Rizta diajak bertemu oleh Erlan, pria yang ia kenal dari WA. Awalnya ia ragu, tetapi akhirnya Rizta berani menemuinya ditemani sahabatnya. Namun, anehnya di hari pertemuan. "Orangnya kok pake masker sih, Ta?" tanya Vina, seketika aku menoleh. Mata kami saling bertatapan, perasaanku tak enak. Vina memintanya membuka masker, tetapi cowok itu enggan. "Temenmu suruh pulang aja, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Aku bukan orang jahat kok, nanti aku bakal buka masker. Kamu gak perlu takut," ucapnya melambaikan tangan memintaku mendekat. Takut? Jujur ada rasa itu sedikit. Kenapa dia tak mau melepas maskernya, apa dia sejelek itu?
View More“Please don’t do this.” I begged over and over, but no one was listening. I thrashed against their hold, but nothing. “I am your luna.” I screamed at the top of my lungs, but then his laugh from the other room broke all the fight in me. “Luke please.” I begged once more time, my voice horse.
“Kill it once it’s done. Toss her out. She will have to survive on her own from here on out.”
He can’t mean that. This was our baby. “Our baby.”
“Is a mistake from the Moon Goddess. One I will rectify.” His voice called again from the other room. He wouldn’t even face me. “Now do it. That’s an order.”
“Yes, Alpha.”
It was a mistake to come here.
It was a mistake to give him everything.
“Oh, and doctor?” Her sweet voice called from the other room. My stepsister, Shannon. I gritted my teeth. “Don’t use any anesthetic. She should feel everything.”
“Yes, Luna.” The doctor turned back to me with sad eyes, but when he picked up the scalpel, I knew I was screwed.
I’m sorry, baby. Momma couldn’t save you. She wanted you so, so much. I tried to rub my stomach, but the nurses had strapped me down. When the doctor approached, I realized he was using a silver blade.
“Silver?” My whisper was almost silent, but he nodded. I knew then that Shannon didn’t want me to survive. She wanted my life so badly that she lied about me cheating on my mate, showing photos as proof. But I never touched another wolf, nor would I again, not after this betrayal.
Why, Moon Goddess, why would you give him to me just to take him away? My pup.
I cried silently as the doctor cut into my abdomen, and I felt my baby thrash inside. He knew it was too early to be born. This was a death sentence for both of us.
“Bring me the body of the pup.”
“Yes Alpha.” I felt every slice as he cut into me, and finally I could take it no longer. I started to scream, soon I felt the blood trickling down my side, every drip off of me hitting the floor. I thrashed against the restraints. But the silver had made me weak.
I’m sorry, baby.
They weren’t trying to keep me alive, which I expected, but I wished wasn’t true. I used to love my mate, but I felt the love die in me when I saw my pup being ripped from my belly.
“Please, let me hold him once.” I tried to move my arms to reach for him, but I was still tied down. The doctor, who was shedding tears, brought my pup and laid him on my chest.
He was perfect. I rubbed his scent on my face and mine on his. He would forever be a part of my soul.
My missing piece.
“Doctor, now.”
“Yes Alpha.” The doctor picked the baby up and rushed out, leaving me spread open to the elements.
I felt my life slipping away as the door opened and Shannon came in. Her smug smile was firmly in place.
“I told you I would take your life, Amy. I would have your mate. And I have, over and over, since he found out of your betrayal.” Shannon walked over and laid a kiss on my face as I snarled. “He is perfection. And don’t worry. I will give him another son.” She laid her hand on her stomach and I started to laugh. “What’s so funny?”
“I can smell the beta on you. That’s Derek's child, and it’s a girl. Nice try though.”
She snarled and raised her hand, growing her claws to deliver the final blow, but the door was ripped open and my mate, the man I now hated most in the world, stepped inside. His eyes were red, and I started to laugh again.
“You bitch!” He snarled and struck out, whipping Shannon to the other side of the room.
“Brandon!” Shannon shrieked as she hit the wall. “What’s wrong?” She staggered to her feet, but more blood dripped out of me and I closed my eyes.
“You lied!” He screamed, shaking the walls as his aura struck out, but I could barely feel it. I felt the silver travelling in my veins getting closer to my sluggish heart. “This was my pup. I can smell me on him. He was mine.” Brandon's eyes grew redder as the tears gathered. “You said she cheated on me and that it wasn’t my pup.”
