Refan kini dilanda jengkel. Satu karena Rafan belum datang. Dua, sedang malas berbincang dengan siapa pun—alias—badmood. Benar saja, kakinya mulai bergerak menjauh dari mereka berdua. Memutuskan mengitari gedung, selagi menunggu si kakak yang sama sekali belum menampakkan wujudnya!
"Kakak mana sih! Katanya menyusul!" gerutu Refan.
Mendadak langkah kakinya terhenti, menoleh cepat ke belakang dan sekitarnya. Jujur, di sepanjang pekarangan ataupun lorong perusahaan yang dilintasinya. Seakan banyak sekali pasang mata yang menatap intens ke arahnya, hanya saja tidak menemukan siapa pun di sana.
"Siapa sih?"
Refan berdecak kesal, kembali melangkahkan kakinya untuk mengitari perusahaan lagi. Meskipun, mencoba mengabaikan siapa mereka? Kenapa terus mengamatinya dari jauh? Bahkan, selalu bersembunyi cepat kala menyadari dirinya akan menoleh!
Meresahkan!
Benar saja, rasa takut dan kepanikan mulai melandanya. Sudah mencoba
Setelah meninggalkan area perusahaan, kini terlihat berada di tikungan curam sebuah jalan raya besar. Duduk sejenak, pada pembatas jalan. Manik hitamnya menyorot hampa, dan wajahnya pun agak tertunduk.Sesekali matanya bergulir ke arah satu tangannya, yang sedikit berlumur darah. Kemudian kembali ke objek fokus utamanya, yaitu jurang curam dan dalam yang berada tepat di bawahnya.Di satu sisi sadar, beberapa polisi menguntit untuk mencari tahu apa yang akan dilakukannya saat ini. Mungkin saja, beberapa dari mereka yang pastinya berpecah menjadi dua kelompok sudah lebih dulu berada di dalam hutan? Seakan tidak ingin ada yang terlewat dari pengawasan mereka terhadapnya?Rafan enggan mempedulikan, terbukti langsung beranjak dan melompat. Benar saja, polisi yang sedari mengawasi. Langsung memberitahu, rekannya yang nyatanya sudah ada di dalam hutan.****Sementara itu, polisi mulai mengamankan jasad anak buah Alano yang menjadi korban
Lima tahun yang lalu ...Keluarga Givano adalah nama sebelum berganti identitas menjadi Adriano. Givano, keluarga sederhana tetapi berteman baik dengan empat pemilik perusahaan besar. Azian mencetuskan sebuah ide untuk mendirikan secara bersama oleh empat sahabat karibnya. Yaitu Leo, Zavin, Arlan, dan Alano. Berhasil didirikan dengan nama Five Corp.Kini Azian sedang berkumpul dengan keluarganya di rumah, yang tidak terlalu besar ataupun kecil. Namun, sangat nyaman bagi mereka."Five Corp, mulai berkembang kah?" tanya Alinda.Azian terdiam sejenak. "Ya, perlahan berkembang." Kemudian menatap kedua anaknya yang sedang battle game online. Yaitu, Alisya dan Alex. Saat itu masih berusia 11 tahun."Kau curang!" Alisya sambil menatap kesal Alex, yang masih santai bermain game online."Kakak saja, tidak berpengalaman bermainnya!" ledek Alex semakin asik melanjutkan game onli
Di halte, terlihat sepasang suami istri, sedang menunggu bus. Tidak lama bus datang, mereka langsung masuk untuk pergi ke tempat tujuannya. Yakni, rumah sakit besar. Terbukti, mereka turun di halte yang berdekatan dengan rumah sakit, dan berjalan cepat menuju ruangan tempat kedua anak mereka dirawat.Terlihat dokter baru saja selesai memeriksa. "Kebetulan saya ingin mengatakan kondisi anak anda.""Bagaimana?""Luka ditubuhnya memang sudah pulih, hanya saja mental anak anda masih agak tertekan.""Tapi sudah diperbolehkan pulang?""Ya, kedua anak anda sudah diperbolehkan pulang." Dokter pergi, untuk memeriksa pasien lain.Mereka langsung masuk ke kamar inap kedua anak mereka, terlihat kedua anak mereka duduk terdiam di masing-masing brankar."Bagaimana? Sudah baik?" tanya sang ibu—Arina.Kedua anak mereka awalnya terdiam, perlahan mendekat dan memeluk erat orang tuanya. Azdi senang anaknya sudah pulih, tetapi tetap sedih ka
Keheningan mulai menyelimuti, setelah Azdi menjelaskan masalahnya secara detail. Polisi tidak menyangka, kalau keluarga Adriano mengalami kejadian kelam."Kalian korban penyekapan dan pembunuhan berencana, berawal dari masalah pemilihan pemimpin dan Tuan Alano melakukan hal itu pada kalian dengan tujuan merebut hak kepemimpinan dari anda?" Polisi mulai paham.Azdi menghela napas sejenak. "Ya, padahal kalau Alano jujur. Pasti akan saya berikan. Tapi, sudah terjadi, tiba-tiba anak buahnya datang dan melakukan hal itu pada keluarga saya."Aksa enggan berbicara apapun, begitu juga dengan Arina dan Asya. Setelah mendengar kembali cerita kelam yang dulu menimpa mereka. Kali ini mereka benar-benar bernapas lega, masalah telah usai.Meskipun begitu, Aksa harus menerima bila harus ditahan. Akibat kelakuannya, membunuh orang tidak bersalah."Sebelum kami memutuskan hukuman untuk Aksa, apa dia pernah mengalami depresi?" Polisi mencoba memastikan."Bisa
