“Bukan! bukan Sean, bagaimana kamu bisa berpikir itu Sean.”
Zie membuang muka, dia memejamkan mata karena hampir saja ketahuan Raiga. Demi apapun, dia tidak ingin sampai masalah ini diketahui banyak orang apalagi Sean. Ia yakin pria itu akan semakin membencinya, karena dia sudah berkata untuk melupakan ini.
“Tetap saja Zie, kamu hampir melakukan tindakan bodoh dengan menggugurkan kandungan. Apa kamu tahu apa akibatnya jika sampai melakukan itu? pertama kamu mungkin akan mengalami pendarahan, ke dua jika prosesnya tidak steril kamu bisa terkena penyakit lain, apa kamu mau?” amuk Raiga. “Belum lagi dosa yang harus kamu tanggung, bagaimana jika kamu tidak akan bisa hamil lagi?”
Zie menggeleng, dia takut dengan penjelasan Raiga. Meski begitu dia tetap saja tidak memiliki ide lain selain membuang bayi itu.
“Kenapa kita ke sini?” tanya Zie mendapati Raiga membelokkan mobil masuk ke dalam rumah sakit miliki ibunda Marsha. “Mau apa?”
Zie ketakutan, dia bahkan memegang erat sabuk keselamatan meski Raiga sudah melepas miliknya dan membuka pintu mobil.
“Tidak akan ada orang yang tahu, aku tidak ada praktik hari ini. Aku hanya ingin memeriksa kandunganmu, berapa usianya dan bagaimana kondisinya. Kamu tidak bisa berbuat bodoh Zie! Aku menolongmu di depan polisi tadi bukan untuk membuatmu lega karena sudah lepas dari pikiran jahat ingin membunuh janin tak berdosa,” ucap Raiga panjang lebar.
Zie pasrah, dia mengenakan kembali masker dan topi lalu mengekor Raiga turun. Zie menggerutu di dalam hati. Mungkin pada proses pembuatannya Daniel dan Ghea yang merupakan orangtua Sean dan Raiga salah formula. Hingga satu putranya sangat dingin tak banyak bicara, sedangkan yang satunya cerewet bak betina.
“Apa?” bentak Raiga.
Zie menggeleng. Mereka akhirnya masuk ke dalam ruang praktik Raiga. Pria itu meminta Zie berbaring di ranjang sambil menghidupkan alat USG.
“Buka kausmu!”
“Mau apa kamu? tidak boleh!”
“Astaga Zie, aku ini dokter kandungan. Jangankan perutmu, hal lain pun sudah aku lihat, cepat!” bentak Raiga.
Zie pun menurut, dia biarkan pria itu mengoleskan semacam gel dingin ke permukaan perutnya lalu menekankan alat ke sana. Zie diam menatap langit-langit ruangan yang berwarna putih, hingga Raiga memperkirakan usia kandungannya kurang lebih delapan minggu.
“Zie apa kamu tidak mau melihatnya?” tanya Raiga karena Zie terus menatap ke atas dan tak mau melihat monitor.
“Tidak, aku tidak mau!”
Layaknya pasien dan dokter, Zie duduk di depan Raiga setelah semua selesai. Tatapan matanya yang kosong menerawang ke meja kerja pria itu. Bahkan saat Raiga menyodorkan vitamin padanya, Zia tetap bergeming.
“Zie, jujurlah ke orangtuamu! Minta pertanggungjawaban ke pria yang menghamilimu. Atau jika memang kamu tidak mau menikah, setidaknya jangan punya pikiran menggugurkan anak itu.”
“Rai, kamu tahu aku akan mencetak sejarah? Aku akan menjadi satu-satunya calon wali kota perempuan yang berangkat dari jalur independent, untuk sampai di titik ini tidak mudah.”
“Lalu kenapa kamu bertingkah bodoh dengan tidur dengan pria itu?”
Zie tak bisa menjawab pertanyaan Rai yang satu ini dan malah meneteskan air mata. Tak adil rasanya jika tidak membela diri, hingga akhirnya Zie pun bercerita.