“She did cheat on you. I guess I was wrong about the pup.”
“You said you smelt it.” From the sound of it, he lunged for her again, but him clutching our baby in his arm was the last thing I saw. And I wanted to never see it again. He did this to us. Not Shannon.
She played her part well, sure, but him not believing me, not waiting for a few more days to smell the pup, that was his fault. And all of our downfalls.
I prayed for the moon goddess to take me. I no longer wanted to be here. I wanted to be with my pup.
“Save her.”
“No!” Shannon screamed. “I am the Luna now, you marked me last night.” Ah, so that was the pain I felt last night. His betrayal had bile shoot into my mouth. “I am bearing your pup.”
I started to laugh again. I cracked my eyes to see my mate, Brandon, hovering next to me. “Stay with me Amy.”
“Beta’s baby. She is fucking…the beta.” I choked out the words and laughed as horror bloomed in his eyes. Blood flew from my mouth as I smiled again.
“Save her.”
“No!” I slammed out, putting all of my power in it. “Don’t move.” I used my Alpha strength to freeze everyone, including my mate.
“How?” Brandon looked down at me, pleading. “Let me save you.”
“I am descended from the Moon Goddess, and you don’t deserve to save me. You don’t deserve our pup. You were weak. And now you lost everything.” I smiled up at him as I felt my life from my body.
And then I was free.
Seperti jahitan akan luka itu mau sembuh, sebentar lagi akan mengering. Segala upaya aku coba untuk membuat luka itu terus membaik. Siapa sangka, hampir di garis finish justru sosok Erlan tiba-tiba muncul. Memanggilku, membuat langkahku yang akan sampai terhenti di tengah jalan tanpa aba-aba.[Balas aja, Ta. Dia katanya mau minta maaf secara langsung]Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan Mbak Izza. Kenapa ia malah memberikan nomorku pada Erlan. Bahkan tanpa izin dulu padaku. Ia menganggap itu hal lumrah, seperti dirinya yang bisa kembali berteman dengan mantan-mantannya.Sayangnya, aku tidak begitu. Nomor Erlan sudah kuhapus. Di nomor baru ini pun tentu namanya sudah tak ada. Lagi pula pesan Mbak Izza bertentangan dengan hatiku. Melihat profil foto Erlan yang duduk manis di sebuah kursi. Dia tampak baik-baik saja, tak kutemukan penyesal dari wajahnya. Apa dia kira masih bisa menipuku?Lagipula kenapa mendadak muncul kembali. Aku sudah lama berusaha melupakannya. Bahkan setiap pria ya
"Yank?"Aku terkejut mendengar suara itu, seorang wanita sedang berbonceng dengan teman perempuannya. Siapa yang barusan ia sapa? Cowok yang menawariku bareng ini?"Iya, duluan aja. Kasihan ini jalan kaki.""Oke, nanti aku tunggu di depan rumah ya, daaa. Naik aja, Mbak," ucap wanita itu menatapku. Dia kan juga satu kerjaan denganku, tetapi aku lupa namanya karena jarang berinteraksi.Motor wanita tadi melaju pergi, aku menoleh ke cowok tadi. Ia kembali mengajak naik, lumayan bisa sampai dengan cepat. Aku naik saja dengan duduk menyamping. Setelah motor berjalan, kami hanya diam. Lima menit kemudian, aku meminta berhenti di depan gang memasuki rumah. "Terima kasih ya," ucapku. Ia hanya mengangguk lalu kembali melajukan motornya dengan cepat.Aku langsung berjalan memasuki gang sambil bermain ponsel. Ada notifikasi dari grup tempat kerjaku. Mataku memicing menatap layar, sebuah undangan diperuntukan semua karyawan di konveksi.Saat kulihat namanya, ternyata Mas Edi. Kulihat lagi, denga
