[Siapamu itu, Ta. Aku kaya kenal, wajahnya gak asing.]
Dahiku mengernyit heran membaca komenan teman sekelas di postingan FBku. Tadi aku juga memposting foto Mas Erlan yang kusimpan di galery. Foto yang bahkan tak memperlihatkan seluruh wajahnya, tetepi Hana--temanku itu bisa mengenalinya. Berasa aneh."Kak?""Eh, iya?"Aku menoleh ke arah Emak lagi, "Mandi dulu udah sore," ucap Emak. Aku mengangguk lalu beranjak ke kamar. Mengisi daya ponselku.Setelahnya mencari baju ganti dan keluar dari kamar membawa handuk. Lima menit saja aku sudah selesai, entah kenapa aku ingin cepat-cepat menyudahi. Karena pikiranku kini terpusat pada dua hal. Tentang komenan Hana, juga tanggapan Emak.Begitu aku masuk ke kamar, aku tersentak sudah ada Emak di kamar. Ia yang berdiri di samping ranjang menatap ke arahku di bawah bingkai pintu. Terlihat Emak menarik napas dalam, aku menggigit bibir bawahku. Takut akan dimarahi.Namun, Emak malah duduk di bibir ranjang. Memanggilku untuk duduk di sebelahku. "Orang mana, udah kenal banget emang?" tanya Emak.Aku menjelaskan semua tentang Mas Erlan, daerah tinggalnya yang ternyata hanya kecamatan sebelah. Dia berkuliah di Solo, bahkan kealimannya yang memintaku berkerudung.Dengan kebahagian kuceritakan semuanya. Emak lagi-lagi menarik napas dalam, terlihat menahan sesuatu. "Gak boleh pergi berduaan," ucap Emak lagi. "Harusnya tadi gak berdua, ajak teman. Vina kan juga bisa, Vina aja ketemuan ajak kamu kan?"Aku hanya diam, didera rasa takut akan murkanya Emak."Kenal kan lewat hp, hati-hati harus bisa jaga diri loh, Kak. Kalau mau ketemu di rumah aja, gak boleh pergi keluar. Itu permintaan dari Mak, kalau gak ya pu-""Iya, gak papa," jawabku cepat. Aku tak mau putus, masa baru di hari pertama sudah kandas. Padahal impianku sudah memikirkan hubungannya yang lama, seperti Vina yang sudah sampai setahun.Emak berdiri, lalu mengajakku keluar untuk membuat roti. Aku mengangguk, menarik lengannya dalam pelukanku. Berterima kasih karena tak dimarahi. Meski harus dengan persyaratan barusan.Setelah Isya, semua roti sudah selesai dibungkus. Aku segera pamit ke kamar dan menyambar ponsel dari atas lemari yang tadi di charger. Buru-buru jariku mencari komenan temanku tadi.[Oh, ya. Masa sih?]Akhirnya kubalas begitu, lalu komenan itu segera ku screenshoot dan kirimkan pada Mas Erlan.[Mas, masa temenku ada yang kenal kamu. Kamunya kira-kira kenal gak. Dia itu tinggalnya di daerah gunung madu juga]Pesanku langsung dibaca, tetapi tak segera kudapatkan balasan. Tumben sekali balasnya lama, padahal online. Aku sampai menunggu terus memantengi layar. Baru aku ingin mengetik lagi, Mas Erlan sudah mengetik. Kuurungan niatku dan menunggu balasan darinya.[Mungkin dia pernah lihat aku pas main ke lembah gunung madu, kan kata kamu rumahnya daerah sana][Tapi, Mas kan pergi maskeran terus katanya. Ya kali cuma lihat doang temenku kenal?][Bisa aja kan, duh kenapa bahas temen kamu sih. Kamu gak mau nanya aku kenapa?"Kok Mas Erlan terkesan menghindari pembicaraan ya. Padahal kan aku cuma penasaran. Secara rumahnya Mas Erlan kan jauh dari tempat wisata tadi, kuliahnya pun di Solo. Emang bisa sekali lihat di jalan langsung hapal wajahnya?