Pesta pernikahan telah usai. Malam ini, mereka menginap di salah satu suite hotel tempat pesta dilangsungkan. Lilin aroma mawar menyala di sudut ruangan, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar memperhatikannya.
Sienna berdiri memunggungi Sebastian, memandangi pantulan dirinya di cermin besar. Gaun pengantinnya telah dilepas dan digantung rapi di balik pintu. Sekarang ia hanya mengenakan gaun tidur sutra tipis berwarna sampanye.
Di belakangnya, Sebastian membuka kancing kemejanya satu per satu dengan gerakan perlahan. Ia tak mengatakan apa-apa. Tak satu pun dari mereka berbicara sejak pintu kamar tertutup.
“Apa sekarang kita harus bermain peran sebagai pasangan bahagia?” Sienna akhirnya bersuara, pelan namun tegas.
Sebastian menatap Sienna lewat pantulan cermin. “Aku tidak bermain peran.”
Sienna berbalik. “Tapi ini bukan pernikahan biasa, bukan? Kita tidak berdiri di altar tadi karena cinta.”
Sebastian mendekat, lalu berhenti tepat di depan Sienna. Matanya menatap dalam, seperti ingin menembus semua lapisan emosi wanita itu.
“Tidak. Tapi kita tetap menikah.”
“Ya.” Sienna tertawa getir. “Dan aku bahkan tidak tahu harus merasa apa malam ini.”
Sebastian tidak membalas. Ia hanya mengangkat tangannya, menyentuh pundak Sienna sekilas. Sebuah gerakan yang ringan, namun cukup untuk membuat wanita itu mematung.
“Apa kau takut?” tanya Sebastian berbisik.
Sienna menatap mata Sebastian lekat. “Aku tidak takut padamu, Sebastian. Aku hanya takut kehilangan diriku sendiri… sekali lagi.”
Sebuah keheningan mengembang di antara mereka.
Lalu Sebastian berkata, “Kau tidak akan hilang. Tidak di bawah atapku.”
Sienna nyaris ingin memercayai kata-kata itu, tapi ia tahu, tidak ada janji yang benar-benar berarti di dunia mereka. Bukan janji cinta. Bukan pula perlindungan.
Sebastian berjalan ke sisi tempat tidur, duduk dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Ia tidak menatap Sienna lagi, tak memberi isyarat apa pun.
Sienna mematung sejenak sebelum akhirnya berjalan pelan ke sisi ranjang lainnya. Ia naik ke atas kasur, berbaring di ujung berlawanan tanpa suara. Mereka berada di tempat tidur yang sama, tapi jarak di antara mereka terasa seperti jurang tak terlihat.
Lama kemudian, saat lampu dimatikan dan malam makin larut, suara Sienna terdengar pelan dalam gelap.
“Kau sudah tidur?”
“Belum,” jawab Sebastian.
Sienna menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak sebelum melanjutkan. “Aku bertanya-tanya… apakah ini akan berhasil. Pernikahan ini.”
Sebastian tak langsung menanggapi. Ia berguling sedikit, membiarkan dirinya menatap langit-langit gelap seperti yang dilakukan Sienna.
“Aku tidak tahu,” katanya jujur. “Tapi aku tidak menyesal memilihmu.”
Sienna memejamkan mata. “Entahlah,” gumamnya lelah. Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. “Hari ini terasa panjang sekali. Kakiku masih sakit karena sepatu hak tinggi itu,” keluhnya pelan.
Tak ada balasan dari sisi lain ranjang.
Tak butuh waktu lama hingga Sienna terlelap.
Sebastian masih terjaga. Ia melirik ke arah Sienna dalam gelap, lalu ia memejamkan mata perlahan, membiarkan malam menelannya juga.
***
Keesokan paginya, Sienna menggeliat kecil, lalu membuka matanya perlahan. Beberapa detik ia hanya menatap langit-langit, mencoba mengingat di mana dirinya. Lalu ingatan tentang hari sebelumnya menghantam seperti ombak—pernikahan, altar, ciuman Sebastian, dan malam yang sunyi.
Ia menoleh ke samping.
Sisi ranjang Sebastian kosong.
Aroma kopi segar samar-samar tercium dari luar kamar. Sienna mengangkat tubuhnya, duduk perlahan sambil mengusap mata. Rambutnya tergerai berantakan, tapi masih cantik.
Sienna melangkah turun dari ranjang. Kaki telanjangnya menyentuh permukaan karpet hangat. Gaun tidur sutra itu masih melekat di tubuhnya.
