Share

Bab 7 : Ayah Dari Bayi

“Bukan! bukan Sean, bagaimana kamu bisa berpikir itu Sean.”

Zie membuang muka, dia memejamkan mata karena hampir saja ketahuan Raiga. Demi apapun, dia tidak ingin sampai masalah ini diketahui banyak orang apalagi Sean. Ia yakin pria itu akan semakin membencinya, karena dia sudah berkata untuk melupakan ini.

“Tetap saja Zie, kamu hampir melakukan tindakan bodoh dengan menggugurkan kandungan. Apa kamu tahu apa akibatnya jika sampai melakukan itu? pertama kamu mungkin akan mengalami pendarahan, ke dua jika prosesnya tidak steril kamu bisa terkena penyakit lain, apa kamu mau?” amuk Raiga. “Belum lagi dosa yang harus kamu tanggung, bagaimana jika kamu tidak akan bisa hamil lagi?”

Zie menggeleng, dia takut dengan penjelasan Raiga. Meski begitu dia tetap saja tidak memiliki ide lain selain membuang bayi itu.

“Kenapa kita ke sini?” tanya Zie mendapati Raiga membelokkan mobil masuk ke dalam rumah sakit miliki ibunda Marsha. “Mau apa?” 

Zie ketakutan, dia bahkan memegang erat sabuk keselamatan meski Raiga sudah melepas miliknya dan membuka pintu mobil.

“Tidak akan ada orang yang tahu, aku tidak ada praktik hari ini. Aku hanya ingin memeriksa kandunganmu, berapa usianya dan bagaimana kondisinya. Kamu tidak bisa berbuat bodoh Zie! Aku menolongmu di depan polisi tadi bukan untuk membuatmu lega karena sudah lepas dari pikiran jahat ingin membunuh janin tak berdosa,” ucap Raiga panjang lebar.

Zie pasrah, dia mengenakan kembali masker dan topi lalu mengekor Raiga turun. Zie menggerutu di dalam hati. Mungkin pada proses pembuatannya Daniel dan Ghea yang merupakan orangtua Sean dan Raiga salah formula. Hingga satu putranya sangat dingin tak banyak bicara, sedangkan yang satunya cerewet bak betina.

“Apa?” bentak Raiga.

Zie menggeleng. Mereka akhirnya masuk ke dalam ruang praktik Raiga. Pria itu meminta Zie berbaring di ranjang sambil menghidupkan alat USG.

“Buka kausmu!”

“Mau apa kamu? tidak boleh!” 

“Astaga Zie, aku ini dokter kandungan. Jangankan perutmu, hal lain pun sudah aku lihat, cepat!” bentak Raiga.

Zie pun menurut, dia biarkan pria itu mengoleskan semacam gel dingin ke permukaan perutnya lalu menekankan alat ke sana. Zie diam menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih, hingga Raiga memperkirakan usia kandungannya kurang lebih delapan minggu.

“Zie apa kamu tidak mau melihatnya?” tanya Raiga karena Zie terus menatap ke atas dan tak mau melihat monitor.

“Tidak, aku tidak mau!”

Layaknya pasien dan dokter, Zie duduk di depan Raiga setelah semua selesai. Tatapan matanya yang kosong menerawang ke meja kerja pria itu. Bahkan saat Raiga menyodorkan vitamin padanya, Zia tetap bergeming.

“Zie, jujurlah ke orangtuamu! Minta pertanggungjawaban ke pria yang menghamilimu. Atau jika memang kamu tidak mau menikah, setidaknya jangan punya pikiran menggugurkan anak itu.”

“Rai, kamu tahu aku akan mencetak sejarah? Aku akan menjadi satu-satunya calon wali kota perempuan yang berangkat dari jalur independent, untuk sampai di titik ini tidak mudah.”

“Lalu kenapa kamu bertingkah bodoh dengan tidur dengan pria itu?” 

Zie tak bisa menjawab pertanyaan Rai yang satu ini dan malah meneteskan air mata. Tak adil rasanya jika tidak membela diri, hingga akhirnya Zie pun bercerita.

“Aku di bawah pengaruh obat Rai, dan pria itu juga sedang dalam kondisi mabuk. Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diri, bahkan jika saat itu yang ada di hadapanku adalah dirimu, aku pasti akan menerkammu.”

Raiga menggeleng tak percaya, dia buang napasnya dari mulut lalu menyandarkan punggung ke kursi. 

“Zie kamu memang aneh, pantas kamu bersahabat dengan Marsha.”

Mendengar nama sahabat baiknya disebut, Zie pun menatap tajam Raiga. Ia bahkan mencondongkan badan lalu memohon ke pria itu untuk tidak membocorkan hal ini.