[Kamu kenapa emangnya?][Aku kangen loh, rasanya candu banget ingin ketemu kamu terus. Emang paling bener obat rindu itu bertemu ya, Yank?"][Iya kali][Kok gitu sih balesnya, kek cuek. Kamu marah?][Gak tuh]Apa susahnya coba tinggal jawab, kalau menggantung gini kan bikin gak tenang di hati. Malah jadi kepikiran ucapan Emak tadi. Namun, kucoba halau lagi rasa-rasa itu. Gak lucu kalau mood rusak di hari pertama iniKami chatingan sampai jam sepuluh malam, aku sudah ngantuk dan mau pamit. Namun, Mas Erlan menahan untuk menamaninya. Sampai aku mengeluh begitu mengantuk baru ia mengiyakan.[Good night, sayang. Have nice dream, mimpiin aku ya]Seperti biasa Mas Erlan mengirim ucapan sebelum tidur, aku membalas dengan hal serupa. Lalu merebahkan diri di ranjang. Melirik ke bunga mawar di sebelahku. Kuambil lalu menghirup aromanya. Setelahnya kuletakkan di tempat semula dan langsung memejamkan mata.***"Mak, baju olahraga Rizta di mana ya?" tanyaku mengacak lemari."Ada di dalam lemari," jawab Emak dari dapur.Aku mendecak kesal, keluar dari kamar dengan handuk melilit badan. "Gak ada loh, Mak. Cariin, ntar Rizta telat."Emak yang sedang menggoreng tempe menoleh ke arahku, "Kalau ada Emak apain kamu?" Aku mengidikkan bahu, lalu meraih sutil mengambil alih kerjaan Emak biar bisa nyariin seragam olahragaku."Nih, ini apa. Ya Allah anak perawan nyari begini aja-""Eheheh, makasi Emak!" gegasku rebut seragam dan berlari ke kamar. Agar bawelan Emak tadi terus memanjang di pagi hari ini.Melihat bunga mawar di ranjang, semangatku nambah beribu-ribu kali lipat dari hari biasanya. Emang beda ya rasanya, kalau dah punya pacar begini?Setelah selesai ganti seragam, aku makan nasi goreng dengan lauk tempe goreng. Aku dan Fandi berjalan bersama sampai ke ujung gang."Gimana kemarin, maaf ya kemarin aku itu lagi ngerjain Mas Arsya. Jadi ponselnya nyala, tapi aku gak balas pesan dia." Vina datang setelah beberapa menit aku menunggu."Ya ampun, karena bentar lagi ulang tahun?" tanyaku menggeleng kepala."Huum, ayo naik!"Segera aku duduk di jok belakang setelah meletakkan dua kresek jajanan di tengah-tengah. Sepanjang perjalanan ke sekolah, aku ceritakan kejadian kemarin. Vina sampai kaget karena aku ditembak secara langsung, pakai bunga mawar lagi. Katanya benar-benar kaya di drama-drama.Sepuluh menit berlalu, kami sampai di parkiran sekolah. Tiba-tiba Rahma yang sudah datang lebih dulu dan masih duduk di motornya menghampiriku. "Beli satu, Vin. Buat ganjel perut laper banget," ucapnya. Rahma juga teman dekatku. Cuma rumahnya sedikit jauh."Eh, dapet bunga mawar dari siapa sih?" tanya Rahma begitu aku keluar dari kantin. Ia komen juga di fotoku yang mencium bunga mawar, tetapi kuabaikan karena hanya fokus pada komenan Hana.Aku mengulum bibir, membuatnya semakin penasaran."Ditembak sama cowok yang kendaraanya Vario merah itu loh," celetuk Vina menjawab pertanyaan Rahma."Beneran, udah ditembak. Demi apa ... aku juga!"Seketika aku dan Vina menoleh ke arah kiri, tepat Rahma berdiri. "Sama siapa?" tanyaku dan Vina serentak."Wah diem-diem ada yang ehem, mana gak cerita-cerita lagi. Wah wah ngambek ah," ujar Vina berjalan menarik tanganku.Rahma langsung mengikuti kami, "Nanti kukasih tahu deh," jawabnya.Saat aku duduk di kursi, aku melihat Hana sudah datang karena tasnya sudah ada di kursinya. Namun, entah di mana dia sekarang. Aku merogoh ponsel dari saku, lalu melihat kembali komenan Hana. Ingin kutanyakan itu langsung padanya, tetapi kelas