Share

Duh Randi

“Kamu ada masalah apa dengan Randi?” tanya Nadia yang tiba-tiba datang menghampiriku, di tengah taman yang berada tepat di belakang kantor.


Kekesalanku kepada Randi membuatku memilih meninggalkna kantin, dan menyendiri di taman ini.


Nadia menyodorkan sebuah sandwitch dan sebotol air mineral dingin. Dia paham sekali jika aku kesal, dan belum sempat makan siang.

Aku langsung memakan sandwitch pemberian Nadia, dan aku meneguk habis air mineral dingin yang hanya sebotol kecil itu.

“Dia mengusik ranah pribadiku, dia mencari tahu tentang mas Faisal,” jawabku dengan rasa kesal.

“Terus salahnya di mana nona?” tanya Nadia lagi.

“Ya itu salahnya. Aku tidak mau dia mencampuri urusan pribadiku, itu saja.” Aku sedikit menekankan intonasi suaraku.

“Kenapa dia bisa tahu kamu punya hubungan dengan pak Faisal? Bukannya yang tahu itu cuma aku?” Nadia heran.

“Begini ceritanya, kemaren aku mengunjungi panti bersama mas Faisal. Aku memang sengaja mengajaknya, agar bu Fatimah tidak lagi ingin menjodohkanku dengan Randi,” jelasku.

“Oo … ternyata itu masalahnya.” Mulut Nadia persis membentuk huruf O.

“Yup,” responku datar.

“Eh by the way, kenapa kamu tidak mau sama Randi sih, dia kan cakep.” Nadia menggodaku.

“Aku tidak tertarik sama dia!” ucapku dengan nada ketus.

“Ok … ok,  gimana kalau Randi buat aku saja?” Nadia mengerlingkan mata, aku terkekeh dibuatnya.

“Ambil saja kalau mau!” ucapku.

“Beneran nih?” Nadia mengerling.

“Beneran!” Aku meyakinkannya.

“Enggak nyesel nanti?” Dia meledekku.

“Ih … udah deh Nad, aku itu ill feel tau enggak sama si Randi itu. Kalau kamu suka ya ambil saja,” gerutuku.

Pada akhirnya kami terbahak-bahak berdua. Nadia mungkin memang suka kepada Randi, aku bisa membacanya dari ekspresi dia tadi.


Dia begitu antusias menyambut kedatangan partner baru kami yang ternyata adalah Randi.

Randi dan Nadia, sepertinya cocok. Nadia gadis yang periang dan baik, sedang Randi cowok pendiam dan juga baik. Aku akan menjadi orang pertama yang sangat bahagia jika saja mereka berjodoh nanti.

***

“Cri … maafkan aku ya, kamu marah ya?” Randi mengejarku saat jam pulang kantor tiba.


Aku terus berjalan dan tidak menghiraukannya. Dia terus mengikuti langkahku, apa yang dia lakukan sungguh membuat kekesalanku padanya bertambah-tambah saja.

Aku membalikkan badan, lalu menatap tajam kearahnya.


“Iya, aku memang marah!” ucapku dengan nada ketus.

“Aku minta maaf,” ungkap Randu penuh sesal.

“Aku bisa memaafkanmu, tapi ada syaratnya," ucapku.

“Baiklah, apa syaratnya?” tanya Randi.

“Pertama, tolong jangan memberitahu pada bu Fatimah prihal jati diri mas Faisal. Kedua, mulai saat ini jangan pernah campuri urusanku lagi, paham?” Aku menatapnya tajam.

“Tetapi bu Fatimah pasti akan kecewa jika tahu kamu berhubungan dengan suami orang,” ujarnya.

“Ya makanya jangan kasih tahu beliau," pintaku.

“Jika kamu masih berhubungan dengan dia, pasti lambat-laun bu Fatimah nantinya juga tahu sendiri," ungkap Randi.

“Itu urusan aku ya. Mau aku mafkan atau tidak?” Aku mengancamnya.

“Baiklah kalau begitu.” Dia menyerah.

Akhirnya Randi sama sekali tidak keberatan dengan semua syarat yang aku berikan. Dengan sedikit gertakan saja, entah kenapa seketika dia menjadi  sangat penurut.

“Cri … boleh aku bicara?” pinta Randi.

“Bicaralah," jawabku.

“Kalau boleh aku menasehatimu, sebaiknya jangan berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri," pinta Randi.

“Ran … kamu sudah melanggar persyaratan yang nomer dua!” hardikku ketus.

Aku langsung menyetop taxi yang kebetulan melintas di hadapanku. Aku meninggalkan Randi begitu saja.

