Sampai di tempat biasa, langsung bersiap. Sebelum itu, Rafan mengelus sebentar musang kecil. Lalu menurunkannya, musang itu pun berlari menjauh dan Rafan masih menatapnya hingga tidak terlihat. Setelahnya, Rafan melepas jaket yang dipakainya. Tersisa hanya kaus berwarna abu tanpa lengan, kembali meregangkan ototnya sebentar.
Kemudian mulai berlari mengelilingi sebagian hutan, lalu melompat dan melakukan pakour ke setiap atas batang pohon yang cukup tinggi ataupun bebatuan besar, sekalian untuk melatih pijakan kakinya agar tidak terpeleset. Semakin lincah, menghindar dari orang asing yang mengejarnya dan polisi juga.
Rafan melakukan hal itu, selama seharian penuh dan secara secara berulang-ulang—sendirian. Menurutnya, sangat menyenangkan dan juga bisa menghilangkan rasa bosan. Lalu berhenti sejenak untuk beristirahat, Rafan memilih duduk di atas bukit, yang di bawahnya terdapat jurang yang amat curam, membiarkan embusan angin di sore hari menerpa tubuhnya.
Tanpa rasa takut, akan jatuh ke dalam jurang curam itu. Karena dirinya sudah sering terluka, baik luka dalam ataupun ringan. Hal itu membuat tubuhnya terbiasa, meskipun awalnya sangat menyakitkan. Akan tetapi, perlahan hanya sedikit rasa sakit yang Rafan rasakan.
****
Setelah beristirahat sejenak, Rafan melanjutkan latihannya sebentar. Lalu berhenti dan memakai jaket hitamnya lagi, kemudian pergi dari hutan dan berjalan menuju tengah kota. Rafan tetap menampakkan diri di kota, meskipun sudah menjadi buronan polisi, dan ditakuti banyak orang.
Lagi pula Rafan ke kota hanya untuk berjalan-jalan saja, bukan untuk membuat onar. Kecuali, bila ada yang mengusiknya, Rafan akan bertindak cepat. Meskipun harus berkejar-kejaran lagi dengan polisi.
Sampai di kota, awalnya semua orang melihat kehadiran Rafan biasa saja, tetapi setelah tanpa sengaja melihat tatapan Rafan yang dingin sekali, seperti akan membius, dan mereka langsung menjauhinya. Ada juga yang berniat melaporkannya kepada polisi, tetapi Rafan mengabaikan. Tetap tenang, dan terus berjalan hingga sampai di taman kota.
Di taman kota hanya ada beberapa orang saja yang mendatanginya, kebetulan juga sudah hampir malam. Rafan mendudukan diri di bangku taman dan terpejam, lalu terusik saat ada pasangan muda yang melintas di hadapannya dan pergi cepat, karena takut melihat kehadirannya.
Bodoh!
Rafan, terus menatap datar, saat pasangan muda itu lari ketakutan. Lalu mengangkat bahu dan terpejam sebentar, suasananya semakin sepi. Kemudian melirik sekitarnya, hingga tatapannya tertuju pada anak kecil, sepertinya terpisah dari orang tuanya.
Tidak lama kemudian, ada lima orang penjahat muncul. Sepertinya ingin menculik anak kecil itu, lalu orang tua anak kecil itu datang. Mencoba untuk menyelamatkan anaknya, tetapi saat ingin menghubungi polisi, gagal karena ponselnya lebih dulu dihancurkan oleh penjahat itu. Setelahnya, penjahat itu mulai membawa anak kecil itu pergi.
“Lepaskan anak kami!” teriak orang tua dari anak kecil itu.
“Tidak! Anak ini akan kami jual, haha!” balas kelima penjahat itu.
Rafan masih memperhatikannya dari jauh, entah ada angin apa yang merasukinya. Mulai beranjak dari duduknya, dan berjalan mendekat ke arah mereka. Hal itu membuat, orang tua anak kecil terdiam, karena takut. Akibat tanpa sengaja, melihat tatapan dinginnya. Sepertinya, yang takut hanya orang tua anak kecil itu sedangkan lima penjahat justru tersenyum licik.
“Apa?” tanya salah satu penjahat, mulai menatap remeh.
