Share

Bukankah Ironis?

Salah satu dari kedua foto itu adalah gambar yang sama dengan foto yang Venus tinggalkan di Bumi Pertama. Ia membuka paksa kedua pigura itu untuk mengambil kertas fotonya. Venus memeluk erat-erat keduanya.

Lalu, Venus teringat sesuatu yang pernah dikatakan Amerta padanya.

Venus menggigit bibir seraya menatap Ildara yang masih tampak heran.

“A-Apa ….” Venus berdeham-deham gugup. Ia mengangkat kedua foto itu agar Ildara dapat melihatnya dengan jelas. “Kau mengenalnya?”

Salah satu alis Ildara terangkat. Ia bersedekap. “Siapa di Negeri Dasina ini yang tak kenal Langit Prahara? Dia musuh besar Amerta, sekaligus momok menakutkan nomor dua di negeri ini. Mereka sama-sama terobsesi dengan ide menguasai Bumi Kedua.”

Kedua tangan Venus terjatuh lemas ke samping tubuhnya.

“Tidak,” gumam Venus; pikirannya mendadak kosong. “Dia … dia tidak seperti itu.”

“Oh, ya?” dengus Ildara. Ia mulai membongkar isi koper yang sisanya hanya berisi pakaian dan beberapa kalung berliontin batu hitam.

“Dengar, Venus.” Ildara memberi penekanan saat mengucapkan nama Venus. “Kuberitahu kau sebuah kisah nyata yang melegenda di Dasina. Amerta adalah Bizura; kakeknya si Giris Druiksa adalah Bizura; Langit juga Bizura. Lalu suatu ketika, entah bagaimana mereka terlibat cinta satu malam. Dan lahirlah kau—seseorang yang semua orang baru tahu—Venus si putri Bizura. Satu-satunya keturunan Bizura murni; bukan sekadar blasteran. Lalu—”

“Itu tak ada hubungannya dengan istilah momok yang kau berikan pada ibuku,” potong Venus kaku.

“Oke.” Ildara bersedekap; kebosanan seluruhnya telah hilang dari matanya. “Kau mau yang buruk-buruk tentang ‘ibumu’? Ini kisah nyata, sekali lagi kutegaskan.”

Venus membasahi bibirnya. “Kau cuma bercanda.”

“Langit Prahara pernah memimpin sebuah organisasi hitam bernama Voltura beberapa belas tahun silam. Ia dan pengikutnya mulai membunuhi orang-orang secara acak; tak ada yang tahu apa motifnya.”

“Kau bohong.” Venus mundur selangkah. Ia menelan ludah dan menggertakkan gigi; goyah. “A-Amerta-lah yang memimpin Voltura. Dia—”

“—mengambil alih organisasi bentukan Langit. Amerta membuat organisasi itu lebih terarah dan ‘terorganisir’.”

“Tidak!” Venus berteriak. Ia ingat Ris yang mengatakan bahwa Amerta-lah yang mendirikan organisasi itu.

Venus menjatuhkan diri di sofa berdebu di belakangnya. Tangannya mencengkeram kepala.

(Venus.) Mustaka memanggil.

Anak perempuan itu menggeleng-geleng. (Tidak sekarang, Ka!)

(Saya hanya ingin mengingatkan satu hal, Venus.)

Venus meringis dengan mata terpejam; hatinya terluka. Rasa sakit itu akhirnya datang. Bukan dari ayahnya yang mengerikan; melainkan ibunya. Sosok yang ia sayangi selama hidupnya; sampai sekarang.

(Venus?)

(Apa?) Bahkan batin Venus pun hanya mampu berbisik.

(Ris waktu itu cuma bilang, ‘Voltum berhasil mengalahkan pemimpin Voltura yang punya Bakat Rahasia’ … dia tidak secara spesifik mengatakan nama pemimpin itu, Venus.)

Dan waktu itu Venus mengira Amerta-lah yang dimaksud, bukannya seseorang yang lain. Anak itu bahkan tidak memedulikan bagaimana Mustaka bisa tahu tentang percakapannya dengan Ris.

Venus hanya tak tahan lagi.

Ia menggerung. Ia menjeritkan sakit hatinya ke udara. Air mata membasahi wajahnya; ia berdeguk seakan tak ada yang lebih sengsara dari dirinya.

Ildara menyaksikan dalam diam saat Venus terlarut dalam tangis nan menyakitkan. Hampir tak ada sosok anak lima belas tahun di diri Venus saat ini; yang ada hanyalah penderitaan tak wajar.

Ayahnya seorang pembunuh. Kakek buyutnya seorang dewa Kebencian; mungkin saat ini pun masih seorang pembunuh.

Ibunya … juga seorang pembunuh.

Apa lagi yang tersisa di seluruh dunia ini bagi Venus? Selain dirinya sendiri?

“Pekerjaanmu bagus, Ildara.”

Venus tersentak dan mengangkat kepala. Amerta sudah berada di ruangan itu; menatap Venus dengan kilau kejam di matanya.

“Bukankah ironis, Nak? Mengagumi seseorang yang salah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status