Rizta diajak bertemu oleh Erlan, pria yang ia kenal dari WA. Awalnya ia ragu, tetapi akhirnya Rizta berani menemuinya ditemani sahabatnya. Namun, anehnya di hari pertemuan. "Orangnya kok pake masker sih, Ta?" tanya Vina, seketika aku menoleh. Mata kami saling bertatapan, perasaanku tak enak. Vina memintanya membuka masker, tetapi cowok itu enggan. "Temenmu suruh pulang aja, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Aku bukan orang jahat kok, nanti aku bakal buka masker. Kamu gak perlu takut," ucapnya melambaikan tangan memintaku mendekat. Takut? Jujur ada rasa itu sedikit. Kenapa dia tak mau melepas maskernya, apa dia sejelek itu?
View More[Ayolah, Dek. Aku bisanya cuma sabtu ini, khusus luangin waktu buat kita ketemuan loh. Please ya, kamu bisa datang. Aku gak janji setelah ini ada waktu lagi kalau kamunya ngajak ketemu]
Duh, aku dilema membaca pesan dari Mas Erlan. Seminggu ini dia terus membujuk untuk aku mau diajak ketemu. Cowok yang kukenal dari aplikasi WA itu katanya sudah tak sabar ingin melihat wajahku secara langsung. Dia Anak kulihaan, pintar, tampang lumayan dan romantis. Namun, dengan kesempurnaanya itu beberapa keraguan muncul dibenakku.[Tapi, Mas. Aku mau jujur dulu, sebenarnya aku gak secantik di foto. Aku takut kamu nanti nyesel pas udah ketemu]Akhirnya pesan itu terkirim, hal yang membuatku gundah gulana telah kuutarakan. Hasil akhirnya dia akan kecewa ya biarlah. Lebih baik aku jujur sedari awal. Sebab aku tak mau malunya saat nanti sudah berada di depannya. Melihat foto profilnya, Mas Erlan itu lumayanlah dari cowok-cowok sebelumnya yang kukenal. Maka dari itu juga aku mau merespon chatnya yang mengajak kenalan.[Apaan sih, Dek. Aku tuh gak mandang begitu ya, aku suka kamu apa adanya. Lagian aku juga gak ganteng, kulitku hitam, badanku pendek. Entah kamu bakal tetep mau gak sama aku nantinya]Ah masa sih? Kok di foto dan story yang ia posting selama ini bertolak belakang dengan yang ia sebutkan barusan. Karena kelamaan mikir, aku menganggurkan pesannya, Mas Erlan mengirimkan pesan lagi.[Please ya, Dek. Sabtu besok mau ya, kamu gak mandang fisik juga kan. Kamu gak mau ya kalau tahu aku aslinya jelek?]Aduh, membaca pesan terbarunya kok membuatku semakin bingung. Gak munafik sih, aku selalu melihat foto terlebih dahulu sebelum membalas pesan dari cowok yang tiba-tiba mengirim pesan. Namun, dengan Mas Erlan beda. Meski dia mengaku jelek, aku sama sekali tak merasa marah. Apa karena aku benar-benar sudah bucin dengannya?[Nanti aku pikir-pikir lagi ya, Mas. Soalnya kan aku gak bisa bawa motor. Terus mau ke tempatnya gimana, kan gak mungkin kamu datang ke rumah. Nanti ketahuan ibuku, nanti ya kukabarin lagi. Tidur gih sana]Dua centang abu-abu itu dalam sekejap berubah warna, dan Mas Erlan langsung mengetik. Tak sampai semenit balasan sudah masuk.[Iya sayang, Good night. Nice dream, mimpiin aku ya]Tak lupa emot hati dan emot cium diujung pesan. Pipiku mengembang, salah tingkah membaca pesan dari Mas Erlan. Setelah membaca pesan itu aku memadamkan layar ponsel lalu berbaring di ranjang dan segera tidur. Berharap benaran mimpin Mas Erlan.