Share

10. Menginap

Disinilah ia sekarang. Gadis itu memandang punggung Julian harap cemas, ia takut jika orang tuanya akan memarahinya karena membawa gadis ke dalam rumah. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Ia tidak ingin pulang ke rumah dan melihat ibunya bersama pria lain. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi keputusannya untuk menginap di rumah seorang laki-laki yang baru ia kenal satu minggu itu suatu keputusan bodoh dan aneh. Lalu, ap bedanya ia dengan ibunya?

"Silahkan masuk"

Suara Julian membuyarkan lamunannya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ini kali pertama ia memasuki rumah orang lain selain Joe.

Jinny mengikuti Julian dari belakang melangkah ke dalam ruang tengah. Matanya memandangi sekeliling rumah. Sangat rapi dan bersih, tidak terlalu besar namun sangat nyaman di tinggali. Tidak seperti rumahnya yang besar namun terasa hampa.

Julian melepas ranselnya lalu menentengnya dan Jinny hanya diam mengikuti langkah laku-laki itu.

Julian menghentikan langkahnya ketika sampai di ruang tengah. Jinny terkejut dan hampir menabrak punggung laki-laki itu jika ia terus melamun dan tidak menyadari Julian yang berhenti tiba-tiba. Ia mundur beberapa langkah agar tidak terlalu dekat dengan Julian.

Di sana terdapat TV yang sedang menyala, dan seseorang tengah duduk di sofa dengan posisi mebelakangi mereka.

"Hai, mam" sapa Julian dan berjalan menuju sofa.

Jinny hanya diam di tempat.

"Sudah pulang, nak?" sahut Nancy—ibu Julian.

"Mom, aku membawa seseorang dan dia akan menginap malam ini"

Nancy mengangkat alis bingung "Paul?" tanya Nancy yang hanya tahu kalau anaknya hanya berteman dengan satu orang yaitu Paul.

"Bukan Paul, namun Jinny, Jinny Wilson" Julian mengoreksi dan menoleh ke arah Jinny. Gadis itu tersenyum kaku.

Nancy berdiri dan mengikuti arah pandang Julian. Wanita paruh baya itu cukup terkejut, namun sesaat kemudian menyambut hangat kehadiran Jinny.

"Oh, Hai, Wilson, aku cukup terkejut" sapa Nancy, mengitari sofa, melangkah menghampiri Jinny.

Gadis itu tersenyum kaku, melambaikan tangannya ragu.

"Hai, Nancy"

Nancy memeluk Jinny, dan gadis itu cukup tercengang. Ia tak menyangka jika orang tua Julian menyambutnya hangat.

Julian hanya diam dan tersenyum. Ia meletakkan tasnya di atas sofa lalu melepaskan jaket tebalnya.

Nancy melepas pelukannya, lalu berkata "Aku senang kau akan menginap di sini, tapi..."

Nancy menengok ke belakang dan menatap Julian tajam, seakan ia sangat membutuhkan penjelasan dari laki-laki itu. Julian mengernyit, namun mengerti maksud tatapan ibunya.

Wanita itu kembali menatap Jinny dan menggiringnya menuju sofa. Sementara Julian lebih dulu duduk di sebelah kiri sofa.

"Maaf, aku dan Julian tidak ada maksud buruk. Aku hanya minta tolong padanya untuk mengizinkanku menginap disini, karena...," ia diam, melirik Julian sejenak lalu melanjutkan "Aku ada sedikit masalah dengan ibuku, dan kebetulan bertemu dengan Julian"

Nancy mengelus punggung Jinny lembut.

"Aku sama sekali tidak keberatan atau marah kau menginap disini, aku sangat senang ada anak perempuan di rumahku" kata Nancy dengan senyumnya yang merekah.

"Terima kasih, aku tak tahu harus membalas kebaikanmu seperti apa"

"Kau tidak perlu membalas apapun, karena kau adalah pelanggan tetapku di toko itu sudah lebih dari cukup"

Jinny tersenyum. Ia malu namun merasa lega atas sambutan baik Nancy padanya. Sangat lama sekali rasanya ia tidak mendapat belaian lembut seorang ibu.