sudah begitu ramai.Bel sekolah berbunyi, tak lama semua murid masuk dan guru olahraga pun datang. Setelah berdoa, pak guru pun meminta kami keluar. "Langsung ke lapangan ya anak-anak!"Sebelum keluar, aku membalas pesan Mas Erlan terlebih dahulu. Sehingga kelas sudah sepi saat aku akan keluar dan terlihat Hana masih sibuk membenarkan kerudungnya."Hana?" panggilku, ia menoleh sambil memasang bros pada kerudungnya.Aku berjalan keluar dari meja, "Kamu beneran kenal sama cowok di fbku, dia itu pacar aku. Kami-""Hah, pa-pacar. Tunggu bukannya-""Eh, kalian berdua cepetan. Pak guru udah absen tuh!" panggil ketua kelas di depan pintu.Seperti jahitan akan luka itu mau sembuh, sebentar lagi akan mengering. Segala upaya aku coba untuk membuat luka itu terus membaik. Siapa sangka, hampir di garis finish justru sosok Erlan tiba-tiba muncul. Memanggilku, membuat langkahku yang akan sampai terhenti di tengah jalan tanpa aba-aba.[Balas aja, Ta. Dia katanya mau minta maaf secara langsung]Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan Mbak Izza. Kenapa ia malah memberikan nomorku pada Erlan. Bahkan tanpa izin dulu padaku. Ia menganggap itu hal lumrah, seperti dirinya yang bisa kembali berteman dengan mantan-mantannya.Sayangnya, aku tidak begitu. Nomor Erlan sudah kuhapus. Di nomor baru ini pun tentu namanya sudah tak ada. Lagi pula pesan Mbak Izza bertentangan dengan hatiku. Melihat profil foto Erlan yang duduk manis di sebuah kursi. Dia tampak baik-baik saja, tak kutemukan penyesal dari wajahnya. Apa dia kira masih bisa menipuku?Lagipula kenapa mendadak muncul kembali. Aku sudah lama berusaha melupakannya. Bahkan setiap pria ya
"Yank?"Aku terkejut mendengar suara itu, seorang wanita sedang berbonceng dengan teman perempuannya. Siapa yang barusan ia sapa? Cowok yang menawariku bareng ini?"Iya, duluan aja. Kasihan ini jalan kaki.""Oke, nanti aku tunggu di depan rumah ya, daaa. Naik aja, Mbak," ucap wanita itu menatapku. Dia kan juga satu kerjaan denganku, tetapi aku lupa namanya karena jarang berinteraksi.Motor wanita tadi melaju pergi, aku menoleh ke cowok tadi. Ia kembali mengajak naik, lumayan bisa sampai dengan cepat. Aku naik saja dengan duduk menyamping. Setelah motor berjalan, kami hanya diam. Lima menit kemudian, aku meminta berhenti di depan gang memasuki rumah. "Terima kasih ya," ucapku. Ia hanya mengangguk lalu kembali melajukan motornya dengan cepat.Aku langsung berjalan memasuki gang sambil bermain ponsel. Ada notifikasi dari grup tempat kerjaku. Mataku memicing menatap layar, sebuah undangan diperuntukan semua karyawan di konveksi.Saat kulihat namanya, ternyata Mas Edi. Kulihat lagi, denga
"Iyalah di blok, orang kamu nyumpahin gini," ujarku terkekeh membaca pesan Fandi pada Erlan. Tanpa dibalas, Erlan langsung memblokir nomor adikku setelah membacanya.Sungguh aku tak menyangka Fandi akan mengumpati Erlan begitu. Pasti Erlan kaget bukan main, mungkin juga langsung ketakutan baca ancaman Fandi. Salah sendiri macam-macam denganku. Meski kami setiap harinya ada saja yang jadi bahan gelut, jarang akur. Tentu hubungan darah kakak adik tak bisa terputus kan.Dulu saat aku kecelakaan, bahkan Fandi menangis. Pertama kalinya aku lihat sosoknya yang cengeng. Padahal aku yang kepalanya berdarah saja santai. Eh dia setiap aku akan terpejam langsung mengguncangkan tubuhku."Baca surat pendek, Kak. Surat an nas, Al fatihah, jangan merem!" Ingat sekali ekspresi takutnya itu. Ia mengira saat aku terpejam, kakaknya akan mati.Meski kata-kata kasar yang keluar, di satu sisi aku senang. Fandi melakukan itu karena geram, dan sakit hati kakaknya disakiti. Meski adikku itu tak bisa menghibu
