Share

Bab 3

Penulis: Shirley
Rasa tertekan menggumpal di dada. Aku tetap menunduk, berpura-pura tidak melihatnya, tetapi Alvaro tentu saja menyadarinya.

“Ayah, Ibu.” Ekspresi Alvaro serius, suaranya mengandung otoritas seorang pemimpin. “Jika kalian tidak hargai istriku lagi, jangan salahkan aku kalau balas perlakuan kalian.”

Setelah keheningan berat menyelimuti ruangan, Raden menghantam meja dengan keras, membuat aku terkejut.

“Jaga nada bicara kamu. Apa kau benar-benar akan khianati keluargamu sendiri demi wanita ini?”

Alvaro menggenggam tangan aku dengan erat, tidak memberi kesempatan untuk menarik diri, lalu menjawab dengan tenang, “Ayah, dia adalah cinta sepanjang hidup aku.”

“Menyakitinya sama saja dengan menyakiti diriku sendiri.”

“Jika ini terjadi lagi, jangan salahkan aku bila berbalik melawan kalian.”

Kemampuan sandiwaranya selalu begitu sempurna, begitu mulus. Siapa pun yang melihat adegan ini pasti mengira dia benar-benar mencintai aku.

Sayangnya, dia tidak tahu bahwa jari-jariku dingin bukan karena orang tuanya, tapi karena dia.

Alvaro berdiri di depan aku seperti pelindung yang tak tertandingi, namun bukan rasa aman yang kurasakan darinya.

Melihat suasana ketegangan di udara, Melisa segera mengubah tatapan dinginnya menjadi senyuman palsu.

“Alvaro, kau salah paham,” katanya sambil mendekat, dan hendak memeluk aku. “Bella bagi aku seperti anak sendiri.”

Aku membiarkan dia menyentuh bahu aku. Begitu kaku. Tanpa ada rasa kehangatan. “Makan malam sudah siap. Mari kita masuk.”

Di ruang makan, cahaya lampu kristal memantul lembut. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah dentingan perak dengan porselen yang jernih.

Melisa terus menimbulkan suara kecil yang mengganggu dengan peraknya, membuat genggaman aku pada garpu semakin erat.

“Bella, sayang,” ucapnya sambil memotong daging panggang. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah kamu sudah pulih dengan baik?”

Aku tahu apa yang dia maksud. Sudah enam bulan sejak kami kehilangan putri kami.

“Aku baik-baik saja, terima kasih perhatiannya.” Aku mengambil sepotong wortel.

“Baiklah.” Dia meletakkan peralatan makan. “Keluarga membutuhkan ahli waris, Bella. Kau tahu garis keturunan Keluarga Winata tidak boleh terputus.”

Genggaman Alvaro pada gelas anggurnya mengencang. “Ibu, kami baru saja kehilangan anak kami.”

“Justru karena itu.” Suara Melisa menajam. “Kalian harus segera punya anak lagi. Bella, sebagai Nyonya Pemimpin Keluarga Winata, itu tugas kamu.”

Dia berhenti sejenak. “Selain itu, kalau kau jaga putrimu lebih baik, dia tidak akan mati.”

Udara di meja makan langsung membeku. Kata-katanya menusuk hatiku seperti pisau. Tapi, sebelum aku sempat bicara, Alvaro bangkit dengan cepat, kursinya berderak keras di lantai.

“Cukup!” Suaranya berat oleh amarah yang ditahan. “Kita sedang makan. Jangan bicara omong kosong seperti itu.”

Raden terkekeh sinis. “Alvaro, kamu sebut ini omong kosong? Kau sudah hina orang tua kamu sendiri berkali-kali demi orang luar.”

“Orang luar?” Mata Alvaro terbakar dengan kemarahan. “Berapa kali aku harus bilang? Bella adalah istri aku, Nyonya Pemimpin keluarga ini!”

“Aku sudah bilang kepada kalian berdua, Bella takut sakit. Aku tidak akan membuatnya melalui itu lagi sampai aku benar-benar yakin dia sudah pulih. Jika kita tidak bisa punya anak lagi, ya sudah.”