"Iyalah di blok, orang kamu nyumpahin gini," ujarku terkekeh membaca pesan Fandi pada Erlan. Tanpa dibalas, Erlan langsung memblokir nomor adikku setelah membacanya.Sungguh aku tak menyangka Fandi akan mengumpati Erlan begitu. Pasti Erlan kaget bukan main, mungkin juga langsung ketakutan baca ancaman Fandi. Salah sendiri macam-macam denganku. Meski kami setiap harinya ada saja yang jadi bahan gelut, jarang akur. Tentu hubungan darah kakak adik tak bisa terputus kan.Dulu saat aku kecelakaan, bahkan Fandi menangis. Pertama kalinya aku lihat sosoknya yang cengeng. Padahal aku yang kepalanya berdarah saja santai. Eh dia setiap aku akan terpejam langsung mengguncangkan tubuhku."Baca surat pendek, Kak. Surat an nas, Al fatihah, jangan merem!" Ingat sekali ekspresi takutnya itu. Ia mengira saat aku terpejam, kakaknya akan mati.Meski kata-kata kasar yang keluar, di satu sisi aku senang. Fandi melakukan itu karena geram, dan sakit hati kakaknya disakiti. Meski adikku itu tak bisa menghibu
[Bukan aku yang blokir, tapi Erlan.] Mataku berkedip berulang kali, mendekatkan layar ponsel ke wajah. Jadi, bukan Mbak Izza pelaku pemblokirannya. Kukira Mbak Izza kemakan dengan omongan Erlan kalau aku ini akan menganggu hubungan mereka. Padahal yang kuberitahu pada Mbak Izza, semua adalah kenyataan. Tak kulebihkan, alias apa adanya.[Terus, sekarang kok blokirannya dibuka. Ntar orangnya marah tahu Mbak WAnan sama aku]Aneh saja kan, tiba-tiba Mbak Izza menghubungi lebih dulu. Nanti aku lagi yang disalahkan.[Kami udah putus]Hah? Mereka berdua sudah putus?Aku terdiam menatap layar ponsel yang masih menyala. Membaca lagi pesan yang baru saja dikirim Mbak Izza. Tanpa sadar kedua sudut bibirku menyungging. Mengetahui mereka pada akhirnya juga putus. Ada sedikit perasaan senang dalam hatiku.[Aku baru inget aja nomor kamu di blok sama dia]Balasan Mbak Izza lagi, aku mulai menggerakan jariku lebih bersemangat. Tetap saja aku kepo apa yang terjadi sampai akhirnya mereka putus juga.[
Aku menghembuskan napas perlahan, bayang-bayang wajah Erlan terus saja melintas di benakku. Sudah tak selera makan, tak bersemangat setelah putus dengannya. Namun, kehidupan cowok itu sama sekali tak berubah. Tentu saja, ia masih memiliki Mbak Izza di sisinya.Demi apapun, di sisi manapun, aku merasa tak rela akan kenyataan itu. Hatiku seolah menuntut sesuatu yang memuaskan egoku. Erlan harusnya juga sakit, setidaknya efek dari perbuatannya adalah kehilangan Mbak Izza. Namun, dunia masih memberi kesempatan pada cowok seperti Erlan?Kuletakkan ponsel di ranjang lalu keluar membasuh wajah. Berharap bisa menghapuskan kenangan bersama Erlan dalam sekejap. Sungguh aku benci mengingat semua ekspresinya yang selama ini kusuka. Kini, aku membencinya.Vina mendatangiku, ia hanya berdiri menunggu, tetapi aku tahu ia pasti cemas.Segera kusudahi bermain air dan kembali masuk ke kamar. Kami harus tidur lebih awal hari ini karena acara besok mengharuskan bangun cepat karena CVD itu diadakan pagi
"Udah jam dua belas, tidur gih," ujar Vina. Aku mengangguk, beranjak ke ranjang. Meletakkan ponsel begitu saja dan merebahkan diri.Tidur, Ta. Berulang kali aku bergumam, agar bisa tidur segera.Aku melirik Vina yang sudah tidur, ia pasti menahan kantuk mendengarkan curhatanku. Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghadap ke kanan, ke dinding dan memejamkan mata.Mataku terbuka, aku meraba mencari ponsel. Kukira sudah pagi, tetapi melihat jam di layar aku meringis. Ternyata aku hanya tertidur selama dua jam. Kupaksakan lagi agar bisa terlelap, tetapi sulit.Aku akhirnya turun dari ranjang, meraih ponsel membawanya keluar. Aku kembali duduk di tangga, kepalaku bersandar ke dinding. Tak terasa air mataku kembali berjatuhan.Hingga azan subuh berkumandang, terdengar Vina mencariku. Begitu keluar, ia terkejut menemukanku di tangga. Namun, ia tak banyak bicara. Hanya mengajakku untuk subuhan. Ketika matahari sudah terlihat, rasanya malas untuk bergerak. Aku hanya merebahkan diri di ranjang, p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments