Sebastian tidak langsung menjawab. Ia memandang Sienna sejenak, namun ada kerutan samar muncul di antara alisnya. Entah karena heran, jengkel, Sienna tidak bisa menebak.
Meski ucapannya ringan, bagian dari diri Sienna menunggu reaksi. Ia tidak tahu apa yang ia harapkan. Tawa singkat? Sindiran? Atau penolakan halus?
Sebastian akhirnya mengalihkan pandangannya, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas meja.
“Kalau itu permintaanmu, akan kupenuhi.” Nada suaranya datar, tapi bukan tanpa niat.
Tanpa banyak kata, Sebastian berjalan menuju mesin kopi di sudut meja. Sienna memperhatikan dalam diam.
Ia mendengar dengungan halus dari mesin kopi, lalu aroma kopi bercampur dengan susu perlahan memenuhi ruangan. Sienna nyaris tetawa mengingat betapa konyolnya situasi mereka. Ini pagi pertamanya sebagai istri, tapi yang mereka bicarakan hanyalah kopi.
Sebastian kembali dengan secangkir kopi susu hangat dan menyerahkannya padanya.
Sienna menerimanya dengan hati-hati. “Terima kasih.”
Sebastian hanya mengangguk, lalu duduk di ujung sofa yang lainnya. Jarak di antara mereka tetap lebar, tapi tak terasa setegang sebelumnya. Mereka minum dalam diam, dan untuk sesaat, waktu terasa melambat.
Sienna menghabiskan kopinya seteguk demi seteguk. Setelah beberapa menit, Sebastian memecah keheningan.
“Aku akan ke kantor pagi ini. Ada rapat penting yang harus kuhadiri.”
Sienna mengangguk tanpa menoleh. “Tak perlu menjelaskan. Kita berdua tahu, ini bukan pernikahan seperti dalam novel romantis.”
Sebastian menatap Sienna lama. “Tetap saja, aku ingin kau tahu ke mana aku pergi.”
Sienna menoleh, mata mereka bertemu sejenak. “Baiklah,” ucapnya.
Setelah Sebastian pergi, suasana di suite hotel kembali sunyi. Sienna berdiri sebentar di depan kaca, memandangi pantulan dirinya sendiri.
Kemudian ia kembali ke sofa, menarik selimut tipis ke pangkuannya, dan menyalakan televisi hanya untuk mendengar suara lain. Tapi bahkan suara presenter berita pagi pun tak bisa mengusir kesepian yang mulai menggantung.
“Rasanya membosankan sekali,” gumam Sienna setengah mengeluh.
Sebastian memintanya untuk mengambil hari libur setelah pernikahan mereka, sementara dia sendiri malah pergi bekerja sejak pagi.
Sienna menghela napas pendek, lalu bersandar lebih dalam ke sofa. “Jadi, sebenarnya apa maksud pria itu?” gerutunya lagi.
Menjelang sore, Sienna membuka salah satu laci di lemari dan menemukan beberapa buku yang disediakan hotel. Ia mengambil satu buku, duduk di sofa, dan mencoba membaca. Tapi matanya hanya mengikuti baris demi baris tanpa benar-benar memahami isinya.
Hingga akhirnya suara bel pintu membuyarkan fokusnya.
Sienna bangkit dan membuka pintu.
Brandon—asisten pribadi Sebastian—berdiri di sana, tampak rapi seperti biasa dalam jas biru malam. Di tangannya ada beberapa tas belanja dari butik-butik mahal.
“Selamat sore, Nyonya Dellier,” sapanya cepat. “Saya datang membawakan beberapa pakaian untuk Anda.”
Sienna tersenyum tipis. “Masuk saja, Brandon.”
Pria itu melangkah masuk, meletakkan tas-tas belanja itu di atas meja dekat sofa, lalu mundur dua langkah. “Kalau ada yang perlu ditukar ukurannya, beri tahu saya. Tuan Sebastian memintaku memastikan semuanya nyaman untukmu.”
Sienna menoleh pada asisten suaminya. “Dia bilang begitu?”
Brandon mengangguk singkat. “Ya, dan satu hal lagi. Tuan Sebastian menyampaikan kemungkinan dia akan pulang larut malam. Rapatnya diperpanjang. Kalau Anda butuh sesuatu, makan malam misalnya, saya bisa bantu aturkan lewat layanan kamar atau mereservasi restoran.”
Sienna terdiam sejenak, mencerna kalimat itu. Ada bagian dari dirinya yang bertanya-tanya mengapa Sebastian bahkan repot-repot menitipkan pesan dan mengiriminya pakaian. Tapi ia tahu, Brandon hanya menyampaikan tugasnya.
