Share

Ah, tidaaak!

Author: Herfisha18
last update Last Updated: 2023-06-13 14:05:41

"Rahmatika Rizta, kamu mau kan jadi pacarku?"

Waktu seolah berhenti berputar, keadaan sekitar seperti tak bergerak. Yang tadi berisik serasa hening dalam kepalaku, hingga yang terdengar hanya detak jantungku yang berdebar hebat. Rasanya mau lompat-lompat di tempat!

Dari mana bunga itu datang, tiba-tiba saja muncul dari belakang punggung Mas Erlan?

Ah! Kenapa aku memikirkan hal tak penting itu. Sekarang aku harus bagaimana. Setangkai bunga itu seolah menarik perhatianku. Seumur hidupku baru kali ini diberi bunga oleh cowok. Tak kusangka hal yang lazim terjadi di drama televisi kini sedang kualami. Sebenarnya aku tak pernah tertarik dengan bunga-bunga, tetapi kalau Mas Erlan yang ngasih? Bolehlah. Boleh banget maksudnya.

"Rizta?"

"Tapi, Mas. Kita kan baru kenal beberapa minggu, sebulan aja belum. Mas yakin gak malu pacaran sama aku?" Seketika penyakit minderku kembali jadi keraguan.

Mas Erlan tampak memejam, "Aku sengaja ajak kamu ketemu, justru karena mau nembak secara langsung. Aku gak mau jadi pengecut lewat hp doang. Makanya aku kekeh minta ketemu, karena mau ngelakuin ini. Aku sayaaang banget, kenal kamu hidup aku yang tadinya kerasa sepi jadi berwarna."

Meleleh, meleleh langsung es di kutub utara dengar omonganmu, Mas!

"Aku udah yakin loh, ternyata kamu belum ya?"

Aku langsung menggeleng, "Bukan gitu," jawabku cepat membantah. Takut ia salah paham.

"Bukannya ini kecepetan buat-"

"Lebih cepat lebih baik, daripada telat eh kamu udah diambil orang duluan. Makanya aku mau kamu jadi pacar aku, biar gak ada yang ganggu. Kamu masih respon chat dari cowok lain gak?"

Aku menggeleng lagi, setelah sering berkirim pesan dengan Mas Erlan tak pernah aku merespon chat dari cowok lain. Entah kenapa tak tertarik lagi dan seluruh perhatianku hanya membalas pesan dari cowok di hadapanku ini. Pesannya selalu kutunggu dengan hati tak menentu. Semenit gak balas, langsung bingung. Lima menit langsung mantengin hp saja kerjaanya. Biar bisa balas cepat saat pesan dari Mas Erlan masuk.

Kalau sejam? Aku kesal! Ponselku matikan, rencana saat ia membalas akan kubalas cuek. Eh, tapi itu tak pernah terjadi. Mas Erlan akan datang dengan pesan yang bertubi-tubi, emot hati, bahkan kata maaf sampai ratusan pesan. Spam chat yang tidak menganggu, tetapi membuat hati menjadi luluh. Seolah dia benar-benar menyesal udah balas lama.

[Dek cantik yang manis, maaf ya tadi aku ada rapat jadi gak pegang hp]

[Kamu tahu nggak, dari tadi aku kepikiran kamu terus. Kangeeen aja bawaanya. Pulang kuliah langsung aku buka hp dan bales pesan kamu. Sangking kangennya]

[Online tapi gak bales, marah ya? Iya aku emang salah, maaf ya gak kasih tahu kamu dulu. Maafin ya, ya ya, maafin ya, sayang]

Melihat tulisan 'sayang' aku tersentak.

[Sayang-sayang apaan!] Balasku ketus dengan emot mulut miring.

Namun, tak sampai semenit sudah bucin lagi. Gak tahan cuekin dia lama-lama. Gak tahu kenapa dia pandai banget bikin luluh.

"Rizta, tanganku pegel nih lama-lama."

"Ah, iya?" Duh, sekarang aku jadi kepikiran Emak di rumah. Sebenarnya dekat dengan Mas Erlan sih aku sering curhat. Namun, pastinya hanya sebatas teman. Gak boleh lebih.

"Ambil bunga ini kalau kamu terima ya, kalau gak kamu buang aja. Meski sayang sih, aku cari-carinya susah loh, ucapnya dengan nada suara memelas.

Perlahan tanganku maju meraih bunga itu. Entah datang dari mana keberanian ini. Masa ditembak sama cowok sesempurna Mas Erlan mau di tolak? Ah, urusan Emak belakangan deh. Toh, seumuranku pacaran bukan hal yang tabu. Ya kan?

Setelah kupegang, ternyata Mas Erlan menahannya.

