Share

Kebencian

Suatu ketika di Bumi Pertama, Venus pernah menyayat jarinya secara tak sengaja. Rasanya begitu perih waktu itu. Lukanya tak begitu dalam, tapi kata orang: semakin dalam, semakin kebas rasa sakitnya di awal. Rasa sakit itu baru akan muncul berkali-kali lipat berjam-jam kemudian. Jadi, saat itu Venus cukup beruntung; lukanya tidak dalam, dan karenanya sakit yang ia rasakan hanya berada di permulaan saja.

Namun, hari ini berbeda. Luka sayatan pisau berbeda dengan luka dalam akibat takdir yang menyembilu hatinya.

Di permulaaan, rasanya begitu sakit. Begitu tak tertahankan. Begitu … menyedihkan.

Setelah beberapa saat, rasa sakit itu perlahan meluruh. Ia tidak menghilang; tapi ia bersembunyi di sudut hati Venus yang tergelap. Menunggu saat yang tepat untuk kembali mengemuka.

Yang tersisa hanyalah kehampaan.

Saat Amerta berkata, “Sudah waktunya,” Venus hanya diam. Kegelapan di sudut hatinya menyebar sedikit demi sedikit. Ia tak menunjukkan emosi yang berarti lagi di depan Ildara maupun Amerta.

Venus memendam amarahnya; mengurungnya dalam satu ruangan bersama kesedihan yang tak terelakkan.

Ketika langkah anak perempuan itu bergema di sepanjang lorong, benaknya kembali terisi dengan skenario melarikan diri. Namun, di sinilah ia berada; mengikuti langkah Amerta di depannya, dengan Ildara di belakang punggungnya.

“Apakah kau masih menginginkan ibumu kembali, Venus?”

Suara dingin itu menggores kekakuan hati Venus. Rahang Venus mengeras, tangannya terkepal. Anak itu memejamkan matanya, lalu mengembuskan napas perlahan; menahan amarahnya lagi.

Venus bersuara di antara sela-sela giginya yang menggertak. “Aku hanya peduli pada diriku sendiri.”

Bahu Amerta bergoncang. Tawa lelaki itu mengingatkan Venus akan Druiksa; suaranya begitu menggiriskan hati. Venus sempat bergidik, tapi ia menahannya. Lagi.

“Kau sudah belajar jadi egois.” Amerta menyatakan. “Itu bagus.”

“Aku tidak belajar.” Venus menyanggah kaku. “Aku hanya berubah.”

Kepala Amerta menoleh, seringai keji menghiasi wajahnya yang terkena bayang-bayang obor di lorong batu ini.

“Kau benar-benar anak Langit.”

Venus masih terombang-ambing di antara kepercayaan barunya tentang sang ibu. Napasnya menjadi berat; sepenuhnya belum benar-benar menganggap Langit adalah sosok jahat yang pernah bersisian dengan Amerta di jalan bernamakan kejahatan.

“Aku bukan anak siapa-siapa.” Venus berkata tanpa emosi.

Amerta tiba-tiba berhenti. Venus ikut berhenti dalam jarak dua meter dari lelaki itu. Venus hanya menatap iris gelap Amerta dengan kebencian teredam di hatinya.

“Kakekku ingin kau memimpin bersamaku.”

Kata-kata Amerta yang dingin bagai sembilu beku mengejutkan Venus. Kepalan tangan anak perempuan itu tak pernah melonggar sedikit pun.

“Apa yang Giris mau dariku?” tanya Venus datar.

Amerta setengah membalikkan badan. “Buyutmu ingin kau mendampingiku memimpin kegelapan.”

Venus tertawa dingin. Tatapannya sebeku benua es. “Sungguh sebuah kehormatan. Namun aku tak punya buyut. Tak punya … orang tua. Aku berdiri sendiri, di antara orang-orang yang salah. Aku tidak harus mendampingi siapa pun untuk memimpin apa pun.”

Amerta terdiam sejenak seraya mengawasi Venus dengan tatapan tak terbaca. Ia kembali berjalan; Venus dan Ildara mengikuti.

Mereka diam hingga tiba di penghujung lorong. Cahaya terang di pintu keluar berbentuk oval sesaat menyilaukan mata Venus. Ia menyipitkan mata bahkan setelah keluar dari lorong dan berakhir memandang hutan lebat; jalanan tunggal setapak membelah tepat di depan Venus.

Anak perempuan itu membalikkan badan.

