Share

Cundhamani (Panah Api)
Cundhamani (Panah Api)
Penulis: A.R. Ubaidillah

1. Calon Prajurit

“Arya!” pekik Gantari. Ia lemparkan bakul dari bambu berisi pakaian yang baru saja dicuci di sungai begitu saja. Perempuan itu tergopoh-gopoh mencari keberadaan putranya.

“Arya! Dimana kau, Nak?” jeritnya.

Arya Nandika yang tengah menempa besi di samping rumahnya terperanjat. Ia lemparkan lempeng besi yang akan ia jadikan pedang itu ke bejana air hingga mengepulkan asap putih pekat dengan suara desis yang kuat. Pemuda 17 tahun berlari mencari sumber suara ibundanya dengan godam masih dalam genggaman.

“Ada apa, Ibu?” tanya Arya setelah mendapati Gantari tengah berlari ke arahnya. Napas perempuan 37 tahun itu terengah-engah. Sorot mata penuh kekhawatiran membuat Arya Nandika larut dalam emosi yang sama.

“Cepat sembunyi!” seru Gantari mendorong tubuh putranya untuk menjauh. “Prajurit Astagina mencari pemuda dan laki-laki untuk dibawa berperang, cepat sembunyi!” pekik Gantari.

“Apa? Tak puas kah mereka mengambil Ayahanda!” geram Arya Nandika. Bahasa tubuhnya menolak perintah ibundanya untuk sembunyi.

“Pergi lah, Nak! Ibu tak mau kehilangan kau juga,” pinta Gantari setengah memohon.

“Biar, Ibu, biar aku hadapi mereka! Sekaligus Patih bermata satu itu!” tandas Arya Nandika sambil membusungkan dada. Namun tetap saja tubuh kurusnya itu akan menjadi bulan-bulanan prajurit berkuda dan bersenjata.

Deru tapak kuda beradu dengan bumi terdengar dari utara. Getarannya terasa mengguncang tanah tempat Arya Nandika dan ibundanya berpijak. Teriakan para perempuan dan ibu yang terenggut paksa suami, ayah dan anaknya memenuhi udara Desa Girijajar. Beberapa orang yang melawan harus terima dicederai bahkan sampai terenggut nyawa.

“Cepat pergi, Arya! Biar Ibu tahan mereka di sini!” pekik Gantari.

“Kalau hanya sekedar menahan, tak perlu Ibu, aku pun bisa!” pungkas Arya Nandika.

Pemuda itu mengambil busur dan panah yang biasa digunakan untuk berburu bersama pamannya. Ia berdiri dengan gagahnya di jalan desa seorang diri. Anak panah sudah ia pasang di tali busur. Ujung runcing anak panah sudah terhunus setelah Arya Nandika menarik busurnya ke belakang. Lengkung busurnya membentuk garis indah yang menyimpan kekuatan di dalamnya. Sementara Gantari masih saja membujuk putranya untuk pergi.

“Kalau pun aku tertangkap, paling tidak aku sudah melukai atau bahkan membunuh salah satu dari mereka. Ibu, pergi lah!” seru Arya Nandika.

Deru pasukan berkuda itu semakin mendekat. Panji-panji kerajaan Astagina berkibar di ujung-ujung tombak yang mereka bawa. Pasukan ini adalah pengejar. Pasukan di belakangnya bertugas menangkap penduduk desa yang sudah dilumpuhkan. Mereka memperlakukan rakyat seperti musuh di medan perang.

“Ibu, tunggu apa lagi, cepat lah pergi!” pekik Arya Nandika. Gantari tampak ragu, namun baginya tak ada pilihan lain selain mengikuti permintaan putranya. “Tenang saja, aku sudah menguasai Sasra Dasa yang diajarkan Paman Pranawa!” seru Arya Nandika.

Gantari menghambur meninggalkan putranya seorang diri menghadang pasukan Astagina. Sesekali ia menoleh ke belakang memastikan Arya Nandika masih berdiri di sana dengan gagahnya. Perempuan itu bersembunyi di balik dinding rumah dari bambu.

Pemuda itu tampak menarik busurnya ke belakang beberapa masa, hingga urat-urat di tangan dan lehernya menonjol keluar. Wajah cerah yang masih tampak senggurat anak-anak itu merah padam. Anak panah itu pun melesat meninggalkan tuannya.

“Ayo, bertambah lah!” desis Arya Nandika.

Anak panah itu melesat menuju pasukan berkuda Astagina. Udara yang terbelah menyebabkan benturan energi kuat yang siapa pun pasti dibuat terkesima. Namun belum sempat anak panah itu mengenai targetnya, ia sudah kandas ke tanah beberapa jengkal dari kaki kuda paling depan.

“Tangkap dia!” teriak seorang dengan kuda paling besar dan pakaian paling mewah sambil menghunus pedang.

“Ibuuu!” teriak Arya Nandika mengikuti arah lari ibunya.

Gantari keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud menunggu putranya baru kemudian lari. Namun ternyata Arya Nandika berjarak begitu dekat dengan prajurit-prajurit bertampang sangar di atas kuda itu.

