Share

02. Tidak Dihargai

Sampai di tempat biasa, langsung bersiap. Sebelum itu, Rafan mengelus sebentar musang kecil. Lalu menurunkannya, musang itu pun berlari menjauh dan Rafan masih menatapnya hingga tidak terlihat. Setelahnya, Rafan melepas jaket yang dipakainya. Tersisa hanya kaus berwarna abu tanpa lengan, kembali meregangkan ototnya sebentar.

Kemudian mulai berlari mengelilingi sebagian hutan, lalu melompat dan melakukan pakour ke setiap atas batang pohon yang cukup tinggi ataupun bebatuan besar, sekalian untuk melatih pijakan kakinya agar tidak terpeleset. Semakin lincah, menghindar dari orang asing yang mengejarnya dan polisi juga.

Rafan melakukan hal itu, selama seharian penuh dan secara secara berulang-ulang—sendirian. Menurutnya, sangat menyenangkan dan juga bisa menghilangkan rasa bosan. Lalu berhenti sejenak untuk beristirahat, Rafan memilih duduk di atas bukit, yang di bawahnya terdapat jurang yang amat curam, membiarkan embusan angin di sore hari menerpa tubuhnya.

Tanpa rasa takut, akan jatuh ke dalam jurang curam itu. Karena dirinya sudah sering terluka, baik luka dalam ataupun ringan. Hal itu membuat tubuhnya terbiasa, meskipun awalnya sangat menyakitkan. Akan tetapi, perlahan hanya sedikit rasa sakit yang Rafan rasakan.

****

Setelah beristirahat sejenak, Rafan melanjutkan latihannya sebentar. Lalu berhenti dan memakai jaket hitamnya lagi, kemudian pergi dari hutan dan berjalan menuju tengah kota. Rafan tetap menampakkan diri di kota, meskipun sudah menjadi buronan polisi, dan ditakuti banyak orang.

Lagi pula Rafan ke kota hanya untuk berjalan-jalan saja, bukan untuk membuat onar. Kecuali, bila ada yang mengusiknya, Rafan akan bertindak cepat. Meskipun harus berkejar-kejaran lagi dengan polisi.

Sampai di kota, awalnya semua orang melihat kehadiran Rafan biasa saja, tetapi setelah tanpa sengaja melihat tatapan Rafan yang dingin sekali, seperti akan membius, dan mereka langsung menjauhinya. Ada juga yang berniat melaporkannya kepada polisi, tetapi Rafan mengabaikan. Tetap tenang, dan terus berjalan hingga sampai di taman kota.

Di taman kota hanya ada beberapa orang saja yang mendatanginya, kebetulan juga sudah hampir malam. Rafan mendudukan diri di bangku taman dan terpejam, lalu terusik saat ada pasangan muda yang melintas di hadapannya dan pergi cepat, karena takut melihat kehadirannya.

Bodoh!

Rafan, terus menatap datar, saat pasangan muda itu lari ketakutan. Lalu mengangkat bahu dan terpejam sebentar, suasananya semakin sepi. Kemudian melirik sekitarnya, hingga tatapannya tertuju pada anak kecil, sepertinya terpisah dari orang tuanya.

Tidak lama kemudian, ada lima orang penjahat muncul. Sepertinya ingin menculik anak kecil itu, lalu orang tua anak kecil itu datang. Mencoba untuk menyelamatkan anaknya, tetapi saat ingin menghubungi polisi, gagal karena ponselnya lebih dulu dihancurkan oleh penjahat itu. Setelahnya, penjahat itu mulai membawa anak kecil itu pergi.

“Lepaskan anak kami!” teriak orang tua dari anak kecil itu.

“Tidak! Anak ini akan kami jual, haha!” balas kelima penjahat itu.

Rafan masih memperhatikannya dari jauh, entah ada angin apa yang merasukinya. Mulai beranjak dari duduknya, dan berjalan mendekat ke arah mereka. Hal itu membuat, orang tua anak kecil terdiam, karena takut. Akibat tanpa sengaja, melihat tatapan dinginnya. Sepertinya, yang takut hanya orang tua anak kecil itu sedangkan lima penjahat justru tersenyum licik.

“Apa?” tanya salah satu penjahat, mulai menatap remeh.