Rafan masih menatap dingin, semakin berjalan mendekat ke arah penjahat itu lagi. Secara tiba-tiba, memberi tendangan telak, pada kelima penjahat itu. Hingga terhempas jauh.
Karena kelima penjahat itu terhempas, anak yang diculik hampir ikut terhempas dan jatuh juga, tetapi berhasil ditangkap oleh Rafan. Lalu menurunkannya di dekat orang tua anak kecil itu.
Kelima penjahat itu kabur, sedangkan orang tua anak kecil itu diam saja. Rafan mengabaikan, langsung pergi begitu saja. Namun, langkahnya kembali terhenti. Saat mendengar, ejekan dan umpatan kekesalan dari orang tua anak kecil itu, dan seenaknya menuduh Rafan.
“Kau pasti komplotan mereka, ‘kan!” sentak orang tua anak kecil itu.
Rafan berbalik, manik hitamnya menjadi amat dingin terus melirik ke arah mereka. Di satu sisi, mencoba tenang agar tidak bernafsu untuk membunuh mereka.
“Hm, harusnya tadi aku biarkan saja ya? Anak kalian diculik penjahat!” gumam Rafan, semakin menatap dingin, perlahan mendekat ke arah mereka.
Orang tua anak kecil itu, mulai bergidik ngeri saat mendengar ucapan Rafan. Bahkan ditatap dingin lagi. “Eh-h ma-maa—” ucap orang tua anak kecil itu terpotong.
“Munafik!” potong Rafan, langsung pergi cepat dari hadapan orang tua anak kecil itu.
****
Setelah Rafan pergi, polisi yang sedang berpatroli datang, karena sempat melihat keberadaan buronan mereka, mulai bertanya sesuatu pada orang tua anak kecil itu.
“Kalian baik-baik saja? Tadi itu, pemuda yang memiliki tatapan dingin bukan?” tanya Polisi, mencoba memastikan.
“Iya, kenapa dengan pemuda itu?” tanya orang tua anak kecil itu mulai bingung.
“Dia buronan kami, pemuda kejam yang sudah membantai banyak orang,” jelas Polisi.
Orang tua anak kecil itu, kembali bergidik ngeri. “Membantai!” teriaknya terkejut, karena hampir membuat masalah dengan pemuda kejam itu.
“Ya, sebaiknya kalian cepat pulang. Jika, bertemu dengan pemuda itu lagi, harus waspada takutnya menyerang,” jelas Polisi.
Orang tua anak kecil dan polisi pun pergi, tidak sadar kalau Rafan masih ada di sana.
Sebenarnya, setelah menolong anak kecil tadi. Rafan hendak pergi, tetapi karena merasakan kehadiran polisi, langsung menyembunyikan diri dari pandangan polisi. Setelah situasi aman, dan polisi masih tidak sadar dengan keberadaannya. Rafan kembali ke bangku taman yang didudukinya, dan kembali memperhatikan mereka dari jauh.
Percakapan mereka masih terdengar. Akan tetapi, Rafan hanya menganggap percakapan mereka angin lalu saja. Meskipun, ada rasa muak dan tidak suka.
“Di mata semua orang sudah buruk, meskipun mencoba berbuat baik. Balasannya, sangat tidak dihargai sekali oleh mereka.”
Rafan masih terdiam di bangku taman, sesekali menghela napas pelan. Manik hitamnya mulai tertuju pada langit malam, kebetulan sudah sepi dan juga hampir larut malam. Rafan beranjak dari duduknya dan berjalan santai menuju rumah kecilnya, tetapi langkahnya terhenti. Rafan mendengar derap langkah kaki, menurutnya amat banyak.
Rafan menoleh ke arah belakang, ternyata kelima penjahat yang tadi ingin menculik anak kecil, yang mengikutinya.
“Gara-gara kau mangsa kami lepas!” sahut salah satu dari mereka.
“Hm, lalu?” balas Rafan dengan nada dinginnya.
Kelima penjahat terdiam dan tersadar, yang mereka ikuti adalah pemuda kejam buronan polisi. Perlahan rasa takut menghantui kelima penjahat itu, memutuskan tidak jadi menuntut, dan pergi begitu saja.
