Share

Keluarga Watson II

Kini Stella dan Ellie sudah berada satu meja dengan keluarga Watson, dan salah satu anak nyonya Hellen bertanya dan belum mampu di jawab oleh Ellie. Ia masih memutar otaknya, untuk mendapatkan jawaban yang pas untuk pertanyaan pria itu.

“Sebelumnya perkenalkan dulu nama kalian, agar kita lebih akrab lagi,” cetus Stella.

“Stell, itu tidak sopan...” bisik Ellie.

“Astaga kami sampai lupa memperkenalkan diri,” jawab wanita berambut hitam sambil tersenyum, “namaku Anne Lucyanne Watson, aku adalah menantu nyonya Hellen.”

“Tak perlu memperkenalkan nama lengkapmu, Ann!” ujar pria yang ada di sampingnya.

“Tidak masalah, aku yakin mereka ini orang baik,” bantah Anne.

Sosok nyonya Hellen yang tadi sempat menghilang, kini tiba-tiba ia muncul kembali. Ia hanya menatap ke arah meja mereka dengan lidah terjulur, tapi kali ini ada yang beda, karena dari matanya mengeluarkan darah seperti orang menangis. Hanya Stella yang dapat melihat sosok nyonya Hellen, dan ia sudah mulai terbiasa karena tak merasa terganggu.

Obrolan mereka pun berlanjut dan kali ini pria yang berada di samping Anne angkat bicara, “Namaku Irvan Watson, anak sulung di keluarga Watson.” Wajahnya tak ada ramah-ramanya, seperti terganggu akan kehadiran Stella dan Ellie.

“Kalau aku Harris Watson si bungsu kesayangan mami,” sahut pria yang duduk di hadapan Anne.

“Jadi, kalian kenal di mana dengan ibuku?” tanya Irvan tegas.

“Kami kenal nyonya Hellen saat—“

“Jadi begini ceritanya,” selak Stella, “nyonya Hellen, itu pelanggan tetap di happyshop, kalian tahu?”

Kedua anak nyonya Hellen menganggukkan kepalanya, sedangkan Anne tak memberikan respons apa-apa dan fokus dengan makanannya.

“Tunggu sebentar, kalian sedang bicara apa sebenarnya?” tanya Joe sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Ellie pun menariknya dan berbisik pada Joe, entah apa yang Ellie bilang tapi setidaknya Joe sudah sedikit paham dengan apa yang terjadi.

“Lanjutkan ceritamu!” tegas Irvan.

“Aku dan Ellie, adalah costumer service di happyshop dan ak—”

“Cepat langsung ke intinya, jangan berbelit-belit!” bentak Irvan memotong ucapan Stella.

“Tenang kak, biarkan dia jelaskan dari awal,” ucap Harris yang mencoba menenangkan kakaknya.

Irvan meletakan pisau dan garpu yang sedari tadi ia genggam. Kemudian ia melipat tangan di atas meja dengan wajah masam.

“Cepat katakan, waktuku tidak banyak!” tegas Irvan.

“Nyonya Hellen sering menghubungi kami, awalnya ia memang komplain sesuatu... tapi ujung-ujungnya ia bercerita panjang lebar tentang keluarganya yang harmonis, yang sudah meninggalkannya,” ucap Stella.

“Brakkkkk ...” Irvan menggebrak meja, dan membuat semua mata pengunjung tertuju ke meja mereka. “Kau jangan asal tuduh, kami tidak meninggalkannya! Buktinya kami hadir dan mengurus jenazahnya,” ucap Irvan yang sudah naik pitam.

“Tenang kak, tenang ...” ucap Harris dengan nada pelan, berharap bisa meredam amarah kakaknya.

Suasana menjadi keruh, Ellie hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sedangkan dalam hati Stella sudah memaki Irvan yang tak mengaku kalau ia melantarkan ibunya.

“Lanjutkan!” ucap Anne sambil memakan steak.

“Maaf sebelumnya jika ada perkataanku yang menyinggung kalian... tapi nyonya Hellen tak hanya sekali saja menghubungi kami seperti itu, ia sering menghubungi kami hanya untuk mencari teman bicara,” ucap Stella.

Irvan menghela nafasnya dan memalingkan wajahnya. Penyesalannya semakin dalam, dan ia merasa telah gagal menjadi seorang anak. Mata Irvan mulai berkaca-kaca, meski ia tak lagi melihat ke arah Stella, tapi Stella tahu kalau Irvan sedang sedih.

“Jadi intinya, kalian belum bertemu langsung dengan mertuaku?” tanya Anne sambil mengunyah.

Stella dan Ellie menganggukkan kepalanya dan Anne langsung menyambung ucapannya, “Aku kira kalian kenal langsung dengan mertuaku.”

“Meski begitu, nyonya Hellen baik dan tutur katanya ramah kepada kami... walaupun ia komplain, ia tetap menggunakan kata-kata sopan dan tak menyinggung kami,” sahut Ellie.

“Mami memang seperti itu... ia seperti malaikat dengan wujud manusia,” balas Harris sambil tersenyum.

“Itu berlebihan, Harris!” tegas Anne.

Irvan kembali menatap ke arah Stella dan ia berkata, “Apakah ibuku sering bercerita tentang kami, anaknya?”

Stella tersenyum, dan ia tidak tahu apa-apa soal itu, karena ia belum pernah mendapat panggilan dari nyonya Hellen. Selama ini ia hanya mendengarkan cerita dari teman-temannya tentang nyonya Hellen.

“Sering... bahkan ia selalu membangga-banggakan kalian berdua,” sahut Ellie.

Air mata Irvan jatuh membasahi pipinya, wajahnya yang masam kini berubah muram. Anne yang duduk tepat di sebelahnya pun mengusap-usap punggung suaminya, dengan lembut elusannya membuat Irvan jauh lebih tenang.

“Kalian tahu tidak kalau ini semua keputusan mami,” ucap Harris dengan senyum tipis dari bibinya.

“Maksudnya?” tanya Ellie bingung.

“Semua ini keputusannya, yang menyuruh kami hidup mandiri,” jawab Harris, “ternyata selama ini aku salah, mami pura-pura tegar dengan tawa palsunya.”

“Harris hentikan! Mami itu memang tegar, saking tegarnya ia mampu mengobati rasa rindunya sendiri,” selak Irvan.

“Tapi kak—“

“Tapi apa? Tak ada tapi dalam kamus mami, camkan itu!” tegas Irvan sambil mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan berwarna coklat.

Suasana kini berubah haru yang di ciptakan oleh kedua anak nyonya Hellen. Stella melirik ke arah nyonya Hellen yang sedari tadi berdiri dan menyimak obrolan kami. Kucuran darah dari matanya semakin deras sampai menetes ke bajunya.

“Andai saja aku bisa berkomunikasi dengan nyonya Hellen,” gumam Stella dalam hati.

Ellie terus menimpali anak-anak nyonya Hellen, sampai-sampai ia lupa dengan Joe. Irvan yang awalnya tak suka dengan kehadiran mereka, kini mulai menerima mereka. Pesanan Stella dan Ellie pun datang, dan di susul pesanan milik Joe.

Mereka melanjutkan obrolan sambil memakan steak yang sudah di pesannya. Stella lebih banyak mendengarkan saja kali ini, sedangkan Joe sudah fokus dengan makan siangnya dan sedikit kesal dengan Ellie. Satu jam tak terasa obrolan mereka berlangsung, dan keluarga Watson pun pamit karena setelah ini mereka ingin membuat laporan di kantor polisi.

“Andai ibuku masih hidup, pasti ia akan senang dengan kalian berdua,” ucap Irvan sambil melambaikan tangannya.

Mereka bertiga pergi dari meja itu dengan membawa kenangan saat bersama nyonya Hellen, yang lama terkubur di otak mereka masing-masing. Saat mereka sudah keluar dari restoran ini, tiba-tiba sosok nyonya Hellen ikut menghilang dari sini. Stella sangat lega karena ia sudah tak ada lagi di sini, mereka bertiga pun menyelesaikan makan siangnya dan segera kembali ke apartemen, sedangkan Joe kembali ke kantornya untuk balik bekerja.