"Baiklah, sekarang kau bersihkan dirimu kemudian istirahatlah" ucapnya lalu Nancy menatap Julian "Antarkan dia kekamarmu"

Jinny mengangkat alis terkejut, apakah ia malam ini tidur di kamar Julian? Oh, Tuhan ini sangat memalukan.

"Maafkan kami, rumah ini hanya memiliki tiga kamar saja, satu untuk Julian dan satunya lagi untuk adikknya"

"Ti, tidak apa-apa, aku tidak masalah dengan itu"

Julian hanya tersenyum kecil melihat wajah Jinny yang memerah.

"Aku akan mengambilkan baju ganti untukmu"

Jinny dan Julian saling menatap, laki-laki itu mengangkat bahu sambil lalu. Sementara Jinny bingung harus bersikap seperti apa, ia tidak bisa lari sekarang.

***

Joe menatap malas hidangan di atas meja. Ia hanya memainkan pasta dengan garpu karena ia tidak nafsu makan meski hidangan di hadapannya tampak lezat. Ia tak mendengarkan percakapan ibu dan dua orang tamu yang berkunjung ke rumahnya. Bukan karena undangan pesta melainkan jamuan makan malam untuk memeperkenalkan Joe dengan seorang gadis yang duduk diseberang kursinya. Yep, bisa di bilang ini adalah sebuah perjodohan.

Laki-laki itu melirik ke arah gadis di hadapannya. Sepertinya gadis itu sama sepertinya yang tidak suka dengan perjodohan gila ini. Hanya karena ibunya dan orang tua gadis itu mengingat janji untuk menjodohkan anak mereka kelak. Sangat bodoh dan tidak masuk akal, bagaimana bisa mereka melakukan perjanjian itu tanpa bertanya apakah si anak bersedia atau tidak.

Tiga hari yang lalu ibunya menelpon Joe untuk cepat pulang ke rumah karena ada sesuatu yang ingin di sampaikannya saat itu.

"Mom, apakah apakah kau sudah gila? Menjodohkan aku dengan anak temanmu?" Tanya Joe dengan nada frustasi.

"Aku dan keluarga Berthold berteman sejak SMA dan kami berencana menjodohkan kalian jika aku memiliki anak laki-laki dan mereka memiliki anak perempuan. Dan kau tahi, anak perempuan mereka bernama Diana Berthold, ia gadis yang cantik dan pintar"

Mendengar penjelasan ibunya, ia semakin tidak percaya dengan jalan pikiran para orang tua yang memiliki rencana bodoh semacam perjodohan tidak masuk akal itu.

"Aku menolak"

"Tidak bisa! hari sabtu nanti ibu akan mengundang mereka makan malam di rumah kita" bantah ibunya.

"Kau belum meminta persetujuan ayah tentang ini"

"Ayahmu setuju dan ia senang dengan perjodohan ini"

"Apa!?"

Ibunya tidak menjelaskan apapun lagi ketika ia mendapat telepon dari keluarga Berthold. Wanita paruh baya itu menjawab dengan ramah dan tersenyum lebar.

Joe mendengus, dan melengos pergi ke kamar. Ini sungguh gila.

Ibunya—Jessica Fernandez—dan keluarga Berthold asyik menceritakan tentang masa-masa SMA yang menurut mereka memalukan dan menyenangkan.

Sementara Diana Berthold hanya diam, ia sesekali mencuri pandang ke arah Joe. Ia dan Joe hanya bertegur sapa saat mereka pertama berkenalan satu jam yang lalu, setelah itu Joe hanya diam dan tidak mengatakan sepatah katapun.

Diam-diam ia mengagumi sosok Joe yang tampan meski ia menolak untuk di jodohkan oleh kedua orang tuanya.