“Aku di bawah pengaruh obat Rai, dan pria itu juga sedang dalam kondisi mabuk. Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diri, bahkan jika saat itu yang ada di hadapanku adalah dirimu, aku pasti akan menerkammu.”
Raiga menggeleng tak percaya, dia buang napasnya dari mulut lalu menyandarkan punggung ke kursi.
“Zie kamu memang aneh, pantas kamu bersahabat dengan Marsha.”
Mendengar nama sahabat baiknya disebut, Zie pun menatap tajam Raiga. Ia bahkan mencondongkan badan lalu memohon ke pria itu untuk tidak membocorkan hal ini.
“Aku mohon jangan beritahu Marsha! Aku janji tidak akan berbuat hal bodoh lagi!” pinta Zie sambil menyatukan dua tangan ke depan muka.
Namun, permintaan Zie ini jelas tidak akan mungkin bisa Raiga lakukan. Masalah kehamilan Zie, pikiran wanita itu untuk membunuh darah dagingnya sendiri, membuat Raiga berpikir setidaknya sang sepupu harus tahu agar bisa menasihati.
Maka, hari itu saat semua orang dikumpulkan di kediaman orangtuanya untuk bersama-sama mendengar surat wasiat Nova. Raiga menarik Marsha ke teras samping.
“Rai, aku mau makan dulu sebelum duduk manis mendengarkan Pak Rudi membacakan wasiat Omano, aku yakin butuh lebih dari satu episode drama burung berenang untuk mendengarnya,” ucap Marsha dengan raut muka bersungguh-sungguh.
“Tenang saja! aku hanya ingin bicara sebentar, lagi pula untuk apa kamu makan sebelum mendengarkan surat wasiat Omano? Apa kamu takut pingsan kerena tidak diberi warisan? Kamu ‘kan cucunya yang paling badung.”
Marsha komat-kamit, jika tidak sadar sudah menjadi ibu dari anak perempuan berumur enam tahun, kepala Raiga bisa dipastikan benjol karena dipukulnya.
“Apa Zie memiliki kekasih?”
“Kekasih dari mana? aku bahkan takut dia akan menjadi perawan tua karena terus menjomlo, bayangkan Rai kita akan punya ibu wali kota tapi tidak punya bapak wali kota,” cerocos Marsha. “Ya, meskipun wakilnya pria, tapi ‘kan pak wakil sudah punya istri.”
“Halah belum tentu juga Zie terpilih!”
“Apa maksudmu? Dia pasti terpilih, aku yakin,” amuk Marsha. Ia bahkan memukul lengan Raiga.
“Sya, dia memintaku untuk tidak mengatakan ini kepadamu, tapi aku harus mengatakan ini karena kamu adalah sahabat terbaiknya.” Raiga mengambil napas lalu membuangnya kasar.
“Kenapa? ada apa dengan Zie? Katakan!”
“Dia hamil.”
“Apa? apa yang kamu bilang?” Marsha terkejut, dia sampai berjinjit dan menyodorkan telinganya ke arah Raiga. “Coba ulangi lagi ucapanmu!”
“Zie, sahabatmu itu hamil. Dia datang ke sebuah klinik aborsi dan berniat menggugurkan kandungannya.”
“Tidak mungkin.”
Marsha kebingungan, dia syok sampai memegangi dada. Kenangan saat bertemu Zie di restoran dan sahabatnya itu mual-mual seperti menegaskan apa yang baru saja Raiga katakan. Marsha semakin menerka, dia mengingat Sean yang tiba-tiba datang menanyakan anting yang dibelikannya kusus untuk Zie.
“Anting itu, mungkinkah … “
Marsha masih berpikir, hingga melihat Sean berjalan menuju ruang tengah. Tanpa pamit pada Raiga. Wanita itu menghampiri Sean. Ia mencekal lengan sepupunya itu dan membuat Sean menghentikan langkah.
“Apa?”
“Sean, katakan padaku! bagaimana bisa sebelah anting Zie ada padamu. Di mana dia menjatuhkan itu?” Marsha tak sabaran dan langsung bertanya.