Tangan aku gemetar, tapi aku memaksa diri untuk tetap terlihat tenang.

Lalu aku berbicara tiba-tiba, “Jangan khawatir. Kalian semua akan mendapatkan apa yang kalian inginkan segera.”

Semua langsung terdiam. Tiga pasang mata menatap aku. Alvaro menoleh padaku, tatapan matanya penuh kebingungan. “Bella?”

Aku tidak menatapnya, dan melanjutkan perkataan aku sendiri. “Aku janji.” Aku menyicip sedikit anggur merah. “Dua minggu lagi, Keluarga Winata akan memiliki ahli waris baru.”

Alvaro hendak bicara lebih banyak ketika teleponnya berdering.

Dia melihat nama penelepon, dan ekspresinya berubah.

Aku tahu siapa itu. Aku juga tahu dia akan pergi dalam tiga detik.

Tiga. Dua. Satu. Seperti yang kuduga.

Alvaro bangkit tepat waktu. “Bella, aku harus urus sesuatu terkait keluarga. Kamu di sini dan selesaikan makan malam kamu. Aku akan kembali jemput kamu nanti.”

Dia mencium dahi aku, lalu tanpa menunggu jawaban aku, mengambil jas dan pergi.

Saat pintu menutup, topeng Melisa dan Raden ikut terlepas.

“Kau boleh berhenti berpura-pura sekarang.” Melisa menertawakan dengan ejekan. “Apakah kau benar-benar bisa punya anak lagi? Atau itu hanya omong kosong lain?”

“Aku tidak punya alasan untuk berbohong pada kamu.” Aku berdiri. “Kalau tidak ada hal lain, aku pergi dulu.”

“Tunggu.” Raden menghadang jalan aku. “Bella, sebaiknya kau sadar diri.”

“Selama Alvaro tidak ada di sini, kau bukan siapa-siapa di keluarga ini,” kata Melisa sambil berdiri di depan hadapan aku. “Hanya orang luar yang menyedihkan.”

“Kalau bukan karena Alvaro melindungi kamu, kamu pikir kamu masih bisa hidup hari ini?” Suara Raden penuh dengan ancaman. “Kuburan Keluarga Winata penuh dengan wanita yang tidak tahu diri.”

Aku menahan mual dan melewati mereka.

Satu jam kemudian, sopir mengantar aku kembali ke vila.

Ketika mobil berhenti, aku membuka pintu untuk turun, dan tangan aku menyentuh sesuatu di celah kursi.

Aku menariknya keluar. Itu adalah bekas bungkusan kondom, bukan merek yang pernah kita gunakan. Artinya begitu jelas.

Lebih tepatnya, itu adalah fakta yang tidak perlu dibuktikan lagi.

Baru sekarang aku tahu Alvaro menyukai hal seperti ini.

Selama delapan tahun pernikahan kita, aku selalu yang konservatif. Tempat tidur besar di kamar utama adalah satu-satunya tempat kami bersama.

Pernah aku bertanya apakah kami sebaiknya mencoba hal baru, khawatir dia mungkin merasa bosan.

Pada waktu itu, ini jawabannya. “Sayang, jangan paksakan diri kamu sendiri untuk melakukan hal yang tidak kamu suka. Yang aku inginkan hanyalah kamu, tidak peduli di mana.”

Namun sekarang, mobil, sofa, meja makan, ruang kerja… semuanya telah menjadi medan tempur dia dengan Cindy.

Padahal dia suami aku selama delapan tahun, tapi ternyata aku tidak pernah benar-benar mengenalnya.

Sudah larut malam ketika Alvaro pulang ke rumah.

Melihat aku duduk di sofa ruang tamu, dia segera menghampiri.

“Sayang, maafkan aku.” Ia duduk di samping aku. “Aku tidak seharusnya meninggalkan kamu sendirian di sana.”

Dia menarik aku ke dalam pelukannya, memegang aku dengan erat. “Apakah orang tua aku ada bilang apa-apa?”

