Share

Gak Mungkin!

Mas Erlan mengangguk, "Kita kan udah pacaran, masa gandengan aja gak boleh. Lihat tuh yang berdua sama pasangannya," ujar Mas Erlan mengarahkan dagunya ke arah pintu masuk tadi. Ada anak remaja yang sepertinya seusiaku, nempel banget sama cowoknya kaya perangko. Kok aku risih ya, emang pacaran harus begitu?

Meninggalkanku yang masih diam, Mas Erlan pergi ke kasir. Aku memperhatikannya saat membayar. Meski dari belakang, aku bisa melihat ia tampak bicara dengan pelayannya. Kaya sudah kenal dan akrab. Mungkin karena sering ke sini kali ya?

Tak lama Mas Erlan datang ke meja, "Ayo!"

Aku berdiri dengan membawa bunga mawar tadi, sedangkan ponsel kumasukkan ke saku celana. Tangan Mas Erlan perlahan meraih tangan kananku, ia menoleh dengan senyum manisnya. Berasa tersihir, aku gak marah kami akhirnya gandengan. Asli aku merasa risih, tak biasa dan ini begitu asing buatku.

Tiba di parkiran, Mas Erlan memakaikan helm padaku. Bahkan membenarkan kerudungku. Aku hanya bisa pasrah, sambil mengigit bibir menahan detak jantungku yang seolah mau copot.

Setelah motor di keluarkan tukang parkir, Mas Erlan membayar. Lalu segera naik menyalakan motornya. Ia memberi kode padaku yang dibelakang untuk segera naik.

"Tunggu, biar kuturunin pijakan kakinya," ucap Mas Erlan. Saat itu aku baru tersadar ia kembali memakai maskernya. Kukira tadi ia lakukan karena sengaja saat bertemu denganku.

Kalau pakai masker gitu orang gak tahu dong dia ganteng? Kenapa harus ditutupin coba wajahnya.

Setelah pijakan diturunkan, aku baru naik. Motor pun melaju keluar dari tempat wisata itu. Namun, tepat di depan gerbang Mas Erlan memberhentikan motornya. "Pegangan dong," ucapnya menoleh ke belakang.

Aku memejam sejenak, lalu tanganku memegang kemejanya. Ia terkekeh, "Kok megangnya gitu, ntar jatuh gimana. Gini loh, di peluk. Terus dagu kamu nempel di bahu aku malah gak papa."

"Ogah!" sergahku tersipu.

Melihat reaksiku, Mas Erlan terkekeh. Dia bilang aku harus diajarkan, karena serba gak tahu apa-apa. "Loh kok gitu sih ... lihat deh itu, mereka romantis kan." Lagi, Mas Erlan mengarahkan dagunya pada pengendara yang melintas di depan kami.

Tangan Mas Erlan menarik tanganku, anehnya aku diam saja. Meski diam, asli Begitu motor kembali menyala dan berjalan. Lama-lama aku merasa nyaman, tanpa sadar daguku menempel di pundaknya. Duh, aku kok ngerasa berdosa sama Emak.

Perjalanan sepertinya sengaja diperlambat oleh Mas Erlan. Ia juga sering melirik ke spion dengan mata menyipit. Lalu menoleh sambil mengucapkan, "Love you!"

Uhuk! Aku hampir tersedak.

Saat melewati tempat kerja Emak yang berada di pinggir jalan. Wajahku langsung berpaling ke arah berlawanan. Jangan sampai Emak lihat.

Hampir sampai di rumahku yang memasuki perdesaan, jalannya naik tanjakan dan sebelum memasuki desa Mas Erlan memberi kode untuk aku melepaskan pegangan.

Untungnya saat memasuki gang rumah keadaan sedang sepi. Aku selamat!

"Yaudah, pulang gih sana, Mas."

"Aku di usir nih, gak ditawarin minum dulu gitu?"

Aduh, aku ketakutan. Soalnya di rumah ada Nenek, nanti pasti cerita sama Emak. Lagian dianter sampai depan rumah ini saja sudah bikin dag dig dug ser. Gimana kalau ada tetangga yang lagi mengintip dari jendela mereka.

Mas Erlan menerima helm yang kuberikan, ia meletakkanya di dekat kakinya. Lalu memutar arah motor, aku juga masuk ke dalam dan menunggu di depan pagar bambu sambil melihat kepergiannya.

Namun, tiba-tiba Mas Erlan turun lagi dari motornya dan mendatangiku. "Love you!" ucapnya pelan, tetapi terdengar jelas.

"Dih, gombal!"

"Biarin, sama pacar sendiri kok!"

Aku tak bisa menahan tawa, lalu melambaikan tangan saat ia sudah menyalakan motornya lagi. Setelah tak terlihat sosok Mas Erlan, aku berbalik badan hendak masuk.

"Wooo!"

"Apa sih, ngagetin aja!"

Aku mengelus dada, ada adikku--Fandi di belakangku. Raut wajahnya tampak curiga, dengan mata menyipit dan kedua alisnya naik.