Perlahan, ia berjalan ke arah pintu yang sedikit terbuka menuju ruang tamu suite.
Sebastian berdiri membelakanginya, mengenakan kemeja putih yang tidak ia kancing. Di tangannya ada secangkir kopi, dan di hadapannya pemandangan kota yang sibuk mulai bergerak di balik jendela besar.
Sienna bersandar di kusen pintu, diam-diam memperhatikan garis punggung Sebastian yang kokoh di balik kemeja putih tipis itu.
“Aku tidak tahu kau bisa bangun sepagi ini,” ucap Sienna, suaranya serak dan pelan.
Sebastian menoleh separuh, cukup untuk menunjukkan bahwa ia sadar akan kehadiran Sienna. Ia mengangkat cangkir kopinya sedikit, lalu meneguknya sebelum bertanya, “Mau kopi?”
Sienna melangkah pelan ke ruang tamu, lalu duduk di salah satu sofa dengan gerakan hati-hati. Ia menarik kedua kakinya ke atas, memeluk lutut, dan menyandarkan dagu di atasnya.
“Aku tidak yakin lambungku siap menerima kopi sekarang,” gumamnya. “Kecuali kau punya yang manis, banyak susunya.”
Sebastian mengangkat alis ringan. “Kau baru bangun dan sudah membuat permintaan khusus?”
Sienna menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa, menatap Sebastian dengan senyum tipis yang tak sampai ke mata. Ada nada main-main dalam suaranya ketika berkata,
“Bukankah seorang istri berhak meminta hal-hal kecil dari suaminya?”
Buggy golf itu kembali melaju, kali ini menuju hole berikutnya. Sienna duduk di kursi penumpang, berusaha mengatur napas sambil memandang lurus ke depan. Sebastian di belakang kemudi hanya meliriknya sekilas, bibirnya mengulas senyum tipis seperti pria yang tahu persis efek yang baru saja ia tinggalkan.“Bagus juga ayunanmu tadi,” ucap Sebastian santai. “Walau kau terlalu kaku di bagian pinggul.”Sienna mendengus pelan. “Mungkin karena pelatihnya terlalu mengganggu.”Sebastian tertawa pendek. “Gangguan yang menyenangkan, ‘kan?”Sienna hanya mengangkat alis tanpa menjawab, matanya menatap pemandangan hijau di sekitar. Tapi dari ekor matanya, ia tahu Sebastian tengah memperhatikannya dengan tatapan yang membuat darahnya kembali berdesir.Di hole berikutnya, Sebastian sengaja membiarka Sienna memukul sendiri. Tapi setiap kali Sienna membungkuk mengambil bola, ia merasakan tatapan penuh maksud itu lagi.“Kau sengaja menatapku seperti itu?” tanya Sienna tanpa menoleh.“Seperti apa?” Sebast
Buggy golf itu melaju pelan di jalur pribadi menuju hole keempat belas. Sebuah area tersembunyi di ujung lapangan, konon dikenal sebagai tempat bermain para miliarder yang ingin benar-benar tak terganggu.Tidak ada kamera. Tidak ada pengawal. Hanya angin tenang, langit biru, dan suara dedaunan yang tersapu angin.Sienna mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu melirik Sebastian yang duduk di sebelahnya. “Tempat ini terlalu mewah hanya untuk memukul bola kecil,” gumamnya pelan.Sebastian tersenyum miring tanpa menoleh. “Siapa bilang aku datang hanya untuk bermain golf?”Buggy berhenti di tepian lapangan yang luas. Sebastian turun lebih dulu, lalu menoleh dan mengulurkan tangan. Sienna diam sesaat, lalu menyambut uluran itu.“Aku tak bawa pelatih hari ini,” ucap Sebastian seraya mengambil stik golf dari tas di belakang mereka. “Tapi kau beruntung, aku dikenal sangat sabar dalam mengajar.”Sienna menyipitkan mata. “Kau yakin itu bukan cuma alasan agar bisa memelukku dari belakang dan menye
Setelah sarapan selesai, Joseph kembali ke kamarnya dan tenggelam dalam dunia video game kesayangannya. Suara-suara dari dapur perlahan mereda. Sienna membersihkan meja, sementara Sebastian masih duduk santai di kitchen island sambil menyesap sisa kopi terakhirnya.Sienna menghela napas pelan. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Dan akhirnya, tanpa benar-benar direncanakan, pertanyaan itu lolos dari bibirnya.“Kau tak pulang, Sebastian?”Sebastian mendongak. Wajahnya langsung berubah. Ia meletakkan cangkirnya perlahan, menyandarkan tubuh ke kursi, lalu menatap Sienna tanpa berkedip.“Kita sudah bercinta tadi malam,” ucapnya pelan namun mantap. “Dan sekarang kau berpikir untuk mengusirku?”Sienna terdiam. Napasnya tertahan. Ia buru-buru menunduk, merapikan sendok yang sebenarnya sudah tersusun rapi.“Bukan maksudku begitu—”“Lalu apa?” potong Sebastian, suaranya tetap tenang tapi tegas. “Sienna, kau tahu, ‘kan? Setelah semalam, aku bukan tipe yang bisa disingkirkan semudah it
“Mom… Dad?”Sienna sontak membeku.Panik menjalar dari ubun-ubun hingga ke ujung jemarinya. Ia menoleh cepat, matanya melebar seperti rusa yang tertangkap sorot lampu mobil.Joseph berdiri tak jauh di belakang Sebastian—dan ia baru sadar, dirinya masih mengenakan hanya kemeja Sebastian. Tanpa bra, tanpa celana dalam. Kancing bagian atas pun terbuka, memperlihatkan dadanya yang sedikit menyembul keluar.Sebastian menoleh dengan reaksi yang lebih lambat, tapi langsung tanggap. Ia berdiri, lalu bergerak menutupi pandangan anak mereka.“Joseph!” serunya ceria. “Pagi, Kapten!”Bocah itu melangkah mendekat.Sienna yang nyaris membatu, mendadak turun dari kursi dan berjongkok di balik kitchen island.“Alihkan perhatiannya. Aku akan cepat-cepat ke kamar,” bisiknya singkat.Sebastian mengangguk. Ia langsung jongkok menyambut Joseph, mencoba mengalihkan perhatian bocah itu. “Hei, bangun pagi sekali, ya?”“Aku cium bau telur,” ucap Joseph sambil mengucek matanya.“Dan kau benar!” balas Sebastian
“Bukan aneh,” gumam Sebastian. “Hanya… tak kuduga. Kupikir kau akan mengusirku alih-alih mengucapkan ‘pagi’.”Sienna terkekeh kecil. “Kalau kau tidak mengacau, mungkin aku akan lebih sering menyapa seperti ini.”Sebastian menaikkan sebelah alis, setengah menggoda. “Kau bilang aku mengacau, padahal semalam kau—”Sienna langsung melempar bantal ke arah wajah pria itu. “Jangan lanjutkan,” tukasnya, meski senyum masih mengendap di sudut bibirnya. “Aku masih mempertimbangkan untuk menyesal.”Sebastian menangkap bantal itu, lalu tertawa rendah. “Kau tak terlihat seperti orang yang menyesal,” katanya. “Sienna… kau tahu itu berarti sesuatu bagiku, ‘kan?”Sienna menatap Sebastian sebentar, kemudian menunduk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Itulah masalahnya.”Sebastian hendak mengatakan sesuatu, tapi Sienna lebih dulu bangkit, menyambar kemeja pria itu yang tergeletak di lantai dan memakaikan ke tubuhnya. Ia berdiri, berjalan menuju pintu dengan langkah ringan, lalu berhenti di ambang.“Aku akan
Sebastian tidak memberinya waktu untuk berpikir. Bibirnya langsung menyergap bibir Sienna dalam ciuman yang keras, dalam, mengklaim. Seolah enam tahun penantian dan penyangkalan tumpah dalam satu tarikan napas.Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sienna, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bertubrukan tanpa jarak. Sienna menahan napas, lengannya melingkar pada bahu Sebastian, mencengkeram kerah kemeja yang kini telah terbuka sepenuhnya.Ciuman itu berubah menjadi medan pertempuran. Bukan lagi sekadar rindu, tapi hasrat yang tak pernah sempat padam meski dibenamkan selama bertahun-tahun.Sienna mendorong tubuhnya ke arah Sebastian, balas mencium pria itu dengan napas yang tak terkendali. Jemarinya mencakar punggung Sebastian, menyusuri otot-otot yang menegang di balik kulitnya yang hangat.Pria itu menggeram pelan, lalu menunduk dan menyerang lehernya, menggigitnya dengan tekanan yang nyaris menyakitkan. Sienna terlonjak kecil, tapi tidak menjauh—justru merapat, seolah m