Asya berjalan menuju kelasnya, sembari berusaha bersikap biasa. Jika berhasil, otomatis rasa takut yang mendadak menguasainya—lenyap. Lalu menoleh, karena ada yang melewatinya—tidak lain Rafan. Sepertinya, habis dari halaman belakang sekolah.Lagi-lagi Asya kembali mengamati Rafan amat intens, seperti yang dilakukan sebelumnya. Kala melihat Rafan, pulang setelah kabur tengah malam. Hingga objek fokusnya terlaihkan, pada lengan kiri Rafan. Kebetulan jaket hitam yang dipakai Rafan, bagian lengannya sedikit terlipat.Perban?Asya kembali melangkah, tetapi tidak dengan matanya—masih tertuju pada lengan kiri Rafan. Sebenarnya ingin bertanya, tetapi langsung diurungkan. Mulai melangkah cepat menuju kelas. Namun, terpaksa menghentikan langkah kakinya lagi. Melihat Rafan malah berdiri di ambang pintu kelas, dan menatap ke arahnya.Asya menatap bingung. “Kenapa?”Rafan masih menatap datar, sedangkan Asya mulai
Sebelumnya, yang merasa aneh adalah Asya. Kini terjadi pada Rafan, terbukti raut wajahnya menjadi aneh—amat kebingungan, akibat perasaan asing mulai menghampirinya. Mencoba melupakan, tetap saja teringat lagi."Kenapa lagi sih?"Rafan semakin bingung, langkah kakinya mendadak terhenti. Saat berpapasan dengan orang yang sedari tadi mengganggu pikirannya—tidak lain adalah Asya. Rafan kembali melirik datar Asya, yang berjalan sendirian dari arah lain.Sedangkan yang ditatap mulai risi, langsung menoleh ke sekitarnya. Asya tidak menyangka bertemu lagi dengan Rafan, lalu berinisiatif menyapa. Meskipun, rada aneh karena kembali ditatap datar oleh Rafan."Kau belum pulang?"Rafan hanya diam, sedangkan Asya kikuk lagi karena tidak dijawab. Walau begitu, Asya agak lega sudah tidak takut saat melakukan kontak mata langsung dengan Rafan. Meskipun, berakhir diabaikan kala mencoba menyapa. Asya memutuskan untuk pergi, benar-benar yakin tidak mendapa
Rafan kembali melirik datar luka di lengan kirinya, perbannya baru saja dilepas. Lukanya perlahan sembuh, mulai mengobatinya tetapi sudah tidak dibalutkan perban lagi. Setelah mengobati luka di lengan kirinya, Rafan merebahkan diri. Lagi-lagi, kebingungan. Akibat perasaan aneh yang dirasakannya.Rafan mencoba mengabaikan lagi perasaan aneh itu. Tetap saja tidak bisa. Lalu menoleh, mendengar pintu kamar terbuka, terlihat Refan masuk sembari menatap heran ke arah Rafan. Habisnya, tidak biasa terlihat kebingungan. Refan mulai merebahkan diri di sebelahnya."Kakak kenapa?""Bingung saja.""Bingung karena apa?" Refan semakin heran.Rafan melirik serius Refan, sedangkan Refan semakin heran."Apa?"Rafan menggelengkan kepala, memutuskan beranjak dari kamarnya. Refan hanya menghela napas pasrah, kemudian mengikuti Rafan keluar. Rafan terus berjalan ke ruang makan, masih dengan perasaan aneh—terus menyerangnya."Apa sih!" gerutu R
Aksa terdiam sejenak, setelah mendengar penuturan Rafan. Hingga rasa khawatir dan posesif mulai menguasainya. Aksa menghela napas sejenak, lambat laun mulai menatap serius. Rafan sendiri hanya melirik heran, saat sorot mata Aksa berubah serius terhadapnya.Hingga, berhasil menduga sesuatu hal. "Kau tidak percaya?"Aksa berdeham pelan. “Percaya, hanya saja ...."Walau Aksa tidak melanjutkan perkataannya, Rafan langsung memahaminya. Itu, terlihat jelas dari raut wajah Aksa, sepertinya khawatir—sangat posesif dengan Asya."Aku tau kau mencemaskan Asya karena dekat denganku, ‘kan?" tebak Rafan.Aksa agak tersentak, karena tebakan Rafan benar sekali. "Ya, tapi sudah tidak. Karena, tidak mungkin juga melarang atau memaksanya menjauh darimu." Yang ada, Aksa yang akan dijauhi. Meskipun, niat baik. Tetapi, kalau soal kebahagiaan Asya. Aksa tidak bisa ikut campur."Ehm, baguslah. Tapi, terserah kau kalau masih belum bisa mempercayaik