Share

Petir Api

Venus terlempar sejauh beberapa meter bersama Artha yang mencengkeram kedua bahunya. Mereka nyaris menyentuh tepi jurang.

“Akh!”

Artha berdiri di atas dua kakinya yang serupa kaki serigala. Aul itu mencekik leher Venus dan mengangkat tubuh gadis itu setinggi hampir tiga puluh sentimeter dari tanah.

Kaki Venus menendang-nendang liar menggunakan kakinya yang sehat. Wajahnya pucat dan nyaris berubah biru. Dalam kesusahan untuk bernapas, benaknya mati-matian berkonsentrasi pada satu Bakat.

Tanpa sadar salah satu tangan Venus membentuk tinju. Lalu, kepalan itu mengentak sekali ke bawah; seakan sedang memindahkan konsol dengan gerakan tegas.

Sejurus kemudian, langit menggelegar. Awan gelap berkumpul tepat di atas puncak gunung itu. Petir menyambar-nyambar dengan suara menggemuruh.

Venus hampir hilang kesadaran, tapi ia sekuat tenaga mempertahankan konsentrasi Bakat Petir-nya. Tangannya membuat gerakan menarik dari atas.

BLAR!

“ROOOOAAARRGGHHH!”

Venus terhempas ke atas tanah dengan keras. Anak itu mengerang keras saat luka di kakinya tertindih tubuhnya sendiri.

Artha si Aul terlempar dua meter dari tempatnya semula. Venus terbatuk-batuk dan tersengal-sengal; mencoba mereguk udara sebanyak yang ia bisa.

Venus bangkit dengan leher masih terasa sakit. Bibirnya terluka akibat terlalu keras menggigitnya; nyeri pada luka bekas tancapan mata tombak membuatnya gila.

Venus melirik ke atas. Mendung gelap dan petir dadakan telah lenyap. Ia memandang aul di seberangnya yang berubah gosong dan berasap.

Namun, Artha masih bernapas. Ia menggerung pelan, lalu bangkit pelan-pelan seperti hewan yang terluka.

Venus menyentuh bekas cekikan di lehernya yang sedikit berdarah karena terkena cakar Artha. Gadis itu melirik Amerta yang wajahnya berubah gelap saat menatap aul kesayangannya.

Artha meraung. Venus menoleh tepat saat aul itu menerjang ke arahnya lagi. Venus menggertakkan gigi.

Venus memejamkan mata sedetik seolah akan bermeditasi, lalu ia mencondongkan badan ke depan. Kedua lengannya otomatis terangkat ke atas dengan sikap anggun tetapi mantap.

Salju di sepanjang jalur terjangan Artha mencair. Aul itu berhenti mendadak sambil berputar-putar menatap salju cair di bawahnya. Ia menggeram-geram kebingungan.

Venus menarik napas perlahan. Kemudian, saat kedua lengan Venus telah berada setinggi lehernya, gadis itu menghempaskan tangan ke bawah secepat kilat. Bersamaan dengan otak Venus yang memerintahkan sesuatu pada objek Bakat-nya.

Salju cair di depan Venus meluncur ke atas membentuk bola air raksasa. Bola itu menerjang Artha hingga mengurung aul itu di dalamnya.

Venus menggerakkan bola air berisi aul itu ke atas menggunakan pikirannya. Artha berenang-renang panik; mencoba keluar dari kungkungan.

BRASH!

Bola air itu pecah; menjatuhkan Artha ke tanah dengan kuat. Venus menoleh cepat, mendapati Amertha yang mengangkat tangan kirinya ke samping.

Venus menggeram marah. Amerta telah menyerang bola airnya dengan bola salju hingga pecah.

Venus berlari terpincang-pincang ke arah Artha yang masih berdeguk lemah. Amerta mencoba menghalangi anak itu dengan melemparkan kristal tajam besar ke arah Venus.

Venus menghirup udara dalam sekali helaan, lalu mengibaskan tangan dengan bertenaga. Kristal itu terlempar kembali ke Amerta.