“Tidak apa-apa.” Suara aku hampa.

“Bella, kau tahu aku akan selalu di sisi kamu,” ucapnya sambil mencium rambut aku. “Kau orang paling penting bagi aku di dunia ini.”

Pelukannya seharusnya terasa hangat, seharusnya buat aku merasa aman.

Namun yang kurasakan hanyalah rasa dingin yang menusuk, seperti jeruji sangkar yang perlahan-lahan menutup, hampir membuat aku merasa sesak.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 22

    Alvaro berdiri dari kursinya, tubuhnya gemetar. “Kamu bunuh putri aku?”“Dia bukan putri kamu!” Cindy tertawa gila. “Melisa sudah bilang pada kamu! Dia darah Keluarga Khosasi!”“Itu bohong!” kata aku dengan nada dingin. “Isabel adalah putri Alvaro. Hasil DNA itu dipalsukan oleh Melisa.”Alvaro menatap ibunya, matanya dipenuhi dengan rasa sakit dan tidak percaya.“Ibu?”Melisa berdiri, wajahnya berubah menjadi topeng kebencian yang terdistorsi. “Iya! Semuanya aku yang lakukan! Demi keluarga! Demi diri kamu! Si jalang itu bisa menghancurkan kita!”Alvaro terjatuh ke kursi, seolah tersambar petir. “Putri aku… Isabel aku…”Dia tiba-tiba berdiri dan meraih pistol dari seorang pengawal.“Alvaro, jangan!” Cindy menjerit.DORR!Sebuah tembakan terdengar. Bunga merah muncul di dada Cindy, dan dia terkulai di genangan darah.“Kamu membunuh anak aku.” Suara Alvaro terdengar kosong seperti kematian. “Kamu bunuh putri aku.”Anggota Komisi tidak campur tangan. Ini adalah masalah internal keluarga.P

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 21

    “Tiarap!” Santo berteriak, mendorong aku ke bawah kursi.Sopir membelok setir dengan kasar, ban berdecit di atas jalanan yang basah. Sebuah sepeda motor melaju di sisi kami, menembakkan peluru ke arah mobil dengan senjata otomatis.“Berapa orang?” tanya aku.“Sedikitnya dua belas,” jawab Santo sambil mengeluarkan pistol. “Ahli profesional.”Kendaraan pengawal kita menembak balik. Malam dipenuhi dengan keributan tembakan, mesin dan ban yang berderit.“Lebih cepat!” Santo berteriak kepada sopir.Mobil melaju semakin kencang, namun para pengejar terus mendekat. Peluru menghantam ke badan mobil. Kaca belakang pecah, menyemburkan serpihan ke seluruh tubuh kami.Tiba-tiba, sebuah truk menerjang dari jalan samping dan menabrak kami secara langsung.“Pegang erat!”Dunia berputar. Suara logam terpelintir mengisi udara, memekakkan telinga. Sejenak terasa seperti melayang tanpa bobot, lalu benturan keras. Mobil terempas ke udara sebelum terjun ke sungai dengan percikan besar. Air sungai yang ding

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 20

    Pandangan Santo terpaku pada aku. Dia mengangguk sekali, begitu tenang. “Baik.”Alvaro mencoba menerjang lagi, tapi aku tidak memberinya kesempatan.Di belakang aku, aku mendengar dia mendesis pelan, “Aku akan rebut kamu kembali, Bella. Kamu milik aku.”Di dalam mobil, dada aku terasa sesak. Aroma Santo masih melekat di kulit aku, sementara suara Alvaro bergema di kepala aku seperti kutukan yang menolak padam. Aku menatap keluar jendela dan berbisik, “Santo, aku perlu waktu sendirian sebentar.”Dia tidak membantah. Tanpa berkata apapun, dia membuka pintu dan keluar. Santo selalu tahu kapan harus menjaga dan kapan harus memberiku ruang.Aku di sana cukup lama, jari-jari aku gemetar saat duduk di kursi kulit, sebelum akhirnya memberi perintah kepada sopir untuk mengantar aku pulang.“Ayah, aku ingin mengumumkan identitas aku secara publik.”Nicholas menaruh gelas wiskinya, pandangannya begitu tajam. “Apa kamu yakin? Begitu kamu melakukannya, tidak ada jalan kembali.”Aku berdiri di ruang