Lorong tempat mereka keluar ternyata semacam gua di tengah-tengah gunung yang berdiri gagah hingga ujungnya hampir menyentuh awan. Saat Venus menunduk kembali, lehernya sedikit terasa kaku.

Ia menoleh ke Ildara dengan wajah datar. “Di mana kita ini?”

Ildara menjawab singkat. “Gunung Sembada.”

“Apa itu dekat dengan Kota Sembada?” Suara Venus tetap datar saat bertanya lagi.

“Kota Sembada ada di belakang gunung ini.”

Venus menoleh menatap Amerta yang tetap berdiam diri de depannya.

Venus tersenyum dingin. “Di mana kau akan membunuhku? Tempat ini terlalu sempit.”

Kepala Amerta tengadah ke atas.

Dahi Venus berkerut penasaran. Ia bersedekap dengan sikap kaku. “Kau tak berniat mengatakan di puncak sana ada lapangan besar, bukan? Karena aku tidak akan percaya.”

Amerta mendengus sinis. “Kau tidak berniat mengatakan kita akan bermain sepak bola dengan aman, bukan? Karena pertarungan akan terasa menantang jika tempatnya sedikit berbahaya. Berdiri di atas ketinggian dan saling membunuh … bukankah itu cukup menggiurkan?”

Angin tiba-tiba bertiup cukup kencang. Venus menutup wajah dengan lengan saat debu beterbangan di sekitarnya. Sedetik kemudian, Amerta menghela tubuhnya naik dengan kecepatan serupa lift.

Amerta terbang dalam keadaan berdiri; kakinya diselimuti angin yang berputar-putar menggila.

Venus menoleh lagi pada Ildara. “Bukankah dia seharusnya takut aku melarikan diri? Kenapa ia meninggalkanku sendiri bersamamu di sini?”

Salah satu alis Ildara terangkat, senyumnya tampak mencenooh. “Karena Amerta percaya kau tak akan begitu.”

“Aku bisa saja begitu.”

“Tetap saja, kau akan tertangkap lagi.”

Venus mendengus. Benar sekali; ia tak akan lari untuk saat ini. Biar pun ia nanti mati, ia akan sangat bersyukur. Dengan begitu penderitaannya berakhir.

Jiwa Venus tak cukup mampu menampung semua kebenaran menyakitkan terus-menerus.

Venus menarik napas dalam-dalam, lalu meraih Bakat Udara di sekelilingnya. Benak anak itu sudah memerintahkan kumpulan angin di sekitarnya untuk membawa tubuhnya naik. Namun jari Venus secara otomatis ikut bergerak pelan; seakan ia adalah penyihir yang mengendalikan sesuatu menggunakan lentikan jari.

Sensasi terbang membuatnya terlena dan tersenyum sepenuh hati untuk sesaat. Ia menunduk dan menyaksikan Ildara yang masuk kembali ke dalam lorong gua.

(Mustaka?) Venus bertelepati.

(Selalu di sini, Venus.)

Venus tersenyum sambil memutar badannya. Matanya sejuk memandang hutan di bawahnya yang tampak diselimuti kabut pagi.

(Indah.) Mustaka bergumam tiba-tiba.

Senyum Venus luntur. (Benar sekali; indah. Namun mereka menyimpan banyak binatang buas di sana. Atau sesuatu yang berbahaya.)

Mustaka tergelak ironis. (Anda tak bisa menyamakan hidup dengan hutan dan seisinya.)

Venus menatap cakrawala dengan murung. (Tidak, Ka. Aku tahu keduanya berbeda. Hanya saja … beritahu aku; berapa umurku?)

Mustaka terdengar heran. (Lima belas tahun, Venus. Kenapa?)

(Seandainya kisahku dibukukan, maka pembaca akan bosan karena seringnya aku menyinggung tentang usiaku.) Venus tertawa sedih. (Aku bukan anak kecil lagi, Mustaka. Aku tak boleh main-main lagi. Bukankah itu menyedihkan?)

(Tidak, Venus. Itu hanya masalah—)

(Sebentar lagi aku mati, Mustaka.) Venus berkata serak. Pandangannya kabur sesaat. (Perbedaan itu sangat jelas, tidakkah kau melihatnya?)

(Ya. Tapi—)

“Aku benci, Mustaka,” desis Venus tiba-tiba.

(Terhadap apa, Putri Bizura?)

“Semuanya, Roh yang Baik. Semuanya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status