"Iya kan?" tanyanya lagi. Aku memutar bola mata malas, apa perlu diperjelas. Padahal aku sudah mau mengambil bunga ini. Dia gak tahu apa sifatnya itu bikin deg-degan mulu dari tadi.

"Riztaaa, jawaaab," ujarnya dengan suara dibuat manja.

Mau ketawa, tetapi kutahan. Raut wajahnya ya ampun ... kok bisa dari cool jadi comel begitu?

"Iyaa. Kalau gak yaudah gak-"

"Eh tunggu!" Aku menahan, menghembuskan napas perlahan lalu mengangguk. Bola mataku melihat ke kiri dan kanan, lagi gak berani menatapnya langsung.

Tangan Mas Erlan melepaskan bunga, dan mendorong bunga itu ke arahku dengan sedikit menyentuh punggung tanganku. Ia kembali duduk di kursinya.

"Aaah, akhirnya ... terima kasih ya." Bibir merah muda Mas Erlan melengkung, membentuk senyuman maut yang bisa membuatku sesak napas kalau lama-lama lihatnya. "Kamu senang kan?" Aku mengangguk dengan memegang bunga itu begitu erat.

Untuk pertama kalinya aku pacaran, dan ditembak secara langsung. Aku yakin malam ini gak akan bisa tidur sambil meluk bunga mawar ini. Serasa jadi gadis paling beruntung. Secara setahuku teman-temanku di tembak via pesan. Apa lagi pas jamannya BBM, Vina salah satunya. Habis itu nanti bio mereka ganti jadi nama si pacar. Kini, aku juga bisa ngelakuin itu kan?

Muhammad Erlan Malik, entar kukasih emot hati. Terus tulis tanggal hari ini. Biar semua orang tahu aku juga bisa punya pacar!

Dulu dengan teman satu SMPku, ia merasa aku terlalu kaku karena tak mencoba berpacaran seperti dirinya. Dia bilang punya pacar itu bikin semangat, pas ujian ada yang kasih semangat. Gak kaya aku yang nyemangatin cuma Emak.

"Kalau gitu ntar usia kamu 17 tahun aja. Kan sekarang alasannya paling karena masih kecil. Ntar pas 17 tahun kan udah dewasa!"

Ucapan temanku itu seketika terlintas di benakku. Itulah yang membuatku berani menerima. Apa salahnya mencoba kan. Lumayan buat penyemangat belajar, setahuku punya pacar ya buat begitu kan?

Aku melirik ke meja sebelah, sepasang kekasih yang sepertinya sedang kencan. Mereka berswafoto berdua. "Hp kamu mana, kita foto yuk!"

Mendengar ajakan Mas Erlan itu aku mengangguk, memberikan ponselku padanya. Kursinya kembali mendekat padaku, tetapi masih sedikit berjarak. Aku membenarkan kerudung, takut mleyot dan gak cakep pas di foto.

Namun, aku terheran kenapa Mas Erlan menggunakan kamera belakang. Lalu tangannya di atas meja ... membentuk pola setengah hati. Kupikir kami akan selfi seperti pasangan yang kulihat tadi.

"Mana tangan kamu, kaya gini juga. Terus bunganya taroh di depannya. Biar membentuk hati gitu," ucapnya memintaku bergegas. Hatiku yang tadi sempat bungah, jadi sedikit kecewa, tetapi ya sudahlah. Kuturuti ajakan Mas Erlan. Toh ini juga terlihat sosweet kan, kepikiran aja ide ini. Senyumku kembali mengembang dengan tangan kananku membentuk setengah hati, menyatu dengan tangan Mas Erlan.

Aaaa, kasihan jantungku. Dari tadi pasti capek berdebar-debar mulu. Deg-degan tiada henti. Rasanya hari ini hari terindah.

Cekrek! Telunjuk dan jempolku sedikit bersentuhan dengan Mas Erlan. Setelahnya ia memperlihatkan hasilnya. "Bagus kan?"

Aku mengangguk pelan, ingin kuutarakan untuk foto berdua. Namun, bibir ini tak sanggup bersuara. Malu, malu-malu mau. Setelahnya Mas Erlan memberikan kembali ponselku, dan memintanya untuk mengirimkan foto itu nanti.

"Kirim sendiri aja, sekarang. Hp, Mas mana?"

Mas Erlan diam sejenak, tangannya menyentuh saku celananya. "Ketinggalan di jok kayaknya," ucapnya.

"Ambil aja, aku ambilin ya?"

"Jangan!"

Aku terkaget, "Loh kenapa, aku juga mau dong foto dari Hpnya Mas."

