Sienna membeku.
Napasnya tercekat.
Suara itu….
Aroma itu….
Itu dia. Pria di bar hotel yang berujung menghabiskan malam panas bersamanya.
Pria itu berdiri di hadapannya. Bukan dalam mimpi, bukan dalam kilas balik samar. Pria itu nyata, hidup, dan mencengkeram pinggangnya seolah Sienna adalah miliknya.
“Tidak mungkin,” bisik Sienna nyaris tanpa suara. Tangannya refleks hendak mendorong dada pria itu, tapi ia tak sempat melakukannya, tubuhnya sudah terperangkap.
Sienna berusaha berontak.
Dengan sekuat tenaga, ia mendorong pria itu sambil berbisik tajam, “Lepaskan aku!” Suaranya ditahan sedemikian rupa agar tak menarik perhatian orang-orang yang mulai melirik ke arah mereka.
Namun pria itu tidak goyah. Cengkeramannya tetap kukuh di pinggang Sienna, seolah mengukuhkan posisi dominan yang sejak awal sudah ia pegang.
Pria itu menunduk lebih dekat. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Sienna. “Kau yakin ingin aku melepaskanmu, setelah apa yang kita lakukan malam itu?” bisiknya dengan suara rendah.
Sienna menggertakkan giginya. “Aku tidak tahu siapa kau!” sergahnya.
Lagi-lagi, pria itu hanya tersenyum tipis. “Lucu sekali. Setelah begitu bergairah malam itu, sekarang kau bersikap seperti tidak mengenalku?”
“Sst!” Sienna panik, tangannya langsung terangkat membungkam mulut pria itu. “Diam! Jangan bicara lagi!”
Beberapa tamu hotel yang lewat di lorong sempat melirik ke arah mereka dengan ekspresi penasaran. Sienna nyaris kehilangan keseimbangan antara amarah, malu, dan ketakutan. Terutama setelah pria itu mengucapkan kalimat selanjutnya.
“Dengan seberapa liar kau malam itu. Bagaimana kalau nanti kau hamil anakku, Sienna Hart?”
Wajah Sienna seketika memucat, matanya membulat sempurna. Ia menatap pria itu seakan dia baru saja mengucapkan kutukan paling kejam.
“Kau… Gila!” bisik Sienna gemetar sebelum kembali menempelkan telapak tangannya ke mulut pria itu dengan lebih kuat.
“Diam! Kau mau semua orang mendengarnya?” desis Sienna kesal.
Sienna melirik panik ke sekitar lorong, berharap tak ada yang mengenalinya—atau lebih parah lagi, ia berharap Stacey tak tiba-tiba muncul dan melihatnya bersama pria asing yang merangkul pinggangnya seperti sekarang.
“Aku tidak tahu siapa kau. Dan aku tidak peduli siapa kau. Tapi aku tidak akan mengizinkanmu mempermalukan aku di sini,” desis Sienna marah.
Pria itu tetap tidak mundur. Sorot matanya menelanjangi wajah Sienna, seperti sedang membaca setiap kebohongan dan ketakutan yang berusaha ia sembunyikan.
Tanpa peringatan, pria itu tiba-tiba menarik Sienna ke dalam pelukannya. Dengan tubuhnya yang tinggi dan tegap, ia mengangkat Sienna ke bahunya dengan mudah, lalu melangkah cepat menuju pintu keluar hotel.
“Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku, dasar gila!” Sienna meronta, memukul punggung pria itu dengan panik. “Tolong! Lepaskan aku!”
Langkah kaki pria itu bergema di lorong. Beberapa tamu yang semula hanya melirik kini mulai memperhatikan, beberapa bahkan menghentikan langkah hanya untuk menonton.
Namun pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda panik. Ia justru memamerkan senyum memikat ke arah kerumunan.
“Maafkan calon istriku ini, dia sedang marah karena aku lupa membawakan kopi kesukaannya pagi ini! Dia sangat manja,” serunya sambil terkekeh kecil.
Tawa pun pecah di sekitar mereka.
Bahkan beberapa karyawan hotel hanya menunduk hormat ketika pria itu lewat, seolah sudah mengenal statusnya.
Sienna tentu makin panik dibuatnya.
Beberapa wanita menatap dengan senyum geli, sementara pria-pria yang lewat hanya menggeleng pelan, seolah mengerti ‘drama pasangan’ itu.
“Dia bukan tunanganku! Aku tidak kenal dia! Tolong!” teriak Sienna, masih tak menyerah.
Tapi suaranya tertelan oleh suasana yang sudah berubah menjadi tontonan lucu. Tidak ada satu pun yang menanggapi kata-katanya dengan serius. Semua orang berpikir mereka hanya pasangan muda yang sedang bertengkar manja.
