Mas Erlan mengangguk, "Kita kan udah pacaran, masa gandengan aja gak boleh. Lihat tuh yang berdua sama pasangannya," ujar Mas Erlan mengarahkan dagunya ke arah pintu masuk tadi. Ada anak remaja yang sepertinya seusiaku, nempel banget sama cowoknya kaya perangko. Kok aku risih ya, emang pacaran harus begitu?
Meninggalkanku yang masih diam, Mas Erlan pergi ke kasir. Aku memperhatikannya saat membayar. Meski dari belakang, aku bisa melihat ia tampak bicara dengan pelayannya. Kaya sudah kenal dan akrab. Mungkin karena sering ke sini kali ya?Tak lama Mas Erlan datang ke meja, "Ayo!"Aku berdiri dengan membawa bunga mawar tadi, sedangkan ponsel kumasukkan ke saku celana. Tangan Mas Erlan perlahan meraih tangan kananku, ia menoleh dengan senyum manisnya. Berasa tersihir, aku gak marah kami akhirnya gandengan. Asli aku merasa risih, tak biasa dan ini begitu asing buatku.Tiba di parkiran, Mas Erlan memakaikan helm padaku. Bahkan membenarkan kerudungku. Aku hanya bisa pasrah, sambil mengigit bibir menahan detak jantungku yang seolah mau copot.Setelah motor di keluarkan tukang parkir, Mas Erlan membayar. Lalu segera naik menyalakan motornya. Ia memberi kode padaku yang dibelakang untuk segera naik."Tunggu, biar kuturunin pijakan kakinya," ucap Mas Erlan. Saat itu aku baru tersadar ia kembali memakai maskernya. Kukira tadi ia lakukan karena sengaja saat bertemu denganku.Kalau pakai masker gitu orang gak tahu dong dia ganteng? Kenapa harus ditutupin coba wajahnya.Setelah pijakan diturunkan, aku baru naik. Motor pun melaju keluar dari tempat wisata itu. Namun, tepat di depan gerbang Mas Erlan memberhentikan motornya. "Pegangan dong," ucapnya menoleh ke belakang.Aku memejam sejenak, lalu tanganku memegang kemejanya. Ia terkekeh, "Kok megangnya gitu, ntar jatuh gimana. Gini loh, di peluk. Terus dagu kamu nempel di bahu aku malah gak papa.""Ogah!" sergahku tersipu.Melihat reaksiku, Mas Erlan terkekeh. Dia bilang aku harus diajarkan, karena serba gak tahu apa-apa. "Loh kok gitu sih ... lihat deh itu, mereka romantis kan." Lagi, Mas Erlan mengarahkan dagunya pada pengendara yang melintas di depan kami.Tangan Mas Erlan menarik tanganku, anehnya aku diam saja. Meski diam, asli Begitu motor kembali menyala dan berjalan. Lama-lama aku merasa nyaman, tanpa sadar daguku menempel di pundaknya. Duh, aku kok ngerasa berdosa sama Emak.Perjalanan sepertinya sengaja diperlambat oleh Mas Erlan. Ia juga sering melirik ke spion dengan mata menyipit. Lalu menoleh sambil mengucapkan, "Love you!"Uhuk! Aku hampir tersedak.Saat melewati tempat kerja Emak yang berada di pinggir jalan. Wajahku langsung berpaling ke arah berlawanan. Jangan sampai Emak lihat.Hampir sampai di rumahku yang memasuki perdesaan, jalannya naik tanjakan dan sebelum memasuki desa Mas Erlan memberi kode untuk aku melepaskan pegangan.Untungnya saat memasuki gang rumah keadaan sedang sepi. Aku selamat!"Yaudah, pulang gih sana, Mas.""Aku di usir nih, gak ditawarin minum dulu gitu?"Aduh, aku ketakutan. Soalnya di rumah ada Nenek, nanti pasti cerita sama Emak. Lagian dianter sampai depan rumah ini saja sudah bikin dag