"Gak bisa, Dek. Soalnya ... hpku lowbat-" Aku memotong ucapan Mas Erlan, menyarankan untuk ngecas di sana. Karena di cafe itu terlihat ada tempat khusus untuk mengisi daya ponsel dan mereka menyediakan chargernya juga.

Namun, Mas Erlan menolak. "Gak bisa, Dek. Soalnya hpku itu udah agak eror dan harus di charger pake cas kodok itu loh. Jadi bisa ngecasnya di rumah aja. Lagian hpku mah kentang, kameranya jelek. Bagusan juga kamera hp kamu. Jadi gak usah ya."

Aku menghela napas, "Yaudah deh." Entah kenapa berasa janggal di hati, tetapi kutepis jauh-jauh rasa curiga. Kasihan dari tadi pikiranku horor terus terhadap Mas Erlan.

Azan zuhur berkumandang, Mas Erlan meminta menunggu sejenak sampai panggilan itu selesai baru akan mengantarkanku pulang. Dia menghentikan bicaranya juga saat itu, dan hanya menatapku.

"Yaudah yuk, kita pulang sekarang. Oh, ya bentar aku bayar dulu. Kamu tunggu ya, jangan ke parkiran sendirian. Ntar dikira orang kita marahan, aku mau jalan gandengan. Kamu mau kan?"

"Apa, gandengan?" Aduh, kok tiba-tiba badanku rasanya adem panas ya?

Seketika aku ingat omongan teman masa kecil dulu. "Pegangan bisa bikin hamil loh!"

Aaah tidak!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cowok yang Kukenal dari WA   26. End Season 1

    Seperti jahitan akan luka itu mau sembuh, sebentar lagi akan mengering. Segala upaya aku coba untuk membuat luka itu terus membaik. Siapa sangka, hampir di garis finish justru sosok Erlan tiba-tiba muncul. Memanggilku, membuat langkahku yang akan sampai terhenti di tengah jalan tanpa aba-aba.[Balas aja, Ta. Dia katanya mau minta maaf secara langsung]Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan Mbak Izza. Kenapa ia malah memberikan nomorku pada Erlan. Bahkan tanpa izin dulu padaku. Ia menganggap itu hal lumrah, seperti dirinya yang bisa kembali berteman dengan mantan-mantannya.Sayangnya, aku tidak begitu. Nomor Erlan sudah kuhapus. Di nomor baru ini pun tentu namanya sudah tak ada. Lagi pula pesan Mbak Izza bertentangan dengan hatiku. Melihat profil foto Erlan yang duduk manis di sebuah kursi. Dia tampak baik-baik saja, tak kutemukan penyesal dari wajahnya. Apa dia kira masih bisa menipuku?Lagipula kenapa mendadak muncul kembali. Aku sudah lama berusaha melupakannya. Bahkan setiap pria ya

  • Cowok yang Kukenal dari WA   25. Membuka Luka Lama

    "Yank?"Aku terkejut mendengar suara itu, seorang wanita sedang berbonceng dengan teman perempuannya. Siapa yang barusan ia sapa? Cowok yang menawariku bareng ini?"Iya, duluan aja. Kasihan ini jalan kaki.""Oke, nanti aku tunggu di depan rumah ya, daaa. Naik aja, Mbak," ucap wanita itu menatapku. Dia kan juga satu kerjaan denganku, tetapi aku lupa namanya karena jarang berinteraksi.Motor wanita tadi melaju pergi, aku menoleh ke cowok tadi. Ia kembali mengajak naik, lumayan bisa sampai dengan cepat. Aku naik saja dengan duduk menyamping. Setelah motor berjalan, kami hanya diam. Lima menit kemudian, aku meminta berhenti di depan gang memasuki rumah. "Terima kasih ya," ucapku. Ia hanya mengangguk lalu kembali melajukan motornya dengan cepat.Aku langsung berjalan memasuki gang sambil bermain ponsel. Ada notifikasi dari grup tempat kerjaku. Mataku memicing menatap layar, sebuah undangan diperuntukan semua karyawan di konveksi.Saat kulihat namanya, ternyata Mas Edi. Kulihat lagi, denga

