“Endra udah selesai,” kata Endra ketika dia sudah usai dengan aktifitasnya. Dia lalu berdiri mendekati Fajar dan mendorong laki-laki itu dari belakang untuk keluar dari ruangan, seperti sedang main kereta-keretaan. “Sekarang mendingan Papa pulang terus tidur.”
Melihat bosnya dan Fajar keluar ruangan, Kara pun ikut keluar ruangan.
“Iya ... iya,” kata Fajar, “Papa tau kok kalau kalian mau pacaran.”
Endra berdecak. “Jangan mulai deh,” kata Endra, “atau Papa mau ikut makan bareng kita. Entar pulangnya bareng Endra juga.”
Fajar menggeleng. “Enggak ah, Papa bawa mobil sendiri kok tadi ke sini,” katanya, “Papa udah makan juga. Yaudah, papa balik deh.”
Endra mengangguk. Usai Fajar menghilang dari pandanganya, Dia lalu berpaling pada Kara.
“Makanan yang lo pesen mana?” tanya Endra.
“Di rest area, Pak,” kata Kara.
Keduanya lalu berjalan menuju rest area yang ada di balkon. Di atas salah satu meja ada sebuah tas dan di dekat tas itu ada dua kotak makanan. Mereka berjalan menuju meja itu.
“Ra, lo nggak capek apa nemenin gue kerja sampe malem gini terus?” tanya Endra. Pandangannya lurus ke depan. Menatap gedung-gedung pencakar lagit dan lampu-lampu perumahan yang tampak indah dari atas balkon.
Kara yang sedang akan menyuapkan spaghetti ke mulutnya tertawa kecil. “Ya enggak lah, Pak,” katanya, “ini kan udah jadi kewajiban saya sebagai sekertaris buat nemenin Bapak.”
“Tapi kan gue nggak minta lo lembur loh kalo misalnya lo keberatan,” kata Endra.
Kara mengangguk. Apa yang Endra katakan memang benar. Laki-laki itu sering memintanya untuk tidak usah ikut lembur. Karena Endra memang terlalu sering bekerja sampai malam begini. Kara tahu maksud bosnya itu baik. Meski begitu, dia selalu saja ikut lembur. Selain sebagai wujud keloyalannya pada Endra, ada faktor lain yang membuatnya betah menghabiskan waktu bersama Endra. Ya, sudah sejak lama dia mengagumi bosnya itu.
Bisa dibilang, momen-momen di saat mereka makan berdua di balkon sambil menikmati pemandangan malam Jakarta seperti sekarang ini malah menjadi momen terfavorit Kara. Sambil makan, dalam diam dia bisa memandang dan menikmati keindahan Endra dengan puas. Hidung mancung Endra, matanya tajamnya yang memiliki iris hitam pekat dan rambutnya yang berwarna kecokelatan selalu membuat Kara mabuk kalau dipandang lama-lama.
“Kar,” kata Endra, membuyarkan isi kepala Kara, “lo denger gue kan?”
“Eh, iya, Pak,” sahut Kara, “nggak apa-apa kok Kara lembur. Kecuali kalo Kara lembur nggak digaji baru Kara ogah.”
Endra terkekeh. “Gue nggak sesadis itu lah,” katanya.
Saat mereka baru menghabiskan separuh makanan mereka, Zevan, kakak Endra datang. Laki-laki itu langsung saja duduk di salah satu kursi dan bergabung dengan Endra dan Kara.
“Eh, ada yang lagi pacaran,” kata Zevan, “sori ya gue ganggu.”
Endra berdecak. Raut wajahnya yang tadinya santai jaditegang. Dia tampak tidak nyaman dengan kehadiran Zevan.
“Ngapain lo?” tanya Endra.
“Gue nyariin, Papa,” kata Zevan, “tadi pas gue telfon Mama katanya Papa di sini. Jadi, yaudah habis dari studio rekaman sekalian gue mampir.”
“Papa udah pulang,” sahut Endra ketus, “Mendingan sekarang lo cepetan pergi deh!”
Zevan tertawa keras. “Gue diusir nih,” katanya. Dia lalu melirik Kara sekilas. “Oh, gue tahu kok, habis ini lo mau enak-enak sama sekertaris lo ya makanya lo nyuruh gue buru-buru pergi.”
Kara membelalakkan mata. Dia tidak menyangka Zevan berkata seperti itu. Sementara itu, ekspresi Endra datar dan dingin. Dia seolah sudah tidak kaget dengan kelakuan kakaknya. Dengan cekatan dia berdiri lalu berjalan mendekati Zevan.
Endra melayangkan kepalan tangannya ke wajah Zevan dengan tak terkendali. Tatapan matanya dipenuhi kebencian. Menanggapi perlakuan adiknya itu, Zevan tak tampak marah. Dia hanya tersenyum. bahkan terlihat lega. Seolah dia tak keberatan sama sekali kalau adiknya itu membencinya lebih banyak lagi.
“Mulut lo kayak orang nggak pernah disekolahin,” kata Endra. Dia muak dengan kakaknya itu.