"Akak, aku bilangin-"

"Halah diem o, kamu yo udah berani pacaran e. Aku bilangin juga ke Emak!"

Aku masuk menerobos tubuh Fandi, "Aku mah emang laku, emang kaya kakak!"

Langkahku terhenti, lalu berbalik. "Kecil-kecil pacaran kok bangga, sekolah yang bener sana!"

"Akak ya sama aja tuh, wek!"

Tanganku mengepal hendak menghajar adikku satu itu, tetapi kuurungkan niat. Tak mau bertengkar dengannya merusak mood bahagiaku hari ini. Setelahnya Fandi didatangi temannya, ia pergi bermain. Baguslah aku bisa bebas.

Segera aku duduk di pinggir jendela, berselfi ria dengan setangkai bunga mawar pemberian Mas Erlan. Berbagai pose kulakukan, menciumnya, seolah menghirup aromanya, menempelkannya ke pipi dengan senyum lebar di wajah.

Setelahnya, aku memutuskan mempostingnya di semua sosial mediaku. Ah, sayangnya tak ada foto berdua dengan Mas Erlan seperti teman-temanku lainnya. Ya sudahlah, kapan-kapan kan juga bisa.

Keasikan foto, ternyata sudah sore. Bersamaan terdengar suara motor, itu sepertinya Emak yang pulang. Aku gegas ke kamar, mencopot kerudung dan menyimpan bunga mawar di bawah selimut di ranjangku dan ponsel masih digenggaman.

"Kaaak!" panggil ibuku. Aku menyaut, lalu keluar kamar. "Habis dari mana?" tanya Emak melirik dari bawah hingga ke atas kepalaku.

Aku diam sejenak, mau bohong kok takut. Jarang sekali aku berbohong, malah hampir gak pernah kalau sama Emak.

"Malah diem, habis pergi sama Vina. Diajak ketemuan sama pacarnya lagi?" tanya Emak berjalan pergi dari hadapanku, berakhir di meja makan kayu dan mengeluarkan beberapa bahan roti dari tas bawaanya.

Iyain gak ya?

"Asal jangan kamunya aja yang pacaran, Kak."

Deg! Duh, gimana ini?

"Emang kenapa sih, Mak. Aku gak boleh, toh temen-temen lainnya juga pacaran gak papa tuh sama orangtua mereka." Dengan hati-hati aku berucap demikian, kalau tahu jawabannya kan aku bisa kasih pembelaan nanti.

Emak duduk di kursi, lalu menoleh ke arahku yang masih berdiri di depan kamar. Aku cengengesan memandangi raut wajahnya yang tak bisa kutebak. Inisiatif aku duduk di sebelah Emak.

"Aku kan juga udah dewasa, Mak. Bukan anak SMP lagi, Fandi aja bisa pacaran. Aku diledekin mulu sama dia gak laku."

"Beda, Kak. Beda. Kalau anak cewek itu ... duh, ngeri, Nak. Karena ada yang harus di jaga, mana jaman sekarang tuh ngeri-ngeri lagi pacarannya. Tadi masa ada berita anak sekolah hamil, itu karena apa coba. Ya pacaran itu!"

Mendengar penjelasan Emak, aku jadi ngeri sendiri. Keinget Mas Erlan tadi minta gandengan.

"Kalau cewek itu ninggalin jejak, Kak. Beda sama laki-laki, dan kalau udah kejadian yang susah ya ceweknya, nanggung malu, masa depannya hancur. Cowoknya bisa kabur, gak ketahuan. Kalau cewek hamil perutnya ya kelihatan."

"Ngeri banget sih, Mak," ujarku seketika terasa merinding.

Emak mengelus kepalaku, "Temenan aja gak papa, gak ada faedahnya pacaran-pacaran gitu. Ingetnya, Kak kamu jangan-" ucapan Emak terhenti, aku yang menunduk mendongakkan wajah. Ada apa dengan raut Emak?

Bersamaan dengan ponsel di tanganku bergetar, ku baca notifikasi dari pop up. Itu pesan dari Mas Erlan.

"Tadi kata Bude Indah, lihat anak mirip kamu, tapi sama cowok. Itu kamu bukan, Kak?"

Aku menelan ludah, mengiggit bibir bawah. Emak terdengar menghela napas kasar, suasana tiba-tiba hening seketika.

"Jangan ya, Kak?"

"Lagian Mas Erlan itu baik kok, alim. Dia gak bakal macem-macemin aku, Mak!"

Astaga, nada bicaraku langsung meninggi. Entah kenapa mudah sekali aku terpancing emosi. Aku memejam, merasa bersalah. Namun, seolah ada yang menahan untukku meminta maaf.

Ponselku bergetar lagi, aku mengeceknya. Takut Mas Erlan menunggu lama. Namun, ternyata bukan. Ada pesan dari akun sosial mediaku. Mataku melebar, mulutku membentuk huruf o. Aku menggeleng perlahan, gak mungkin!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status