Share

Bab 4

Penulis: Shirley
“Aku lelah.” Aku mendorongnya menjauh. “Aku mau istirahat.”

“Tentu saja.” Dia mencium dahi aku. “Kamu naik dulu. Aku harus telepon beberapa orang.”

Saat aku melangkah menuju tangga, aku dengar suaranya yang kecil saat berbicara di telepon dari ruang tamu.

“Iya, aku tahu kamu khawatir, tapi dia tidak akan curiga apa-apa. Dia selalu mempercayai kesetiaan aku.”

Dulu aku pasti sudah menuntut dia menggendong aku naik tangga. Kali ini, aku tidak menoleh ke belakang sama sekali dan langsung naik.

...

Keesokan paginya, ketika aku membuka pintu kamar tidur, tubuh aku langsung kaku.

Di balik suara pancuran mandi, terdengar suara seorang wanita bernyanyi pelan.

Aku mendekat tepat ketika pintu kamar mandi terbuka. Cindy berdiri di sana, mengenakan gaun sutra milik aku, dengan senyum bangga di wajahnya.

Dia sama sekali tidak terkejut. Bahkan, senyumnya semakin lebar.

“Oh, Bella! Kamu sudah pulang?” Ia mengencangkan tali gaun dengan santai, dan berjalan dengan percaya diri yang malas. “Tadi aku tidak sengaja menumpahkan anggur ke tubuh aku. Alvaro bilang aku boleh naik ke sini untuk membersihkannya.”

“Apa kamu mengenakan pakaian aku?” Aku menunjuk gaun sutra yang dia kenakan. Itu adalah model edisi terbatas dari pawai mode yang Alvaro bawa pulang untuk aku dari Paris tahun lalu.

“Oh, ini?” Dia sengaja membelai kainnya. “Alvaro bilang kamu tidak keberatan. Kita keluarga, kan?”

Dia berjalan ke meja rias dan dengan santai mulai menyempurnakan riasannya menggunakan produk milik aku.

“Apa yang terjadi sama leher kamu?” Aku menatapnya melalui cermin.

“Hanya latihan sedikit di ruang latihan. Lawan aku agak kasar.” Dia menatap aku lewat pantulan cermin, senyumnya mengandung makna tertentu. “Kamu tahu kan bagaimana beberapa pria. Mereka tidak tahu cara perlakukan wanita dengan lembut.”

Ia berbalik badan menghadap aku dan sengaja menarik kerah gaunnya lebih rendah.

Darah aku membeku.

Alvaro pernah membuat ruang latihan pribadi untuk aku di lantai bawah, di mana itu tempat dia sendiri mengajari aku menggunakan senjata keluarga. Dia bilang, sebagai Nyonya Pemimpin Keluarga Kusuma, aku harus belajar melindungi diri sendiri.

Dulu aku pergi ke ruang latihan setiap sore untuk berlatih menembak dan bela diri.

Alvaro akan berdiri di belakang aku, tangannya membimbing aku memegang pistol, napasnya yang hangat di telinga aku, suaranya rendah dan menggoda.

Tapi sejak putri kami meninggal, aku tidak pernah menjejakkan kaki ke sana lagi.

Sepertinya seseorang lain sekarang yang melakukan “latihan” itu menggantikan aku. Kesombongannya membuat aku muak. Kemarahan melonjak di dada aku saat aku menerjang Cindy.

“Lepaskan pakaian aku dan kembalikan pada aku…”

“Bella!” Suara Alvaro terdengar dari ambang pintu. “Apa yang terjadi?!”

Dia bergerak cepat masuk ke dalam ruang dan melihat kita berhadapan.

Cindy segera memasang ekspresi tersakiti. “Aku rasa Bella salah paham. Aku hanya pinjam kamar mandi.”

Aku menatap langsung ke mata Alvaro. “Aku hanya ingin tahu, apa sebenarnya yang kamu ajarkan padanya di tempat latihan?”

Alvaro mengerutkan alis. “Bella, kamu sudah lelah. Kamu perlu istirahat.” Dia mendekat dan dengan paksa menggenggam tangan aku.

