Hujan masih deras mengguyur kota Jakarta kala itu. Tapi, di tengah guyuran hujan yang menderas, justru laboratorium kimia mengapi, berkobar memakan segala yang ada di dalamnya. Peristiwa yang tidak pernah ada dalam sejarah SMA Nusa Bangsa yang sudah berdiri selama empat puluh lima tahun.
Pemadam kebakaran masih berusaha untuk menjinakkan api. Tapi, bukan hal itu yang menjadi perhatian dalam peristiwa ini melainkan adu mulut antara Yoga dan Nala.
"Kok lo malah belaian si cewek pembawa sial ini sih? Liat tuh Ririn, kasihan kan dia? Trus ini laboratorium juga gosong kayak gini. Kita tiap taun ngepos di sini Ga, baru kali ini kan ada kejadian kayak gini, setelah ada tu cewek," kata Nala dengan nada penuh amarah di hadapan Yoga, yang mencoba membela Cecil, yang notabenenya juga korban dalam kecelakaan ini. Sebagai teman, seharusnya Nala juga senang Cecil tidak kenapa-kenapa."La, lo tu kenapa sih? Kenapa lo benci sama Cecil? Lo kan juga tahu, Cecil juga korban La, harusnya kita bersyukur temen kita gak kenapa-kenapa," kata Yoga membantah perkataan Nala, yang masih menganggap Cecil, adalah penyebab dari kebakaran dan sakitnya Ririn.'Gue nggak benci sama Cecil. Gue kesel sama lo yang belain Cecil terus di hadapan gue Ga. Gue sakit tiap kali liat lo deket sama Cecil,' kata Nala yang hanya bisa dipendam dalam hatinya. Cewek itu menatap Cecil sekali lagi. Cewek itu sudah menangis, ia juga tidak menyangka kejadian seperti ini akan terjadi padanya. Iapun, turut merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Ririn."Gue tau Ga, gue tau lo tu suka sama Cecil, tapi Lo juga gak boleh kayak gitu dong. Lo harus objektif. Jelas-jelas cuma Cecil, yang ada di lab bareng sama Ririn. Cuma ada mereka berdua di dalem. Kalau bukan dia terus siapa lagi?" Tanya Nala, sarkas pada Yoga yang mulai tidak mengerti jalan pikiran Nala. Bagaimana mungkin, cewek itu masih menyangkut pautkan hal ini dengan perasaannya pada Cecil? Jelas hal itu tidak ada hubungannya."Nala, lo keterlaluan banget ya, gue....""Udah, udah, jangan berantem. Ini salah gue, gue ngerti. Gue emang pembawa sial, ini semua salah gue," kata Cecil akhirnya memilih mengalah untuk menghindari perdebatan panjang antara Nala dan Yoga. Cewek itu menangis terisak, ia sedih dan marah tanpa tahu harus melampiaskan pada siapa. Terlebih, ia benar-benar malu disaksikan banyak orang dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Dibanding menjadi tontonan, Cecilpun memilih pergi. Ia meninggalkan Yoga dan Nala yang tampak masih harus menyelesaikan perdebatan yang tertunda karena dirinya."Cil, tunggu!" Ujar Yoga, yang merasa tidak enak dengan Cecil, karena perkataan Nala tadi. Iapun, menyusul Cecil, yang sudah berlari mendahuluinya, meninggalkan Nala, yang masih sibuk menata hatinya yang masih menyalahkan Cecil, karena kejadian tidak terduga pada dini hari ini. Urusannya dengan Nala bisa ditangani nanti. Sekarang, ia yakin, Cecil membutuhkan seseorang di sampingnya.Benar saja, Yoga melihat Cecil sedang menangis di markas pramuka yang sudah sepi. Wajah cantik Cecil, kini tampak merah, mungkin karena terpapar panas api dari laboratorium kimia tadi. Rambutnya yang biasa tergerai indah, kini berantakan. Iapun tidak pernah menyangka jika kejadian ini akan menimpanya. Tapi, banyak orang yang menyalahkannya karena hal ini, terutama Nala."Cecil? Lo gapapa? Tanya Yoga pada Cecil, yang masih tampak terpukul karena kejadian hari ini. Bukan