“Cri … tunggu dulu cri, Criana!” Dia memanggil-manggil namaku, namun tidak kuhiraukan.

***

Dalam kesendirian, tiba-tiba bayangan mas Faisal menari-nari di pelupuk mataku. Aku begitu merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin di dekatnya dan diam-diam menghirup aroma tubuhnya seperti dulu.

Pengaruh rasa rindu yang tak terbendung, membuatku memberanikan diri mengirimnya sebuah chat.


Aku tidak perduli lagi dengan kemarahnnya terhadapku. Aku mengetik kata demi kata, aku ungkapkan semua rasa yang aku punya.


Sebelumya, aku membaca ulang chat tersebut, lalu aku memilih untuk menghapusnya. Aku tidak jadi mengirimnya, aku begitu malu jika dia tau apa yang aku rasakan saat ini.


Aku lempar ponsel ke atas meja, karena kesal pada diriku sendiri.

Tanpa kuduga, tiba-tiba saja ponsel itu berdering. Aku terperanjat, jangan-jangan itu telepon dari mas Faisal.


Aku meraih ponsel dengan penuh debar. Ternyata dugaanku salah, nama Randilah yang muncul di layar ponselku. Aku me-rejectnya, namun dia terus mengulang panggilannya berkali-kali. Akhirnya dengan terpaksa aku menerima panggilannya itu.

“Ada apa Ran, telepon malam-malam? Aku ngantuk banget ini, mau tidur.” Aku pura-pura menguap.

“Kenapa direject barusan? Kamu masih marah ya sama aku Cri?” Dia masih mempertanyakan tentang itu, duh dasar ni anak.

“Ran begini ya, aku sudah tidak marah kok sama kamu. Aku reject itu karena aku ngantuk banget dan ingin tidur.” Aku pura-pura manis, padahal hatiku sangat dongkol sekali padanya.

 “Benar?” Dia memastikan dan belum sepenuhnya percaya.

“Benar, sudah ya. Aku ngantuk banget ini. Besok kan kita ada meeting pagi," kilahku.

“Oh iya, ok deh. Selamat tidur, mimpi indah ya. Bye bye!” Akhirnya Randi percaya.

“Hem bye!” responku.

Panggilan ditutup, aku merasa lega. Randi … Randi, ada-ada saja tu anak.


Aku merebahkan tubuhku, menselonjorkan kedua kakiku. Aku ingin melepas penat. Namun nyatanya pikirannku malah bekerja keras untuk bagaimana cara menghubungi mas Faisal kembali.

Aku tidak mungkin meng-chatnya malam-malam begini. Apalagi menelponnya, itu tidak mungkin. Apa aku temui saja dia di kantornya besok, ah tidak, itu tidak mungkin.

Ponselku berdering kembali, duh ini pasti si Randi lagi. Aku burur-buru mengangkatnya. Kali ini aku akan menyemprotnya, aku tidak akan bermanis-manis lagi.

“Ada apa lagi?” tanyaku ketus, tanpa membaca nama si pemanggil.

“Cri … kamu kenapa? Ini aku Rudi.”  Astaga ternyata yang menelponku adalah pak Rudi, atasanku.

“Oh maaf pak, saya pikir teman saya pak. Iya pak ada yang bisa saya bantu?” Aku berbicara dengan sopan juga nada yang diatur.

“Begini Cri, kita ada kerja sama dengan PT. Fun Bright,” jelas pak Rudi.

Fun Bright? Aku familiar dengan perusahaan itu. Ah iya, itu perusahaan mas Faisal.


“Iya pak,” jawabku penuh antusias.

“Aku minta kamu besok datang ke kantor perusahaan itu untuk mewakiliku," ucap pak Rudi.

“Siap pak,” jawabku dengan sigap tanpa pikir panjang lagi.

“Ok ya, jangan sampai lupa besok. Soalnya saya ada kepentingan di luar kota untuk beberapa hari kedepan. Jadi urusan dengan Fun Bright aku serahkan kepadamu,” ungkap pak Rudi.

“Baik pak.” Sekali lagi aku jawab dengan mantap tanpa sedikit pun rasa ragu.

Panggilan ditutup, dan aku seperti melayang-layang ke angkasa. Tuhan seperti mewujudkan ke inginanku untuk bertemu mas Faisal melalui tangan pak Rudi.


Ini ajaib, sangat ajaib. Aku seperti menemukan energi baru, gairah baru. Duh ingin rasanya pagi segera datang.

Malam ini aku menuju alam mimpi dengan perasaan yang berbunga-bunga. Mas Faisal tunggu aku besok, kita akan bertemu kembali.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status