***Paginya, seperti biasa setelah subuhan aku membantu ibu membuat roti yang akan di titipkan di kantin sekolah. Dalam sejam semua telah selesai, aku langsung memutuskan mandi dan ibu menyelesaikan sisanya."Enak banget baru bangun," celetukku ketus saat Fandi--adik lelakiku hendak ke kamar mandi begitu aku keluar.Memang menyebalkan, mana pernah Fandi mau membantu membuat roti. Apalagi dibawa untuk dititipkan di sekolahnya. Gensinya tinggi, sementara aku harus mengubur gensi demi uang jajan."Sarapan dulu, Kak. Rotinya udah Ama masukin ke tas kamu." Aku mengangguk begitu melewati meja makan dari kayu itu, lalu menuju kamar berganti seragam dan memakai kerudung.Setelahnya aku sarapan nasi goreng buatan Ama, tak ada telur atau pun topping lainnya. Hanya nasi goreng berwarna putih. Meski begitu tetap nikmat jika di makan hangat-hangat begini. Usai makan, aku segera pamit berangkat. Jika kalian berangkat sekolah saat salaman mendapat uang jajan, berbeda denganku."Ini tinggal lima ribu buat Fandi ya, Kak. Kamu nanti jajan pake uang hasil roti kemarin aja ya." Aku mengangguk malas, lalu berangkat dengan meneteng dua kresek lorek hitam.Tiba di ujung gang, aku menunggu teman yang satu sekolah juga satu kelas denganku. Tak sampai lima menit Vina datang, aku gegas duduk di jok belakang. Motor pun melaju kencang khas anak SMA lagi pinter-pinternya naik motor.Sepuluh menit kemudian aku sampai di sekolah, setelah memakirkan motor aku langsung ke kantin meletakkan roti tape itu. Namun, penjaga kantin belum datang jadi uang roti kemarin belum bisa kudapatkan.Vina menunggu di depan kantin, begitu aku keluar kami masuk ke kelas bersama dan duduk di kursi paling depan dekat dinding.Kurogoh ponsel dari dalam tas, lalu kuhidupkan layar yang padam. Mataku melebar melihat banyak pesan spam dari Mas Erlan.[Selamat pagi, Dek][Pagi, sayang][Good morning, cinta][Kok pesanku belum dibuka, kamu ke mana. Aku kangen]Seratus satu pesan, selain pesan ucapan selamat pagi ia juga mengirim banyak emoticon hati, emoticon cium dan emoticon yang banyak sekaligus. Pagi-pagi Mas Erlan bisa saja membuatku berbunga-bunga karena hal sepele ini. Ah, merasa dicintai kenapa sebahagia ini ya?"Ehem, pagi-pagi dah senyum-senyum sendiri." Aku telonjak mendengar suara Vina, seketika aku ingat ajakan Mas Erlan untuk bertemu. Kuceritakan pada Vina dan minta untuk dia mau menemaniku. Ideku adalah mengajak Vina saat bertemu nanti."Tapi kan belum kenal lama, sebulan juga belum. Udah mau ketemuan aja, emang anak mana sih. Coba lihat fotonya dulu!"Sahabatku satu ini langsung kepo, selama ini aku belum cerita tentang kedekatanku dengan cowok bernama Erlan. Rasanya malu saja, toh belum pacaran. Tak mau seperti sebelum-sebelumnya. Sebulan dua bulan pendekatan sudah menghilang."Yaudah, aku ikut ya tapi." Aku mengangguk, setelah membujuk dengan raut memelas Vina setuju.Tiba di hari sabtu, masih jam sembilan aku sudah di rumah Vina. Kali ini aku jalan untuk menghampirinya, Vina baru saja berganti baju. Ia melirik tampilanku dari bawah hingga kepala."Mau ke mana sih, pake sepatu segala?" tanyanya."Dia mintanya aku pake sepatu, Vin. Terus minta pake kerudung juga. Keknya dia emang cowok baik-baik deh." Vina hanya memanyunkan bibirnya menanggapi ucapanku. Sementara aku sibum berkaca di depan jendela rumah Vina.Motor milik Vina dikeluarkan, aku diminta bantu mengunci pintu. Begitu naik, Vina tak langsung menghidupkan motor. "Rizta?""Hem?""Ibumu tahu?" tanyanya, aku menggeleng. Aku menepuk bahunya agar segera pergi. Lupakan izin Ibu, masa iya aku mau ngomong kalau ketemuan sama cowok. Yang benar saja. Vina pun memutar kunci, motor melaju santai.Kami sampai di depan kecamatan desa, aku mengecek pesan dari ponsel yang sudah ada di tangan. "Ini katanya ada di dalam," ucapku mengidari