“Suamiku, maafkan aku melanggar sumpahku kali ini saja,” batin Gantari.

Arya masih saja berteriak memanggil ibundanya. Larinya begitu cepat namun tak lebih cepat dari kuda-kuda kekar itu. Salah seorang prajurit paling depan sudah memutar-mutar tali yang biasa digunakan untuk mengekang kuda.

Gantari melompat ke udara melewati Arya Nandika yang hanya bisa mendongak menyaksikan kain milik ibundanya tersingkap hingga di atas lutut. Perempuan itu mendaratkan kakinya tepat di dada prajurit yang membawa tali. Prajurit itu pun terjatuh dari kudanya. Gantari mendarat di tanah disertai ringkik lima ekor kuda di hadapannya.

“Kau pikir anakku ini apa? Mau kau jerat dengan tali!” hardik Gantari. Keempat prajurit lain sibuk menenangkan kuda-kudanya. Sedang prajurit yang memutar tali tengah memegangi dadanya yang sakit.

“Hei, perempuan ja**ng! Minggir lah! Kami hanya ingin membawa anak itu, jangan sampai kau kami luka....”

Kata-kata prajurit itu terhenti. Matanya melotot menyaksikan sebuah tusuk konde menancap di keningnya. Tiga prajurit lain tak sempat melihat sejak kapan benda itu dilemparkan. Mereka hanya menoleh ke rekannya yang tiba-tiba berhenti bicara dan kini mulai limbung dan terhuyung dari kudanya.

Mereka saling berpandangan. Tusuk konde yang menancap di dahi rekannya melesat kembali pada pemiliknya bahkan sebelum rekannya menyentuh tanah. Pandangan mereka beralih ke Gantari yang menyeka darah di tusuk konde keemasannya dengan kain.

“Suji Pati, itu Suji Pati!” pekik salah satu prajurit paling kanan. “Siapa kau sebenarnya?” tanya prajurit itu, matanya dipenuhi rasa takut. Tali kekang kuda ia genggam erat-erat, ia sudah bersiap untuk kabur dari tempat itu.

“Kalian tak perlu tahu siapa aku! Pergilah! Atau tusuk konde ini akan menembus leher kalian sebelum kalian sempat berkedip!” ancam Gantari.

Tusuk konde di tangan kanannya sudah terhunus. Menghadap ke arah tiga orang prajurit di atas kuda. Rambut panjang sepinggang milik Gantari terurai bebas dari belenggu di genggamannya. Matanya tajam menatap penuh kebencian. Siapa pun yang berhadapan pasti akan terkuras keberaniannya. Apa lagi baru saja ia mengalahkan seorang pria tanpa menyentuhnya.

“Baik, Nyai!” sahut prajurit itu dan langsung memutar arah kudanya.

Dua prajurit lainnya tampak ragu, namun segera mengikuti. Sedang prajurit yang diterjang Gantari buru-buru bangkit dan melarikan diri meski ia belum duduk di punggung kuda dengan sempurna.

“Ibu, sejak kapan Ibu menjadi begitu sakti?” tanya Arya Nandika dengan senyum merekah.

Gantari tak menjawab. Ia tampak membenahi kainnya yang tadi sempat tersingkap. Lalu merapikan rambut panjangnya dan menggulungnya ke atas. Tusuk konde tadi ia letakkan di tempatnya semula.

“Mana Sasra Dasa yang kau bicarakan tadi! Dasar anak nakal!” hardik Gantari.

Arya Nandika menggaruk-garuk leher belakangnya yang tidak gatal. Ia menyeringai menyadari kesalahan yang hampir saja membuatnya dan ibunya dalam bahaya.

“Bu, aku juga tak tahu mengapa panah itu tak bertambah,” dalih Arya Nandika.

“Jangan banyak alasan!” gantari menarik daun telinga kiri Arya Nandika. “Ayo cepat sembunyi sebelum prajurit itu kembali!” titah Gantari.

“Prajurit yang mana, Nyai Dewi Gantari?”

Sebilah pedang terhunus di leher Gantari. Arya Nandika terkejut, begitu pula ibundanya. Langkah mereka seketika terhenti. Seorang laki-laki berpakaian prajurit Astagina keluar dari pintu belakang rumah mereka.

“Kau....” lirih Gantari.

“Hei, bocah! Ayo ikut aku! Kau bisa menjadi prajurit Astagina dengan bayaran tinggi! Atau nyawa ibumu aku cabut di depan matamu!” ancam laki-laki itu. Ia tertawa sesudahnya penuh kemenangan.

“Jangan, Arya ... Lari lah, Nak!” lirih Gantari. Bilah pedang itu mulai mengores kulit lehernya.

“Lepaskan Ibundaku! Baik, aku akan ikut denganmu,” ucap Arya Nandika menyerah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sastra Inema
Sumpah ini keren banget... baru baca bab satu aja udah kebawa ke suasana, serasa pengin bantuin Arya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status