Share

Antara Kau dan Aku, Nak

“Kenapa Illdara tidak ikut kemari?”

“Aku hanya butuh membunuhmu, Venus, dengan cepat. Aku tak butuh penonton.”

Venus masih memandang sekelilingnya. Mereka berdiri di puncak gunung yang datar. Di samping mereka merekahlah sebuah kawah beku nan bersalju.

Uap keluar dari sela-sela lubang hidung dan bibir Venus saat ia mengembuskan napasnya. Tubuhnya menggigil dan telinganya berdenging lagi; sebagian karena dingin, sebagian lagi akibat Nyanyian Kenya dulu yang kembali terasa nyeri.

Venus meraih Bakat Api sesedikit mungkin, lalu menyebarkan hawa hangat ke dalam tubuhnya sendiri. Rasanya lebih baik.

Amerta dan Venus berdiri berjauhan dengan jarak hampir delapan meter satu sama lain. Meski begitu, Venus dapat melihat dengan jelas kebencian tiba-tiba yang muncul di sorot mata Amerta.

“Kenapa?” Venus berkata sarkatis. “Baru berani menunjukkan perasaan aslimu padaku? Itukah yang sebenarnya kau rasakan? Kebencian dan bukannya meremehkan?”

Amerta mulai berjalan memutari Venus. “Aku tak pernah meremehkan orang yang memiliki anugerah dari kakekku.”

Tiba-tiba sesuatu menumbuk Venus hingga ia tersungkur ke depan. Napasnya tersembur keluar dengan kaget. Punggungnya seperti akan patah. Venus bangkit secepat yang ia bisa sambil menoleh ke belakang.

Sebuah kristal bundar sebesar bola basket menggelinding ke kawah beku, lalu terbang dan memelesat ke arah Venus lagi.

Tangan Venus terangkat; ia meraih Bakat Udara untuk menahan bola kristal itu. Lantas ia menggertak; melemparkan benda itu sekuat tenaga ke arah Amerta.

Semudah menjentikkan jari, Amerta hanya menatap bola kristal itu yang langsung hancur di tengah jalan.

Venus bernapas dengan berat. Ia menyiagakan tubuhnya kali ini.

Venus menoleh secepat kilat saat suara mendesing datang dari sampingnya. Tombak es tajam berkelebat ke arah kepalanya. Venus menggunakan Bakat Udata lagi; ia melempar tombak es itu sampai terjatuh ke bawah gunung.

Amerta terkekeh jahat. “Kau Bizura, tapi cuma itu. Pengalamanmu tak sebanding denganku!”

Ia mengibaskan jubahnya dan mengangkat tangan ke samping setinggi lehernya. Tanah bergemuruh di bawah kakinya. Tiba-tiba, dua bongkah batu raksasa memaksa keluar dari dalam tanah.

Venus melakukan hal yang sama; ia meraih Bakat Batu dan berakhir menggoncang tanah di bawahnya.

Amerta melakukan gerakan melempar, lalu kedua batu raksasa miliknya memelesat ke arah Venus.

Venus membuat gerakan merejan dan berteriak. Tanah dan bebatuan di bawahnya bergemuruh naik ke permukaan membentuk benteng setinggi sepuluh meter.

Dua batu Amerta menabrak dinding benteng Venus. Anak itu tersurut ke belakang. Ia mengerahkan tenaga lagi, lalu menumbukkan tinju ke depan.

Benteng bebatuan Venus memelesat ke depan, mendorong kedua batu raksasa Amerta dengan kuat.

Venus tersengal-sengal, tapi tetap waspada.

Tanah di depan Venus kini membentuk celah besar saat benteng tanah dan bebatuan tadi menumbuk Amerta di depan sana.

Venus menunggu dengan penuh antisipasi. Telinganya berdenging semakin ngilu. Ia menekan kedua telinganya kuat-kuat.

(Telinga Anda akan berdarah, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nada suaranya terdengar datar.

Venus meludahkan cairan getir yang naik ke mulutnya akibat gejolak tiba-tiba dalam perutnya.

(Aku tak peduli, Mustaka. Amerta mati, atau aku yang mati. Cuma itu masalahnya sekarang.)

Venus menggertakkan gigi geram saat Amerta bangkit dari puing-puing tanah dan bebatuan yang menimpanya. Jubahnya robek-robek; ia membuangnya ke samping. Kini sosoknya yang tinggi besar tampak lebih jelas; dibalut dengan pakaian serba hitam dengan pelindung baja hitam di titik-titik tertentu.

Venus meludah lagi.

“Kau sangat adil, Amerta!” Venus berteriak. “Menggunakan segala pelindung itu ke tubuhmu!”

Amerta menggunakan Bakat Udara untuk menghilangkan debu di wajahnya yang sesaat tampak konyol. Ia mengambil langkah-langkah besar hingga jaraknya dengan Venus hanya dipisahkan oleh retakan super lebar di depannya.