dig dug ser. Gimana kalau ada tetangga yang lagi mengintip dari jendela mereka.Mas Erlan menerima helm yang kuberikan, ia meletakkanya di dekat kakinya. Lalu memutar arah motor, aku juga masuk ke dalam dan menunggu di depan pagar bambu sambil melihat kepergiannya.Namun, tiba-tiba Mas Erlan turun lagi dari motornya dan mendatangiku. "Love you!" ucapnya pelan, tetapi terdengar jelas."Dih, gombal!""Biarin, sama pacar sendiri kok!"Aku tak bisa menahan tawa, lalu melambaikan tangan saat ia sudah menyalakan motornya lagi. Setelah tak terlihat sosok Mas Erlan, aku berbalik badan hendak masuk."Wooo!""Apa sih, ngagetin aja!"Aku mengelus dada, ada adikku--Fandi di belakangku. Raut wajahnya tampak curiga, dengan mata menyipit dan kedua alisnya naik."Akak, aku bilangin-""Halah diem o, kamu yo udah berani pacaran e. Aku bilangin juga ke Emak!"Aku masuk menerobos tubuh Fandi, "Aku mah emang laku, emang kaya kakak!"Langkahku terhenti, lalu berbalik. "Kecil-kecil pacaran kok bangga, sekolah yang bener sana!""Akak ya sama aja tuh, wek!"Tanganku mengepal hendak menghajar adikku satu itu, tetapi kuurungkan niat. Tak mau bertengkar dengannya merusak mood bahagiaku hari ini. Setelahnya Fandi didatangi temannya, ia pergi bermain. Baguslah aku bisa bebas.Segera aku duduk di pinggir jendela, berselfi ria dengan setangkai bunga mawar pemberian Mas Erlan. Berbagai pose kulakukan, menciumnya, seolah menghirup aromanya, menempelkannya ke pipi dengan senyum lebar di wajah.Setelahnya, aku memutuskan mempostingnya di semua sosial mediaku. Ah, sayangnya tak ada foto berdua dengan Mas Erlan seperti teman-temanku lainnya. Ya sudahlah, kapan-kapan kan juga bisa.Keasikan foto, ternyata sudah sore. Bersamaan terdengar suara motor, itu sepertinya Emak yang pulang. Aku gegas ke kamar, mencopot kerudung dan menyimpan bunga mawar di bawah selimut di ranjangku dan ponsel masih digenggaman."Kaaak!" panggil ibuku. Aku menyaut, lalu keluar kamar. "Habis dari mana?" tanya Emak melirik dari bawah hingga ke atas kepalaku.Aku diam sejenak, mau bohong kok takut. Jarang sekali aku berbohong, malah hampir gak pernah kalau sama Emak."Malah diem, habis pergi sama Vina. Diajak ketemuan sama pacarnya lagi?" tanya Emak berjalan pergi dari hadapanku, berakhir di meja makan kayu dan mengeluarkan beberapa bahan roti dari tas bawaanya.Iyain gak ya?"Asal jangan kamunya aja yang pacaran, Kak."Deg! Duh, gimana ini?"Emang kenapa sih, Mak. Aku gak boleh, toh temen-temen lainnya juga pacaran gak papa tuh sama orangtua mereka." Dengan hati-hati aku berucap demikian, kalau tahu jawabannya kan aku bisa kasih pembelaan nanti.Emak duduk di kursi, lalu menoleh ke arahku yang masih berdiri di depan kamar. Aku cengengesan memandangi raut wajahnya yang tak bisa kutebak. Inisiatif aku duduk di sebelah Emak."Aku kan juga udah dewasa, Mak. Bukan anak SMP lagi, Fandi aja bisa pacaran. Aku diledekin mulu sama dia gak laku.""Beda, Kak. Beda. Kalau anak cewek itu ... duh, ngeri, Nak. Karena ada yang harus di jaga, mana jaman sekarang tuh ngeri-ngeri lagi pacarannya. Tadi masa ada berita anak sekolah hamil, itu karena apa