Pria itu mempererat rangkulannya. “Ssst, kau ingin mereka berpikir kau wanita gila?” bisiknya tajam. “Kau yang datang padaku malam itu. Kau yang memintaku untuk tak berhenti. Sekarang tanggung konsekuensinya.”
“Kau bajingan,” desis Sienna, giginya bergemeretak karena marah dan takut bersamaan.
Begitu mereka tiba di depan hotel, sebuah mobil hitam sudah menunggu di pelataran. Sienna kembali meronta, tapi pria itu tetap tenang. Ia membuka pintu belakang mobil, lalu menurunkan tubuh Sienna dari bahunya dan dengan cekatan mendorongnya masuk ke dalam.
Sienna menarik gagang pintu berulang kali, berusaha keras membukanya, tapi terkunci. Kepanikan makin menjadi saat pria itu menghalangi jalan keluar satunya, membuatnya tahu bahwa peluang kabur makin kecil.
“Lepaskan aku! Atau aku akan lapor polisi!” ancam Sienna sungguh-sungguh.
Pria itu menatapnya dari pintu mobil sebelum masuk dan duduk di samping. Mobil segera melaju meninggalkan hotel.
Sienna terus berontak dengan menggedor jendela mobil, berusaha menarik perhatian orang di luar, namun tidak ada yang memperhatikan—atau bahkan tak peduli.
Sienna menoleh, menatap pria itu dengan penuh kemarahan. “Aku tidak main-main. Aku akan melaporkanmu dan menjebloskanmu ke penjara!”
Pria itu tersenyum miring. “Silakan lapor,” ucapnya dingin, tatapannya tajam mengunci wajah Sienna. “Tapi sebelum itu, kau harus tahu siapa aku.”
Sienna menatap pria itu, dadanya naik-turun karena emosi. “Siapa kau, hah?! Katakan!”
Pria itu menyandarkan tubuhnya dengan santai, satu tangannya menyesuaikan jam tangannya yang tampak mahal, lalu menoleh ke arah Sienna dengan penuh arti.
“Aku adalah suamimu—yang belum resmi kau nikahi.”
Sienna melebarkan mata. Belum sempat melakukan apapun, pria itu tanpa peringatan menarik tubuh Sienna hingga terduduk di pangkuannya. Ia mengunci tubuh Sienna dengan kedua tangannya.
“Kau bisa terus menyangkal siapa aku, Sienna,” bisiknya dengan nada rendah. “Tapi tubuhmu mengingatku lebih baik daripada pikiranmu.”
Beberapa menit berlalu dalam ketegangan yang senyap. Sienna masih duduk di kursi ruang tunggu, lututnya diperban rapi dan pergelangan tangannya berdenyut nyeri. Di sampingnya, wanita berhijab yang tadi menolongnya masih duduk dengan tenang.“Terima kasih,” ucap Sienna pada wanita itu, suaranya pelan dan tulus. “AKu tidak tahu harus bagaimana jika Anda tidak muncul.”Wanita berhijab itu tersenyum hangat, matanya sempat menangkap cincin di jari manis Sienna. “Jangan dipikirkan. Siapa pun pasti akan melakukan hal yang sama.”Sienna hendak mengatakan sesuatu lagi ketika pintu klinik terbuka secara tiba-tiba.Sebastian melangkah masuk dengan gerakan cepat. Matanya menyapu ruangan sampai menemukan Sienna, lalu tatapannya langsung menajam.“Sienna,” ucapnya serak sambil tergesa menghampiri. “Apa yang terjadi?”Sienna berdiri perlahan. “Aku baik-baik saja. Hanya memar ringan, lututku—”Belum selesai ia menjelaskan, pandangan Sebastian beralih pada wanita berhijab yang berdiri di samping Sienn
Matahari Dubai menyelinap masuk lewat tirai tipis ketika Sienna terbangun keesokan harinya. Penthouse itu sunyi.Jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas. Ia melirik ke sisi tempat tidur yang kosong, lalu duduk sambil menghela napas. Sebastian pasti sudah pergi.Sienna berjalan pelan ke ruang utama dan menemukan secarik catatan di atas meja.[Ada pertemuan pagi ini. Jangan keluar sendirian dan tunggu aku. – S.]Sienna mendecih pelan. “Jangan keluar sendiri? Serius? Aku bukan tahanan,” desisnya.Dengan enggan, ia menyantap sarapan yang sudah disiapkan oleh staf hotel, lalu berjalan ke jendela untuk menikmati pemandangan. Kota Dubai membentang luas di bawah sana, gemerlap dan asing.Sienna kembali ke kamar dan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia membuka tablet dan mulai memindahkan beberapa sketsa desain, tapi tak lama kemudian rasa bosan mulai menyusup. Ia terlalu gelisah untuk berkonsentrasi.“Ada apa denganku hari ini?” gumamnya sambil memijat pelipis.Beberapa saat kem