karena ia dituduh membakar laboratorium sebenarnya. Ya, hal itu juga, tapi yang membuatnya sedih adalah, Ririn terluka karena ini. "Yoga, apa bener ya? Gue ini pembawa sial? Tanya Cecil, membuat Yoga merasa bingung. Dari mana Cecil bisa mengatakan hal itu? Jika saja Yoga, selama ini membuka mata dan telinganya dari suara anak-anak yang membenci Cecil, seharusnya Yoga sudah tahu bahwa cap "anak pembawa sial" memang sudah lama dialamatkan kepada Cecil. Tapi, selama ini Tiga tidak pernah peduli pada gosip-gosip yang beredar di kalangan para cewek, maka dari itu, cowok itu merasa bingung."Lo ngomong apa sih Cil? Mana ada orang bisa bawa sial? Lo ada-ada aja deh. Jangan bilang gitu ah, gak baik tahu!" Ujar Yoga, mencoba menghibur Cecil dengan caranya. Tapi, seakan tidak mempan, Cecil masih saja menangis di sampingnya."Abisnya, semua orang yang deket sama gue pasti kena sial. Sekarang Ririn, jadi korban. Padahal gue udah seneng banget punya teman baru. Setelah ini, pasti Ririn, udah gak mau deket-deket gue lagi," ujarnya masih mengeluarkan isaknya. Sebagai seorang laki-laki, Yoga ingin sekali bisa menghibur Cecil di saat seperti ini. Perlahan, tangannya bergerak untuk ke arah kepala cewek itu. Ia ingin bisa membelai rambut lembut itu, membawa kepala Cecil, ke dalam dekapannya agar cewek itu bisa tenang. Tapi, gerakannya tertahan. Ia tidak ingin menimbulkan kecurigaan lain terhadap Nala. Lagipula, ia juga tidak begitu dekat dengan Cecil, kalau tiba-tiba ia melakukan hal itu, Cecil bisa saja menghajarnya nanti.Tidak lama setelah itu, Cecilpun mulai tenang. Cewek itu menghapus air matanya yang sudah menganak sungai di kedua pipinya dengan punggung tangan. Ia merasa tidak lagi bisa melanjutkan kegiatan pramuka ini sampai akhir. Lagi pula, semua orang pasti membencinya saat ini."Yog, gue boleh pulang gak? Gue udah gak bisa lagi lanjutin kegiatan ini," ujar Cecil pada Yoga yang langsung mengiyakannya dengan anggukan. Seketika, ia teringat pada ponselnya yang masih tertinggal di laboratorium. Tas itu, mungkin sudah hangus terbakar. Ia tidak bisa menghubungi Ardian untuk meminta jemput. Tapi, Cecil lupa jika ini masih jam empat pagi, ia tidak bisa meminta Ardian menjemputnya di dini hari seperti ini. Kalau dipikir-pikir, ia juga sudah terlalu banyak merepotkan Ardian selama ini. Mengingat hal itu membuat Cecil, jadi merasa kasihan pada dirinya sendiri."Iya, lo boleh pulang kok. Lo harus istirahat ya, lupain masalah ini. Pihak sekolah pasti bisa segera nemuin penyebab kebakarannya biar lo gak disalahin lagi," kata cowok itu menenangkan. Cecilpun, akhirnya bisa tersenyum mendengar penuturan Yoga, yang berhasil membuat hatinya sedikit lebih tenang."Gue anterin lo sampai ke rumah ya. Lo kan, gak bisa hubungin supir buat jemput lo. Lo gak bawa hp kan?" Ujar Yoga, yang diiyakan Cecil dengan terpaksa. Kalaupun ia bisa menghubungi Pak Udin, sopirnya, ia ragu untuk melakukannya. Sebab, jika Pak Udin tahu tentang hal ini, ia pasti akan melaporkannya pada papanya.Maka dari itu, ia lebih suka minta Adrian untuk menjemputnya kalau ada apa-apa. Cecil, tidak mau membebani pikiran papanya lagi.
"Makasih ya Ga, lo baik baik banget sama gue," kata Cecil, penuh dengan terimakasih pada Yoga yang sudah mau menolongnya. Yogapun, membalasnya dengan senyuman yang semakin menenangkan hati Cecil.Tapi, Cecil tidak tahu. Ada sepasang mata yang menatapnya cemburu. Ia akan mendapat masalah besar setelah ini.