“Aku mohon jangan beritahu Marsha! Aku janji tidak akan berbuat hal bodoh lagi!” pinta Zie sambil menyatukan dua tangan ke depan muka.

Namun, permintaan Zie ini jelas tidak akan mungkin bisa Raiga lakukan. Masalah kehamilan Zie, pikiran wanita itu untuk membunuh darah dagingnya sendiri, membuat Raiga berpikir setidaknya sang sepupu harus tahu agar bisa menasihati.

Maka, hari itu saat semua orang dikumpulkan di kediaman orangtuanya untuk bersama-sama mendengar surat wasiat Nova. Raiga menarik Marsha ke teras samping.

“Rai, aku mau makan dulu sebelum duduk manis mendengarkan Pak Rudi membacakan wasiat Omano, aku yakin butuh lebih dari satu episode drama burung berenang untuk mendengarnya,” ucap Marsha dengan raut muka bersungguh-sungguh.

“Tenang saja! aku hanya ingin bicara sebentar, lagi pula untuk apa kamu makan sebelum mendengarkan surat wasiat Omano? Apa kamu takut pingsan kerena tidak diberi warisan? Kamu ‘kan cucunya yang paling badung.”

Marsha komat-kamit, jika tidak sadar sudah menjadi ibu dari anak perempuan berumur enam tahun, kepala Raiga bisa dipastikan benjol karena dipukulnya.

“Apa Zie memiliki kekasih?” 

“Kekasih dari mana? aku bahkan takut dia akan menjadi perawan tua karena terus menjomlo, bayangkan Rai kita akan punya ibu wali kota tapi tidak punya bapak wali kota,” cerocos Marsha. “Ya, meskipun wakilnya pria, tapi ‘kan pak wakil sudah punya istri.”

“Halah belum tentu juga Zie terpilih!”

“Apa maksudmu? Dia pasti terpilih, aku yakin,” amuk Marsha. Ia bahkan memukul lengan Raiga.

“Sya, dia memintaku untuk tidak mengatakan ini kepadamu, tapi aku harus mengatakan ini karena kamu adalah sahabat terbaiknya.” Raiga mengambil napas lalu membuangnya kasar.

“Kenapa? ada apa dengan Zie? Katakan!”

“Dia hamil.”

“Apa? apa yang kamu bilang?” Marsha terkejut, dia sampai berjinjit dan menyodorkan telinganya ke arah Raiga. “Coba ulangi lagi ucapanmu!”

“Zie, sahabatmu itu hamil. Dia datang ke sebuah klinik aborsi dan berniat menggugurkan kandungannya.”

“Tidak mungkin.” 

Marsha kebingungan, dia syok sampai memegangi dada. Kenangan saat bertemu Zie di restoran dan sahabatnya itu mual-mual seperti menegaskan apa yang baru saja Raiga katakan. Marsha semakin menerka, dia mengingat Sean yang tiba-tiba datang menanyakan anting yang dibelikannya kusus untuk Zie.

“Anting itu, mungkinkah … “

Marsha masih berpikir, hingga melihat Sean berjalan menuju ruang tengah. Tanpa pamit pada Raiga. Wanita itu menghampiri Sean. Ia mencekal lengan sepupunya itu dan membuat Sean menghentikan langkah.

“Apa?” 

“Sean, katakan padaku! bagaimana bisa sebelah anting Zie ada padamu. Di mana dia menjatuhkan itu?” Marsha tak sabaran dan langsung bertanya.

“Aku menemukannya,” jawab Sean datar.

“Di mana?” Tanya Marsha lagi.

“Bukan urusanmu!”

Sean melepaskan tangan Marsha dari lengannya lantas berjalan menjauh. Mendapati sikap dingin sang sepupu, Marsha sampai mengepalkan kedua tangan. Ingin rasanya dia kunci Sean di dalam lift agar pria itu ketakutan dan tidak bisa bernapas.

“Urusan Zie, juga urusanku,” bentak Marsha. Ia berjalan cepat lalu menghadang di depan Sean. 

Marsha mendongak menatap sepupunya itu dengan sorot tajam. “Apa mungkin kalian menghabiskan malam bersama, dan Zie meninggalkan antingnya? Sean, Apa kamu ayah dari bayi yang dikandung Zie?”

“Apa katamu? Bayi?” 

Comments (19)
goodnovel comment avatar
Ria Rifantiani
nahh seneng nih punya temen sahabat kaya marsha yg to the point.
goodnovel comment avatar
Ling Ling
suka banget....selalu tidak bertele², ga muter² d stu² aja.
goodnovel comment avatar
~kho~
seruuuuu....untung pd cerdas
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status