Langit sudah gelap ketika Sienna berdiri di depan mansion dengan koper di sampingnya. Udara yang dingin menyusup ke balik mantel panjangnya, tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Melainkan kenyataan bahwa ia akan pergi ke Dubai bersama Sebastian.Sebastian berdiri beberapa langkah di depannya, tengah berbicara di telepon dengan seseorang. Hanya sepatah dua patah kata, dan lawan bicaranya langsung bungkam.“Pria ini benar-benar penuh kontrol,” gumam Sienna pelan, tatapannya tak lepas dari Sebastian.Begitu sambungan telepon ditutup, Sebastian menoleh padanya. “Mobil sudah siap.”Sienna hanya mengangguk dan mengikuti langkah pria itu ke arah mobil hitam yang menunggu di depan tangga utama. Brandon membukakan pintu belakang, dan Sebastian masuk lebih dulu tanpa menoleh. Sienna mengikuti, duduk di kursi bersebelahan tanpa tahu harus berkata apa.Mobil begerak stabil menuju bandara.“Berapa lama penerbangannya?” tanya Sienna basa-basi.Sebastian menoleh sedikit. “Empat belas jam. Kita
Keesokan paginya….Sienna menggeliat pelan di balik selimut tebal. Kepalanya sedikit berat, tapi tidak sampai pusing. Ia masih ingat anggur merah. Cocktail manis. Dan begitu banyak tawa.Lalu–Sienna membuka mata lebar-lebar.Ciuman.Kepalanya terangkat cepat, jantungnya ikut melonjak. Ia duduk, lalu memeluk lutut sambil menyandarkan dagu. “Tolong katakan itu hanya mimpi,” gumamnya pelan, tapi detak jantungnya tahu lebih dulu bahwa itu nyata.Sienna masih bisa merasakan tekstur kemeja Sebastian di bawah tangannya. Aroma samar dari tubuh pria itu. Dan... bibirnya.Sienna menenggelamkan wajah ke lutut. “Ya Tuhan, aku benar-benar menciumnya,” desisnya. “Aku menyerangnya di depan tempat tidur. Saat aku mabuk.”Wajahnya sudah pasti memerah. Sienna mengangkat kepala dan memandang sekitar, mencari keberadaan Sebastian. Tapi pria itu tidak ada.Sienna mengembuskan napas pelan. Entah lega atau kecewa, ia tak yakin. Sesuatu dalam dirinya ingin berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa, tapi....
Malam mulai larut ketika mereka meninggalkan restoran. Sienna bersandar malas di jok belakang, kepalanya terayun pelan ke sisi jendela, sementara pipinya bersemu merah muda. Dua gelas anggur ditambah satu cocktail manis telah membuatnya sedikit limbung.Sebastian duduk di sebelahnya, tenang dan tetap menjaga jarak. Tapi suasana tenang itu langsung terusik ketika Sienna tiba-tiba menoleh ke arah Sebastian, matanya yang setengah redup menyipit manja.“Kau tahu,” gumamnya dengan suara pelan dan sedikit serak, “kau terlihat jauh lebih tampan ketika wajahmu serius seperti itu.”Sebastian melirik cepat, lalu kembali menatap ke depan. “Kau mabuk.”“Sedikit,” ucap Sienna sambil mengangkat dua jarinya, “tapi bukan berarti aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan.” Ia mencondongkan tubuh, menyandarkan dagunya ke bahu Sebastian dan berbisik, “Aku hanya sedang menikmati suamiku yang terlalu dingin dan terlalu tampan untuk dibiarkan begitu saja.”Sebastian menarik napas panjang, mencoba untuk teta
Sudah satu jam sejak ia kembali ke suite hotel, namun Sienna tak kunjung merasa tenang. Emosi bergolak hebat dalam dadanya. Ia mencoba menahan diri, menggenggam erat perasaan yang kian tak terkendali.Amarah. Tapi bukan sekadar kemarahan biasa.Tapi pada siapa sebenarnya ia harus mengarahkan semua ini?Pada Nora Delacroix yang tanpa malu menyeretnya ke lobi dan menuduhnya sebagai wanita bayaran? Atau pada Sebastian yang menyembunyikan hubungannya dengan Nora?Ia sudah mengirim pesan. Hanya satu kalimat pendek. Kau bertunangan dengan Nora Delacroix?Tapi tak ada balasan. Mungkin Sebastian tengah duduk di ruang rapat dengan ekspresi tenang, sementara di sini Sienna merasa harga dirinya dihancurkan di depan publik.“Dasar menyebalkan,” desisnya sambil mendengus pelan.Tiba-tiba, pintu terbuka. Sienna menoleh cepat, lalu matanya langsung menangkap sosok Sebastian yang melangkah masuk. Tinggi dan gagah seperti biasa.Mereka sempat saling menatap. Hanya sekejap. Lalu Sienna membuang pandanga