“Aku menemukannya,” jawab Sean datar.
“Di mana?” Tanya Marsha lagi.
“Bukan urusanmu!”
Sean melepaskan tangan Marsha dari lengannya lantas berjalan menjauh. Mendapati sikap dingin sang sepupu, Marsha sampai mengepalkan kedua tangan. Ingin rasanya dia kunci Sean di dalam lift agar pria itu ketakutan dan tidak bisa bernapas.
“Urusan Zie, juga urusanku,” bentak Marsha. Ia berjalan cepat lalu menghadang di depan Sean.
Marsha mendongak menatap sepupunya itu dengan sorot tajam. “Apa mungkin kalian menghabiskan malam bersama, dan Zie meninggalkan antingnya? Sean, Apa kamu ayah dari bayi yang dikandung Zie?”
“Apa katamu? Bayi?”
Hari itu Sean dan Zie menemani Lea bermain bersama Keenan di taman. Putra dan putri mereka itu tampak bermain prosotan juga ayunan bersama. Zie duduk tidak jauh dari mereka, dia sangat bahagia melihat Keenan dan Lea yang begitu akur. “Yura masih bersikeras tidak mau melihat kondisi ayahnya. Dia tampaknya sekarang benar-benar tidak peduli,” ucap Zie dengan tatapan tertuju ke Keenan dan Lea. Sean menghela napas kasar, hingga kemudian membalas, “Yura masih menganggap kalau kecelakaan yang menimpanya dulu memang disengaja. Sampai sekarang Yura juga sangat yakin jika pak Aris memang dalangnya, padahal yang sebenarnya itu murni kecelakaan. Kakaknya saja yang sengaja membuat isu itu agar Yura membenci papanya, kemudian pergi dan tidak mengharapkan warisan karena terlanjur benci.” Sean menjelaskan panjang lebar akan fakta yang memang diketahuinya. “Hem … tapi Yura sebenarnya juga sudah tahu, dan dia bilang tidak butuh warisan. Buatnya yang terpenting bisa hidup tenang dan Raiga terus mencin
Setelah perbincangan malam itu, hari berikutnya Yura dan Raiga pun menemui Mita yang sudah kembali masuk penjara. Di sana mereka bicara di ruang khusus yang memang disediakan untuk menjenguk narapidana.“Kami sengaja ke sini karena ingin meminta izin darimu. Kami berniat mengadopsi bayimu,” ujar Yura menyampaikan maksud kedatangannya dan sang suami, sesuai dengan apa yang sudah mereka sepakati.Mita terkejut mendengar ucapan Yura, bahkan menatap mantan teman kuliahnya itu seolah tidak percaya.“Aku akan meminta pengacara untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Kami juga akan memberimu sejumlah uang, agar nanti saat kamu keluar dari penjara, kamu bisa memulai hidup baru yang lebih baik,” ucap Raiga.“Kamu harus berjanji, tidak akan pernah bertanya, mendekati, atau berpikir untuk melihat anak itu lagi, setelah kamu setuju untuk melimpahkan hak asuhnya kepada kami.”Raiga sengaja menegaskan agar Mita tidak sembrono dan dikemudian hari mengakui anak itu sebagai anaknya.Mita hany
“Tapi memangnya Lea boleh punya adik?” tanya Lea ke Yura, dia menatap wanita itu penuh harap.Yura menoleh Ghea, hingga kemudian mencoba memanfaatkan keinginan Lea untuk membujuk Raiga.“Kalau gitu ngomong ke papa, bilang Lea mau bayi ini jadi adik Lea. Gimana?” Yura mencoba memprovokasi karena mungkin jika Lea yang meminta hasilnya akan berbeda.Lea terlihat senang, hingga kemudian kembali menatap bayi Mita.Raiga baru saja selesai menangani pasien, dia cukup terkejut melihat Yura, Ghea, dan Lea di sana, karena mereka tidak mengatakan jika akan berkunjung ke klinik.“Papa.” Lea langsung berlari ke arah Raiga, kemudian meminta gendong.Raiga pun senang, dia menggendong Lea bahkan mencium pipi bocah itu penuh kasih sayang.“Kenapa kalian tidak memberi tahu kalau mau ke sini?” tanya Raiga sambil menggendong Lea. “Hanya kebetulan mampir, sekalian mau melihat bayinya Mita, katanya ada di sini,” jawab Ghea.Raiga menoleh ke bayi Mita yang tampak menggeliat di dalam box, kemudian kembali me
