Lampu tengah masih menyala ketika Sebastian membuka pintu mansion menjelang pukul sembilan malam. Jasnya sudah dilipat di lengan, dasi dilonggarkan, dan langkahnya terdengar berat menyusuri lorong yang sepi.“Selamat malam, Tuan Dellier,” sapa salah satu pelayan.Sebastian hanya mengangguk dan terus berjalan menaiki tangga. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar utama. Ia mengetuk pelan sekali, lalu mendorong pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban.Sienna sedang duduk di sofa dekat jendela, mengenakan baju tidur tipis dan celana panjang berbahan satin. Rambutnya digelung sembarangan, dan wajah polosnya tampak cantik menawan. Namun tatapannya tajam saat menoleh ke arah Sebastian.“Kau belum tidur?” tanya Sebastian datar.“Aku tak terlalu lelah.” Sienna mengalihkan pandangan kembali ke luar jendela. “Atau mungkin pikiranku terlalu ramai untuk bisa tidur.”Sebastian memandangi istrinya sejenak, sebelum meletakkan jas di sandaran sofa dan berjalan ke minibar kecil di sudut kamar. Ia men
Langit New York sore itu cerah. Roda jet pribadi mendarat mulus di landasan pribadi milik keluarga Dellier pukul dua siang tepat.Begitu pintu kabin terbuka, Sebastian langsung turun lebih dulu. Ia menoleh sebentar pada Sienna yang masih berdiri di ambang pintu pesawat.“Brandon akan mengantar kau pulang,” ujarnya singkat. “Aku harus langsung ke kantor. Ada rapat dewan jam tiga.”Sienna mengangguk kecil.Brandon membuka pintu belakang Rolls Royce hitam yang telah menunggu di bawah tangga pesawat. Sienna masuk tanpa berkata apa-apa. Perjalanan menuju mansion Dellier memakan waktu sekitar satu jam, dan sepanjang jalan Sienna hanya diam menatap keluar jendela.Begitu mobil berhasil tiba dan melewati gerbang besi tinggi yang dihiasi emblem ‘D’ itu, Sienna merasa semakin kehilangan minat. Mansion ini seperti penjara mewah yang akan menawannya.Setibanya di depan pintu utama mansion, seorang pelayan muda bergegas membukakan pintu dan menyambut Sienna dengan gugup.“Selamat datang kembali, N
Sienna mengerjap pelan, masih berusaha memahami fakta bahwa ia kini duduk di pangkuan Sebastian Dellier. Di dalam mobil. Di Dubai. Dengan Brandon yang duduk di depan, pura-pura tidak mendengar apa pun.“Kau tidak serius, kan?” gumam Sienna pelan.Sebastian menatapnya tanpa berkedip. “Aku sangat serius. Duduklah diam. Mobil ini bukan tempat aman untuk memberontak.”“Aku bisa duduk sendiri. Ini bukan abad pertengahan,” balas Sienna, suaranya ketus, matanya menantang.Sebastian hanya mengangkat satu alis. “Kalau begitu, kenapa tidak turun saja dan pulang jalan kaki?”Kalimat itu seperti tantangan yang dilempar begitu saja. Ringan, sinis, dan penuh kesombongan. Tapi alih-alih marah, Sienna justru tersenyum tipis. “Brandon,” kata Sienna tanpa menoleh, “Bisa menepi sebentar?”Brandon menatap Sebastian lewat kaca spion, meminta konfirmasi.Sebastian mengangguk pelan meski matanya masih menatap istrinya.“Berhenti saja. Mari kita beri Nyonya Dellier kebebasan memilih jalannya sendiri.”Mobil
Mereka melanjutkan makan malam dalam diam yang terasa berat. Sienna tampak berpikir keras. Pisau dan garpunya bergerak pelan, tapi pikirannya tidak benar-benar ada di meja makan.Ia mencuri pandang ke arah Sebastian. Pria itu duduk tenang seolah tak terjadi apa-apa, padahal rahangnya menegang dan mata birunya masih menyimpan amarah tak terucap.‘Cemburukah dia?’ Pertanyaan itu terlintas begitu saja di benak Sienna. Tapi ia segera menepisnya.Sebastian Dellier tidak mungkin cemburu. Ia bukan tipe pria yang membiarkan perasaan seperti itu menguasainya. Ia terlalu tenang, terlalu rasional, atau justru terlalu terlatih dalam menyembunyikannya?Atau…Mungkin ini bukan soal cemburu. Mungkin ia hanya tidak suka seseorang menyentuh sesuatu yang dianggapnya miliknya.Sienna terdiam.Miliknya?Pikirannya tersentak sendiri.‘Apakah aku… miliknya?’Wajah Sienna menegang pelan, dan napasnya seolah tercekat di tenggorokan. Pikiran itu terasa asing, tapi ia tidak bisa mengabaikannya. Bukan hanya kar
Sienna menahan napas, tubuhnya menegang sejenak. Ia bisa merasakan senyum nakal pria itu bahkan tanpa harus melihat wajahnya.Akhirnya, Sienna menoleh perlahan, menatap Sebastian dengan penuh tanya dan sedikit gugup. “Kau… apa?” tanyanya berbisik.Sebastian menarik diri sedikit, matanya menyapu bibir ranum Sienna sebelum kembali terkunci pada matanya.“Aku…” bisiknya pelan, “...adalah hidangan utamanya.”Pikiran Sienna langsung keruh. Ia tak bisa berpikir jernih. Sejak kemarin, Sebastian senang sekali mengacaukan pikirannya. Dan sekarang, pria itu terang-terangan menggodanya.“Aku hanya menuruti permainanmu,” balas Sienna, mencoba tenang meski jantungnya berdetak cepat.“Dan kau akan menyelesaikannya,” gumam Sebastian.Tanpa peringatan, bibir pria itu melumat bibir Sienna dalam ciuman yang dalam dan menuntut. Tidak seperti ciuman semalam. Ciuman kali ini lebih intens dan lebih dalam.Sienna ingin menolak, ingin berkata bahwa ini terlalu cepat, tapi tubuhnya sudah lebih dulu menyerah.
Pagi menjelang siang, Sebastian membawa Sienna ke dermaga. Ia tidak menjelaskan apa pun, hanya menggenggam tangan sang istri erat dan menuntunnya menaiki speedboat pribadi. Laut membentang biru di bawah langit cerah.“Kau menculikku?” tanya Sienna dengan senyum geli tertahan.Sebastian mengangkat alis. “Aku memperbaiki mood-mu setelah semalam.”Perjalanan laut hanya memakan waktu sekitar empat puluh menit. Mereka akhirnya tiba di sebuah teluk kecil tersembunyi, dikelilingi tebing batu pasir dan pohon palem liar. Tak ada siapa pun selain mereka.Sienna melangkah ke tenda. Di sana sudah tersedia makanan ringan, dua kursi pantai, dan selimut tebal yang digelar di atas pasir.“Jadi kau menyembunyikan ini sejak kemarin?”Sebastian menoleh. “Beberapa kejutan memang lebih baik dibiarkan untuk waktu yang tepat.”Sienna melepas sandal dan membiarkan kakinya menyentuh pasir yang hangat. Suasana di sekitar begitu tenang. Hanya suara ombak, camar, dan detak jantungnya sendiri yang begitu damai.“