“Jangan sentuh aku!” Aku berusaha melepaskan diri, tapi genggamannya terlalu kuat. Dia menyeretku menuju ke arah tangga.

“Cindy, kembali ke kamar kamu,” katanya tanpa menoleh ke belakang.

Alvaro menggendong aku naik tangga. “Sayang, kamu tegang. Tidurlah sebentar. Aku harus tangani urusan keluarga di ruang kerja, dan mungkin akan ada suara yang cukup keras.”

Ia mencium dahi aku. “Kamar utama lebih tenang. Istirahatlah.”

Aku mengangguk pelan dan menyeret tubuhku yang lelah naik.

Namun ketika sampai di ujung tangga, aku menyadari ponsel aku tertinggal di meja kopi ruang tamu. Bisa jadi ada pesan penting dari kontak pasar ilegal aku.

Aku turun tangga dengan perlahan, mencoba mengambilnya dengan diam-diam.

Lalu aku mendengar sesuatu dari ruang kerja.

Aku mendekati pintu yang sedikit terbuka. Melalui celahnya, aku melihat sesuatu yang membuat seluruh tubuh aku membeku.

Alvaro duduk di kursi kulitnya sementara Cindy berada di pangkuannya, roknya terangkat sampai pinggang. Tangan Alvaro menggenggam pinggangnya, tubuh mereka bergerak dengan ritme yang rakus.

Dia mendekati telinga Cindy, suara Cindy sendiri rendah seperti renyut kelelahan yang puas. “Latihan di ruang latihan tadi hanya buat aku menginginkan lebih banyak… Kamu bilang Bella sudah beristirahat?”

Dia bernapas berat. “Dia tidak akan turun. Aku bilang padanya aku harus mengerjakan beberapa berkas. Selain itu...” Suaranya menurun. “Jika ada orang yang berani ganggu kita, termasuk dia, aku akan tangani.”

Aku tidak bisa mendengarkan lagi. Aku menutupi telinga dan berlari ke kamar mandi, menyiram wajah aku berkali-kali dengan air dingin.

Ini musim dingin, tapi aku tidak merasakan dinginnya. Tidak ada yang lebih dingin dari hatiku sendiri.

Aku kembali ke kamar tidur dan menjongkok di belakang pintu.

Inilah cinta yang aku percaya selama delapan tahun. Cinta sejati, ternyata adalah hal yang paling tidak berharga di antara semuanya.

Selama delapan tahun itu, aku jarang masuk ke ruang kerja Alvaro, tahu bahwa dia tidak suka orang mengganggu urusan rahasia keluarga.

Tapi sekarang, dia bisa berdua telanjang dengan Cindy di sana. Lucu sekali.

Mungkin karena terlalu lelah, aku tertidur tanpa sadar, hanya terbangun oleh suara Alvaro.

Dia berkeringat, napasnya terengah-engah, seolah baru keluar dari mimpi buruk. “Bella?” Dia meraba-raba dalam kegelapan. “Apa kamu di sini?”

Aku duduk di pelukannya. “Alvaro, apa yang terjadi?”

Matanya memerah, napasnya tidak teratur. “Aku bermimpi kamu tinggalkan aku. Itu seperti neraka, Bella.”

“Tapi kamu masih di sini. Kamu masih di sini bersama aku.”

Aku menundukkan kepala, kata-kata yang ingin aku katakan tercekat di tenggorokanku. Aku tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang sandiwara. Dan aku ingin mengatakan bahwa mimpinya itu akan segera menjadi kenyataan.

Mungkin mimpi buruk itu membuat dia benar-benar takut aku pergi. Lagi pula, dia belum mendapatkan apa yang dia inginkan dari aku.

Esok paginya, Alvaro tidak mau meninggalkan sisi aku dan mengikuti aku ke mana pun.

Akhirnya, aku menemukan kesempatan ketika dia teralihkan oleh urusan keluarga dan menyelinap keluar dari vila.