“Harusnya kita makan siang bukan makan sore seperti ini.” Raiga tampaknya merasa kasihan ke Yura yang harus menunggu dia membantu persalinan Mita tadi. “Tidak apa-apa, aku masih bisa menahan rasa lapar, lagipula aku senang melihat kakak bisa membantu persalinan ibu hamil dengan selamat.” Yura tersenyum lebar. Ia bahkan menyodorkan sendok ke depan mulut Raiga, dan pria itu tanpa ragu menerima suapannya. “Polisi tadi datang ‘kan?” Tanya Raiga. Masalah Mita sepertinya menjadi topik yang menarik untuk mereka bahas. Baik Raiga dan Yura tak menyangka kalau Mita berujung menjadi PSK dan hamil anak salah satu pelanggannya. Karena membahas soal bayi yang baru saja dilahirkan wanita itu, Yura pun memberanikan diri untuk bertanya bagaimana kalau mereka mengadopsi seorang bayi. Bukankah banyak anak yang butuh orangtua asuh di luaran sana. “Bagaimana menurut kakak? Apa kita harus mengadopsi anak?” Mendengar pertanyaan itu, pikiran Raiga pun langsung tertuju ke Mita. Mungkinkah Yura ingin men
Enam Bulan KemudianHari itu Yura baru saja mengantar Lea yang kemarin menginap bersamanya ke rumah Zie. Dia berada di mobil dan kini sedang menelepon Raiga. Setelah masalah Lea selesai hubungan mereka masih sangat harmonis. Riaga sendiri kini sudah tidak bekerja di rumah sakit karena fokus mengurus klinik bersalin miliknya sendiri.“Apa kakak sibuk? Aku sudah mengantar Lea ke apartemen kak Zie. Bagaimana kalau kita keluar untuk makan siang bersama?” tanya Yura.Dia seberang sana, Raiga tampak memulas senyum bahagia sambil membubuhkan tanda tangan ke berkas yang dipegang oleh perawat.“Tentu, aku tidak mungkin menolak ajakan makan siang dari wanita —yang selalu bisa membuatku merasa menjadi pria paling beruntung di dunia," jawabnya merayu.Yura pun tertawa mendengar ucapan Raiga, pria itu senang sekali menggombal dan membuat hatinya berbunga-bunga. Jika dipikir lagi, mungkin ini adalah hikmah dari kejadian yang menimpa rumah tangga mereka. Bukannya renggang hubungan keduanya malah ber
Hari berikutnya, baik Yura dan Zie terlihat sudah bisa menjaga perasaan dan sikap masing-masing. Keduanya bertatap muka meski tidak saling sapa, tapi tidak seemosi semalam. “Mama.” Lea langsung mendekat ke Yura, bahkan langsung memeluk wanita itu. Zie sedikit iri melihat hal itu, tapi dia mencoba menahan diri meski ada rasa sesak yang tak terelakkan melihat Lea yang memeluk Yura penuh kasih sayang. “Lea mau mandi, sambil main busa,” celoteh anak itu. Yura pun mengangguk sambil tersenyum, dia kemudian menggandeng Lea untuk pergi mandi, sedangkan Zie hanya bisa memandangi keduanya, tanpa bisa berbuat apa-apa karena takut membuat Lea sedih. Saat sudah berkumpul untuk sarapan bersama, mereka bersikap wajar meski wajah mereka terlihat begitu tegang. “Aku minta izin untuk bermain dengan Lea sebentar, Kak. Setelah itu baru kita bicara,” ujar Yura ke Zie. Ia memulas senyum tipis saat sang kakak ipar menganggukkan kepala tanda setuju. Yura pun mengajak Lea ke halaman samping. Dia sama se