Share

Pindah ke Kampung

Surat pemberitahuan pengeluaran Ezra dari sekolah sudah berada di tangan kedua orang tuanya. Meskipun sudah tahu maksud dari kop surat tersebut, tetap saja Pak Willy membaca surat tersebut sampai selesai.

Dalam isi surat tersebut, diberitahukan kalau Ezra akan dipindahkan ke sekolah yang berada di pinggiran kota Jakarta, yang tempatnya sangat kumuh dan terpencil, bahkan isinya anak-anak yang bermasalah semua, bahasa kasarnya sekolah yang amat sangat bobrok luar dalam. Dan mulai hari Jumat nanti, Ezra sudah mulai bisa bersekolah di sana. Hans dan Rafael bersekolah di sekolah yang berbeda, jadi ketiga orang tersebut tidak bisa bersama-sama lagi.

"Kamu jangan bersekolah di sini. Papa gak setuju." Pak Willy melemparkan surat tersebut ke atas meja kerjanya.

"Kenapa? Aku gak masalah kok bersekolah di sana. Memangnya Papa mau masukin aku ke sekolah mana? Memangnya ada sekolah elit yang mau menerima aku? Oh iya, pasti ada kalau Papa menyogok mereka."

"Papa tidak akan berbuat hal yang kotor seperti itu. Tidak seperti orang yang berpendidikan tinggi saja." Emosi Pak Willy mulai terpancing.

Sudah cukup dirinya dibuat pusing oleh kelakuan Ezra yang membuat reputasi keluarga dirinya menjadi jelek.

"Papa akan masukkan kamu ke pesantren."

"APA?!!" Ezra bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju depan meja kerja ayahnya. "Jangan bercanda, Pa!"

"Bagi kamu wajah Papa ini kelihatan lagi bercanda?" Pak Willy menatap Ezra dengan sengit.

"Aku gak mau masuk pesantren, Pa!"

"Kamu harus masuk pesantren biar akhlak kamu menjadi baik! Kalau kamu masuk ke sekolah ini, kamu mau jadi apa nantinya? Setiap hari kamu bakal bergaul dengan para berandalan, yang ada akhlak kamu jadi makin rusak."

"Kalau begitu aku pilih home schooling aja, kalau nggak Papa sekolahkan aku di luar negeri aja. Beres, kan?"

"Merubah sifat kamu itu tidak semudah kamu berbicara dan minta ini itu. Kalau kamu home schooling pasti kebanyakan nanti kamu main game, kalau Papa sekolahkan kamu ke luar negeri yang ada kamu semakin bebas karena kamu tidak ada dalam pengawasan mama dan papa. Apalagi kehidupan di luar negeri yang begitu bebas dan tidak ada larangan, yang ada nanti kamu semakin menjadi. Tapi, kalau kamu mau bersekolah di luar negeri, akan Papa kabulkan. Papa akan sekolahkan kamu di negara bagian Timur Tengah kalau tidak ya di Mesir, pendidikan pesantren mereka sepertinya lebih keras biar kamu jera sekalian."

"Aku gak mau. Aku menolak!" Tentu saja Ezra langsung menolaknya, soalnya negara idaman Ezra untuk menimba ilmu yaitu Italia, bukan negara Arab yang kental akan unsur agama, yang banyak meluluskan ulama-ulama besar, beda lagi kalau Ezra ahli agama dan ibadah, begitu ditawari kuliah di Mesir pasti tidak akan menolak, soalnya negara mesir menjadi negara favorit bagi orang-orang yang berpesantren dan berilmu agama lebih tinggi dari Ezra. Ditawari kuliah di Mesir itu bagai ketiban durian runtuh.

"Kalau kamu gak mau sekolah di Mesir, ya udah kamu harus pesantren di sini!"

"Aku tetap gak mau, Pa!"

"Kamu jangan membantah Papa, ya! Kamu mau menjadi anak durhaka lagi, hah? Cukup kamu mengecewakan Papa dengan pesta narkotika waktu itu."

"Oke, aku mau masuk pesantren. Tapi dengan satu syarat. Semua barang-barang aku harus tetap dibawa seperti mobil, motor, ponsel dan laptop aku. Barang-barang mewah semuanya harus dibawa termasuk PlayStation punyaku."

"Kamu tahu gak, sih, pesantren itu kayak gimana? Di sana semua fasilitas dari luar dilarang. Bahkan ponsel pun disimpan di bagian pengawas. Yang setiap hari kamu lihat dari pagi sampai malam itu kitab suci."

"Kalau Papa masukin aku ke pesantren yang kelas VIP pasti semua fasilitas televisi atau ponsel gak bakal dilarang, Pa."

Bu Hannah yang sedari tadi diam tiba-tiba menjadi geram mendengar permintaan dari anaknya itu. Bangkit berdiri, Bu Hannah menampar pipi Ezra.

"Kalau kamu gak mau pesantren dan kamu mau tetap punya fasilitas dari Mama dan Papa, kamu harus dengerin perintah Mama. Ngerti?"

"Asalkan bukan ke pesantren, aku mau."

"Janji?" tanya Bu Hannah.

"Janji," jawab Ezra dengan penuh kesungguhan.

***

Suara bebek, suara burung, suara kambing, suara kerbau, suara riak air, sinar matahari yang panasnya tidak terlalu terik, angin sepoi-sepoi yang berembus menyejukkan hati, pohon-pohon berdiri kokoh dan tak terhitung jumlahnya, lahan sawah yang membentang entah di mana ujungnya itu menjadi pusat perhatian Ezra sejak mobil yang ditumpangi dirinya melintasi jalanan berbatu nan sedikit berlumpur.