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 19

    Siang berikutnya adalah Lelang Seni Internasional Kota Miwarni. Awalnya aku datang untuk membeli sketsa Adriano Da Virelli, namun begitu melihatnya, semuanya seketika kehilangan arti.Dan dia tidak sendirian.Dia berdampingan dengan seorang pria. Pria itu mengenakan topeng perak.Itu Santo, si bajingan berhati dingin yang ditakuti semua orang. Dan dia memegang wanita itu.Wanita itu mengenakan setelan putih yang elegan, rambutnya diikat dengan gaya yang rapi dan modern. Wajahnya memang berubah sepenuhnya, tetapi aku tahu itu dia.“Para tamu yang terhormat, barang lelang berikutnya adalah…”Aku tidak mendengar satu kata pun dari sang juru lelang. Pandangan aku hanya tertuju padanya.Seakan merasakan tatapan aku, dia menoleh ke arah aku. Pandangan mata kami bertemu, dan senyum yang dingin menyentuh bibirnya.Aku berdiri, berjalan menghampirinya. “Bella.”“Nama aku emang Bella.” Dia mengakui dengan perasaan tenang. “Tapi aku tidak kenal kamu.”Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, l

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 18

    Seorang pria tua bertubuh gemuk mendekati kami. Aku mengenalnya sebagai pemimpin Keluarga Tengsara dari Kota Bontian."Nicholas, ini sungguh… mengejutkan," ujarnya dengan senyum tanpa ketulusan. "Tapi kami semua beranggapan bahwa anak kamu sudah meninggal.""Penampilan bisa menipu," jawab Nicholas dengan nadanya begitu halus namun terasa berbahaya."Tentu, tentu," sahut Tengsara. "Hanya saja… dia terlihat agak familier."Aku maju selangkah. "Saran aku, jangan berandai-andai mengenai urusan Keluarga Khosasi," ucap aku dengan suara yang manis, namun setajam racun. "Kamu setuju, bukan?" Senyumnya membeku seketika....Keesokan paginya, dewan keluarga berkumpul di ruang rapat bawah tanah istana.Di sekeliling meja panjang itu duduk para tangan kanan utama Keluarga Khosasi. Pria-pria tua berwajah keriput dan tatapan mata yang tajam, semuanya memandang aku dengan perasaan curiga."Jadi..." Seorang ketua muda bernama Emilo membuka pertemuan dengan nada mengejek. "Ini putri mahkota kita yang b

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 17

    (Sudut Pandang Bella)Saat aku menarik pelatuk, aliran energi menyapu seluruh tubuh aku. Namun tangan aku tetap stabil, tanpa sedikit pun bergemetar.Aku tersenyum dengan rasa puas, lalu melangkah mundur dengan tenang dari sarang penembak jitu. Jika aku ingin Cindy mati sepenuhnya, aku bisa saja menembak kepalanya. Tapi waktunya belum tiba. Kematian terlalu mudah untuknya.Aku hanya ingin dia hidup dalam kesakitan, merasakan semua yang pernah aku rasakan.Melihat Cindy memegang perutnya, berlumuran darah di hari pernikahannya sendiri, memberi sensasi bahwa keseimbangan akhirnya tercapai.“Siapa menabur angin, akan menuai badai,” bisik aku. “Sekarang kamu tahu rasanya.”Lampu kamera berkedip tanpa henti, para tamu berteriak, dunia runtuh dalam kekacauan. Dan aku? Aku merasakan kepuasan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.Identitas aku, wajah aku, seluruh hidup aku telah berubah. Diri aku yang sekarang telah lahir kembali dari abu, sepenuhnya orang yang baru.Aku menyelinap masuk k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status