mencerna maksud pesan itu, satu pesan lain menyusul—kali ini foto dirinya dan Tirta yang sedang tertawa bersama, diambil diam-diam dari kejauhan.Memang Tirta suami orang? Ah masa?Meysi langsung duduk. Ruangan terasa sempit, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah kamar Naya yang masih tertutup rapat. Bocah itu masih tidur, syukurlah.Tak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Kali ini panggilan dari Tirta. Meysi menghela napas. Pasti Tirta akan klarifikasi.Klarifikasi kentut!“Teh, udah bangun? Udah buka media sosial belum?” tanya Tirta dengan suara serak.“Belum. Kenapa?” tanya Meysi setengah kesal.“Nama Teteh mulai disebut-sebut di T

  • Cintai aku, Berondong!   Dunia Kita Berbeda

    Hari-hari terasa berbeda bagi Meysi semenjak Tirta ada di hidupnya.Sore itu langit menggantung abu-abu di atas atap rumah kontrakan kecil yang ditempati Meysi dan putrinya, Naya. Setelah tiga hari syuting beruntun dan revisi skrip yang tak kunjung selesai, akhirnya ia pulang lebih cepat. Jam baru menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit ketika ia membuka pintu rumah dan mencium aroma bubur ayam buatan ibunya yang menggoda.“MAAAA!” teriak Naya dari ruang tengah begitu melihat Meysi masuk. Bocah lima tahun itu berlari tanpa alas kaki, ikatan rambut yang sudah berantakan, pipi belepotan krayon warna oranye.Meysi menjatuhkan tasnya dan langsung berlutut, merentangkan tangan.“Naya sayaaang!”Anak kecil itu riang dan menyambut sang Mama. Mereka berdua berpelukan dengan erat.“Kenapa Mama lama banget sih? Aku gambar Mama di tembok sampe dua kali!” omelnya sambil memeluk leher Meysi erat-erat.“Iya, Maaf... Mama kerja, sayang.” Meysi memeluk anak itu lama sekali. Tubuh mungilnya, arom

  • Cintai aku, Berondong!   Gak Usah Kerja, Aku Aja Yang Kerja

    Pagi itu, studio stasiun televisi sedang ribut. Bukan karena masalah teknis, bukan juga karena script yang belum selesai, melainkan karena satu makhluk bernama Tirta berdiri di tengah set, memakai kimono satin emas dan sepatu boots kulit ular. Di tangannya ada cangkir teh yang entah kenapa pura-pura diseruput sambil menyanyikan lagu opening sinetron jadul, "Keluara Cemara".Ternyata selain tengil. Tirta juga gila!"Harta yang paling berharga... adalah teman kaya... mutiara tiada tara adalah... Teteh Janda~"Meysi baru masuk dan langsung berhenti di pintu, speechless. Matanya menyipit. Beberapa staff tertawa dan menyuruh Meysi mendekat pada Tirta. Dengan langkah ogah-ogahan, Meysi mendekat ke arah Tirta sambil menahan malu. Jika seperti itu, Tirta memperjelas bila keduanya ada apa-apa bukan?Meysi akhirnya berjalan mendekat. Tatapannya kesal sekali.“Lu kenapa sih? Udah gila?!”Tirta berbalik, melemparkan senyum yang sangat manis kepada Meysi.“Karena kita bakal ketemu setiap hari. Sia

  • Cintai aku, Berondong!   Berondong Gila

    Suara ketukan itu bukan ilusi. Pintu kamar masih tertutup, tapi suara berat dan tegas di baliknya sudah cukup untuk membuat jantung Meysi nyaris copot.Sial."HRD?!" Ia berbisik keras pada Tirta. "Gue bakal dipecat! Mati gue! Artis sama penyelenggara gak boleh punya hubungan!"Tirta, bukannya panik, malah menyeringai sambil menarik kaus putih yang tergulung di lantai."Kalem, Teh. Kita gak bunuh orang. Cuma... tidur sambil berhubungan intim.""TIDUR SAMBIL—lu pikir ini lelucon?!" tanya Meysi panik."Sedikit."Meysi buru-buru meraih baju, celana, apa pun yang bisa dikenakan tanpa terlihat seperti habis... ya, habis ngapa-ngapain. Tirta malah bersiul sambil berkaca di pintu lemari. Seakan tidak punya masalah.Ketukan makin keras. Meysi keluar dari toilet setelah membersihkan diri."Meysi Pitaloka, ini menyangkut etika profesional. Kami tahu Anda di dalam!" ujar orang di luar kamar semakin keras.Meysi menelan ludah. Ia hampir tidak bisa menarik napas. Dengan langkah pelan tapi tegas, ia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status