[Bukan aku yang blokir, tapi Erlan.] Mataku berkedip berulang kali, mendekatkan layar ponsel ke wajah. Jadi, bukan Mbak Izza pelaku pemblokirannya. Kukira Mbak Izza kemakan dengan omongan Erlan kalau aku ini akan menganggu hubungan mereka. Padahal yang kuberitahu pada Mbak Izza, semua adalah kenyataan. Tak kulebihkan, alias apa adanya.[Terus, sekarang kok blokirannya dibuka. Ntar orangnya marah tahu Mbak WAnan sama aku]Aneh saja kan, tiba-tiba Mbak Izza menghubungi lebih dulu. Nanti aku lagi yang disalahkan.[Kami udah putus]Hah? Mereka berdua sudah putus?Aku terdiam menatap layar ponsel yang masih menyala. Membaca lagi pesan yang baru saja dikirim Mbak Izza. Tanpa sadar kedua sudut bibirku menyungging. Mengetahui mereka pada akhirnya juga putus. Ada sedikit perasaan senang dalam hatiku.[Aku baru inget aja nomor kamu di blok sama dia]Balasan Mbak Izza lagi, aku mulai menggerakan jariku lebih bersemangat. Tetap saja aku kepo apa yang terjadi sampai akhirnya mereka putus juga.[
Aku menghembuskan napas perlahan, bayang-bayang wajah Erlan terus saja melintas di benakku. Sudah tak selera makan, tak bersemangat setelah putus dengannya. Namun, kehidupan cowok itu sama sekali tak berubah. Tentu saja, ia masih memiliki Mbak Izza di sisinya.Demi apapun, di sisi manapun, aku merasa tak rela akan kenyataan itu. Hatiku seolah menuntut sesuatu yang memuaskan egoku. Erlan harusnya juga sakit, setidaknya efek dari perbuatannya adalah kehilangan Mbak Izza. Namun, dunia masih memberi kesempatan pada cowok seperti Erlan?Kuletakkan ponsel di ranjang lalu keluar membasuh wajah. Berharap bisa menghapuskan kenangan bersama Erlan dalam sekejap. Sungguh aku benci mengingat semua ekspresinya yang selama ini kusuka. Kini, aku membencinya.Vina mendatangiku, ia hanya berdiri menunggu, tetapi aku tahu ia pasti cemas.Segera kusudahi bermain air dan kembali masuk ke kamar. Kami harus tidur lebih awal hari ini karena acara besok mengharuskan bangun cepat karena CVD itu diadakan pagi
"Udah jam dua belas, tidur gih," ujar Vina. Aku mengangguk, beranjak ke ranjang. Meletakkan ponsel begitu saja dan merebahkan diri.Tidur, Ta. Berulang kali aku bergumam, agar bisa tidur segera.Aku melirik Vina yang sudah tidur, ia pasti menahan kantuk mendengarkan curhatanku. Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghadap ke kanan, ke dinding dan memejamkan mata.Mataku terbuka, aku meraba mencari ponsel. Kukira sudah pagi, tetapi melihat jam di layar aku meringis. Ternyata aku hanya tertidur selama dua jam. Kupaksakan lagi agar bisa terlelap, tetapi sulit.Aku akhirnya turun dari ranjang, meraih ponsel membawanya keluar. Aku kembali duduk di tangga, kepalaku bersandar ke dinding. Tak terasa air mataku kembali berjatuhan.Hingga azan subuh berkumandang, terdengar Vina mencariku. Begitu keluar, ia terkejut menemukanku di tangga. Namun, ia tak banyak bicara. Hanya mengajakku untuk subuhan. Ketika matahari sudah terlihat, rasanya malas untuk bergerak. Aku hanya merebahkan diri di ranjang, p