Rafan masih menatap dingin, semakin berjalan mendekat ke arah penjahat itu lagi. Secara tiba-tiba, memberi tendangan telak, pada kelima penjahat itu. Hingga terhempas jauh.

Karena kelima penjahat itu terhempas, anak yang diculik hampir ikut terhempas dan jatuh juga, tetapi berhasil ditangkap oleh Rafan. Lalu menurunkannya di dekat orang tua anak kecil itu.

Kelima penjahat itu kabur, sedangkan orang tua anak kecil itu diam saja. Rafan mengabaikan, langsung pergi begitu saja. Namun, langkahnya kembali terhenti. Saat mendengar, ejekan dan umpatan kekesalan dari orang tua anak kecil itu, dan seenaknya menuduh Rafan.

“Kau pasti komplotan mereka, ‘kan!” sentak orang tua anak kecil itu.

Rafan berbalik, manik hitamnya menjadi amat dingin terus melirik ke arah mereka. Di satu sisi, mencoba tenang agar tidak bernafsu untuk membunuh mereka.

“Hm, harusnya tadi aku biarkan saja ya? Anak kalian diculik penjahat!” gumam Rafan, semakin menatap dingin, perlahan mendekat ke arah mereka.

Orang tua anak kecil itu, mulai bergidik ngeri saat mendengar ucapan Rafan. Bahkan ditatap dingin lagi. “Eh-h ma-maa—” ucap orang tua anak kecil itu terpotong.

“Munafik!” potong Rafan, langsung pergi cepat dari hadapan orang tua anak kecil itu.

****

Setelah Rafan pergi, polisi yang sedang berpatroli datang, karena sempat melihat keberadaan buronan mereka, mulai bertanya sesuatu pada orang tua anak kecil itu.

“Kalian baik-baik saja? Tadi itu, pemuda yang memiliki tatapan dingin bukan?” tanya Polisi, mencoba memastikan.

“Iya, kenapa dengan pemuda itu?” tanya orang tua anak kecil itu mulai bingung.

“Dia buronan kami, pemuda kejam yang sudah membantai banyak orang,” jelas Polisi.

Orang tua anak kecil itu, kembali bergidik ngeri. “Membantai!” teriaknya terkejut, karena hampir membuat masalah dengan pemuda kejam itu.

“Ya, sebaiknya kalian cepat pulang. Jika, bertemu dengan pemuda itu lagi, harus waspada takutnya menyerang,” jelas Polisi.

Orang tua anak kecil dan polisi pun pergi, tidak sadar kalau Rafan masih ada di sana.

Sebenarnya, setelah menolong anak kecil tadi. Rafan hendak pergi, tetapi karena merasakan kehadiran polisi, langsung menyembunyikan diri dari pandangan polisi.  Setelah situasi aman, dan polisi masih tidak sadar dengan keberadaannya. Rafan kembali ke bangku taman yang didudukinya, dan kembali memperhatikan mereka dari jauh.

Percakapan mereka masih terdengar. Akan tetapi, Rafan hanya menganggap percakapan mereka angin lalu saja. Meskipun, ada rasa muak dan tidak suka.

“Di mata semua orang sudah buruk, meskipun mencoba berbuat baik. Balasannya, sangat tidak dihargai sekali oleh mereka.”

Rafan masih terdiam di bangku taman, sesekali menghela napas pelan. Manik hitamnya mulai tertuju pada langit malam, kebetulan sudah sepi dan juga hampir larut malam. Rafan beranjak dari duduknya dan berjalan santai menuju rumah kecilnya, tetapi langkahnya terhenti. Rafan mendengar derap langkah kaki, menurutnya amat banyak.

Rafan menoleh ke arah belakang, ternyata kelima penjahat yang tadi ingin menculik anak kecil, yang mengikutinya.

“Gara-gara kau mangsa kami lepas!” sahut salah satu dari mereka.

“Hm, lalu?” balas Rafan dengan nada dinginnya.

Kelima penjahat terdiam dan tersadar, yang mereka ikuti adalah pemuda kejam buronan polisi. Perlahan rasa takut menghantui kelima penjahat itu, memutuskan tidak jadi menuntut, dan pergi begitu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status