Sejak lulus kuliah dan mulai aktif menjadi vokalis band yang namanya sangat diperhitungkan di dunia musik tanah air, kakaknya itu sikapnya berubah menyebalkan. Hampir setiap bertemu dengan Endra, Zevan selalu menunjukkan sikap menyebalkan yang memantik amarah Endra. Awalnya, Endra pikir sikap Zevan yang seperti itu hanya karena kakaknya sedang mengalami star syndrome. Endra pikir seiring star syndrome itu reda, kakaknya akan kembali menjadi Zevan yang dulu. Zevan yang selalu bersedia menjadi temannya. Zevan yang selalu dekat dan kompak dengannya. Tapi ternyata pemikiran Endra salah. Zevan tak berubah sampai sekarang.
Zevan tertawa. “Gue sekolah sih,” katanya, “tapi gue memang nggak secerdas dan sebaik lo. Atittude gue minus. Tapi, makasih karena selama ini lo nggak pernah koar-koar ke media tentang segala keburukan gue.”
Setelah berkata seperti itu, Zevan lalu pergi meninggalkan balkon.
***
Seminggu setelah pertemuan Dania dan Rita di apartemen Rita, pagi sekitar jam tujuh Rita mendatangi Dania ke rumahnya. Dania yang tanpa persiapan tentu saja kaget saat tiba-tiba Rita mengetuk-ngetuk pintu kamarnya dengan barbar.
“Dania, bangun!” kata Rita. Suaranya nyaring sekali.
Dania refleks meloncat dari atas ranjang. Usai memakai sandal bulu-bulu warna tosca favoritnya, gadis itu lalu bergegas berjalan mendekati pintu.
“Lo apaan sih berisik banget pagi-pagi gini, Ta,” kata Dania saat pintu kamarnya telah terbuka.
Rita nyelonong masuk tanpa dipersilakan. Dia lalu duduk di ranjang. “Buruan lo mandi sekarang karena gue mau ngajak lo ke tempat gue pemotretan,” kata Rita.
Dania membelalakkan mata. “Dih ngapain?” tanyanya, “kan yang mau foto elo kenapa ngajak-ngajak gue segala. Lo nggak tahu gue masih mager apa ingin rebahan?”
“Mba Sisil bilang kalau lowongan kerjaan buat jadi asisten Evolution masih ada,” kata Rita, “kalo lo mau kerja, ya ayok ikut gue. Gue mau ada pemotretan buat iklan hari ini sama Zevan. Kecuali kalo lo mau jobless terus sih yaudah. Nggak usah ikut nggak apa-apa.”
“Serius lo?” tanya Dania.
“Ya serius lah,” kata Rita, “udah buruan sana lo mandi. Gue tungguin di ruang tamu.”
“Oke,” sahut Dania.
Yang masuk ke dalam ruangan setelah Hana dan Fajar keluar adalah Endra. Laki-laki itu awalya canguung saat melangkah ke dalam ruangan. Namun akhirnya dia bersuara juga setelah kakinya terhenti di dekat ranjang.“Kenapa lo nggak pernah cerita kalo lo sakit jantung?” tanya Endra.“Sebelumnya gue juga nggak tahu kok kalo gue sakit jantung. Gue baru ta ...”“Bohong,” sahut Endra, “gue pernah nemuin botol kecil tempat obat di kamar lo pas mau ngambil jam tangan Papa yang lo pinjem.”Zevan menghembuskan napas panjang. “Gue nggak mau terlihat lemah di hadapan orang-orang terdekat gue dan keluarga gue.”Endra tak menyahut. Dia memahami perasaan Zevan. Sebagai seorang anak laki-laki, dia juga gengsi akan bercerita tentang penyakit atau kelemahannya kepada keluarga.“Terus selama ini kenapa lo musuhin gue?” tanya Endra, “seharusnya kita nggak kayak gini nggak sih?”“Gue benci sama lo karena nyokap lebih sayang sama lo,” kata Zevan, “gue udah berusaha maklum kalo Papa selalu jarang ada di rumah
Saat diberi tahu tentang perayaan hari ulang tahun sebenarnya Zevan tidak terlalu tertarik. Karena dia yakin momen itu tak akan menjadi momen yang spesial sespesial momen ulang tahun Endra. Dia bahkan berniat pergi di hari ulang tahunnya itu. Biar saja orang-orang rumah merayakan semua tanpa dirinya. Tapi setelah dinasihati Dania, akhirnya Zevan pun luluh. Meski tak terlihat bersemangat, Zevan tetap keluar kamar sekitar jam tujuh malam.Saat melihat dekorasi di ruang tamu rumahnya yang disulap menjadi hall, Zevan seketika merasa muak. Ruangan itu didekorasi dengan warna serba putih, warna kesukaan Endra. Pasti ini ide Hana. Lihatlah, di saat banyak Evolutioners yang menetahui hal-hal kecil tentang Zevan, ibunya sendiri malah tidak tahu warna favoritnya.Zevan seketika menghembuskan napas kasar. Dia ingin berbalik dan masuk ke dalam kamar lagi. Tapi niatnya itu tak berjalan mulus lantaran Fajar memanggilnya saat kakinya baru berjalan satu langkah.“Mau ke mana kamu?” tanya Fajar.“Mau