Aku pergi ke sebuah bar yang gelap, di mana kontak aku sudah menunggu aku.

“Bu,” katanya dengan suara rendah, sambil mendorong amplop manila ke arah aku. “Dokumen identitas lengkap kamu. Paspor, SIM, kartu bank. Semuanya akan aktif di seluruh dunia dalam dua minggu.”

Aku mengambil amplop itu.

Tepat pada saat itu, suara yang familier terdengar dari belakangku.

“Kamu lagi buat kerja sama dengan siapa?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 22

    Alvaro berdiri dari kursinya, tubuhnya gemetar. “Kamu bunuh putri aku?”“Dia bukan putri kamu!” Cindy tertawa gila. “Melisa sudah bilang pada kamu! Dia darah Keluarga Khosasi!”“Itu bohong!” kata aku dengan nada dingin. “Isabel adalah putri Alvaro. Hasil DNA itu dipalsukan oleh Melisa.”Alvaro menatap ibunya, matanya dipenuhi dengan rasa sakit dan tidak percaya.“Ibu?”Melisa berdiri, wajahnya berubah menjadi topeng kebencian yang terdistorsi. “Iya! Semuanya aku yang lakukan! Demi keluarga! Demi diri kamu! Si jalang itu bisa menghancurkan kita!”Alvaro terjatuh ke kursi, seolah tersambar petir. “Putri aku… Isabel aku…”Dia tiba-tiba berdiri dan meraih pistol dari seorang pengawal.“Alvaro, jangan!” Cindy menjerit.DORR!Sebuah tembakan terdengar. Bunga merah muncul di dada Cindy, dan dia terkulai di genangan darah.“Kamu membunuh anak aku.” Suara Alvaro terdengar kosong seperti kematian. “Kamu bunuh putri aku.”Anggota Komisi tidak campur tangan. Ini adalah masalah internal keluarga.P

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 21

    “Tiarap!” Santo berteriak, mendorong aku ke bawah kursi.Sopir membelok setir dengan kasar, ban berdecit di atas jalanan yang basah. Sebuah sepeda motor melaju di sisi kami, menembakkan peluru ke arah mobil dengan senjata otomatis.“Berapa orang?” tanya aku.“Sedikitnya dua belas,” jawab Santo sambil mengeluarkan pistol. “Ahli profesional.”Kendaraan pengawal kita menembak balik. Malam dipenuhi dengan keributan tembakan, mesin dan ban yang berderit.“Lebih cepat!” Santo berteriak kepada sopir.Mobil melaju semakin kencang, namun para pengejar terus mendekat. Peluru menghantam ke badan mobil. Kaca belakang pecah, menyemburkan serpihan ke seluruh tubuh kami.Tiba-tiba, sebuah truk menerjang dari jalan samping dan menabrak kami secara langsung.“Pegang erat!”Dunia berputar. Suara logam terpelintir mengisi udara, memekakkan telinga. Sejenak terasa seperti melayang tanpa bobot, lalu benturan keras. Mobil terempas ke udara sebelum terjun ke sungai dengan percikan besar. Air sungai yang ding

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 20

    Pandangan Santo terpaku pada aku. Dia mengangguk sekali, begitu tenang. “Baik.”Alvaro mencoba menerjang lagi, tapi aku tidak memberinya kesempatan.Di belakang aku, aku mendengar dia mendesis pelan, “Aku akan rebut kamu kembali, Bella. Kamu milik aku.”Di dalam mobil, dada aku terasa sesak. Aroma Santo masih melekat di kulit aku, sementara suara Alvaro bergema di kepala aku seperti kutukan yang menolak padam. Aku menatap keluar jendela dan berbisik, “Santo, aku perlu waktu sendirian sebentar.”Dia tidak membantah. Tanpa berkata apapun, dia membuka pintu dan keluar. Santo selalu tahu kapan harus menjaga dan kapan harus memberiku ruang.Aku di sana cukup lama, jari-jari aku gemetar saat duduk di kursi kulit, sebelum akhirnya memberi perintah kepada sopir untuk mengantar aku pulang.“Ayah, aku ingin mengumumkan identitas aku secara publik.”Nicholas menaruh gelas wiskinya, pandangannya begitu tajam. “Apa kamu yakin? Begitu kamu melakukannya, tidak ada jalan kembali.”Aku berdiri di ruang