Venus menerjang ke depan, lalu mendorong Artha menggunakan bantuan Bakat Udara. Tangan Artha menggerapai ke arah Venus dengan panik. Cakarnya menggores tangan dan pipi Venus.

Artha jatuh ke bawah gunung; raungannya terbawa angin hingga suara itu tak terdengar lagi.

Tiba-tiba hembusan angin kuat mendorong tubuh Venus ke depan. Terkejut, anak itu terlontar ke udara; jatuh menyusul aul yang ia tadi lemparkan.

Venus meraih Bakat Udara susah payah, lalu menyeimbangkan tubuh dan mempertahankannya di udara dengan sedikit goyah.

Gadis itu terengah-engah mempertahankan pikiran sekaligus sakit di kakinya. Kekuatan Bakat benar-benar menguras pikiran dan tenaga-dalam anak itu secara harfiah.

Venus naik hingga kakinya menapak kembali ke tengah puncak gunung; hanya lima meter jaraknya dari tempat Amerta berdiri.

“Selalu main belakang, huh?” ejek Venus dengan gigi terkatup; mati-matian menggigit bagian dalam mulutnya akibat rasa sakit yang masih ia rasakan.

Amerta tiba-tiba tersenyum dengan cara yang aneh. Ia menyabetkan tangannya ke atas.

Puluhan ular kecil berbisa muncul begitu saja di udara. Amerta membuka jari-jarinya.

Ular-ular itu menyerbu ke arah Venus dengan sangat cepat.

Benak Venus meraih Bakat Udara untuk menciptakan benteng angin di seputar tubuhnya. Ular-ular kiriman Amerta terlontar ke sana kemari. Namun, ular itu tak bisa mati.

Venus menarik napas dalam-dalam; gemetar. Kekuatannya makin melemah.

Andai saja Mustaka dapat membantu.

Venus mengambil keputusan cepat yang cukup beresiko. Ia terlalu lemah saat ini untuk menggunakan dua Bakat sekaligus.

Jadi, ia melepas Bakat Udara dan balik meraih Bakat Api ke dalam benaknya.

Sepersekian detik sebelum ia berhasil, ular-ular itu hampir menancapkan taringnya ke tubuh Venus. Namun, dengan cepat mereka terbakar saat tubuh Venus dilalap api. Secara harfiah.

Hampir saja Venus melepas Bakat Api ke dalam benaknya lagi karena terkejut. Ia tak pernah membayangkan bisa berubah menjadi manusia api seperti ini.

(Mustaka!) Venus mencoba bertelepati tanpa harus mengendorkan konsentrasinya. Suara batinnya terdengar takjub. (Aku—)

(Yang bisa membuat tubuh Anda kebal api cuma Anda sendiri, Venus. Jika itu api dari volt lain, maka Anda akan terbakar seperti yang seharusnya; alias mati.)

“Sialan!” umpat Venus tertahan.

Dari balik api, Venus melihat Amerta menurunkan tangannya. Tak tampak ular di mana-mana. Venus membuka celah api di bagian wajahnya agar bisa menatap Amerta dengan jelas.

“Ularmu tidak kebal api, Papa.” Venus memberi penekanan pada sebutan ayah dengan tatapan benci. Matanya melirik sekilas pada bangkai-bangkai ular yang gosong.

Nyaris tak kentara, kepala Amerta tersentak. Venus menyeringai. Namun, begitu pula dengan Amerta.

Tiba-tiba langit berubah gelap; persis seperti yang Venus lakukan sebelumnya. Gelegar guntur dan sambaran petir yang dihasilkan Amerta tampak lebih dahsyat dari milik Venus.

Venus melepas Bakat Api-nya dengan kelelahan luar biasa. Rambut hitam sebahunya terkibar-kibar saat angin kencang bertiup ke segala arah.

Petir menyambar tanah di samping Venus dengan gelegar yang memekakkan telinga. Venus membungkuk; sia-sia mencoba menutupi kepala dengan lengannya. Otomatis Venus meraih Bakat Petir dan melindungi tubuhnya dengan percikan-percikan listrik.

BLAR!

“Aaargghh!”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status