"Mom, aku ke toilet sebentar" bisik Julian pada Jessica yang duduk sampingnya.

"Jangan lama-lama"

Julian mendorong kursinya ke belakang kemudian berdiri, sebelumpergi ia juga permisi pada keluarga Berthold. Laki-laki itu juga melirik sekilas Diana lalu meninggalkan meja makan. Diana hanya tersenyum samar, memandangi punggung Julian yang semakin menjauh.

Sesampainya di kamar ia menutup pintu kemudian mengembuskan napas dalam. Perjodohan sungguh konyol hingga membuatnya frustasi. Julian hendak ke toilet ketika ponselnya bergetar di atas meje belajar. Ia baru ingat jika lupa membawa ponselnya sejak kedatangan keluarga Berthold. Ia mengira jika yang menelponnya adalah Jinny dan ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya ternyata bukan nama gadis itu melainkan Sera Wilson. Keningnya berkerut heran.

"Selamat malam, Sera—"

"Hallo, Joe, apakah Jinny ada di sana?" Sera menyela dan menyambar Julian dengan pertanyaan dengan nada khawatir

Julian mengernyit tidak mengerti maksud pertanyaan Sera yang menanyakan keberadaan Jinny padanya. Apakah sesuatu telah terjadi dengan Jinny?

"Jinny?"

"Iya, apakah dia ada disana?" tanya lagi, yang sekarang nadanya terdengar lebih tenang.

"Ada apa dengan Jinny?" Julian balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Sera, wajahnya tampak khawatir.

"Ada sedikit kesalah pahaman antara aku dan Jinny hingga ia lari dari rumah. Ini salahku, tidak seharusnya aku melakukannya..." Sera menjelaskan dengan tenang namun terdengar bergetar. Ia berkali-kali menarik napas lalu berusaha mengembuskannya.

"Aku harap dia sedang bersamamu, dan aku bisa sedikit tenang..."

Julian memejamkan mata dan mengembuskan napas dalam. Ia berusaha agar tetap tenang agar Sera tidak semakin khawatir.

"Tenang Sera, aku akan mencarinya. Aku akan memberi kabar jika menemukannya"

Joe menutup telepon setelah Sera menaruh harap padanya. Ia menatap layar ponsel dan ia mengangkat alis ketika mendapat pemberitahuan panggilan tak terjawab dari Jinny. Dengan cepat menghubungi kembali gadis itu dan berharap Jinny menjawabnya.

***

Jinny telah selesai membersihkan dirinya dan mengenakan pakaian ganti yang di berikan Nancy padanya. Meskipun ukuran baju itu sedikit besar namun Jinny sangat nyaman mengenakannya. Gadis itu sekarang ada di kamar Julian dan duduk di pinggiran kasur, ia memandangi seluruh isi kamar laki-laki itu. Jinny cukup takjub dengan keadaan kamar Julian yang rapi dan bersih untuk ukuran kamar anak laki-laki. Yah, bayangan jika kamar Julian berantakan sebelumnya adalah salah.

Gadis itu memperhatikan meja di samping tempat tidur yang terdapat komputer dengan set yang lengkap, tidak salah jika Julian masuk fakultas Teknik Komputer. Di samping meja komputer terdapat rak buku yang juga di hiasi dengan miniatur tokoh kartun pororo. Ia tersenyum kecil melihatnya, sungguh lucu karena itu juga merupakan serial kartun favoritenya. Di samping lemari terdapat jendela yang di bawahnya ada sofa yang berukuran sedang dan sepertinya cukup digunakan untuk tidur. Ukuran kamar tidak terlalu besar namun cukup nyaman.

Ia hendak akan berdiri ketika suara ketukan pintu terdengar, ia menengok kebelakang dan mempersilahkan masuk. Julian muncul dari balik pintu. Laki-laki itu baru selesai mandi terlihat dari rambutnya yang basah.

