"Nggak!"
"Mau!"
KERENGGANGAN itu terendus juga, dibawa oleh angin yang mengiringi setiap berita ke pelosok Sekolah. Khika menjauh dari Vino, semua orang tahu itu. Mungkin positifnya dari kejadian ini adalah perbedaan presepsi yang cukup signifikan sebelum dan sesudah Vino menggencarkan aksi buka-bukaan ini. Pada akhirnya semua orang tahu bahwa Vino lah yang mengejar Khika, bukan sebaliknya seperti yang dituturkan gosip-gosip tak bertanggung jawab dahulu. Jadi setiap Kak Vio melabraknya, dia tak pernah lagi mendengar kata 'jangan deketin Vino' tapi diganti dengan hal lain yang diada-ada."Awas lo cewek muna!
- Kemarin,sepulang Sekolah. -Sudut pandang Vino.
PAK FUAD mengemudikan mobil yang membawa serta Vino di jalan kota Bandung malam itu. Menyusuri jalan yang disoroti lampu kuning dan rimbun pepohonan di pinggir jalan yang menjadi sarang mata Vino untuk memandang kosong.
KHIKA melangkah jemu, menengoki jam tangannya yang sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Dia datang sangat mepet nyaris kesiangan. Pak Gatot bahkan sudah menutup gerbangnya setengah, sampai harus memanggil Khika agar berjalan lebih cepat supaya dia tak terlambat.Tapi Khika terlanjur seperti siput pagi ini. Jalan ke kelas pun lambat, bicarapun lambat, sampai-sampai mikir pun ikutan lambat.
"RA! Zahra! Grup hilang! Lo tau nggak Ra?! Parah banget!" Ketika balik ke stand Maurien langsung heboh menghampiri Zahra---tanpa peduli keberadaan Iwan yang sedang mengekori Zahra disebelah wajannya. Saat itu Zahra sangat berterimakasih dengan kehadiran Maurien dan Khika. Karena, setidaknya Iwan akan berhenti memaksanya menjawab."Gimana Ra? Plis jawab gue dulu," ucap Iwan sekali lagi. Membuat Maurien langsung usil menyahut.
DIA membayangkan dirinya tenggelam sendiri dalam danau pengabaian, lalu pundaknya diguncangkan oleh sesuatu hingga keyakinan mencengkram titik kesadarannya.
"SAYA kan udah bilang, jangan deketin Kenta." Vino mengulang kata-kata itu. Mereka duduk di Kantin sekarang. Khika hanya diam tak membalas perkataan Vino, boro-boro mau memikirkan kejadian tadi. Otaknya telak disumbat oleh tatapan-tatapan dingin yang berseliweran di kantin. Gimana bisa mikir kalau dilihatin kayak pertunjukan sirkus begini?Iya, tanpa sungkan anak-anak di Kantin memandangi mereka le
LELAKI tua itu mengetuk-ngetuk buku tangannya di meja kerja. Memantulkan bunyi yang menguasai kesunyian malam itu, hanya cahaya remang dari lampu meja yang menyorot lurus kearah satu demi satu jepretan foto. Ia membulak-baliknya, berulang kali. Tak perlu memastikan lebih dalam lagi, ia segera mengacungkan satu tangannya ke hadapan tuan Brooke yang tampak menanti dengan taat dipinggir meja.