Home / Horor / Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain / Penjaga yang Tak Terpilih

Share

Penjaga yang Tak Terpilih

Author: Kelaras ijo
last update Last Updated: 2025-07-08 06:35:31

Malam itu, Arga belum tidur. Ia duduk bersandar di dinding kamar, memandangi langit gelap dari celah jendela. Kalung Rino yang dulu hitam kini mulai berubah... samar mengeluarkan cahaya kehijauan, seperti memantulkan energi asing dari luar rumah.

Tiba-tiba... suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan.

Bukan suara keras. Tapi ritmis. Tiga kali. Hening. Lalu tiga kali lagi.

Arga berjalan perlahan, membuka pintu dengan hati-hati.

Ningsih berdiri di sana. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat, tapi matanya menyala… bukan karena takut, tapi karena marah.

> “Kita harus bicara. Sekarang.”

Mereka masuk dan duduk di ruang tengah. Arga mencoba meredam ketegangan, tapi hawa dingin dari tubuh Ningsih membuat seisi ruangan seperti ikut menciut.

> “Gue udah nyadar dari awal... ada yang aneh sama lo,” kata Arga pelan.

Ningsih menatap lurus.

> “Lo nggak salah. Tapi juga belum tentu benar,” katanya datar.

Ia membuka tas kecil yang ia bawa, mengeluarkan kain hitam dengan simbol kuno — lingkaran dengan
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Langkah Menuju Gerbang

    Pagi itu kabut turun lebih tebal dari biasanya.Langkah kaki Arga terasa berat saat berjalan ke sawah yang biasanya jadi tempat neneknya memetik sayur.Tak ada suara ayam. Tak ada suara warga.Hanya desis angin yang seolah berbisik di antara dedaunan basah.> “Kita makin dekat,” suara lirih itu muncul lagi di kepalanya.“Gerbang sudah siap… tinggal kamu yang belum.”Arga menggeleng keras, menutup telinganya. Tapi suara itu tak mau pergi. Ia mencoba melawan, mencoba kembali ke rutinitas... tapi semua terasa ganjil. Bahkan, senyum tetangga pun kini terlihat seperti topeng yang memaksa.---Siangnya, Arga duduk bersama Pak Lebe dan Ningsih di serambi. Mereka menatap peta tua yang digambar ulang dari isi kitab warisan. Di sana terlihat jalur-jalur halus yang membentuk simbol besar—sebuah pola yang jika disambungkan dengan letak dua pohon dadap dan curug kembar, membentuk mata tertutup.> “Ini bukan cuma tempat keramat,” kata Pak Lebe pelan.“Ini penutup. Segel. Dan tanda di tubuhmu itu...

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Yang Membuka, Tak Pernah Berniat Menutup"

    Pagi itu kelabu. Kabut masih menyelimuti desa meski matahari sudah naik. Arga berdiri di belakang rumah, menatap sumur tua yang kini terlihat seperti mulut yang menunggu mangsanya.Di sampingnya, Pak Lebe berdiri dengan wajah muram. Ia membawa segenggam garam dan segelas air yang telah didoakan semalaman.> “Kita bisa tutup sementara. Tapi ingat, ini hanya untuk melambatkan. Bukan menghentikan,” katanya.Arga mengangguk. Tapi dalam hati, ada rasa tidak tenang. Semalam ia tak bisa tidur. Kalung Rino sempat menyala lagi. Dan… ia mendengar seseorang memanggil namanya dari bawah tanah.Saat mereka mulai melakukan ritual kecil penutup, Ningsih muncul membawa selembar kain lusuh yang ditemukan di belakang dapur. Kain itu basah, seperti habis direndam.Arga menatapnya heran.> “Aku nemu ini nyangkut di bambu belakang… pas aku tarik, baunya nyengat banget. Tapi lihat, Ga…”Kain itu ternyata berisi simbol. Bukan tulisan Jawa kuno, bukan huruf Arab, tapi seperti lingkaran penuh mata, dan di ten

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Sumur yang Tidak Lagi Menyimpan Air