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 19

    Siang berikutnya adalah Lelang Seni Internasional Kota Miwarni. Awalnya aku datang untuk membeli sketsa Adriano Da Virelli, namun begitu melihatnya, semuanya seketika kehilangan arti.Dan dia tidak sendirian.Dia berdampingan dengan seorang pria. Pria itu mengenakan topeng perak.Itu Santo, si bajingan berhati dingin yang ditakuti semua orang. Dan dia memegang wanita itu.Wanita itu mengenakan setelan putih yang elegan, rambutnya diikat dengan gaya yang rapi dan modern. Wajahnya memang berubah sepenuhnya, tetapi aku tahu itu dia.“Para tamu yang terhormat, barang lelang berikutnya adalah…”Aku tidak mendengar satu kata pun dari sang juru lelang. Pandangan aku hanya tertuju padanya.Seakan merasakan tatapan aku, dia menoleh ke arah aku. Pandangan mata kami bertemu, dan senyum yang dingin menyentuh bibirnya.Aku berdiri, berjalan menghampirinya. “Bella.”“Nama aku emang Bella.” Dia mengakui dengan perasaan tenang. “Tapi aku tidak kenal kamu.”Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, l

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 18

    Seorang pria tua bertubuh gemuk mendekati kami. Aku mengenalnya sebagai pemimpin Keluarga Tengsara dari Kota Bontian."Nicholas, ini sungguh… mengejutkan," ujarnya dengan senyum tanpa ketulusan. "Tapi kami semua beranggapan bahwa anak kamu sudah meninggal.""Penampilan bisa menipu," jawab Nicholas dengan nadanya begitu halus namun terasa berbahaya."Tentu, tentu," sahut Tengsara. "Hanya saja… dia terlihat agak familier."Aku maju selangkah. "Saran aku, jangan berandai-andai mengenai urusan Keluarga Khosasi," ucap aku dengan suara yang manis, namun setajam racun. "Kamu setuju, bukan?" Senyumnya membeku seketika....Keesokan paginya, dewan keluarga berkumpul di ruang rapat bawah tanah istana.Di sekeliling meja panjang itu duduk para tangan kanan utama Keluarga Khosasi. Pria-pria tua berwajah keriput dan tatapan mata yang tajam, semuanya memandang aku dengan perasaan curiga."Jadi..." Seorang ketua muda bernama Emilo membuka pertemuan dengan nada mengejek. "Ini putri mahkota kita yang b

  • Cintaku Bagai Layangan Putus   Bab 17

    (Sudut Pandang Bella)Saat aku menarik pelatuk, aliran energi menyapu seluruh tubuh aku. Namun tangan aku tetap stabil, tanpa sedikit pun bergemetar.Aku tersenyum dengan rasa puas, lalu melangkah mundur dengan tenang dari sarang penembak jitu. Jika aku ingin Cindy mati sepenuhnya, aku bisa saja menembak kepalanya. Tapi waktunya belum tiba. Kematian terlalu mudah untuknya.Aku hanya ingin dia hidup dalam kesakitan, merasakan semua yang pernah aku rasakan.Melihat Cindy memegang perutnya, berlumuran darah di hari pernikahannya sendiri, memberi sensasi bahwa keseimbangan akhirnya tercapai.“Siapa menabur angin, akan menuai badai,” bisik aku. “Sekarang kamu tahu rasanya.”Lampu kamera berkedip tanpa henti, para tamu berteriak, dunia runtuh dalam kekacauan. Dan aku? Aku merasakan kepuasan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.Identitas aku, wajah aku, seluruh hidup aku telah berubah. Diri aku yang sekarang telah lahir kembali dari abu, sepenuhnya orang yang baru.Aku menyelinap masuk k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status