Share

Crash Melody 3

Rita membereskan beberapa perabotan yang berserakan di lantai kamarnya. Gadis itu menata kembali vas bunga dan bunga yang berantakan. Setelah itu, dia meletakkan vas bunga di atas nakas. Dia lalu mengambil tasnya yang juga berada di lantai. Dia letakkan tasnya itu di atas meja rias. Setelah itu, Rita duduk di depan meja rias. Dia menatap wajahnya di depan cermin.

Tanpa perlu memperhatikan dengan teliti, warna ungu kehitaman di bawah tulang pipinya yang kanan terlihat jelas. Dalam hitungan detik, kedua rongga mata Rita dipenuhi cairan bening. Tak ingin cairan itu jatuh ke pipi, Rita mengusap cairan itu dengan kedua tangannya.

Rita lalu kembali ke ranjang. Dia duduk di tepi ranjang itu. Beberapa detik kemudian rongga matanya penuh lagi oleh cairan bening. Seiring dengan terputarnya lagi kejadian semalam di pikirannya, tangis Rita pecah.

Sepulang dari pemotretan, Fathan mengajak Rita ke sebuah restoran. Laki-laki itu tampak biasa saja. Sepanjang makan mereka mengobrol seperti biasa. Fathan bahkan tertawa-tawa. Segalanya berubah suram saat Fathan berada di apartemen Rita. Laki-laki itu mengamuk seperti orang kesetanan. Bahkan tak sekali, dua kali laki-laki itu melayangkan pukulannya ke tubuh Rita.

Meski pada akhirnya keributan itu berakhir di ranjang dengan percintaan yang panas, Rita sama sekali tidak mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan dari sana. Setiap sentuhan Fathan hanya membuatnya semakin sadar kalau dia hanyalah pemuas birahi laki-laki itu. Tidak pernah ada cinta. Hanya Ritalah yang terjebak dalam perasaanya sendiri.

Lamunan rita terbuyar saat mendengar dering ponsel. Ada panggilan dari dania. Rita buru-buru mengusap air matanya lalu menggeser gambar telepon berwarna hijau yang ada di layar ponselnya.

“Gue udah di depan nih,” terdengar suara Dania dari seberang, “lo bukain pintu dong.”

“Oke,” sahut Rita, “gue ke depan sekarang.”

Sebelum berjalan ke pintu apartemennya, Rita bergegas ke kamar mandi dulu. Dia mencuci muka sebentar. Setelah itu dia mengambil air minum dari dispenser. Setelah menghabiskan segelas air putih dia baru berjalan keluar kamar.

“Lama banget lo, Bu ...,” Dania tak melanjutkan kata-katanya. Dia tertegun saat melihat mata sembab Rita.

“Lo abis nangis ya?” tanya Dania. Dia mengikuti Rita yang berjalan mendekati sofa.

Rita menghempaskan tubuhnya ke sofa panjang. “Enggak kok,” jawabnya.

Dania ikut duduk di sifa, di samping Rita. “Ih, boong,” katanya, “bocil TK juga tau kalo lo abis nangis, Ta, mata lo itu sembab banget. Eh, itu pipi lo gosong? Lo diapain sama Fathan?”

Tangis Rita pecah lagi akhirnya. Dia lalu menghambur memeluk Dania. “Gue berantem sama, Fathan?” katanya.

Dania berdecak. Pertengkaran dalam sebuah hubungan itu normal. Tapi bukan berarti Fathan harus main tangan kan? Bocah itu tabiatnya tidak pernah berubah.

“Gue udah bilang dari dulu kan sama lo,” kata Dania, “sepupu gue satu itu emang rada sedeng. Dari awal dia nyusul gue ke Jakarta, gue udah wanti-wanti dia biar nggak deket-deket sama gue. Bukannya apa-apa, kelakuannya bikin malu. Lah lo malah segala naksir sama dia.”

“Gue nggak nyangka kalau dia bakal sejauh ini,” kata Rita. Dia mundur dan melepaskan pelukannya.

“Terus rencana lo apa?” tanya Dania, “lo nggak pengen gitu mutusin dia?”

