Share

08. Iri

"Hai, Jinny, maaf membuatmu menunggu lama"

Jinny menoleh dan tersenyum sempurna ketika Joe menghampirinya. Julian yang juga menoleh kearah Joe yang saat itu sudah berdiri di samping Jinny.

"Akhirnya, kau datang juga"

"Sebeneranya rapat sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, namun ibuku tiba-tiba menelpon dan menyuruhku untuk segera pulang kerumah"

Pandangan Joe kini beralih pada Julian yang hanya diam. "Oh, hai Julian, senang bisa bertemu denganmu lagi" sapa Joe ramah.

"Hai, Joe, sama-sama" balas Julian dengan tersenyum ramah.

Setelah saling sapa satu sama lain, Julian dan Jinny berdiri, dan gadis itu menatap Julian yang ada disampingnya. "Terima kasih sudah menemaniku, Julian" kata Jinny

"Sama-sama, senang bisa berbincang denganmu" balas Julian ringan, mengangkat bahu.

"Baiklah, selamat malam Julian"

Julian menangguk, tersenyum. Baru saja Julian akan mengenakan ranselnya, Jinny tiba-tiba memabalikkan badan sambil berjalan mundur sambil berkata "Oh ya, terima kasih atas cerita horrormu hari ini, Julian" gadis itu tersenyum lebar lalu membalikkan badan.

Julian tertawa kecil, memandang punggung keduanya yang terus menjauh dari pandangannya. Tepat saat itu juga pandangan matanya menangkap sosok seorang gadis yang berdiri di anak tangga sedang memperhatikannya. Gadis itu terkesiap ketika tatapan mereka bertemu. Ia dengan cepat memalingkan wajah dan berlari meninggalkan tempat itu.

Julian mengernyit, meskipun langit sudah gelap namun ia dapat melihat wajah gadis itu. Yep, Jane Nelson sedang memperhatikannya.

"Bukankah itu Jane?" gumam Julian, mengangkat bahu sambil lalu. Laki-laki itu tidak ingin ambil pusing karena ia harus segera pergi dari sana, jika tidak ia akan terlambat untuk part time.

***

Siang itu Jinny hendak ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang ia pinjam tiga hari yang lalu. Ia berjalan dengan sedikit menunduk ketika melewati koridor yang saat itu di dominasi siswa laki-laki. Ia ingin cepat melewati kerumunan, ketika salah seorang dari mereka tidak melihat Jinny berjalan dibelakangnya. Kessie yang saat itu sedang berbincang dengan teman laki-laki nya menubruk Jinny dibelakangnya.

Jinny terhempas dan hampir menabrak tembok di sampingnya. Kessie tersentak dan menengok kebelakang. Bukannya meminta maaf gadis itu malah mendorong kembali Jinny hingga membentur tembok. Jinny meringis sementara buku yang dibawanya terjatuh.

"Aduh! Kalau jalan lihat-lihat, kau punya mata, kan!?"

Sementara teman laki-lakinya terkejut namun tidak melakukan apapun.

Jinny menegakkan tubuhnya, menatap Kessie ragu. "Maaf, aku tidak sengaja, lagipula kau yang menabrakku lebih dulu" Jinny membela diri dengan suara terbata-bata.

"Apa!? Kau menyalahkanku? Jelas-jelas kau yang tidak melihat jalan, makanya kalau jalan itu jangan menunduk!"

Baru saja Jinny akan membuka suara, seseorang menginterupsi dari ujung koridor. "Dia tidak salah!"

Sontak, semua mengarah ke sumber suara. Kessie menyipitkan mata melihat sosok kini berjalan mendekat. Ia memutar bola matanya seraya mendengus. Siapalagi orang ini? Ia tidak pernah melihat orang itu sebelumnya.

"Aku lihat kau yang tidak melihat jalan ketika sedang bercanda dengan temanmu, hingga menabraknya," kata orang itu yang ternyata Jane Nelson seraya menunjuk Jinny, "Seharusnya kau yang minta maaf, bukan malah menyalahkannya"

"Kau siapa? Kau bukan dari fakultas bisnis, bukan?"

"Aku Jane dari fakultas Teknik Komputer"

Kessie mendecakkan lidah seraya mencibir lalu pergi, diikuti oleh teman laki-lakinya tadi.

Jane menatap Kessie yang berlalu pergi, kemudian beralih menatap Jinny yang sedari tadi hanya diam. Ia tersenyum kecil dan dengan canggung ia membuka suara. "Ma, maaf, aku kebetulan lewat dan melihatnya"

"Oh, Tidak, kau tidak perlu minta maaf, aku sangat berterima kasih padamu" sergah Jinny cepat "Dia memang selalu seperti itu padaku"

"Namaku Jinny Wilson, kau bisa memanggilku Jinny"

Jane menatap ragu uluran tangan Jinny. Namun setelah berpikir sejenak ia menyambut uluran tangan Jinny dengan tersenyum kecil.

"Aku Jane Nelson"

"Hai, Jane senang berkenalan denganmu"

"I, iya aku juga...apakah kau berteman dengan Julian?"

Jinny mengangkat alis, berpikir sejenak lalu tersenyum dan berkata "Ya, aku berteman dengannya"

"Kenapa? Apakah kau mengenal Julian?"

"Te, tentu aku teman sekelasnya, aku beberapa kali melihatmu bersama dengannya"

"Oh, ya? Aku senang mendengarnya. Dan aku dan Julian hanya kebetulan saja bertemu disaat yang tak terduga"

Jane tersenyum samar, ia menatap Jinny dengan tatapan yang hanya dimengerti oleh sesama wanita. Seakan ia tak rela miliknya dekat dengan orang lain.

***

Tahun pertama masuk universitas, Jane Nelson sangat sulit membaur dengan mahasiswa lain termasuk teman sekelasnya. Ia memang tidak pandai bergaul sejak duduk di bangku sekolah dasar. Mendapatkan satu teman saja ia sudah sangat senang, apaalgi masuk ke dalam group populer disekolah, ia tak pernah membayangkan itu. Sekedar menyapa teman sebangku saja, tatapan aneh ditujukan padanya. Orang-orang memandangnya bagaikan larva menjijikan.

Jane memandang sekeliling kelas, semua mahasiswa sudah menentukan kelompoknya masing-masing. Hanya dia yang tidak mendapatkan tawaran untuk bergabung kedalam kelompok. Disisi lain ia mengutuk tugas yang mengharuskannya mencari kelompok. Sejak dulu ia memang selalu terasingkan dengan yang lain.

Ia hanya menunduk meratapi nasib, padahal jika dibandingakan dengan murid lain, nilai akademisnya cukup baik. Namun hanya karena ia tidak memiliki penampilan menarik, semua orang abai akan keberadaannya.

"Hai, kau mau bergabung bersama kami?"

Jane terperanjat, ia mengerjap ketika seseorang menawarkannya untuk bergabung. Ini sungguh seperti mimpi. Gadis itu mengangkat kepalanya, memandang sosok laki-laki yang mengadap dirinya. Yep, Julian yang duduk didepannya menawarkan untuk bergabung.

"Kami hanya berdua dan kekurangan satu orang anggota" kata Julian, menunjuk Paul yang duduk disampingnya dengan ibu jari.

Paul menatap aneh Julian yang lebih memilih Jane bergabung kedalam kelompok mereka. Namun jika dilihat lagi, semua orang sudah mendapatkan kelompoknya dengan jumlah anggota yang pas. Sementara mereka hanya berdua, yang seharusnya satu kelompok tiga orang. Ia hanya mengembuskan napas pasrah, mengajak Jane bergabung bukan hal yang buruk.

Jane berpikir sejenak, lalu menerima tawaran Julian dengan senyum antusias. Sejak saat itulah ia merasa ada orang yang melihatnya sebagai manusia bukan lagi sebagai kuman menjijikan.

Setelah bergabungnya ia bersama Julian, ia merasa jika laki-laki itu sangat baik padanya. Tidak sedikitpun ia merasa terasingkan dan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti yang selama ia terima dari orang-orang. Dan sejak saat itulah ia merasa jika Julian merupakan orang sangat spesial baginya.

"Hei, Jane, kau tadak apa-apa?" Jinny mengibaskan tangannya di depan wajah Jane yang tiba-tiba melamun menatapnya.

Jane mengerjap dan tersenyum kaku. "Ti, tidak, aku tidak apa-apa"

"Benarkah?" Jinny meragukan jawaban Jane. Pasalanya Jane menatapnya lekat seakan ia melakukan kesalahan fatal hingga membuat gadis itu seperti ingin memakannya hidup-hidup.

"Maaf, aku harus ke ruang administrasi"

Jane melewati Jinny dan melangkahkan kaki lebar menuju ruang administrasi yang ada di lantai satu. Jinny hanya menatapnya bingung, dan mengangkat bahunya sambil lalu. Sepertinya ada yang lebih aneh dari dirinya. Bahkan mungkin lebih aneh. Entahlah.

***

Dua hari setelah pertemuan pertamanya dengan Jinny, Jane selalu memperhatikan Julian dan mengikuti kemanapun laki-laki itu pergi. Bukan bermaksud untuk menguntit, hanya memastikan bahwa Julian dan Jinny hanya sebatas teman biasa saja, tidak seperti apa yang dipikirkannya. Ia selalu menutupi wajahnya agar laki-laki itu tidak menaruh curiga terhadapnya.

Seharian ia mengikuti Julian, mulai dari ke kantin, ke perpustakaan, ke ruang club sepak bola bahkan hampir memasuki toilet pria, tak sekalipun ia melihat Julian bertemu dengan Jinny. Yep, itu yang diharapkannya. Baru saja ia akan mengembuskan napas lega, setelah hampir seharian hingga mata kuliah selesai, Julian hanya bersama Paul, matanya menyipit ketika Julian menghampiri seorang gadis yang sedang duduk dikursi tepi danau.

Gadis itu yang dihampiri Julian adalah Jinny, pundaknya melingsut turun. Pikiran jika Julian menyukai Jinny menguasai otaknya. Ia tidak bisa menepis hal negatidf yang membuat hatinya gusar. Tatapan matanya berubah dingin saat melihat laki-laki yang ia sukai tertawa bersama gadis lain. Tangannya mengepal menahan hatinya sedang gelisah.

Tidak hanya hari itu saja ia melihat kebersamaan Julian dan Jinny, dihari berikutnya iapun melihat keduanya tampak akrab ketika bertemu dikantin. Apakah laki-laki itu menyukai Jinny? Bagaimana caranya mencuri perhatian Julian dari gadis itu?

Matanya menyipit saat melihat seorang laki-laki menghampiri meja Julian dan Jinny. Bukan Paul melainkan Joe, ia tahu siapa orang itu. Tak ada seorangpun yang tidak mengenal Joe Fernandez yang merupakan ketua senat kampus. Laki-laki itu menyapa dengan tersenyum sempurna.

Ia mengembuskan napas dalam. Betapa beruntungnya Jinny dikelilingi oleh laki-laki tampan seperti mereka. Rasa cemburu merasuki pikirannya, jika saja ia secantik gadis itu, maka semua orang akan menagntri berteman dengannya. Dan juga akan sangat mudah mendapatkan perhatian para lelaki tampan.

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status