PAK FUAD mengemudikan mobil yang membawa serta Vino di jalan kota Bandung malam itu. Menyusuri jalan yang disoroti lampu kuning dan rimbun pepohonan di pinggir jalan yang menjadi sarang mata Vino untuk memandang kosong.
KHIKA melangkah jemu, menengoki jam tangannya yang sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Dia datang sangat mepet nyaris kesiangan. Pak Gatot bahkan sudah menutup gerbangnya setengah, sampai harus memanggil Khika agar berjalan lebih cepat supaya dia tak terlambat.Tapi Khika terlanjur seperti siput pagi ini. Jalan ke kelas pun lambat, bicarapun lambat, sampai-sampai mikir pun ikutan lambat.
"RA! Zahra! Grup hilang! Lo tau nggak Ra?! Parah banget!" Ketika balik ke stand Maurien langsung heboh menghampiri Zahra---tanpa peduli keberadaan Iwan yang sedang mengekori Zahra disebelah wajannya. Saat itu Zahra sangat berterimakasih dengan kehadiran Maurien dan Khika. Karena, setidaknya Iwan akan berhenti memaksanya menjawab."Gimana Ra? Plis jawab gue dulu," ucap Iwan sekali lagi. Membuat Maurien langsung usil menyahut.
DIA membayangkan dirinya tenggelam sendiri dalam danau pengabaian, lalu pundaknya diguncangkan oleh sesuatu hingga keyakinan mencengkram titik kesadarannya.
"SAYA kan udah bilang, jangan deketin Kenta." Vino mengulang kata-kata itu. Mereka duduk di Kantin sekarang. Khika hanya diam tak membalas perkataan Vino, boro-boro mau memikirkan kejadian tadi. Otaknya telak disumbat oleh tatapan-tatapan dingin yang berseliweran di kantin. Gimana bisa mikir kalau dilihatin kayak pertunjukan sirkus begini?Iya, tanpa sungkan anak-anak di Kantin memandangi mereka le
LELAKI tua itu mengetuk-ngetuk buku tangannya di meja kerja. Memantulkan bunyi yang menguasai kesunyian malam itu, hanya cahaya remang dari lampu meja yang menyorot lurus kearah satu demi satu jepretan foto. Ia membulak-baliknya, berulang kali. Tak perlu memastikan lebih dalam lagi, ia segera mengacungkan satu tangannya ke hadapan tuan Brooke yang tampak menanti dengan taat dipinggir meja.
Khika baru saja muncul dari arah belakang Gor, sampai tiba-tiba pundaknya diraih dari belakang, dan diputar dengan cepat menghadap satu sosok yang mencekalnya.
TANGAN lelaki itu menyerahkan sebuah benda mungil berwarna hitam yang sedari tadi ia genggam. Sebuah flashdisk yang ditatap puas oleh si penerima.