“Aku mengerti,” kata Sienna dengan suara tenang. “Terima kasih sudah mengantar ini semua. Aku bisa urus sisanya sendiri, Brandon.”
Brandon tersenyum sopan. “Baik, kalau begitu. Selamat sore, Nyonya Dellier.”
Sienna hanya mengangguk pelan. Ia menyaksikan pria itu melangkah keluar dan menutup pintu dengan tenang.
Nyonya Dellier. Sebutan itu tidak membuat Sienna tersanjung. Tapi lebih seperti pakaian mewah yang terlalu indah, tapi bukan miliknya.
Sienna melangkah ke arah tas-tas belanjaan itu, kemudian membukanya satu per satu. Gaun-gaun cantik dari sutra dan kasmir, sepasang sandal hak tinggi yang tampak menawan, dan parfum mahal yang masih tersegel.
Sienna menyentuh salah satu gaun, lalu memeriksa label ukurannya. Tak lama setelah itu, suara ketukan kembali terdengar.
Sienna mengerutkan dahi. Ia mengira Brandon tertinggal sesuatu, atau mungkin ada staf hotel yang datang. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah ke pintu dan membukanya.
Namun yang berdiri di ambang pintu bukan Brandon ataupun staf hotel seperti yang ia duga.
Seseorang yang asing—seorang wanita. Tinggi semampai, tubuh ramping terbungkus mantel wol krem yang tampak mahal. Rambut pirangnya disanggul rapi.
“Maaf,” kata Sienna bingung. “Ada yang bisa aku bantu?”
Wanita itu menatap Sienna dengan percaya diri. “Aku Nora. Tunangan Sebastian.”
“Mom… Dad?”Sienna sontak membeku.Panik menjalar dari ubun-ubun hingga ke ujung jemarinya. Ia menoleh cepat, matanya melebar seperti rusa yang tertangkap sorot lampu mobil.Joseph berdiri tak jauh di belakang Sebastian—dan ia baru sadar, dirinya masih mengenakan hanya kemeja Sebastian. Tanpa bra, tanpa celana dalam. Kancing bagian atas pun terbuka, memperlihatkan dadanya yang sedikit menyembul keluar.Sebastian menoleh dengan reaksi yang lebih lambat, tapi langsung tanggap. Ia berdiri, lalu bergerak menutupi pandangan anak mereka.“Joseph!” serunya ceria. “Pagi, Kapten!”Bocah itu melangkah mendekat.Sienna yang nyaris membatu, mendadak turun dari kursi dan berjongkok di balik kitchen island.“Alihkan perhatiannya. Aku akan cepat-cepat ke kamar,” bisiknya singkat.Sebastian mengangguk. Ia langsung jongkok menyambut Joseph, mencoba mengalihkan perhatian bocah itu. “Hei, bangun pagi sekali, ya?”“Aku cium bau telur,” ucap Joseph sambil mengucek matanya.“Dan kau benar!” balas Sebastian
“Bukan aneh,” gumam Sebastian. “Hanya… tak kuduga. Kupikir kau akan mengusirku alih-alih mengucapkan ‘pagi’.”Sienna terkekeh kecil. “Kalau kau tidak mengacau, mungkin aku akan lebih sering menyapa seperti ini.”Sebastian menaikkan sebelah alis, setengah menggoda. “Kau bilang aku mengacau, padahal semalam kau—”Sienna langsung melempar bantal ke arah wajah pria itu. “Jangan lanjutkan,” tukasnya, meski senyum masih mengendap di sudut bibirnya. “Aku masih mempertimbangkan untuk menyesal.”Sebastian menangkap bantal itu, lalu tertawa rendah. “Kau tak terlihat seperti orang yang menyesal,” katanya. “Sienna… kau tahu itu berarti sesuatu bagiku, ‘kan?”Sienna menatap Sebastian sebentar, kemudian menunduk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Itulah masalahnya.”Sebastian hendak mengatakan sesuatu, tapi Sienna lebih dulu bangkit, menyambar kemeja pria itu yang tergeletak di lantai dan memakaikan ke tubuhnya. Ia berdiri, berjalan menuju pintu dengan langkah ringan, lalu berhenti di ambang.“Aku akan
Sebastian tidak memberinya waktu untuk berpikir. Bibirnya langsung menyergap bibir Sienna dalam ciuman yang keras, dalam, mengklaim. Seolah enam tahun penantian dan penyangkalan tumpah dalam satu tarikan napas.Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sienna, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bertubrukan tanpa jarak. Sienna menahan napas, lengannya melingkar pada bahu Sebastian, mencengkeram kerah kemeja yang kini telah terbuka sepenuhnya.Ciuman itu berubah menjadi medan pertempuran. Bukan lagi sekadar rindu, tapi hasrat yang tak pernah sempat padam meski dibenamkan selama bertahun-tahun.Sienna mendorong tubuhnya ke arah Sebastian, balas mencium pria itu dengan napas yang tak terkendali. Jemarinya mencakar punggung Sebastian, menyusuri otot-otot yang menegang di balik kulitnya yang hangat.Pria itu menggeram pelan, lalu menunduk dan menyerang lehernya, menggigitnya dengan tekanan yang nyaris menyakitkan. Sienna terlonjak kecil, tapi tidak menjauh—justru merapat, seolah m
Tubuh Sienna terdorong perlahan ke tepian meja dapur. Botol air yang tadi dipegangnya kini sudah tak jelas di mana, terlupakan begitu bibir Sebastian kembali menekannya dalam ciuman yang jauh lebih dalam dari sebelumnya.Tangan besar Sebastian mengangkat dagu Sienna, memiringkan wajahnya, memberinya akses lebih dalam dan lebih rakus. Bibir mereka menyatu dalam irama yang tak teratur, dibalut tarikan napas pendek dan desahan samar.Sienna tahu ia harus menghentikan ini. Bahaya dalam pelukan Sebastian tidak datang dalam bentuk ancaman, tapi candu. Semakin dekat, semakin sulit untuk menolak.Namun ketika jemari pria itu menyusuri sisi lengannya, naik ke tengkuk dan mengubur diri di helaian rambutnya, ia menggigil. Kepalanya menegang… dan lalu menyerah.“Sebastian…,” gumam Sienna lemah. Tapi tidak ada penolakan di balik suaranya. Justru sebaliknya, keraguan yang mulai kalah.Sebastian menempelkan keningnya di dahi Sienna, masih mengatur napas. “Aku tidak datang ke sini untuk mencium istri
Sebastian menatap Sienna dengan mata yang membakar. Napas beratnya menyapu pipi wanita itu yang mulai memanas. Tangannya masih bertengger di pinggang Sienna.Sienna meneguk ludah. Jantungnya berdetak kencang.Ia tahu tatapan itu. Tatapan yang sama seperti malam ketika Sebastian pertama kali memilikinya—penuh dorongan liar, tanpa ruang bagi penolakan. Dan itu membuatnya gugup. Karena ia tahu… ia akan mudah jatuh lagi kalau tak hati-hati.Sebastian menunduk sedikit, mendekat ke leher Sienna. Hidungnya menyapu ringan kulit di bawah telinga wanita itu, dan napas hangat itu menyentuh Sienna seperti aliran listrik.“Kau wangi sekali malam ini,” bisik Sebastian serak, suaranya rendah dan nyaris mendesah.Tubuh Sienna menegang.“Sebastian…,” gumamnya memperingatkan—atau mungkin memperingatkan dirinya sendiri.“Kalau kau tidak menghentikanku sekarang…,” suara Sebastian terdengar lebih rendah, “aku tidak akan bisa menahan diri.”Sienna meremas gaun satinnya. Ujung jarinya bergetar di pangkuan, b
Langkah-langkah Sebastian terasa berat namun mantap saat ia membawa Sienna keluar dari ballroom. Derap sepatunya bergema di lantai, bersaing dengan bisik-bisik tajam yang menyusul di belakang mereka.Tapi ia tidak menoleh. Tidak berhenti. Tidak peduli.Begitu mereka tiba di lantai dasar dan pintu utama hotel terbuka, Brandon sudah berdiri menunggu di pelataran hotel. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu belakang mobil dan menyingkir untuk memberi ruang.Sebastian mengencangkan pelukannya pada tubuh Sienna dan menunduk sedikit saat membawanya masuk.“Hati-hati kepalamu,” bisik pria itu.Ia mendudukkan Sienna di jok belakang dengan sangat hati-hati. Setelah memastikan posisi wanita itu nyaman, Sebastian menyusul masuk dan duduk di sebelahnya.Pintu ditutup. Dan mobil segera meluncur menjauh dari hotel.Sienna menatap lurus ke depan, berusaha menahan diri. Tapi gaun satin yang tadinya membuatnya merasa percaya diri, kini terasa menempel tak nyaman di kulitnya.Sebastian menghela napas,