Orang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapnya dengan mat
Hari ini, ayah Aira pergi ke luar negeri, lagi. Kesempatan itu digunakan Aira untuk mengundang kedua sahabatnya ke rumah. Ya, meskipun ia harus membujuk Aoi lebih keras dari biasanya karena pengalaman buruknya saat bertamu terakhir kali memanglah tidak menyenangkan. "Tidak, Aira. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan ayahmu. Jujur saja perlakuannya membuatku sakit hati," kata sahabatnya itu mengungkapkan perasaanya dengan jujur. Aira tahu dan jelas paham apa yang dirasakan Aoi. Kalau Aira berada dalam posisi yang sama dengan Aoi, mungkin bukan hanya sakit hati, ia juga pasti sudah membenci ayahnya, orang yang jelas telah menginjak harga dirinya. Tapi, sungguh. Ia hanya ingin menyenangkan sahabatnya itu. "Ayolah Aoi, ayahku tidak akan pulang selama satu minggu ke depan, kali ini aku sudah memastikannya sendiri. Aku tidak mungkin salah, asisten pribadi ayahku
Malam terlewati begitu saja, dua sejoli yang baru pertama kali merasakan indah bercinta itu kini sudah harus meninggalkan mimpinya. Aoi menggerakkan kelopak matanya perlahan, hingga iris coklat muda itu terbuka dan langsung menyadari jika hari sudah terang. Meski di luar masih banyak salju, cuaca cenderung cerah sama seperti wajah Aoi saat bagun. Ini pengalaman pertama baginya menghabiskan malam bersama seorang pria. Ia sudah menjadi milik Yuta, begitu pula sebaliknya. Di sampingnya, Yuta masih tertidur lelap dengan tubuh polos yang hanya ditutupi selimut. Ada sedikit bercak darah di sprei yang Aoi tiduri. Bercak darah, yang akan mengikatnya dengan Yuta mulai hari ini. Sama halnya dengan Aoi, Yuta pun membuka matanya perlahan. Saat sadar dirinya masih ada di dalam kamar Aoi, bibirnya menyungging senyum. Ia tidak menyangka kepercayaan Aoi padanya ternyata begitu b
Jalanan lengang, itulah yang pertama kali tersaji di hadapan Aira saat duduk memandang jendela di dalam mobil. Kendaraan besi itu melaju mulus di atas aspal tertutup salju, meninggalkan bekas jejak hitam yang memanjang menuju tujuannya beristirahat. Gadis itu menghela nafas perlahan, berharap hal itu bisa meringankan hatinya walau sedikit. Bukan keinginannya untuk terjebak di antara Yuta dan Aoi. Sejak awal dunianya memang sempit, tidak banyak teman yang tulus yang ia temui di sepanjang hidupnya, hanya ada mereka; Yuta dan Aoi. Terlebih lagi di saat sekarang ini di saat seisi sekolah membullynya. Jadi janngan salahkan Aira yang tidak bisa berpaling dari Yuta meski ia tahu hubungan yang ia harapkan tidak akan menjadi nyata dengan mudah. "Sampai kapan akan seperti ini?" Ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Jika saja ia bisa mengendalikan perasaannya, akann lebih mudah jika ia bisa menghilang
"DARAH DARAH DARAAAAAAH!!!!" Aira berteriak ketakutan mendapati seekor burung mati berbau amis di dalam lokernya. Aira tidak mampu berbuat apa-apa selain menjauh dari lokernya itu. Gadis itu pun menutup telinga rapat-rapat mendengar suara tawa dari sekelilingnya. Ia benar-benar takut pada burung mati. Itu mengingatkannya pada burung nuri kesayangannya yang dibakar dengan sengaja oleh ayahnya dulu. Aira melihat sendiri bagaimana burung itu terbang dilepaskan dari kandang dan akhirnya mati di udara jatuh entah dimana karena tubuhnya terbakar. "Belajar! Kamu terlalu banyak bermain dengan burung ini!" Begitu alasan ayahnya dulu. Aira benar-benar kasihan pada burungnya, makhluk kecil itu pasti kesakitan. Saat itu Aira menangis meraung-raung, apalagi burung itu pemberian ibunya yang biasa ia ajak bercerita. Tapi ayahnya tidak peduli, ia meninggalkan Aira begitu saja tanpa mengatakan apapun
Jam pelajaran terakhir memang selalu membosankan, beberapa anak bahkan terlihat tidur dengan menutupi wajahnya dengan buku besar. Suara Air Conditioner mendengung pelan, menghantarkan udara sejuk yang malah membuat semakin mengantuk. Sementara itu, Mizuno yang tidak memperhatikan sekitar tetap menerangkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak cocok dengan suasana seperti ini.Di pojok belakang, Aira pun sama tidak fokusnya. Gadis cantik berambut cokelat vanilla yang dikuncir kuda itu melamun seenaknya tanpa bersusah payah menutupinya. Raga gadis itu boleh saja berada di kelas, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah kecewa Aoi yang dilihatnya saat jam istirahat makan siang. Saat itu di toilet, Aoi benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah manis dan ramah seperti biasanya. Gadis itu tampak tidak bersahabat, wajahnya datar penuh pertanyaan. Aira yang sebenarnya lebih tinggi dari Aoi itu m