pandangan. Mataku menangkap seseorang di bawah pohon. Motor dan helmnya tampak tak asing, Mas Erlan pernah memosting foto memakai benda itu.Tiba-tiba cowok yang kuduga Mas Erlan pun membawa motornya mendekat ke arah aku dan Vina. Dadaku berdegup kencang, tanganku tak henti memilin baju kemejaku sendiri. Dia semakin dekat, tetapi aku tak berani menatapnya langsung."Orangnya kok pake masker sih, Ta?" tanya Vina, seketika aku menoleh. Mata kami saling bertatapan, perasaanku tak enak. Vina memintanya membuka masker, tetapi cowok itu enggan."Temenmu suruh pulang aja, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Aku bukan orang jahat kok, nanti aku bakal buka masker. Kamu gak perlu takut," ucapnya melambaikan tangan memintaku mendekat.Takut? Jujur ada rasa itu sedikit. Kenapa dia tak mau melepas maskernya, apa dia sejelek itu?Seperti jahitan akan luka itu mau sembuh, sebentar lagi akan mengering. Segala upaya aku coba untuk membuat luka itu terus membaik. Siapa sangka, hampir di garis finish justru sosok Erlan tiba-tiba muncul. Memanggilku, membuat langkahku yang akan sampai terhenti di tengah jalan tanpa aba-aba.[Balas aja, Ta. Dia katanya mau minta maaf secara langsung]Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan Mbak Izza. Kenapa ia malah memberikan nomorku pada Erlan. Bahkan tanpa izin dulu padaku. Ia menganggap itu hal lumrah, seperti dirinya yang bisa kembali berteman dengan mantan-mantannya.Sayangnya, aku tidak begitu. Nomor Erlan sudah kuhapus. Di nomor baru ini pun tentu namanya sudah tak ada. Lagi pula pesan Mbak Izza bertentangan dengan hatiku. Melihat profil foto Erlan yang duduk manis di sebuah kursi. Dia tampak baik-baik saja, tak kutemukan penyesal dari wajahnya. Apa dia kira masih bisa menipuku?Lagipula kenapa mendadak muncul kembali. Aku sudah lama berusaha melupakannya. Bahkan setiap pria ya
"Yank?"Aku terkejut mendengar suara itu, seorang wanita sedang berbonceng dengan teman perempuannya. Siapa yang barusan ia sapa? Cowok yang menawariku bareng ini?"Iya, duluan aja. Kasihan ini jalan kaki.""Oke, nanti aku tunggu di depan rumah ya, daaa. Naik aja, Mbak," ucap wanita itu menatapku. Dia kan juga satu kerjaan denganku, tetapi aku lupa namanya karena jarang berinteraksi.Motor wanita tadi melaju pergi, aku menoleh ke cowok tadi. Ia kembali mengajak naik, lumayan bisa sampai dengan cepat. Aku naik saja dengan duduk menyamping. Setelah motor berjalan, kami hanya diam. Lima menit kemudian, aku meminta berhenti di depan gang memasuki rumah. "Terima kasih ya," ucapku. Ia hanya mengangguk lalu kembali melajukan motornya dengan cepat.Aku langsung berjalan memasuki gang sambil bermain ponsel. Ada notifikasi dari grup tempat kerjaku. Mataku memicing menatap layar, sebuah undangan diperuntukan semua karyawan di konveksi.Saat kulihat namanya, ternyata Mas Edi. Kulihat lagi, denga
"Iyalah di blok, orang kamu nyumpahin gini," ujarku terkekeh membaca pesan Fandi pada Erlan. Tanpa dibalas, Erlan langsung memblokir nomor adikku setelah membacanya.Sungguh aku tak menyangka Fandi akan mengumpati Erlan begitu. Pasti Erlan kaget bukan main, mungkin juga langsung ketakutan baca ancaman Fandi. Salah sendiri macam-macam denganku. Meski kami setiap harinya ada saja yang jadi bahan gelut, jarang akur. Tentu hubungan darah kakak adik tak bisa terputus kan.Dulu saat aku kecelakaan, bahkan Fandi menangis. Pertama kalinya aku lihat sosoknya yang cengeng. Padahal aku yang kepalanya berdarah saja santai. Eh dia setiap aku akan terpejam langsung mengguncangkan tubuhku."Baca surat pendek, Kak. Surat an nas, Al fatihah, jangan merem!" Ingat sekali ekspresi takutnya itu. Ia mengira saat aku terpejam, kakaknya akan mati.Meski kata-kata kasar yang keluar, di satu sisi aku senang. Fandi melakukan itu karena geram, dan sakit hati kakaknya disakiti. Meski adikku itu tak bisa menghibu