coba. Ya pacaran itu!"Mendengar penjelasan Emak, aku jadi ngeri sendiri. Keinget Mas Erlan tadi minta gandengan."Kalau cewek itu ninggalin jejak, Kak. Beda sama laki-laki, dan kalau udah kejadian yang susah ya ceweknya, nanggung malu, masa depannya hancur. Cowoknya bisa kabur, gak ketahuan. Kalau cewek hamil perutnya ya kelihatan.""Ngeri banget sih, Mak," ujarku seketika terasa merinding.Emak mengelus kepalaku, "Temenan aja gak papa, gak ada faedahnya pacaran-pacaran gitu. Ingetnya, Kak kamu jangan-" ucapan Emak terhenti, aku yang menunduk mendongakkan wajah. Ada apa dengan raut Emak?Bersamaan dengan ponsel di tanganku bergetar, ku baca notifikasi dari pop up. Itu pesan dari Mas Erlan."Tadi kata Bude Indah, lihat anak mirip kamu, tapi sama cowok. Itu kamu bukan, Kak?"Aku menelan ludah, mengiggit bibir bawah. Emak terdengar menghela napas kasar, suasana tiba-tiba hening seketika."Jangan ya, Kak?""Lagian Mas Erlan itu baik kok, alim. Dia gak bakal macem-macemin aku, Mak!"Astaga, nada bicaraku langsung meninggi. Entah kenapa mudah sekali aku terpancing emosi. Aku memejam, merasa bersalah. Namun, seolah ada yang menahan untukku meminta maaf.Ponselku bergetar lagi, aku mengeceknya. Takut Mas Erlan menunggu lama. Namun, ternyata bukan. Ada pesan dari akun sosial mediaku. Mataku melebar, mulutku membentuk huruf o. Aku menggeleng perlahan, gak mungkin![Siapamu itu, Ta. Aku kaya kenal, wajahnya gak asing.]Dahiku mengernyit heran membaca komenan teman sekelas di postingan FBku. Tadi aku juga memposting foto Mas Erlan yang kusimpan di galery. Foto yang bahkan tak memperlihatkan seluruh wajahnya, tetepi Hana--temanku itu bisa mengenalinya. Berasa aneh."Kak?" "Eh, iya?"Aku menoleh ke arah Emak lagi, "Mandi dulu udah sore," ucap Emak. Aku mengangguk lalu beranjak ke kamar. Mengisi daya ponselku.Setelahnya mencari baju ganti dan keluar dari kamar membawa handuk. Lima menit saja aku sudah selesai, entah kenapa aku ingin cepat-cepat menyudahi. Karena pikiranku kini terpusat pada dua hal. Tentang komenan Hana, juga tanggapan Emak.Begitu aku masuk ke kamar, aku tersentak sudah ada Emak di kamar. Ia yang berdiri di samping ranjang menatap ke arahku di bawah bingkai pintu. Terlihat Emak menarik napas dalam, aku menggigit bibir bawahku. Takut akan dimarahi.Namun, Emak malah duduk di bibir ranjang. Memanggilku untuk duduk di sebelahku. "Or
"Tunggu, Han-""Ayo, Rizta. Ntar dimarahi pak guru!" teriak Hana. Aku menghela napas, rasanya penasaran sekali. Namun, hatiku seperti berat. Entah apa. Hana pun segera berlari keluar, aku langsung mengekor. Menyimpan tanda tanya perihal Mas Erlan itu untuk nanti. Begitu tiba di lapangan, Vina dan Rahma langsung menarikku berdiri di sebelah mereka."Lama banget sih, mentang-mentang baru jadian gak kuat pisah chatingan," ujar Rahma. Aku tergelak, lalu kami saling cubit pinggang. "Kaya kamu gak aja!"Satu jam pelajaran kami mengikuti pelajaran olahraga, Pak Guru mengajarkan lalu dipanggil siswa yang bisa memberi contoh. Begitu bel pergantian jam berbunyi, kami diminta kembali ke kelas. Beberapa siswa lain ganti baju, sedangkan aku, Rahma dan Vina tidak. "Gak bawa ganti kan?" tanya Vina, aku dan Rahma menoleh lalu menggeleng bersamaan. Kami bertiga mampir ke koperasi membeli jajanan karena masih ada waktu sebelum guru lain masuk."Rahma, ayo!" panggilku saat ia terhenti di depan kelas