  • Cowok yang Kukenal dari WA   24. Erlan lagi Erlan lagi

    "Iyalah di blok, orang kamu nyumpahin gini," ujarku terkekeh membaca pesan Fandi pada Erlan. Tanpa dibalas, Erlan langsung memblokir nomor adikku setelah membacanya.Sungguh aku tak menyangka Fandi akan mengumpati Erlan begitu. Pasti Erlan kaget bukan main, mungkin juga langsung ketakutan baca ancaman Fandi. Salah sendiri macam-macam denganku. Meski kami setiap harinya ada saja yang jadi bahan gelut, jarang akur. Tentu hubungan darah kakak adik tak bisa terputus kan.Dulu saat aku kecelakaan, bahkan Fandi menangis. Pertama kalinya aku lihat sosoknya yang cengeng. Padahal aku yang kepalanya berdarah saja santai. Eh dia setiap aku akan terpejam langsung mengguncangkan tubuhku."Baca surat pendek, Kak. Surat an nas, Al fatihah, jangan merem!" Ingat sekali ekspresi takutnya itu. Ia mengira saat aku terpejam, kakaknya akan mati.Meski kata-kata kasar yang keluar, di satu sisi aku senang. Fandi melakukan itu karena geram, dan sakit hati kakaknya disakiti. Meski adikku itu tak bisa menghibu

  • Cowok yang Kukenal dari WA   23. Diblokir

    [Bukan aku yang blokir, tapi Erlan.] Mataku berkedip berulang kali, mendekatkan layar ponsel ke wajah. Jadi, bukan Mbak Izza pelaku pemblokirannya. Kukira Mbak Izza kemakan dengan omongan Erlan kalau aku ini akan menganggu hubungan mereka. Padahal yang kuberitahu pada Mbak Izza, semua adalah kenyataan. Tak kulebihkan, alias apa adanya.[Terus, sekarang kok blokirannya dibuka. Ntar orangnya marah tahu Mbak WAnan sama aku]Aneh saja kan, tiba-tiba Mbak Izza menghubungi lebih dulu. Nanti aku lagi yang disalahkan.[Kami udah putus]Hah? Mereka berdua sudah putus?Aku terdiam menatap layar ponsel yang masih menyala. Membaca lagi pesan yang baru saja dikirim Mbak Izza. Tanpa sadar kedua sudut bibirku menyungging. Mengetahui mereka pada akhirnya juga putus. Ada sedikit perasaan senang dalam hatiku.[Aku baru inget aja nomor kamu di blok sama dia]Balasan Mbak Izza lagi, aku mulai menggerakan jariku lebih bersemangat. Tetap saja aku kepo apa yang terjadi sampai akhirnya mereka putus juga.[

  • Cowok yang Kukenal dari WA   22. Hari-Hari yang berat

    Aku menghembuskan napas perlahan, bayang-bayang wajah Erlan terus saja melintas di benakku. Sudah tak selera makan, tak bersemangat setelah putus dengannya. Namun, kehidupan cowok itu sama sekali tak berubah. Tentu saja, ia masih memiliki Mbak Izza di sisinya.Demi apapun, di sisi manapun, aku merasa tak rela akan kenyataan itu. Hatiku seolah menuntut sesuatu yang memuaskan egoku. Erlan harusnya juga sakit, setidaknya efek dari perbuatannya adalah kehilangan Mbak Izza. Namun, dunia masih memberi kesempatan pada cowok seperti Erlan?Kuletakkan ponsel di ranjang lalu keluar membasuh wajah. Berharap bisa menghapuskan kenangan bersama Erlan dalam sekejap. Sungguh aku benci mengingat semua ekspresinya yang selama ini kusuka. Kini, aku membencinya.Vina mendatangiku, ia hanya berdiri menunggu, tetapi aku tahu ia pasti cemas.Segera kusudahi bermain air dan kembali masuk ke kamar. Kami harus tidur lebih awal hari ini karena acara besok mengharuskan bangun cepat karena CVD itu diadakan pagi

  • Cowok yang Kukenal dari WA   21. Kenapa sesakit ini?

    "Udah jam dua belas, tidur gih," ujar Vina. Aku mengangguk, beranjak ke ranjang. Meletakkan ponsel begitu saja dan merebahkan diri.Tidur, Ta. Berulang kali aku bergumam, agar bisa tidur segera.Aku melirik Vina yang sudah tidur, ia pasti menahan kantuk mendengarkan curhatanku. Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghadap ke kanan, ke dinding dan memejamkan mata.Mataku terbuka, aku meraba mencari ponsel. Kukira sudah pagi, tetapi melihat jam di layar aku meringis. Ternyata aku hanya tertidur selama dua jam. Kupaksakan lagi agar bisa terlelap, tetapi sulit.Aku akhirnya turun dari ranjang, meraih ponsel membawanya keluar. Aku kembali duduk di tangga, kepalaku bersandar ke dinding. Tak terasa air mataku kembali berjatuhan.Hingga azan subuh berkumandang, terdengar Vina mencariku. Begitu keluar, ia terkejut menemukanku di tangga. Namun, ia tak banyak bicara. Hanya mengajakku untuk subuhan. Ketika matahari sudah terlihat, rasanya malas untuk bergerak. Aku hanya merebahkan diri di ranjang, p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status