“I cannot stop this sickness taking over. It takes control and drags me into nowhere.”‘My demons by Starset’•••Rafan berdecih, tetapi masih melirik dingin kelima penjahat yang mulai menjauh darinya—hingga tidak terlihat.Membuang-buang waktu saja!Rafan kembali melangkah santai, biasanya akan menyerang karena terusik. Entah kenapa, sekarang tidak ada niat mengejar kelima penjahat tadi. Kebetulan mood-nya sedang malas untuk membuat teror.“Hm, hm, hm,” gumam Rafan, terus berjalan santai menuju ujung kota.Rafan masih berjalan dengan tenang, hingga melewati daerah gang sempit. Namun, dalam sekejap ketenangannya lenyap. Saat ada yang menabraknya lumayan keras, anehnya s
“I need a savior to heal my pain.”‘My demons by Starset’•••Rafan terus berguling ke dalam jurang, tubuhnya tidak luput tergores ranting, ataupun bebatuan kecil dan besar, hingga berhasil berpegangan pada batang pohon.Hampir saja.Rafan masih berpegangan pada dahan pohon, dan mulai memanjat ke atas dahan pohon yang paling tinggi. Kemudian duduk terdiam di atas dahan pohon, menunggu rasa sakit di tubuhnya hilang. Akibat melompat dan berguling ke dalam jurang, untung saja tidak menghantam bebatuan besar.“Mereka mulai familiar denganku kah?”Rafan membiarkan kedua kakinya menjuntai ke bawah, sesekali menggerakkannya.“Hm, hm, hm,” gumam Rafan sambil terpejam, berusaha untuk tenang. Karena b
12 tahun yang lalu ...Alexander, menurut banyak orang adalah keluarga harmonis. Juga keluarga terpandang, karena terkenal dalam dunia bisnis. Keluarga Alexander pemilik perusahaan Xander Corp, yang begitu diminati para pebisnis lain, untuk melakukan kontrak kerja sama.Saat itu Risa sedang mengandung. Dokter melakukan USG awalnya satu anak laki-laki, tapi saat kehamilannya menginjak usia sembilan bulan, di mana anaknya akan lahir, ternyata terlahir kembar.Mereka hanya menginginkan anak tunggal sebagai penerusnya, karena terlahir kembar mereka tetap menerimanya, lalu diberi nama Rafan dan Refan. Akan tetapi, mereka mulai dibutakan oleh keinginannya. Terbukti, mereka lebih memilih merawat dan diperkenalkan pada publik hanya anak bungsu saja yaitu Refan Alexander.Sedangkan Rafan Alexander sebagai anak sulung tidak, sejak lahir pun langsung diasuh oleh pembantunya. Hingga, Rafan baru menginjak umur empat tahun. Tidak lama kemudian, kabar b
Bram sejak awal bergabung dengan Xander Corp, memiliki niat licik ingin merebut secara perlahan perusahaan Xander Corp, tetapi selalu gagal. Akan tetapi, keesokan harinya Bram kembali berkunjung ke rumah keluarga Alexander, mulai mencoba menjalankan rencana liciknya lagi, Bram berjalan mengendap-endap menuju ruang kerja milik Rivo, langsung mendekati tempat penyimpanan, berkas penting.Bersamaan dengan Rafan baru, yang saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa ingin pergi ke halaman belakang rumah.Lagi pula tidak ada rapat?Rafan mulai melangkah di setiap anak tangga, hingga sampai dipijakan terakhir. Kemudian, berjalan menuju pintu keluar, tetapi langkahnya terhenti saat melewati ruang kerja Rivo. Rafan melihat Bram sedang mencari sesuatu, awalnya mengabaikan dan berniat pergi menuju halaman belakang, tapi terhenti lagi ketika Bram menyadari kehadirannya.“Ini dia berk—” ucap Bram terhenti saat melihat Rafan,