Rita menggeleng. Dia lalu mengambil tisu yang ada di meja untuk mengusap air matanya. “Nggak segampang itu, Dan,” balasnya, “gue udah terlanjur nyaman sama Fathan. Dan gue masih berharap suatu hari nanti dia bakalan berubah.”

Dania tidak menyahut lagi. Dia menghembuskan napas panjang. Membuka mata orang yang sedang buta karena cinta itu sia-sia. Buang-buang energi belaka.

“Oh iya, aku mau bahas tentang lowongan kerjaan sebagai asisten Evolution ya,” kata Rita, mengalihkan pembicaraan.

Dania mengangguk. “Lo serius nyuruh gue kerja jadi asisten artis?” kata Dania, “gue nggak ada pengalaman sama sekali loh.”

Rita tertawa. “Nggak apa-apa lah,” sahut Rita. Entar juga diajarin job desc lo apa aja. Lagian bukannya waktu sekolah lo suka banget akting ya. Dari SMP sampe SMA kan lo selalu ikut kelas drama. Siapa tau dengan jadi asiten Evolution entar lo kecipratan terkenal. Itu bisa jadi batu loncatan lo buat terjun ke dunia seni peran.”

Dania menghembuskan napas panjang. Apa yang Rita katakan benar. Dia tergila-gila dengan seni peran sejak sekolah dasar sebenarnya. Dania suka seni peran karena dengan berakting dia bisa menjadi karakter apa pun yang dia mau. Karena dengan berakting dia bisa menjadi orang lain dan mengabaikan sejenak fakta bahwa dia adalah murid yang cupu dan sering di-bully. Fakta yang selalu membuat Dania benci dengan dirinya sendiri. Singkatnya, dengan berperan menjadi orang lain yang bukan dirinya, Dania tersembuhkan walau hanya sejenak.

Setelah lulus sekolah dan awal-awal pindah ke Jakarta, Dania sempat mengikuti casting di beberapa rumah produksi sinetron. Tapi tak satupun dari puluhan usaha yang Dania lakukan berhasil. Tak ingin terus membuang waktu, akhirnya Dania fokus mencari pekerjaan dan mengabaikan mimpinya itu. Dia lalu berakhir menjadi teller dan sejak saat itu juga mimpinya dia kubur dalam-dalam.

“Yaudahlah lo atur aja,” kata Dania. Dia lalu berjalan meninggalkan ruang tamu.

“Mau ke mana lo?” tanya Rita.

Dania menjawab tanpa menoleh. “Cari cemilan di kulkas,” katanya, “gue laper belum sarapan.”

“Eh, sori ya,” kata Rita, “gue kelupaan nyiapin cemilan buat lo gara-gara nangis.”

“Nggak apa-apa,” sahut rita dari ruang sebelah, “malah enak gue bisa ngejarah kulkas lo dengan leluasa kalo ambil-ambil sendiri gini.”

Rita terbahak mendengar kata-kata Dania.

***

Endra melirik ke arah datangnya suara Fajar sebentar lalu menatap layar komputer lagi, memastikan kalau yang datang memanglah ayahnya. “Papa ngapain lagi ke kantor malem-malem gini,” katanya, “bukannya enak nonton film sambil nyantai sama Mama di ruang keluarga.”

Fajar tertawa. “Kamu kenapa sih kelihatan nggak seneng gitu Papa dateng?” katanya usai tawanya reda, “Papa cuma mau mastiin kamu baik-baik aja, nggak keteteran dan pastinya nggak telat makan. Lagian, Papa juga sedikit kangen sama suasana di tempat ini. Jadi, sekalian sama jalan-jalan tadi.”

Sejak Fajar memasuki usia pertengahan kepala lima, segala urusan bisnisnya dan segala hal yang ada di kantor memang di-handle Endra. Dia diminta anak laki-lakinya itu untuk beristirahat dan fokus menikmati masa tua. Namun dasarnya Fajar tidak suka duduk diam berlama-lama di rumah. Dia masih sering datang ke kantor meski dalam waktu malam-malam seperti sekarang. Kalau sedang benar-benar jenuh, dia kadang tak hanya datang ke kantor pusat yang ada di Jakarta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status