Seiring dengan renggangya komunikasi Zevan dan Dania, pemberitaan di sosial media tentang mereka juga mereda. Seharusnya Dania senang karena dengan begitu dia tak menjadi bahan kejar-kejaran awak media lagi. Tapi, kenyataannya tidak. Dia justru semakin merasa kosong karena itu sekaligus memperjelas kalau dia dan Zevan memang sudah sejauh itu sekarang.Dania lalu memikirkan saran dari Sisil. Apakah memang sebaiknya dia mengajak Zevan mengobrol? Karena jujur, dia sudah sangat muak dengan kecanggungan yang terjadi di antara dia da Endra selama bebeberapa minggu belakangan ini.Setelah berpikir selama beberapa menit, akhirnya Dania memutuskan untuk mengajak Zevan mengobrol. Dia memutuskan untuk berbicara dengan laki-laki itu setelah Evolution tampil.Tanpa Dania sangka, ternyata Zevan juga berniat mengajaknya berbicara. Karena saat bertatap muka, keduanya mengucapkan, “gue mau ngobrol sama lo,” secara hampir bersamaan.“Lo duluan aja,” kata Dania akhirnya.“Lo saja,” kata Zevan.“Lo dulua
“Jadi lo ngehancurin kencan mereka?” tamya Dania.“Iya,” sahut Zevan, “kesian anjir ceweknya tampangnya langsung bete gitu.”Dania terbahak. “Lah itu kan ulah lo juga kali,” katanya.“By the way, tadi gue udah mutusin kalo kita bakalan kelihatan kaya orang pacaran pas di depan Karra sama Endra aja,” kata Dania lagi.Zevan tak langsung menjawab. Kalau Dania sudah memutuskan seperti itu berarti kemungkainan mereka bersamaan akan berkurang. Tapi toh tak ada bedanya juga. Saat sedang bekerja pun dia teteap bisa mendekati Dania.“Zevan,” sahut Dania dari seberang, “kok lo diem sih?”“Eh, ya nggak apa-apa kalo misalnya keputusan lo kaya begitu,” sahut Zevan. Tapi sebenarnya dia berat mengucapkan hal itu.***Dania merasakan perubahan sikap Zevan selama beberapa hari. Kalau biasanya laki-laki itu sering mengobrol dengannya setiap istirahat makan siang, belakangan ini laki-laki itu jarang berbicara dengannya. Zevan berbicara dengannya kalau tentang masalah kerjaan saja. Sama persis saat awal-
Endra tentu saja panik melihat Karra. Dia lalu berusaha menenangkan gadis itu.“Hei, udah dong nangisnya. Aku minta maaf,” kata Endra, “Dia lalu mengusap pipi Karra yang basah dengan ujung ujung jarinya.“Sini,” kata Endra. Dia lalu mendekap Karra Erat-erat.“Jadinya kamu kenapa kok jadi aneh sikapnya ke aku setelah pesta malem itu?” tanya Dania setelah Endra melepaskan pelaukannya.Endra menghembuskan napas kasar. “Aku cuma masih syok aja ngelihat Zevan jaian sama seseorang yang pernah ada hubungan sama aku.”Karra menghembuskan napas panjang. “Beneran cuma itu? Sykur deh kalau kecurigaanku gak bener.”Endra tersenyum. Dia lalu mendekatkan wajahnya ke Karra. Tanpa aba-aba, dia menyematkan kecupan lembut dan dalam di bibir gadis itu. Rasanya seperti sudah lama sekali dia tak menyalurkan perasaannya pada Karra. Maka, dia lampiaskan semuanya sekarang. Perlahan, tangan kanannya pun mulai merayap di bawah rok Karra. Namun ketika mencapai pinggul gadisya itu, tangannya terhenti lantaran te
“Ayo buruan,” kata Hana.Endra menghembuskan napas kasar. Dia lalu maju lebih dulu.“Zevan buruan!” kata Hana.Akhirnya Zevan ikut maju juga. Mereka berdua akhirya saling bersalaman walau tak saling pandang. Hana geleng-geleng kepala melihatnya. Wanita itu lalu menghembuskan napas panjang.“Cepetan balik ke kamar sana, Endra,” kata Fajar, “Papa nggak mau ya ngeliat kalian berkelahi lagi kaya gini.”“Nggak janji,” kata Endra. Dia lalu beranjak pergi.***Seperti yang sudah Zevan duga sebelumnya. Kemunculannya dengan Dania di pesta malam itu pasti akan mengundang perhatian publik. Zevan tak tahu siapa pelaku pertama yeng mengunnggah video itu di internet. Yang pasti keesokan harinya setelah pesta itu selesai, videonya berdansa dengan Dania sudah tersebar di sosial media. Di X bahkan hastag ZevanDania masuk ke dalam sepuluh besar trending.Zevan ada jadwal nanti jam satu siang. Mungkin, dia baru akan keluar rumah sekitar jam sebelas pagi atau jam setengah dua belas siang. Selama itu dia