[Gak papa, Ta. Takut salah orang.][Loh, gimana sih, Han?]Membaca balasan Hana bukannya lega, aku malah semakin kepikiran. Statusnya sudah tidak online lagi, dan pesanku masih centang satu. Sementara pesan dari Mas Erlan kembali masuk, membuyarkan pikiranku. Kulupakan tentang Hana sejenak dan membalas pesan-pesan mas pacar.[Sayang, kok pesanku dianggurin aja?][Aku baru selesai bantuin Ibu, Mas][Aku kira kamu ngambek, udah baca kok gak dibales-bales. Aku kangen]Aku tersenyum membaca pesannya barusan. Ingin juga kubalas bahwa sama kangennya, tetapi gengsiku tinggi.[Masa?]Aku merebahkan diri di atas ranjang, membalas pesan-pesan Mas Erlan yang terus bilang kangen. Wajahku tak henti mengembang, senyum-senyum sendiri membaca pesan dari Mas Erlan. [Kamu udah makan, yank?][Udah, kamu, Mas?][Belum, maunya disuapin kamu]Aku terkekeh membaca balasan itu, ada-ada saja jawabannya. Kakiku tak bisa diam, badanku guling ke kanan dan ke kiri. Salah tingkah sendiri.Kami berbalas pesan hin
"Tu-tunggu," ucapku hendak menahan Hana.Namun, ia sudah duduk di kursinya dan ngobrol dengan teman sebangkunya. Bersamaan semua siswa kembali ke kursinya karena kedatang Bu Guru. Kutarik napas dalam, lalu melihat layar ponsel sejenak. Mencuri-curi waktu saat bu guru masih sibuk mencari sesuatu dari tasnya.[Selamat pagi, sayangku. Semangat sekolahnya ya, love you]Aku menghela napas, meski senyumku sulit kembali. Pesan dari Mas Erlan tak ada yang berubah. Aku mencoba berpikir positif bahwa perkataan Hana salah. "Baik, anak-anak. Tadi guru sedang rapat sebentar ya, tapi bukan berarti kalian lepas tugas. Sekarang buka buku paketnya!"Aku menyimpan ponsel ke dalam laci, lalu membuka tas yang berada di belakang punggungku. Tari yang tepat dibelakangku mendekatkan wajahnya."Rizta, tadi ucapan Hana itu-""Gak, salah kali," jawabku cepat membantah. Begitu buku yang kucari ketemu, langsung berbalik ke depan menghindari Dewi. Mulutnya itu sedikit lemes, aku gak mau terpengaruh oleh omongann
"Mo-modus?"Ting! Pesan masuk dari Mas Erlan menyadarkanku dari lamunan. Ucapan Bang Amar terus terngiang di kepala. Ingatan pertemuan kami, di mana Mas Erlan terus mencoba menyentuhku. Semua tampak saling bertolak belakangan.Aku segera bangkit, menjauh dari Emak dan Fandi. Mereka melanjutkan pembicaraan dan aku memilih ke kamar. Begitu tubuhku terbaring di ranjang, kubiarkan notifikasi pesan terus masuk. Yang mana itu pasti Mas Erlan. Aku bisa tahu, sebab kupilihkan nada dering khusus untuk kontaknya.Mataku tiba-tiba terasa berat, kubiarkan rasa ngantuk datang dan membiarkan ponselku terus berdering. Entahlah, aku ingin tertidur tanpa memikirkan hal lain.Hingga mataku terbuka, sudah azan subuh saja. Terdengar suara air dari luar, itu pasti Emak. Aku gegas beranjak dari ranjang menuju dapur."Udah bangun, Kak. Tumben semalem tidur cepet, gak begadang.""Heem." Badanku masih sempoyongan, aku memilih duduk di kursi meja makan, dan merebahkan kepala sejenak.Lagian hari ini Mas Erlan