Jinny menatap Julian canggung, pikiran yang tidak-tidak muncul di benaknya. Ini kali pertama ia berdua dengan seorang laki-laki di kamar. Dan oh, ia baru ingat jika ia akan tidur di kasur Julian malam ini. Memikirkannya saja membuatnya sulit untuk bernapas. Ia tidak pernah tidur di kamar laki-laki, termasuk Joe sekalipun.

"Tenang saja, aku akan tidur di sofa sana," Julian seakan mengerti gelagat gadis itu dan menunjuk arah sofa yang berada dekat dengan jendela "Dan kau tidur di kasurku"

Jinny tersenyum kaku. Ia tak dapat menyembunyikan wajah malunya.

"Apakah kau lebih suka lampu di matikan saat tidur?" tanya Julian, berjalan ke arah lemari dan mengambil cadangan selimut.

"Tentu saja, aku tidak suka jika ada setitik cahaya ketika tidur. Itu sangat mengganggu mataku"

"Aku pikir kau takut jika lampu di matikan" Julian tertawa kecil mulai menggoda Jinny.

"Apakah kau berusaaha menakut-nakuitku lagi?" tanya Jinny dengan wajah memberengut.

"Tidak" Julian menengeok ke arah Jinny dengan tersenyum kecil.

Julian meletakkan selimut di sofa setelah mengambilnya dari lemari. Jinny hanya memperthatikan laki-laki itu, ketika ia akan menaikkan kakinya ke atas kasur, ponselnya bergetar. Ia mencabut kabel charger saat baterai ponselnya penuh, bersyukur Julian memilki charger yang sama dengan ukuran ponselnya.

Ia melihat nama yang tertera di layar dan terkejut. Oh Tuhan, bagaiman ia harus menjawab panggilan Joe ketika ia sedang berada di kamar laki-laki.

"Ha, hai, Joe" sapa Jinny ketika memutuskan untuk menjawabnya.

Julian menoleh menatap Jinny ketika gadis itu menerima telepon.

"Kau di mana sekarang?" tanya Joe dengan nada khawatir.

"A..aku, aku di..."

"Di mana? Ibumu menelponku dan menanyakan keberadaanmu padaku"

Jinny menggigit bibir bawahnya, ia mengangat pandangannya dan menatap Julian yang juga sedang menatapnya. Apakah ia harus jujur jika sedang bersama dengan Julian malam ini?

Dugaannya benar, pasti ibunya akan menghubungi Joe dan menanyakan tentangnya pada laki-laki itu. Itu tidak salah, karena hanya Joe yang dekat dengannya dan Sera tahu itu.

"Tenang Joe, sekarang aku sedang bersama dengan Julian. Aku kebetulan bertemu dengannya di jalan, dan dia menolongku"

"Okay, sekarang beritahu aku posisimu sekarang, aku akan menjemputmu"

Jinny memejamkan matanya sejenak, mengatur napas dan detak jantungnya. Ia tak mengerti kenapa ia takut memberitahu keberadaannya sekarang.

"Aku di rumah Julian, dan kau tidak perlu menjemputkan karena aku tidak apa-apa. Besok pagi aku pulang, dan beritahu ibuku untuk tidak mengkhwatirkanku"

Setelah mengatakan semua itu ia menarik napas lalu mengembuskannya. Sementara Julian hanya diam dan duduk di atas sofa sambil memainkan ponsel.

Jinny mengernyit ketika Joe hanya diam saja. Kenapa atmosfer di sekitarnya menjadi aneh seperti itu.

"J, Joe?"

"Baiklah, aku akan mengabarkan ibumu jika kau baik-baik saja"

Joe menutup sambungan telepon dan mengembuskan napas dalam. Ia lega jika Jinny baik-baik saja, namun kenapa perasaan lega itu tidak sejalan dengan hatinya. Rahangnya mengeras seraya menggenggam erat ponselnya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
sejauh ini aku nyaman banget bacanya,alur ceritanya bagus,overall oke banget btw author kalo ada sosmd aku igin follow dong
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status