Ezra sempat berpikir kalau jalanan yang dilaluinya ini bukanlah jalan utama, tetapi jalan pintas karena jalanan yang diaspal sangat mulus hanya di pertigaan sebelum menuju jalan ke sebuah gapura yang bertuliskan 'selamat datang di desa Pacima'.

"Cocok buat latihan trail, nih," gumam Ezra yang langsung dapat pelototan tajam dari Bu Hannah.

Ezra buru-buru mengalihkan pandangannya ke luar jendela, pemandangan sawah dan hutan-hutan ini sangat jarang ia temui, jadi bisa dibilang kalau ini adalah momen yang sangat langka baginya.

Hampir setengah jam kemudian, mobil yang membawa keluarga Pak Willy dan sebuah mobil box yang membawa fasilitas mewah milik Ezra berhenti di sebuah lahan kosong yang cukup luas, sepertinya lapangan tersebut sering dijadikan tempat bermain atau untuk kegiatan yang lain, karena di sana ada bekas tumpukan papan kayu dan besi panjang yang sering digunakan untuk membuat panggung.

"Serius di sini gak ada sinyal?" Ezra berdecak kesal. Ia mengetuk-ngetuk ponselnya yang sudah tahu usahanya akan sia-sia.

"Kartu Mama masih ada sinyalnya, meskipun agak lemah."

"Tinggal ganti provider aja. Atau nanti di puncak gunung itu bisa dapat sinyal." Pak Willy menatap sebuah bukit yang berada jauh di depannya.

"Masa aku harus naik gunung, sih." Ezra cemberut. "Kenapa Mama gak bilang kalau mau pindahin aku ke negeri antah berantah ini, sih? Ini tuh desa terpencil, soalnya tadi setahu aku jarak dari kecamatan ke desa pedalaman ini memakan waktu hampir dua jam, lho. Kalau jalannya mulus paling satu jam. Ini desa kelihatan banget tertinggal dari modernisasi."

"Kamu mau protes karena dibawa ke pelosok desa kayak gini?"

"Aku nggak protes kok, Ma." Ezra buru-buru menggelengkan kepalanya. Bisa gawat kalau sampai mamanya itu kembali murka, pasti semua perjanjian yang dilakukan antara kedua orang tuanya dan Ezra akan dibatalkan. "Aku hanya merasa aneh aja ternyata di kampung itu berbanding terbalik dari kehidupan di kota. Bahkan di sini aku gak lihat kabel listrik yang semerawut."

"Ayo, jalan!" Bu Hannah sudah berjalan duluan bersama seorang laki-laki paruh baya yang tadi menyambut kedatangan keluarga Pak Willy.

Perjalanan dari lapangan yang dijadikan sebagai tempat parkir dadakan itu tidak terlalu jauh jaraknya ke sebuah pemukiman, mungkin hanya sekitar dua ratus meter. Sepanjang perjalanan itu Ezra sibuk memotret pemandangan di sekitarnya. Ezra juga sempat menggelengkan kepalanya heran melihat jalanan beraspal itu banyak sekali yang berlubang dan menjadi kolam mini dadakan. Di pinggir parit jalan juga banyak kayu gelondongan yang sedang diangkut ke atas mobil pickup yang tampilannya sungguh sangat tidak layak. Kalau mobil pickup itu beroperasi di kota atau di negara tetangga, pasti sudah ditilang, dilarang digunakan lagi dan disegel oleh aparat keamanan lalu lintas.

"Mama, itu mereka melakukan tindakan penebangan hutan secara liar. Harus dilaporin ke pihak yang berwajib." Ezra menunjuk ke tumpukan kayu gelondongan itu dan orang-orang yang sedang mengangkutnya.

Bu Hannah menyikut perut Ezra supaya anaknya itu diam dan tidak berbicara yang tidak-tidak.

Salah satu tukang angkut kayu itu hanya tertawa mendengar ucapan Ezra.

"Jangan malu-maluin," bisik Bu Hannah.

Mereka akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang tidak berpagar, di depan halaman rumah banyak sekali tanaman warung hidup, pohon rambutan, pohon mangga dan pohon jambu biji. Ada juga pohon jeruk nipis yang sepertinya baru saja dipangkas supaya pohonnya tidak terlalu tinggi dan menghalangi tiang jemuran yang berada di sampingnya.

Rumah tersebut milik Mang Dasa, orang yang dulu pernah bekerja di rumah keluarga Pak Willy bersama dengan istrinya, Bi Itoh yang di kampung biasa dipanggil Ceu Itoh, tapi Ezra sering memanggilnya Mbok Itoh.

"Silakan masuk, Pak, Bu dan Den Ezra." Mang Dasa masuk terlebih dahulu ke dalam rumah untuk menyimpan barang bawaan.

Sementara orang-orang yang datang dari kota itu sedang sibuk membuka sepatu mereka.

"Bu, keluarga Pak Willy sudah datang." Mang Dasa berlari menuju dapur, Ceu Itoh yang sedang sibuk menyiapkan makanan buru-buru berlari ke arah ruang tamu, tidak lupa membawa berbagai macam kue dan hidangan yang lain.

Temu kangen antara majikan dan mantan asisten rumah tangga itu berlangsung sangat haru, apalagi ketika Ceu Itoh melihat Ezra yang sudah berubah menjadi seorang bujangan tampan. Padahal dulu Ezra masih kecil, manja dan hiperaktif. Sekarang Ezra malah sudah berubah menjadi kulkas empat pintu.

Ezra hanya tersenyum canggung ketika Ceu Itoh memeluk sambil menangis dan mengusap-usap pipinya. Hal naluriah dari seorang ibu, seorang pengasuh yang sudah merawat Ezra dari pertama kali lahir ke dunia ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status