"Kalau kamu mikir gitu, berarti gak percaya sama pasangan kamu sendiri. Buat apa menjalin hubungan kalau kalau gak saling percaya?"Mulutku seolah dikunci oleh ucapan Mas Erlan. Hal sederhana ini jadi rumit, kuputuskan diam sebab lelah adu argumen dan akhirnya aku kalah."Aku percaya sama kamu, kamu harusnya juga gitu kan?"Aku melengos, mengangguk kecil dan membiarkannya terus bicara. Baiklah aku percaya, dan semoga dia bukan pria buaya. Kubuang jauh-jauh pikiran jelek tentang Mas Erlan. Emak kembali, bagaimanapun aku harus tersenyum di depannya.Hari makin sore, Mas Erlan pamit karena juga ada janji menjemput ibunya yang pulang kerja. Setelah bersaliman pada Emak, ia keluar. Aku melambaikan tangan mengiringi kepergiannya.Aku kembali ke kamar, melanjutkan beberapa hal yang mau kubersihkan. Hampir sejam aku berkutat di kamar, setelah beres aku bermain ponsel hingga tak terasa saat mataku terbuka suasana terasa sepi.Ternyata tengah malam, aku tidur terlalu cepat dan terjaga jam segin
"Mas Erlan?" Aku mengelus dada melihat sosok itu. Dengan mata menyipit, ia menatapku. "Hai!" sapanya melambaikan tangan."Astaga, Mas!"Ia terkekeh, pasti menertawai raut wajahku yang tegang. Kukira itu tadi siapa. Ternyata Mas Erlan yang datang dengan bucket bunga di tangannya. Bunga lagi, bunga lagi. Aku sebenenya bukan pecinta tanaman sih. Herannya Mas Erlan tak pernah tanya sukaku apa. Padahal aku lebih suka kalau dibawain makanan. Enak bisa bikin kenyang, tetapi sudah dibawain ya harus tetap pasang raut senang. Meski emang aslinya senang, karena kedatangannya yang mengejutkan."Aku gak dibolehin masuk nih. Yaudah pulang aja," ujarnya berbalik badan. "Eeeh, tunggu dong." Segera kubuka pagar bambu itu. Mempersilahkannya masuk, duduk di kursi teras.Aku juga duduk di sebelahnya, Mas Erlan menyodorkan bucket bunga itu. Aku tak bisa menahan wajahku yang menggembung sangking terharunya. "Makasih ya, Mas," ucapku menghirup aroma berbagai bunga itu. "Ini bunga asli semua ya?" tanyaku
"Mirip pacarnya tetanggaku."Ucapan Hana kala itu kembali terbesit di benakku. Aku yang sudah melupakannya seiring berjalan waktu dengan berpikir bahwa itu hanya kemiripan. Meski Mas Erlan menduga Hana melakukan itu berniat ingin merusak hubungan kami. Aku rasa ia tak sejahat itu, meski pada akhirnya sikapku seolah mengiyakan pernyataan Mas Erlan. Aku benar-benar sudah jarang berinteraksi dengan Hana, padahal kami sekelas. Jarak duduk pun tak jauh, tetapi aku selalu menghindar. Entah dia merasakan perubahan itu atau tidak."Ta, Ayo!" panggil Rahma sambil tangannya mencolek lenganku. Lamunanku buyar, aku mengangguk lalu mengekori Rahma menuju parkiran.Kami bertiga langsung pulang. Aku dibonceng Vina dan Rahma melajukan motor tepat dibelakang kami. Sesekali bersebelahan. Tiba di gang mau masuk ke desaku, kami berpisah."Makasi ya, Vin," ucapku lalu turun."Keknya gak semangat banget deh, Ta. Kenapa, masih galau karena belum ketemu doi?" tanya Vina menyidik, aku tersenyum tipis seolah