Adakalanya, seseorang membutuhkan banyak usaha untuk sekadar diterima di lingkungannya. Begitulah yang dirasakan oleh Cecil sekarang. Pihak sekolah dan kepolisian sudah menyelidiki penyebab kebakaran itu. Terbukti bahwa Cecil, tidak ada hubungannya dengan kejadian dini hari itu.
Kebakaran yang menghanguskan laboratorium kimia itu, disebabkan oleh kosleting listrik yamg disebabkan oleh kabel yang terbuka. Tidak besar sebenarnya, tapi tetap saja, jika percikan api itu sudah menyambar tumpahan cairan kimia mudah terbakar yang tidak terlihat, akan menimbulkan api kecil yang lama kelamaan membesar dan akhirnya membakar seluruh isi laboratorium. Salahkan saja para tikus yang menggigiti kabel itu. Bukannya menemukan makanan, tikus itu malah membuat Cecil, untuk kesekian kalinya ditolak oleh orang-orang. Hal itu jelas terlihat pada hari ini. Cecil, mencoba mendatangi kelas Ririn, untuk melihat kondisi teman barunya itu, memastikan Ririn, baik-baik saja. Tapi bukannya Ririn yang ia temui, malah cewek julit yang tidak ia kenal datang dengan wajah masamnya "Ririn ada?" Tanya Cecil di depan kelas Ririn di waktu istirahat itu. Bukannya menjawab, cewek julit itu malah memandangi Cecil, dari atas ke bawah membuat Cecil, tidak nyaman. Ia mendekapkan kedua tangannya di dada seolah sedang menantang Cecil."Ririn gak ada, dia gak berangkat sekolah, masih sakit di rumah. Gara-gara lo kan?!" Ucap cewek itu membuat Cecil, kembali sedih. Tapi, ia masih berusaha tersenyum di depan cewek itu meski berat. Ia tidak akan kalah hanya dengan ucapan seperti itu bukan? "Oh, gitu. Oke, makasih ya," kata Cecil, sambil berbalik untuk kembali menuju kelasnya. Begitu ia melangkah, ia melihat banyak mata menatapnya begitu sinis. Ia tidak tahu apa salahnya pada mereka. Yang jelas, semua itu bukan salahnya."Sok kecantikan banget tuh anak. Dasar pembawa sial," Cecil, masih bisa mendengar nada sinis yang diucapkan seseorang padanya. Cecilpun, melangkah lebih cepat, berharap, ia bisa segera sampai di kelasnya dan tidak lagi perlu mendengar sindiran tidak jelas yang mengarah langsung pada dirinya. Ia memang berhasil mengabaikan hal itu untuk beberapa saat, tapi kalau terus diucapkan begitu, siapa pula yang bisa tahan.Tapi, begitu sampai di kelasnyapun, Cecil tidak langsung terhindar dari "sapaan akrab" teman-temannya yang tidak bisa menahan sindiran oleh Cecil yang sebenarnya tidak punya salah pada mereka. Ayolah, sejak awal, mereka memang selalu iri dengan segala hal yang dimiliki Cecil. Ini adalah kesempatan bagus bagi mereka untuk bisa membuat Cecil, merasakan penyakit hari mereka yang sudah sekian lama ditahan. Sama seperti sebelumnya, mereka memandang Cecil, seperti makhluk luar angkasa yang belum pernah mereka lihat. Cecil selalu saja dilihat dari atas sampai bawah dengan tatapan nyinyir. Bukan hanya itu saja, begitu sampai di bangkunya yang terletak paling belakang, Cecil dikejutkan dengan mejanya yang sudah kotor dengan cat semprot permanen bertuliskan "Anak Pembawa Sial Ke Laut Aja." Tentu saja hal itu membuat Cecil, begitu marah. Kenapa semua orang menyalahkannya tanpa tahu kenyataan sebenarnya."Eh! Ulah siapa nih? Kalo berani, hadepin gue dong, jangan main sembunyi-sembunyi kayak gini. Beraninya kalau gue lagi gak ada doang!" Kata Cecil, dengan nada tinggi menantang orang yang yang berani mencoret-coret mejanya itu.Ia memandang ke seisi kelas, tidak ada seseorangpun yang mengindahkannya membuat Cecil, semakin sedih. Ia tidak masalah kalau dimusuhi, tapi ia tidak suka diabaikan. Jika seperti ini, Cecil benar-benar merasa tidak dianggap."Gue yang nulis," kata seseorang secara tiba-tiba membuat Cecil, sedikit terkejut. Tidak disangka, bukan teman satu kelas yang melakukannya. Melainkan Nala, orang yang dari awal menuduhnya macam-macam sejak kejadian di malam itu."Nala?""Kenapa? Lo berani sama gue? Udah pembawa sial, sok cantik lagi. Kenapa lo gak pergi aja sih?" Ujar cewek itu menyindir Cecil habis habisan. Cecil benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran cewek itu. Kenapa Nala selalu mengganggunya? Padahal, ia tidak terlalu mengenal cewek itu selain fakta kecil bahwa ia adalah teman sebangku Ririn di kelas sebelah."Eh, emangnya lo siapa ngatur-ngatur gue harus kemana? Yang harusnya pergi tuh elo. Pulang sana ke kelas lo, ngapain lo bela-belain ke sini buat ngerjain gue?" Tanya Cecil, pada Nala yang seolah sedang mengajaknya beradu hantam itu. Cecil merasa, ia tidak perlu takut pada cewek satu ini. Sebab, ia tidak merasa pernah melakukan kesalahan. Tapi, cobaan lain datang mendekat."Eh! Cewek pembawa sial! Gak usah nyolot ya lo. Masih untung lo gak diusir dari sekolah ini. Lo tau gak? Ririn hampir celaka gara-gara lo, lo nggak punya hak buat berlagak songong kayak gitu tau gak!" Kali ini, Nala membentak sambil mendorongnya hingga punggungnya membentur meja dengan keras. Bukan hanya itu, cewek itu bahkan berusaha menarik rambutnya. Beruntung, sebuah tangan kekar menahan gerakan cewek itu hingga Cecil, bisa terlepas dari serangan fisik lain yang akan menyakitinya."Heh, cewek gila! Jangan berani main kasar ya sama Cecil. Jangan main fisik dong, gue laporin BK baru tau rasa lo," kata Adrian sambil mencengkram kuat lengan Nala, yang hendak menyerang Cecil itu."Apaan sih, lepasin gue!" Nala meronta berusaha melepas cengkraman tangan Adrian pada lengannya. Adrianpun, akhirnya melepaskan tangan Nala yang langsung memegangi pergelangan tangannya yang terasa perih karena perbuatan Adrian."Kasar banget sih lo jadi cowok, gak jentle banget. Beraninya sama cewek!" Kata Nala, dengan mata nyalang terlihat tidak takut pada Adrian. Tentu saja hal itu membuat Adrian tergelak. Jujur, ia cukup terkesan dengan keberanian Nala, cewek ini boleh juga. Jika saja ia bukan termasuk cewek yang main serang dengan Cecil, ia akan cukup untuk membawa seorang laki-laki ke pelukannya."Gue gak pernah punya urusan sama cewek kayak lo. Tapi kalo lo gangguin Cecil, lo berarti punya urusan sama gue," kata Adrian, menantang Nala yang menurutnya sudah keterlaluan. Meski sering mendapat nyinyiran pedas, Cecil tidak pernah mendapat serangan fisik sebelumnya. Dilihatnya, Cecil sudah berkaca-kaca. Ia tahu banyak orang yang tidak menyukai Cecil, tapi... Haruskah sampai seperti ini?Adrian melihat kesekeliling, ada banyak orang di tempat ini. Tapi, tidak ada satupun dari mereka yang punya inisiatif untuk melerai pertikaian antara Cecil dan Nala sedari tadi. Mereka malah asyik menonton, seolah, Cecil dan Nala sedang memainkan pertunjukan untuk menghibur mereka.Tidak lama setelahnya, suara bel masuk berbunyi membuat mereka harus menyudahi segalanya. Tentu saja, Nala tampak tidak puas. Cewek itu masih ingin berurusan dengan Cecil sebenarnya. Tapi apa daya, ia harus kembali ke kelas dan melanjutkan tujuan utamanya datang ke sekolah."Awas ya! Urusan kita belum selesai. Lo lonte, gue gak takut walaupun Lo punya anjing penjaga kayak dia," katanya sebelum pergi tentu saja merujuk pada Cecil dan Adrian. "Kalian punya hati gak sih? Percuma sekolah kalo ada kayak gini kalian gak berbuat apa-apa. Banci kalian semua!" Kata Adrian, merasa kesal pada teman-teman sekelasnya yang hanya menonton melihat Cecil dirundung oleh Nala."Udah, udah. Jangan marah-marah lagi, gue gak papa kok," ujar Cecil, menenangkan Adrian yang tampak gusar dengan kelakuan kelasnya. Sungguh, ia tidak bisa melihat Cecil, diperlakukan tidak adil seperti ini.Orang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapnya dengan mat
Hari ini, ayah Aira pergi ke luar negeri, lagi. Kesempatan itu digunakan Aira untuk mengundang kedua sahabatnya ke rumah. Ya, meskipun ia harus membujuk Aoi lebih keras dari biasanya karena pengalaman buruknya saat bertamu terakhir kali memanglah tidak menyenangkan. "Tidak, Aira. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan ayahmu. Jujur saja perlakuannya membuatku sakit hati," kata sahabatnya itu mengungkapkan perasaanya dengan jujur. Aira tahu dan jelas paham apa yang dirasakan Aoi. Kalau Aira berada dalam posisi yang sama dengan Aoi, mungkin bukan hanya sakit hati, ia juga pasti sudah membenci ayahnya, orang yang jelas telah menginjak harga dirinya. Tapi, sungguh. Ia hanya ingin menyenangkan sahabatnya itu. "Ayolah Aoi, ayahku tidak akan pulang selama satu minggu ke depan, kali ini aku sudah memastikannya sendiri. Aku tidak mungkin salah, asisten pribadi ayahku