[Bukan aku yang blokir, tapi Erlan.] Mataku berkedip berulang kali, mendekatkan layar ponsel ke wajah. Jadi, bukan Mbak Izza pelaku pemblokirannya. Kukira Mbak Izza kemakan dengan omongan Erlan kalau aku ini akan menganggu hubungan mereka. Padahal yang kuberitahu pada Mbak Izza, semua adalah kenyataan. Tak kulebihkan, alias apa adanya.[Terus, sekarang kok blokirannya dibuka. Ntar orangnya marah tahu Mbak WAnan sama aku]Aneh saja kan, tiba-tiba Mbak Izza menghubungi lebih dulu. Nanti aku lagi yang disalahkan.[Kami udah putus]Hah? Mereka berdua sudah putus?Aku terdiam menatap layar ponsel yang masih menyala. Membaca lagi pesan yang baru saja dikirim Mbak Izza. Tanpa sadar kedua sudut bibirku menyungging. Mengetahui mereka pada akhirnya juga putus. Ada sedikit perasaan senang dalam hatiku.[Aku baru inget aja nomor kamu di blok sama dia]Balasan Mbak Izza lagi, aku mulai menggerakan jariku lebih bersemangat. Tetap saja aku kepo apa yang terjadi sampai akhirnya mereka putus juga.[
Aku menghembuskan napas perlahan, bayang-bayang wajah Erlan terus saja melintas di benakku. Sudah tak selera makan, tak bersemangat setelah putus dengannya. Namun, kehidupan cowok itu sama sekali tak berubah. Tentu saja, ia masih memiliki Mbak Izza di sisinya.Demi apapun, di sisi manapun, aku merasa tak rela akan kenyataan itu. Hatiku seolah menuntut sesuatu yang memuaskan egoku. Erlan harusnya juga sakit, setidaknya efek dari perbuatannya adalah kehilangan Mbak Izza. Namun, dunia masih memberi kesempatan pada cowok seperti Erlan?Kuletakkan ponsel di ranjang lalu keluar membasuh wajah. Berharap bisa menghapuskan kenangan bersama Erlan dalam sekejap. Sungguh aku benci mengingat semua ekspresinya yang selama ini kusuka. Kini, aku membencinya.Vina mendatangiku, ia hanya berdiri menunggu, tetapi aku tahu ia pasti cemas.Segera kusudahi bermain air dan kembali masuk ke kamar. Kami harus tidur lebih awal hari ini karena acara besok mengharuskan bangun cepat karena CVD itu diadakan pagi
"Udah jam dua belas, tidur gih," ujar Vina. Aku mengangguk, beranjak ke ranjang. Meletakkan ponsel begitu saja dan merebahkan diri.Tidur, Ta. Berulang kali aku bergumam, agar bisa tidur segera.Aku melirik Vina yang sudah tidur, ia pasti menahan kantuk mendengarkan curhatanku. Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghadap ke kanan, ke dinding dan memejamkan mata.Mataku terbuka, aku meraba mencari ponsel. Kukira sudah pagi, tetapi melihat jam di layar aku meringis. Ternyata aku hanya tertidur selama dua jam. Kupaksakan lagi agar bisa terlelap, tetapi sulit.Aku akhirnya turun dari ranjang, meraih ponsel membawanya keluar. Aku kembali duduk di tangga, kepalaku bersandar ke dinding. Tak terasa air mataku kembali berjatuhan.Hingga azan subuh berkumandang, terdengar Vina mencariku. Begitu keluar, ia terkejut menemukanku di tangga. Namun, ia tak banyak bicara. Hanya mengajakku untuk subuhan. Ketika matahari sudah terlihat, rasanya malas untuk bergerak. Aku hanya merebahkan diri di ranjang, p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments