Sienna menelan ludah. Namun, ia berusaha berontak. Ia menarik tangannya, berusaha melepaskan diri dari rangkulan yang seolah dibuat dari baja.
“Lepaskan aku! Apa kau sudah gila?! Kita hanya satu malam! Itu tidak berarti apa-apa!” Sienna hampir kehabisan napas karena emosi dan upayanya melepaskan diri.
Namun pria itu tidak bergeming. Kepalanya bersandar santai di sandaran kursi, sementara tangannya tetap melingkar kokoh di tubuh Sienna. Ia bahkan tampak menikmati setiap detik kekacauan yang ditimbulkan.
“Kau benar-benar tidak waras,” geram Sienna, kemudian membuang muka untuk menghindari tatapan pria itu. “Hanya karena satu malam, kau pikir aku akan hamil? Apa kau dengar ucapanmu barusan?”
Masih tak ada respons. Seolah semua yang ia katakan hanya angin lalu.
“Apa kau dengar aku?!” Sienna kembali bersuara, lebih nyaring kali ini. “Kau tidak tahu apa-apa tentang aku! Kita bahkan belum pernah bertukar nama secara benar! Jadi apa maksudmu menyebut dirimu suamiku?!”
Pria itu hanya mendengus pelan, seulas senyum tersungging di sudut bibirnya. Namun matanya—mata yang sejak awal menolak menunjukkan kelembutan—menatap Sienna dengan lekat.
“Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu?” kata pria itu. “Aku tahu lebih banyak dari yang kau bayangkan, Sienna Hart.”
Sienna terdiam sesaat, ketakutan muncul di balik amarah yang meluap. “A-Apa maksudmu…?”
Pria itu menurunkan wajahnya hingga napasnya menyentuh pipi Sienna. “Aku tahu kau seorang desainer muda yang sedang naik daun. Aku tahu keluargamu mencoba menjualmu demi menyelamatkan bisnis mereka. Dan aku tahu malam itu, kau datang padaku bukan hanya karena alkohol.”
Wajah Sienna memucat. “Diam.” Suaranya rendah. “Kau tidak tahu apa-apa.”
Pria itu mengangkat alis. “Buktikan.”
“Lepaskan aku dulu!” Sienna mencoba lagi, tapi cengkeraman itu justru makin erat.
“Aku tidak butuh bukti. Tubuhmu sudah memberikannya malam itu. Dan jika semesta berpihak padaku…” Pria itu menyentuh perut Sienna dengan ringan. “Cepat atau lambat kau akan mengandung anakku.”
Sienna menepis tangan pria itu dengan kasar. “Kau tidak akan pernah tahu. Bahkan kalau aku hamil sekalipun, kau tidak akan pernah menjadi bagian dari hidupku.”
Ia menoleh ke luar jendela, menolak menunjukkan air mata yang mulai menggenang.
“Kau akan berubah pikiran,” bisik pria itu di telinga Sienna.
Mobil terus melaju, membawa mereka menuju tempat yang Sienna tidak tahu—dan mungkin, tidak ingin tahu.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah mansion mewah milik pria itu. Nama Sebastian Dellier akhirnya terucap dari mulut petugas keamanan, sesaat sebelum gerbang besar terbuka, dan menyingkap rumah megah yang tersembunyi di balik deretan pohon pinus yang menjulang.
“Selamat datang, Tuan Sebastian Dellier.”
Sienna membisu dan langsung merekam nama itu di kepalanya. Ia menatap ke luar jendela saat mobil melewati gerbang bergaya klasik dengan emblem D besar berwarna emas yang berdiri mencolok di puncaknya.
Mansion itu berdiri megah di tengah pekarangan luas. Pilar-pilar tinggi menopang balkon lantai dua, dan jendela-jendela besar menampilkan interior mewah bernuansa modern klasik. Meski hanya melihat sekilas, Sienna tahu bahwa tempat ini bukan sekadar rumah.
Ini adalah simbol kekuasaan.
Sebastian keluar lebih dulu, kemudian membuka pintu untuknya. Sienna tidak bergerak.
“Aku tidak akan melangkah satu inci pun ke dalam rumahmu,” ucap Sienna datar.
Sebastian membungkuk sedikit, menyamakan tinggi wajahnya dengan Sienna yang masih duduk. “Kau bisa masuk dengan langkahmu sendiri, atau kugendong seperti tadi.”
Sienna mendesis. “Kau—”
Namun sebelum ia menyelesaikan umpatan, Sebastian sudah menyentuh pinggangnya lagi—sebuah isyarat bahwa ia tidak sedang menggertak.
Sienna menepis tangan itu dengan kasar dan turun dari mobil. “Sentuh aku lagi dan aku akan menendang wajahmu,” ancamnya dingin.
Sebastian hanya terkekeh, mengiringi langkah Sienna ke dalam mansion.
Begitu pintu berat dari kayu itu terbuka, udara hangat menyambut mereka. Di dalam, seorang kepala pelayan menyambut dengan hormat, dan tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun melihat Sebastian datang bersama seorang wanita asing.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda Dellier.”
“Siapkan kamar tamu utama untuk Nona Hart,” perintah Sebastian.
Sienna mendelik. “Aku tidak akan tinggal di sini!”
Sebastian menoleh dengan senyum tipis. “Terlambat. Sudah pukul sebelas malam, dan aku tidak akan mengantarmu ke mana pun sekarang.”
“Aku bisa pesan taksi.”
“Kau tidak bisa. Keamanan di gerbang utama tidak akan membiarkan siapa pun pergi tanpa izinku.” Nadanya lembut, tapi begitu mendominasi. Ia melangkah lebih dekat, membiarkan jarak di antara mereka menipis. “Kau boleh marah. Tapi aku tidak akan membiarkanmu pulang ke rumah itu malam ini.”
Sienna terdiam. Ia tahu Sebastian tidak menggertak. Ia tahu bahwa rumah ini lebih mirip istana pribadi—dengan segala pengamanan ketat, gerbang otomatis, dan staf yang hanya tunduk pada satu nama. Dellier.
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan muda datang dan mempersilakan Sienna mengikuti ke kamar tamu utama. Sienna mengikut tanpa bicara.
Kamar itu lebih besar dari kamarnya di kediaman Hart. Dindingnya dihiasi lukisan klasik dan rak buku. Meja rias antik berdiri anggun di sisi jendela yang menghadap ke taman belakang.
Setelah pelayan pergi, Sienna buru-buru menutup pintu kamar. Ia berjalan ke ranjang, namun hanya duduk di tepi, sama sekali tidak punya niat untuk tidur.
Dellier—nama yang tak asing bagi Sienna. Ia pernah mendengarnya dalam berita, seminar bisnis, bahkan percakapan rahasia keluarganya. Sebuah dinasti besar di dunia perbankan, konstruksi, dan teknologi.
Sebastian Dellier bukan hanya nama yang mencerminkan kekuasaan. Bagi Sienna, pria itu menguasai malam yang ingin ia lupakan. Dan kini, ia menginginkan lebih.
Sienna terperanjat ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan sosok Sebastian muncul begitu saja di ambang pintu.
“K–kau?” desisnya, refleks berdiri dan mundur beberapa langkah.
Sebastian melangkah masuk tanpa permisi. Melihat itu, Sienna segera memasang sikap waspada.
“Kau pikir bisa mengurungku di tempat mewah ini?!” hardik Sienna. “Aku pasti akan bisa keluar, dan saat itu terjadi, aku akan membalas semuanya!”
Sebastian tak menunjukkan reaksi berarti. Ia justru menyunggingkan senyum miring yang membuat dada Sienna berdegup tak karuan. Kakinya yang panjang terus melangkah mendekat.
Tanpa peringatan, ia meraih pinggang Sienna dan menarik tubuh gadis itu mendekat.
“Kau bisa saja kabur dariku,” bisiknya tenang namun menusuk. “Tapi kemudian apa? Menikah dengan pria tua pilihan keluargamu?”
Sienna membulatkan mata dan refleks mencengkeram lengan Sebastian. Ia mencoba mendorong, tapi tatapan pria itu membuatnya membeku. Sebuah perasaan asing menguar, antara takut dan tertantang.
“Pilihanmu hanya dua, Sienna. Menikah denganku atau pria tua itu.”
“Mom… Dad?”Sienna sontak membeku.Panik menjalar dari ubun-ubun hingga ke ujung jemarinya. Ia menoleh cepat, matanya melebar seperti rusa yang tertangkap sorot lampu mobil.Joseph berdiri tak jauh di belakang Sebastian—dan ia baru sadar, dirinya masih mengenakan hanya kemeja Sebastian. Tanpa bra, tanpa celana dalam. Kancing bagian atas pun terbuka, memperlihatkan dadanya yang sedikit menyembul keluar.Sebastian menoleh dengan reaksi yang lebih lambat, tapi langsung tanggap. Ia berdiri, lalu bergerak menutupi pandangan anak mereka.“Joseph!” serunya ceria. “Pagi, Kapten!”Bocah itu melangkah mendekat.Sienna yang nyaris membatu, mendadak turun dari kursi dan berjongkok di balik kitchen island.“Alihkan perhatiannya. Aku akan cepat-cepat ke kamar,” bisiknya singkat.Sebastian mengangguk. Ia langsung jongkok menyambut Joseph, mencoba mengalihkan perhatian bocah itu. “Hei, bangun pagi sekali, ya?”“Aku cium bau telur,” ucap Joseph sambil mengucek matanya.“Dan kau benar!” balas Sebastian
“Bukan aneh,” gumam Sebastian. “Hanya… tak kuduga. Kupikir kau akan mengusirku alih-alih mengucapkan ‘pagi’.”Sienna terkekeh kecil. “Kalau kau tidak mengacau, mungkin aku akan lebih sering menyapa seperti ini.”Sebastian menaikkan sebelah alis, setengah menggoda. “Kau bilang aku mengacau, padahal semalam kau—”Sienna langsung melempar bantal ke arah wajah pria itu. “Jangan lanjutkan,” tukasnya, meski senyum masih mengendap di sudut bibirnya. “Aku masih mempertimbangkan untuk menyesal.”Sebastian menangkap bantal itu, lalu tertawa rendah. “Kau tak terlihat seperti orang yang menyesal,” katanya. “Sienna… kau tahu itu berarti sesuatu bagiku, ‘kan?”Sienna menatap Sebastian sebentar, kemudian menunduk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Itulah masalahnya.”Sebastian hendak mengatakan sesuatu, tapi Sienna lebih dulu bangkit, menyambar kemeja pria itu yang tergeletak di lantai dan memakaikan ke tubuhnya. Ia berdiri, berjalan menuju pintu dengan langkah ringan, lalu berhenti di ambang.“Aku akan
Sebastian tidak memberinya waktu untuk berpikir. Bibirnya langsung menyergap bibir Sienna dalam ciuman yang keras, dalam, mengklaim. Seolah enam tahun penantian dan penyangkalan tumpah dalam satu tarikan napas.Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sienna, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bertubrukan tanpa jarak. Sienna menahan napas, lengannya melingkar pada bahu Sebastian, mencengkeram kerah kemeja yang kini telah terbuka sepenuhnya.Ciuman itu berubah menjadi medan pertempuran. Bukan lagi sekadar rindu, tapi hasrat yang tak pernah sempat padam meski dibenamkan selama bertahun-tahun.Sienna mendorong tubuhnya ke arah Sebastian, balas mencium pria itu dengan napas yang tak terkendali. Jemarinya mencakar punggung Sebastian, menyusuri otot-otot yang menegang di balik kulitnya yang hangat.Pria itu menggeram pelan, lalu menunduk dan menyerang lehernya, menggigitnya dengan tekanan yang nyaris menyakitkan. Sienna terlonjak kecil, tapi tidak menjauh—justru merapat, seolah m
Tubuh Sienna terdorong perlahan ke tepian meja dapur. Botol air yang tadi dipegangnya kini sudah tak jelas di mana, terlupakan begitu bibir Sebastian kembali menekannya dalam ciuman yang jauh lebih dalam dari sebelumnya.Tangan besar Sebastian mengangkat dagu Sienna, memiringkan wajahnya, memberinya akses lebih dalam dan lebih rakus. Bibir mereka menyatu dalam irama yang tak teratur, dibalut tarikan napas pendek dan desahan samar.Sienna tahu ia harus menghentikan ini. Bahaya dalam pelukan Sebastian tidak datang dalam bentuk ancaman, tapi candu. Semakin dekat, semakin sulit untuk menolak.Namun ketika jemari pria itu menyusuri sisi lengannya, naik ke tengkuk dan mengubur diri di helaian rambutnya, ia menggigil. Kepalanya menegang… dan lalu menyerah.“Sebastian…,” gumam Sienna lemah. Tapi tidak ada penolakan di balik suaranya. Justru sebaliknya, keraguan yang mulai kalah.Sebastian menempelkan keningnya di dahi Sienna, masih mengatur napas. “Aku tidak datang ke sini untuk mencium istri
Sebastian menatap Sienna dengan mata yang membakar. Napas beratnya menyapu pipi wanita itu yang mulai memanas. Tangannya masih bertengger di pinggang Sienna.Sienna meneguk ludah. Jantungnya berdetak kencang.Ia tahu tatapan itu. Tatapan yang sama seperti malam ketika Sebastian pertama kali memilikinya—penuh dorongan liar, tanpa ruang bagi penolakan. Dan itu membuatnya gugup. Karena ia tahu… ia akan mudah jatuh lagi kalau tak hati-hati.Sebastian menunduk sedikit, mendekat ke leher Sienna. Hidungnya menyapu ringan kulit di bawah telinga wanita itu, dan napas hangat itu menyentuh Sienna seperti aliran listrik.“Kau wangi sekali malam ini,” bisik Sebastian serak, suaranya rendah dan nyaris mendesah.Tubuh Sienna menegang.“Sebastian…,” gumamnya memperingatkan—atau mungkin memperingatkan dirinya sendiri.“Kalau kau tidak menghentikanku sekarang…,” suara Sebastian terdengar lebih rendah, “aku tidak akan bisa menahan diri.”Sienna meremas gaun satinnya. Ujung jarinya bergetar di pangkuan, b
Langkah-langkah Sebastian terasa berat namun mantap saat ia membawa Sienna keluar dari ballroom. Derap sepatunya bergema di lantai, bersaing dengan bisik-bisik tajam yang menyusul di belakang mereka.Tapi ia tidak menoleh. Tidak berhenti. Tidak peduli.Begitu mereka tiba di lantai dasar dan pintu utama hotel terbuka, Brandon sudah berdiri menunggu di pelataran hotel. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu belakang mobil dan menyingkir untuk memberi ruang.Sebastian mengencangkan pelukannya pada tubuh Sienna dan menunduk sedikit saat membawanya masuk.“Hati-hati kepalamu,” bisik pria itu.Ia mendudukkan Sienna di jok belakang dengan sangat hati-hati. Setelah memastikan posisi wanita itu nyaman, Sebastian menyusul masuk dan duduk di sebelahnya.Pintu ditutup. Dan mobil segera meluncur menjauh dari hotel.Sienna menatap lurus ke depan, berusaha menahan diri. Tapi gaun satin yang tadinya membuatnya merasa percaya diri, kini terasa menempel tak nyaman di kulitnya.Sebastian menghela napas,