Langkah Binar terasa ragu saat memasuki lobi hotel itu. Deretan lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya yang berkilau di lantai marmer. Ia menatap sekeliling, mencoba menenangkan diri. Rasanya ia tak pantas berada di sini. Bertahun-tahun ia lebih sering berlari dalam kesibukan kerja, menyembunyikan diri dari sorot mata orang-orang yang selalu menghakimi.
Hari ini berbeda. Seorang teman lama memaksanya hadir dalam acara reuni kampus. “Sekalian refreshing, Bin. Kamu nggak bisa terus-terusan sembunyi,” begitu kata temannya. Akhirnya, dengan setengah hati, ia datang. Tawanya terdengar kaku ketika menyapa beberapa wajah familiar. Orang-orang terlihat bahagia, sibuk menceritakan pencapaian hidup mereka. Sementara ia… hanya tersenyum seperlunya. Dahulu, di Kampus Binar termasuk Mahasiswi populer, selain karena paras cantiknya, dia juga dikenal sebagai Mahasiswi beasiswa yang cerdas dan seorang aktivis yang hampir diketahui seantero warga Kampus. Kesalahannya hanya satu, yaitu menikah muda pada saat masih kuliah. Di tengah popularitas yang sedang harum-harumnya, Binar memutuskan untuk menikahi Aldy, seorang pewaris restoran ternama di Kota. Ketika kabar perceraiannya diketahui orang lain, terutama teman kampusnya, tentu menjadi bahan perbincangan hangat tentang alasan akhirnya Binar memilih menjadi janda daripada melanjutkan pernikahannya dengan Aldy. Padahal dalam pandangan mereka, Binar sudah hidup enak dan nyaman karena Aldy adalah orang berada. Tapi, pada kenyataannya hidup tidak seindah yang terlihat mata awam. Jangankan untuk berfoya-foya, untuk menghidupi diri sendiripun, Binar harus bekerja banting tulang sampai merelakan masa emas pertumbuhan anak-anaknya. Di tengah ketakutannya akan banyak diinterogasi tentang kehidupan pribadinya, pandangannya berhenti pada satu sosok. Di seberang ruangan, berdiri seorang pria dengan postur tegap, wajah yang lebih matang, namun mata yang masih sama, mata yang dulu pernah begitu ia kenal. Dadanya sontak bergetar. Muhammad Fady Firdaus. Waktu seakan berhenti sesaat. Binar refleks menunduk, seolah bisa menyembunyikan degup jantungnya yang tak karuan. Ia berpura-pura sibuk dengan ponselnya, berharap Fady tak melihat. Namun, doa itu tak terkabul. Saat ia mengangkat wajah, tatapan mereka bertemu. Ada jeda aneh di sana. Antara kaget, canggung, dan entah mengapa… hangat. “Binar?” suara itu berat, lebih dewasa dari yang ia ingat. Binar menarik napas. Senyum kecil terbit di bibirnya. “Hai, Dy.” Nama panggilan itu meluncur begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Fady tersenyum tipis, senyum yang membuat kenangan lama tiba-tiba menyerbu tanpa permisi. Percakapan mereka singkat, penuh jeda. Sesekali ada tawa kecil, meski keduanya tahu, terlalu banyak hal yang belum diucapkan. Terlalu banyak alasan yang dulu membuat mereka berpisah jalan. Saat acara bergeser lebih santai, mereka memilih berdiri agak menyepi. “Kerja di mana sekarang?” tanya Fady, mencoba membuka obrolan ringan. “Aku sekarang di perusahaan konsultan. Lumayan sibuk,” jawab Binar sambil tersenyum samar. “Kadang sampai lupa waktu.” Fady mengangguk pelan. “Kamu memang selalu ambisius sejak kuliah. Tapi aku tahu, kamu kerja keras bukan cuma buat dirimu sendiri.” Kata-kata itu membuat dada Binar sesak. Ia menahan diri untuk tidak menampakkan luka yang masih menganga tentang masa lalu, tentang alasan kenapa ia harus bekerja mati-matian. Bukan waktunya membongkar semua itu. “Dan kamu sendiri, Dy?” Binar cepat-cepat mengalihkan topik. Fady tersenyum, matanya menatap jauh. “Masih di dunia properti. Nggak banyak berubah. Tapi… hidup ternyata bisa berubah banyak, ya.” Binar hanya bisa mengangguk. Ada hal-hal yang terlalu berat untuk dijelaskan dalam percakapan singkat. Saat acara usai, Fady menahan langkahnya. "Kita… masih bisa saling kabar, kan?” tanyanya hati-hati. Binar terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Dan entah kenapa, ia pulang malam itu dengan hati yang berdebar seolah pintu lama yang sudah ia kunci rapat, tiba-tiba terbuka kembali. Di perjalanan pulang, layar ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk. Fady: Senang ketemu kamu lagi, Bin. Hati-hati di jalan. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Binar tersenyum tanpa merasa bersalah. Di dalam kamar apartemennya yang sunyi, Binar menatap layar ponselnya. Pesan dari Fady masih terpampang jelas. Hanya kalimat sederhana, tapi hatinya terasa penuh. Ia menaruh ponsel itu di meja, lalu merebahkan diri. Matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya berlarian ke mana-mana. Kenapa harus bertemu lagi sekarang? batinnya berbisik. Ia sudah cukup lelah dengan semua yang terjadi: pernikahan yang hancur, anak-anak yang menjauh, stigma yang menempel erat di pundaknya sebagai seorang janda. Ia berusaha keras untuk tetap berdiri, untuk tetap terlihat kuat. Namun tatapan Fady tadi… tatapan yang dulu pernah membuatnya percaya bahwa cinta bisa menyembuhkan. Tatapan yang kini kembali mengguncang tembok pertahanan yang selama ini ia bangun. Binar menutup mata, menarik napas panjang. “Aku nggak boleh goyah,” gumamnya pelan. Tapi entah kenapa, senyum Fady terus saja muncul dalam kepalanya. Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Binar merasakan debaran yang ia kira sudah mati bersama masa lalu.Setelah percakapan panjang, Binar bangkit dari sofa. Ia mengambil selimut dan bantal dari lemari kecil di kamar, lalu kembali ke ruang tamu. “Nih, selimut sama bantal buat kamu. Sofanya lumayan empuk kok,” ucap Binar sambil meletakkannya di sofa. Fady tersenyum, meski matanya masih menyimpan sisa kecanggungan. “Makasih, Bin. Serius, aku udah ngerepotin banget malam ini. “Ga repot, Dy seriuuus. Kalo repot aku suruh kamu pulang sekarang juga." Binar terkekeh sambil merapikan selimut. Fady memperhatikan gerakannya, lalu tiba-tiba menarik ujung selimut itu, membuat Binar menoleh. “Apa lagi, Dy?” tanyanya setengah protes. Fady menatapnya lembut. “Makasih ya, Bin." Binar berdehem kecil. “Iyaa udah ah, istirahat. Besok kan mau cari sarapan bareng katanya.” Fady mengangguk, tapi sebelum Binar melangkah ke kamar, ia bersuara lagi. “Bin.” Binar menoleh. “Hmm?” “Good night.” Tatapan Fady lembut, senyumnya tipis tapi penuh arti. Binar mengangguk pelan, lalu membalas dengan
Udara di dalam Apartemen dingin, tapi tidak dengan suhu tubuh Binar dan Fady. Setelah ciuman singkat itu, Binar buru-buru menarik napas, wajahnya semakin panas. Ia bersandar ke sofa, berusaha menenangkan diri, sementara Fady masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara hujan deras yang jadi latar, menciptakan suasana hangat sekaligus menegangkan. Fady akhirnya berani mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Binar yang masih memerah. “Aku suka banget liat kamu kayak gini, Bin. Natural… polos… dan bikin aku ga mau lepas.” Binar menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum gugup. “Dy, jangan ngomong gitu ah…” “Kenapa? Malu?” Fady terkekeh pelan, lalu meraih tangan Binar dan menaruhnya di dadanya sendiri. “Coba rasain, ini jantung aku. Kenceng banget, kan? Gara-gara kamu.” Binar spontan tertawa kecil, tapi suaranya gemetar. “Dy… kamu tuh…” Fady mendekat lagi, kali ini tidak terburu-buru. Ia hanya bersandar di dekat Bi