“Gunakan saja Bakat-mu,” sentak Amerta dingin. “Atau kau tak bisa mengendalikan Besi seperti yang seharusnya?”

Amerta meninju tanah di depannya tanpa aba-aba. Mungkin hanya firasat, tapi Venus menghela tubuhnya naik ke udara menggunakan Bakat-nya.

Sepersekian detik kemudian, ratusan mata tombak dalam berbagai ukuran melesing dari bawah tanah secara bersamaan di tempat Venus semula berada.

Amerta meninju udara di atasnya hingga urat di dahinya bertonjolan.

Venus berdengap sedetik. Ratusan mata tombak melesit ke atas dengan kecepatan tak main-main.

Venus menarik Bakat Besi begitu cepat, hingga menyakiti jantungnya. Ia mengernyit, tapi tak menurunkan kecepatan untuk membentuk selubung bulat di tubuhnya.

Sebuah mata tombak menggores pahanya. Venus berteriak saat nyeri datang tiba-tiba. Ia mempercepat penggabungan selubung besinya.

Satu detik sebelum secelah selubung menutup, satu mata tombak kecil menancap ke paha Venus yang semula hanya tergores.

Venus berteriak kesakitan dalam kegelapan selubung bundar yang ia ciptakan.

Hampir saja Venus kehilangan konsentrasinya, tapi ia mampu mempertahankan kembali selubungnya. Ia berdiri terengah seraya menyandar ke dinding selubung.

Anak perempuan itu menggertakkan gigi kuat-kuat. Menggunakan Bakat Udara, ia menarik lepas mata tombak itu dari pahanya.

Teriakan Venus menyakiti telinganya sendiri. Ia jatuh terduduk di dalam selubung yang goyah dan terombang-ambing; konsentrasi Venus hampir pecah lagi.

Venus menangis, tapi juga marah. Ia merobek bagian bawah celananya tanpa bantuan Bakat; selubung besi dan udara sudah membuat anak itu kewalahan.

Venus mengikat pahanya dengan sobekan kain itu dengan gigi menggertak. Ia menahan raungannya dengan berlinang air mata kesakitan. Cairan merah pekat mengotori hampir seluruh tubuhnya.

Tiba-tiba selubungnya bergoyang begitu kuat. Venus menghela tubuhnya berdiri seraya menggerung.

Venus melepas Bakat Udara-nya pelan-pelan; mencoba meletakkan selubung besinya ke permukaan tanah.

Begita rasanya sudah berada di atas tanah, Venus menarik napas gemetar. Ia tak pernah mengerahkan Bakat dalam keadaan begini payah.

Benturan keras membuatnya terhempas ke dinding selubung.

“Amerta keparat!”

Samar-samar Venus mendengar suara Amerta di luar sana yang berteriak-teriak tak keruan; seakan sedang mengejek Venus agar ia segera keluar dari perlindungannya.

Venus berdiri agak goyah; telinganya berdenging lagi. Venus mengerang saat darah mengalir dari kedua telinganya. Napasnya berubah pendek-pendek.

Menarik napas dalam-dalam, Venus mulai membuka selubungnya sedikit demi sedikit. Di mulai sebesar lubang paku; untuk mengintip di mana persisnya Amerta berada.

Kemudian, setelah tahu posisi musuhnya, Venus membuka selubungnya mulai dari belakang. Hingga selubung itu hanya menyisakan semacam perisai besi berbentuk persegi panjang di depan Venus.

Namun, Venus nyaris terperenyak.

Di sana, tersenyum seperti seorang psikopat, Amerta berdiri waspada dengan sikap percaya diri. Namun kini ia tak lagi sendirian.

Di sampingnya, berdiri seperti manusia; seekor serigala jadi-jadian dengan moncong berliur. Makhluk itu menggeram, sorot matanya tampak mengancam.

“Perkenalkan, dia aul setiaku!” Amerta berseru gembira; begitu berbeda dengan citra dingin yang Venus tahu selama ini. “Kau boleh memanggilnya Artha kalau mau. Aku mendapatkan Gal ini dari Bumi Ketiga, kau tahu? Sungguh menakjubkan!”

Venus mencengkeram pahanya yang berlumur darah. Jadi, ini adalah salah satu Gal yang pernah disebut-sebut oleh Penjaga Portal semasa Venus baru tiba di Bumi Kedua.

Serigala jadi-jadian. Aul; sebutan manusia serigala di tanah Jawa.

(Mustaka?)

(Ya, Venus?)

(Bisakah kau membantuku?)

(Aku cuma roh, Venus. Tak bisa berbuat banyak selain memberitahumu satu hal: jangan sampai tergigit oleh aul.)

Venus terkekeh di antara kernyitan sakit di dahinya. (Kenapa? Apa aku akan jadi aul juga?)

(Tidak. Kau akan mati.)

Saat itulah, Artha si Aul menerjang ke arah Venus dengan ganas.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status