    Malam itu, hujan turun gerimis. Udara dingin menyusup ke tulang. Di langit desa, bulan nyaris tak terlihat, seolah malu menyaksikan apa yang sedang terjadi.Pak Lebe duduk di ruang tamu dengan wajah gelisah. Arga dan Ningsih duduk di depannya, mendengarkan cerita dari seorang warga bernama Mang Sarto—warga yang tadi sore mengaku melihat Pak Raji… tapi dalam wujud yang tak lagi manusia.> “Saya mau ambil air di sumur tua, Pak… yang deket kebun jati itu. Pas nyenter ke dalam, saya liat ada sosok berdiri di dasar sumur. Dia ngeliatin saya. Bajunya sobek-sobek… dan… wajahnya, Pak… kayak kulitnya nempel tulang.”> “Kamu yakin itu Pak Raji?” tanya Pak Lebe, mencoba tetap tenang.> “Sumpah demi Allah, saya kenal betul raut mukanya. Tapi yang saya lihat itu bukan beliau… itu kayak… ‘sisanya’.”Arga langsung berdiri. “Kita harus ke sana, Pak.”> “Jangan malam ini,” cegah Pak Lebe. “Sumur itu udah gak dipakai bertahun-tahun. Dulu… pernah ada yang jatuh ke dalam, dan sejak itu sumur itu ditutup

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Jejak yang Tak Bisa Dihapus

    Malam itu, Arga kembali tidur di rumah neneknya. Meski tubuhnya lelah, matanya sulit terpejam. Setiap kali ia menutup mata, ada suara-suara aneh di telinganya. Bukan bisikan… lebih seperti desiran air dan dengungan jauh, seolah ia masih dekat dengan Curug Kembar, padahal sudah jauh dari sana.Di sisi lain, Ningsih tidur di ruang tamu, dibungkus selimut tebal. Tapi matanya juga terbuka, menatap langit-langit rumah yang gelap. Di luar, angin malam kembali berhenti.Dan pada pukul 2.13 dini hari, Arga terbangun karena bau tanah basah yang menyengat.Ia menoleh ke jendela. Embun menempel tipis di kaca. Tapi bukan itu yang membuatnya mendadak duduk tegak. Di luar jendela, samar-samar… ada jejak kaki. Tapi anehnya, bukan dari luar masuk—melainkan dari dalam kamar menuju ke luar.> “Apa gue jalan dalam tidur…?” gumamnya.Ia turun dari tempat tidur, melangkah perlahan, membuka jendela dan menelusuri jejak itu dengan senter kecil.Jejak itu memanjang, menurun ke arah jalan belakang rumah… lalu

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Yang Datang Lewat Jalur Kelima

    Langit malam itu gelap pekat, tak seperti biasanya. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Angin hanya berdesir pelan, seolah sedang menahan napasnya. Arga dan Ningsih berdiri di bawah dua pohon dadap yang tumbuh berdampingan, menjulang seperti penjaga gerbang kuno.Di tangan Ningsih, batu obsidian pemberian Dimas terasa hangat. Sedangkan Arga memegang secarik kertas simbol yang kini mulai bergetar halus seperti hidup.> “Apa kita siap?” bisik Ningsih.Arga mengangguk. “Kalau kita gak buka ini sekarang, entah apa yang bakal keluar lebih dulu nanti.”Mereka duduk bersila, menyalakan lilin kecil di antara akar dadap yang membentuk semacam lingkaran alami. Langit mulai berdesing—suara halus tapi menyusup ke kepala, seperti dengungan jauh dari kedalaman bumi.Ningsih mulai membaca bait demi bait dari rajah. Tangannya gemetar, tapi ia terus. Angin tiba-tiba berhenti. Suara malam lenyap. Hening. Dunia terasa menunduk, menyimak.Tiba-tiba... akar pohon dadap kanan bergerak, perlahan membentuk celah

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Penjaga yang Tak Terpilih

    Malam itu, Arga belum tidur. Ia duduk bersandar di dinding kamar, memandangi langit gelap dari celah jendela. Kalung Rino yang dulu hitam kini mulai berubah... samar mengeluarkan cahaya kehijauan, seperti memantulkan energi asing dari luar rumah.Tiba-tiba... suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan.Bukan suara keras. Tapi ritmis. Tiga kali. Hening. Lalu tiga kali lagi.Arga berjalan perlahan, membuka pintu dengan hati-hati.Ningsih berdiri di sana. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat, tapi matanya menyala… bukan karena takut, tapi karena marah.> “Kita harus bicara. Sekarang.”Mereka masuk dan duduk di ruang tengah. Arga mencoba meredam ketegangan, tapi hawa dingin dari tubuh Ningsih membuat seisi ruangan seperti ikut menciut.> “Gue udah nyadar dari awal... ada yang aneh sama lo,” kata Arga pelan.Ningsih menatap lurus.> “Lo nggak salah. Tapi juga belum tentu benar,” katanya datar.Ia membuka tas kecil yang ia bawa, mengeluarkan kain hitam dengan simbol kuno — lingkaran dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status