Satu bulan terlah berlalu, paginya polisi datang dan bertanya lagi, tetapi Rafan masih tidak mau menjawab. Kondisi Rafan sudah pulih kembali, meskipun wajahnya masih ada memar biru, bahkan sudah diperbolehkan pulang. Polisi ingin mengantarnya pulang, tetapi Rafan menolak.“Kami antar ke rumah ya, kau ingat tinggal di mana?” tanya Polisi.“Tidak,” balas Rafan bohong lagi.Lagi pula aku kan sudah diusir dari rumah. Lebih baik pura-pura tidak ingat.Rafan, mulai berjalan keluar dari rumah sakit.“Ayo, kau tinggal di panti asuhan saja.” Polisi menggenggam tangan Rafan, lalu menariknya untuk masuk ke mobil dan pergi.Sampai di panti asuhan, polisi langsung menemui ibu panti dan akhirnya menerima Rafan untuk tinggal di sana.Lebih baik aku tinggal di sini dulu, sambil mencari tempat untuk tinggal sendiri.Rafan ikut masuk, saat tanganny
Rafan masih duduk di atap gedung, setelah mengingat kembali masa lalunya yang kelam dan begitu pahit baginya.“Sudah 12 tahun berlalu, sepertinya Bram Revaldo menikmati sekali kehidupannya, setelah berhasil membuatku diusir dan hampir mati," gumam Rafan.Kebetulan Rafan duduk di atap gedung, yang bersebelahan dengan SMA 01 Golden. Sekolah yang memiliki tingkat reputasi sangat tinggi, karena banyak sekali murid berprestasi. Lalu tidak sengaja melihat gerak-gerik aneh dari empat orang, yang semenjak pagi sudah ada di depan gedung sekolah itu.“Hee, polisi menyamar jadi warga biasa kah? Mudah sekali tertebak, pasti polisi itu sedang mengintai Refan Alexander!” gumam Rafan.Refan Alexander, salah satu siswa di SMA 01 Golden. Lebih tepatnya adalah adik kembar Rafan. Rafan terus memperhatikan beberapa polisi yang menyamar.****Di ruang makan sebuah keluarga sarapan bersama, tanpa merasa kurang atau cemas. Jika,
Polisi dan ketiga teman Refan terdiam, setelah mendengar penjelasan Refan, ternyata memiliki kakak kembar.“Tunggu sebentar, kakak? Bukankah kau anak tunggal?” tanya Polisi bingung.“Sebenarnya aku memiliki kakak kembar,” jelas Refan.Jadi Refan terlahir kembar!Ketiga temannya, terkejut.“Bisa dijelaskan Tuan Rivo?” tegas Polisi.“Oke! Memang benar anakku kembar. Tapi dia per—” ucap Rivo terhenti.“Kakak tidak pergi! Tapi diusir!” potong Refan kesal, mendengar penuturan Rivo.“Refan diam!” balas Rivo kesal.“Tidak! Selama ini aku bingung. Sebenarnya apa salah kakak? Sampai ayah ataupun ibu tidak pernah ada untuknya. Bahkan kehadirannya tidak dianggap!" ucap Refan lirih.“Kau tidak perlu ta—”“Aku ingin tau! Karena dia kakak kembarku!” teriak Refan kesal.“Sudah kubilang di
Sore hari di tengah kota mendadak hening, biasanya banyak orang yang berlalu lalang. Kali ini tidak, karena mereka bersembunyi sambil menatap seorang pemuda dari jauh. Jadi, hanya kendaraan saja yang melintas di jalan besar.Pemuda itu adalah Rafan, wajar mereka takut. Penampilan Rafan sedikit kotor, di kedua telapak tangannya dan pisau lipat yang dia genggam penuh darah. Bahkan di pakaiannya ada sedikit bercak darah, karena baru saja membunuh Bram Revaldo. Rafan berjalan di tengah kota, sambil menatap kosong ke depan.Sejak berita pembantaian yang tadi dia lakukan sudah tersebar, semua orang di kota terkejut. Keluarga Alexander sebenarnya memiliki anak kembar, dan masih tidak percaya bila pemuda kejam itu anak sulungnya. Setelah Rafan tidak terlihat di tengah kota, semua orang kembali berlalu lalang.****Sampai di ujung kota, Rafan tidak ke rumah kecilnya. Melainkan masuk kedalam hutan, menuju bukit tempat biasa duduk. Lalu merebahkan d