Setelah selesai makan malam di warung tenda, Binar dan Fady melanjutkan perjalanan pulang. Malam itu jalanan terlihat lengang, hanya lampu jalan dan cahaya toko yang sudah mulai meredup. Angin malam terasa sejuk, tapi suasana di antara mereka terasa hangat. Binar duduk di jok belakang, tangannya secara refleks memegang jaket Fady. Sesekali ia tersenyum sendiri, teringat kembali perbincangan tadi tentang nasi goreng Horizon. Sementara itu, Fady tak bisa menghapus senyum tipis dari wajahnya. Ada sesuatu di udara malam itu, sebuah kedekatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Namun, baru beberapa ratus meter menjelang apartemen Binar, rintik hujan mulai turun. Mula-mula hanya titik-titik kecil, lalu semakin deras hingga membasahi pakaian mereka. “Dy, basah semua nih!” seru Binar setengah berteriak melawan suara hujan. “Aku tahu, Bin. Tapi kalau berhenti juga tanggung, bentar lagi sampai,” balas Fady, berusaha fokus di jalan yang mulai licin. Hujan semakin deras, membuat jak
Hari itu langit sore berwarna jingga pucat ketika Binar keluar dari kantornya. Udara Jakarta yang padat dan berisik terasa sedikit lebih ringan ketika ponselnya bergetar. Fady: Udah pulang kerja? Aku lagi di sekitar kantor kamu, kalau mau aku anter pulang. Binar tersenyum kecil. Tawaran sederhana, tapi entah kenapa membuat hatinya hangat. Ia mengetik cepat. Binar: Boleh, kebetulan lagi ga bawa mobil, lagi males macet-macetan. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung. Fady melambai dari balik kemudi. Senyumnya, masih sama seperti dulu menenangkan sekaligus membuat jantung Binar sedikit berdebar. Di dalam mobil, suasana awalnya canggung. Hanya suara radio yang mengisi keheningan, lagu lama yang entah kenapa terasa pas dengan keadaan mereka. “Inget lagu ini ngga?” tanya Fady akhirnya, sambil melirik sekilas. Binar mengangguk. “Inget dong, aku sering sharing playlist aku sama kamu kan.” Mereka tertawa kecil bersama. Perlahan, canggung itu me
Notif pesan masuk di ponselnya membuat Binar berhenti sejenak dari layar laptop. Nama yang muncul di layar membuatnya menghela napas, setengah kaget, setengah… entah apa. Fady: Bin, kamu lagi sibuk ngga akhir pekan? Alis Binar terangkat. Ia sempat menatap lama pesan singkat itu, jari-jarinya menggantung di atas keyboard. Rasanya aneh membaca pesan dari seseorang yang dulu pernah begitu dekat, lalu hilang, lalu muncul kembali seakan waktu tak benar-benar memisahkan. Binar: Sibuk sih ngga… kenapa emang? Balasannya hanya butuh beberapa detik. Fady: Mau ngopi ngga? Ada Kafe baru di deket daerah Kampus, katanya Kopi Lattenya enak. Binar tersenyum kecil. Ajakan ngopi. Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat hatinya berdebar. Ia mengetik pelan, mencoba terdengar santai. Binar: Hmm… boleh. Cuma ngopi kaaaan? Fady: Haha iyaa cuma ngopi. Tapi, kalo sambil sesi konsultasi asmara boleh kan? Binar : Haha kalo itu kamu salah alamat, Fady. Aku konsultan Periklanan
Langkah Binar terasa ragu saat memasuki lobi hotel itu. Deretan lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya yang berkilau di lantai marmer. Ia menatap sekeliling, mencoba menenangkan diri. Rasanya ia tak pantas berada di sini. Bertahun-tahun ia lebih sering berlari dalam kesibukan kerja, menyembunyikan diri dari sorot mata orang-orang yang selalu menghakimi. Hari ini berbeda. Seorang teman lama memaksanya hadir dalam acara reuni kampus. “Sekalian refreshing, Bin. Kamu nggak bisa terus-terusan sembunyi,” begitu kata temannya. Akhirnya, dengan setengah hati, ia datang. Tawanya terdengar kaku ketika menyapa beberapa wajah familiar. Orang-orang terlihat bahagia, sibuk menceritakan pencapaian hidup mereka. Sementara ia… hanya tersenyum seperlunya. Dahulu, di Kampus Binar termasuk Mahasiswi populer, selain karena paras cantiknya, dia juga dikenal sebagai Mahasiswi beasiswa yang cerdas dan seorang aktivis yang hampir diketahui seantero warga Kampus. Kesalahan