Kedua orang itu naik ke mobil.Zoya duduk di kursi penumpang depan, sementara Tamara duduk di belakang. Mobil pun dinyalakan."Ke mal yang mana?" tanya Zayn kepada adiknya.Zoya menyebutkan nama mal, lalu Zayn langsung membuka aplikasi navigasi.Di kursi belakang, Tamara menggigit pelan bibir bawahnya, memikirkan ucapan Zayn tadi.Zayn tidak mau uang makan, malah ingin dibayar dengan masakan buatannya. Biaya untuk masak sekali makan itu sangat murah. Kalaupun pakai daging sapi atau iga, totalnya hanya ratusan ribu. Sedangkan makanan hari ini ....Kalau dihitung-hitung, berarti dia harus masak ....Tamara mulai berhitung dalam hati, memperkirakan harga bahan makanan dan berapa kali dia harus memasak untuk Zayn.Hari biasa dia harus bekerja. Kalau masaknya malam, tidak sempat dikirim. Zayn hanya ada di kantor saat lembur di hari Sabtu, sisanya dia makan di rumah. Jadi, seminggu hanya sehari.Jika hari itu dia masak dua kali, makan siang dan malam, berarti dia harus masak untuk Zayn selam
"Tapi, ini 'kan aku yang traktir ...," kata Tamara."Kamu yang traktir, aku yang bayar. Dua hal ini nggak bertentangan," jawab Zayn sambil menatapnya.Tamara pun heran. Hah? Bisa begitu? Kalau begitu, apa bedanya dengan dia tidak mengundang Zayn untuk makan?"Aku rasa ...." Tamara masih ingin berbicara, tetapi Zoya yang ada di samping sudah menggandeng lengannya lebih dulu dan membawanya pergi sambil berkata, "Ayo, Rara. Aku ingin beli tas, temani aku belanja ya."Tamara ditarik pergi, tetapi masih sempat menoleh ke arah Zayn. Kalimatnya tadi belum selesai.Zayn mengikuti di belakang mereka dengan tangan di saku. Ketiganya berjalan menuju lift, lalu naik ke parkiran basemen.Di dalam lift, akhirnya Tamara mendapat kesempatan untuk berbicara. Dia menoleh ke Zayn, ingin membuka suara, tetapi lagi-lagi Zoya memotong lebih dulu, "Kamu sudah ajak makan, jangan terus bahas soal itu.""Tapi aku belum bayar ...," sahut Tamara."Nggak masalah, yang penting kamu sudah ajak. Soal siapa yang bayar
Dua puluh menit kembali berlalu, makan siang itu akhirnya selesai juga. Setelah ketiganya berdiri, Tamara menekan bel dan hendak memanggil pelayan untuk membayar tagihan."Biar aku saja," kata Zoya sambil menghalangi sahabatnya yang hendak maju."Mana boleh begitu, hari ini aku yang traktir makan," kata Tamara."Tapi, tujuan utamamu itu traktir kakakku, hari ini dia juga sudah makan. Kalau kamu nggak mau utang aku, lain kali traktir aku saja," kata Zoya.Jika hanya makan pesanan tadi, Zoya akan membiarkan Rara yang bayar. Namun, kakaknya malah memesan tiga gelas minuman yang sangat mahal saat dia pergi ke toilet. Karena kakaknya tidak sungkan dan manfaatkan sahabatnya untuk makan gratis, sehingga dia mana mungkin membiarkan Tamara yang membayar tagihannya.Saat ini, pelayan masuk ke dalam ruangan pribadi, tetapi dia tidak membawa mesin pembayaran. Hanya saja, Zoya dan Tamara sedang sibuk berdebat, sehingga tidak menyadari detail itu.Tamara melihat pelayannya sudah datang, tetapi Zoya
Bagaimanapun juga, Tamara merasa sifat kedua pria ini benar-benar mirip dan kompak dalam hal buruk.Setelah melihat ekspresi Tamara yang sedang berbicara, Zayn yang duduk di seberang meja pun menganggukkan kepala dan melanjutkan makannya.Tamara juga ikut menganggukkan kepalanya.Waktu terus berjalan detik demi detik, tetapi kali ini yang merasa canggung adalah Zayn sendiri dan bukannya Tamara lagi. Dia sangat puas dengan jawaban Tamara untuk pertanyaannya tadi, tetapi entah mengapa dia tetap merasa aneh. Seolah-olah tadi dia sengaja membuktikan sesuatu, padahal Tamara tidak memedulikannya. Namun, dia tetap menegaskan lagi, sehingga terkesan kekanak-kanakan.Selain itu, Zayn khawatir jika Tamara malah berpikir mengapa Alex bisa berkata seperti itu, lalu muncul pemikiran hal ini tidak mungkin tanpa alasan dan mengaitkan semuanya dengan dirinya.Zayn kembali mengangkat kepalanya dan berniat menegaskannya sekali lagi, tetapi pada akhirnya mengurungkan kembali niatnya. Mengingat Tamara sud
"Kamu boleh seperti Zoya, bicara dengan santai, bebas, dan nggak perlu terus menahan diri. Nggak perlu selalu hati-hati," kata Zayn sambil menatap Tamara.Tamara mengedipkan matanya saat mendengar dia boleh berinteraksi dengan Zayn seperti saudara kandung, sama seperti Zoya. Ini sama seperti ucapan Zayn sepuluh menit yang lalu, yang berkata menganggapnya seperti adik kandung.Namun, Tamara juga bukan tipe orang yang mudah terbawa suasana dan menanggapi basa-basi dengan serius. Jika dia sampai menanggapi ucapan Zayn dengan serius, berarti dia tidak memiliki kecerdasan emosional."Kamu dengar apa yang aku katakan tadi?" tanya Zayn lagi saat melihat Tamara tidak menanggapi perkataannya."Rara, sekarang kakakku sendiri yang sudah bilang, jadi kelak kamu nggak perlu segan padanya lagi. Kalau dia berani menggodamu, langsung marahi saja," tambah Zoya.Zayn diam-diam menoleh ke arah Zoya.Mendengar ucapan keduanya, Tamara pun menganggukkan kepala. Namun, itu tentu saja hanya formalitas, dia ti
Tamara tidak berani membiarkan ponsel Zayn terkena sedikit pun sidik jarinya karena dia khawatir Zayn juga termasuk orang yang memiliki misofobia yang sangat parah. Lagi pula, dia merasa ini hanya sebuah bentuk tindakan sopan yang menunjukkan dia tahu batasan. Namun, entah mengapa tindakan ini malah disalahartikan."Kalau nggak terjadi sesuatu yang khusus, kenapa aku harus jijik padamu?" kata Zayn. Dia merasa semua ini hanya alasan Tamara saja. Sungguh menyebalkan. Apa tubuhnya bau karena belum mandi atau terlihat menjijikkan karena dekil?"Soalnya ada orang yang misofobia, jadi nggak suka barangnya disentuh orang lain," jawab Tamara."Kamu bahkan nggak tanya dulu, kenapa kamu bisa tahu aku punya misofobia?" tanya Zayn balik. Dia ingin lihat bagaimana Tamara menjelaskannya. Apa pun alasan Tamara hari ini, tetap saja itu karena Tamara jijik padanya."Masalahnya, aku nggak mungkin langsung tanya soal ini, 'kan? Terkesan nggak sopan. Jadi, aku lebih baik memilih menghindari kemungkinan te