Malam terlewati begitu saja, dua sejoli yang baru pertama kali merasakan indah bercinta itu kini sudah harus meninggalkan mimpinya. Aoi menggerakkan kelopak matanya perlahan, hingga iris coklat muda itu terbuka dan langsung menyadari jika hari sudah terang. Meski di luar masih banyak salju, cuaca cenderung cerah sama seperti wajah Aoi saat bagun. Ini pengalaman pertama baginya menghabiskan malam bersama seorang pria. Ia sudah menjadi milik Yuta, begitu pula sebaliknya. Di sampingnya, Yuta masih tertidur lelap dengan tubuh polos yang hanya ditutupi selimut. Ada sedikit bercak darah di sprei yang Aoi tiduri. Bercak darah, yang akan mengikatnya dengan Yuta mulai hari ini. Sama halnya dengan Aoi, Yuta pun membuka matanya perlahan. Saat sadar dirinya masih ada di dalam kamar Aoi, bibirnya menyungging senyum. Ia tidak menyangka kepercayaan Aoi padanya ternyata begitu b
Jalanan lengang, itulah yang pertama kali tersaji di hadapan Aira saat duduk memandang jendela di dalam mobil. Kendaraan besi itu melaju mulus di atas aspal tertutup salju, meninggalkan bekas jejak hitam yang memanjang menuju tujuannya beristirahat. Gadis itu menghela nafas perlahan, berharap hal itu bisa meringankan hatinya walau sedikit. Bukan keinginannya untuk terjebak di antara Yuta dan Aoi. Sejak awal dunianya memang sempit, tidak banyak teman yang tulus yang ia temui di sepanjang hidupnya, hanya ada mereka; Yuta dan Aoi. Terlebih lagi di saat sekarang ini di saat seisi sekolah membullynya. Jadi janngan salahkan Aira yang tidak bisa berpaling dari Yuta meski ia tahu hubungan yang ia harapkan tidak akan menjadi nyata dengan mudah. "Sampai kapan akan seperti ini?" Ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Jika saja ia bisa mengendalikan perasaannya, akann lebih mudah jika ia bisa menghilang
"DARAH DARAH DARAAAAAAH!!!!" Aira berteriak ketakutan mendapati seekor burung mati berbau amis di dalam lokernya. Aira tidak mampu berbuat apa-apa selain menjauh dari lokernya itu. Gadis itu pun menutup telinga rapat-rapat mendengar suara tawa dari sekelilingnya. Ia benar-benar takut pada burung mati. Itu mengingatkannya pada burung nuri kesayangannya yang dibakar dengan sengaja oleh ayahnya dulu. Aira melihat sendiri bagaimana burung itu terbang dilepaskan dari kandang dan akhirnya mati di udara jatuh entah dimana karena tubuhnya terbakar. "Belajar! Kamu terlalu banyak bermain dengan burung ini!" Begitu alasan ayahnya dulu. Aira benar-benar kasihan pada burungnya, makhluk kecil itu pasti kesakitan. Saat itu Aira menangis meraung-raung, apalagi burung itu pemberian ibunya yang biasa ia ajak bercerita. Tapi ayahnya tidak peduli, ia meninggalkan Aira begitu saja tanpa mengatakan apapun
Jam pelajaran terakhir memang selalu membosankan, beberapa anak bahkan terlihat tidur dengan menutupi wajahnya dengan buku besar. Suara Air Conditioner mendengung pelan, menghantarkan udara sejuk yang malah membuat semakin mengantuk. Sementara itu, Mizuno yang tidak memperhatikan sekitar tetap menerangkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak cocok dengan suasana seperti ini.Di pojok belakang, Aira pun sama tidak fokusnya. Gadis cantik berambut cokelat vanilla yang dikuncir kuda itu melamun seenaknya tanpa bersusah payah menutupinya. Raga gadis itu boleh saja berada di kelas, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah kecewa Aoi yang dilihatnya saat jam istirahat makan siang. Saat itu di toilet, Aoi benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah manis dan ramah seperti biasanya. Gadis itu tampak tidak bersahabat, wajahnya datar penuh pertanyaan. Aira yang sebenarnya lebih tinggi dari Aoi itu m