“Jujur aku tidak suka dengan Anne,” cetus Ellie saat di dalam mobil.

Stella hanya menganggukkan kepalanya tanpa membalas ucapan Ellie, ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Stella yang awalnya tidak begitu tertarik dengan kasus ini, sekarang malah memikirkannya.

“Itu tadi keluarga Watson yang sedang ramai beritanya, kan?” tanya Joe sambil menatap Ellie.

“Iya betul… apakah kamu mengikuti beritanya juga, Joe?” tanya Ellie.

Joe menggelengkan kepalanya dan berkata “tidak terlalu, tapi aku tahu kasusnya.”

Dari membicarakan keluarga Watson, mereka semakin dalam sampai berbicara tanpa arah dan tak terasa mereka pun akhirnya sampai di apartemen Stella dan Ellie. Stella masih tak buka suara, ia masih saja terdiam sampai akhirnya Ellie menjentikkan jarinya ke wajah Stella sambil berkata, “Tidak baik melamun siang-siang!”

Stella pun tersadar dan ia langsung berjalan buru-buru masuk ke apartemennya tanpa mengucapkan apa-apa kepada Ellie dan Joe. Ellie hanya bisa menghembuskan nafasnya melihat tingkah laku dari sahabatnya itu.

“Ada yang salah … pasti ada yang salah,” ucap Stella dalam hati.

Stella melipat tangannya di perut sambil menunggu pintu lift terbuka, sampai akhirnya Ellie pun datang menghampirinya dan berdiri tepat di sampingnya.

“Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan, Stell?” tanya Ellie.

“Keluarga Watson…” Ellie pun tersenyum culas dan ia pun langsung merangkul Stella sambil berkata, “Akhirnya kau tertarik dengan ini juga, kan?”

Pintu lift mulai terbuka dan langkah mereka pun senada masuk ke dalam lift, bersama dengan senyum culas Ellie pun mengantar Stella masuk ke dalam lift.

“Bagaimana kalau kita diskusikan ini di kamarmu,” ucap Ellie.

Stella menganggukkan kepalanya dan merasa sulit untuk menolak ajakan Ellie. Lift terus naik ke atas dan mereka pun sampai ke lantai yang mereka tuju, tak ada obrolan yang terjadi di dalam lift, karena Stella terus terdiam dan Ellie pun menyimpan semua ucapannya untuk diskusi nanti.

Saat membuka pintu kamarnya, Stella pun terkejut karena nyonya Hellen sedang duduk di sofa dengan posisi badan tegak menatap TV yang sudah menyala.

“Kamu lupa mematikan TV?” tanya Ellie.

“Mana mungkin aku lupa…” bisik Stella.

“Lantas kenapa TV mu masih menyala, Stell?” tanya Ellie bingung.

“Nyonya Hellen yang menyalakannya, dan ia sedang fokus menonton TV…” bisik Stella.

Ellie pun menggelengkan kepalanya seolah tak percaya dengan apa yang di katakan Stella, ia pun melangkahkan kakinya dan berjalan menuju sofa. Stella pun melambaikan tangannya memberikan kode agar Ellie tidak mendekat ke sana, tapi Ellie tak menghiraukan dan langkahnya pun hampir sampai pada sofa yang menjadi tujuannya.

“Ellie… kembali cepat, apa kamu sudah gila?” ucap Stella dengan nada pelan.

Ellie mendaratkan badannya di sofa dan dengan lantang ia berkata, “Nyonya Hellen jika ada yang ingin kau sampaikan, sampaikan lah kepada kami!”

Stella menggelengkan sambil menutup mulutnya, ia melihat ke arah hantu Hellen yang masih saja menatap ke layar.

“Nyonya Hellen berikan tanda, jika kamu butuh bantuan kami,” ucap Ellie menegaskan kembali.

Hantu Hellen masih tak bergerak, jangankan bergerak, menoleh saja tidak ia lakukan. Mungkin ia tak bisa merespons Ellie, atau mungkin ia tak percaya kepada Ellie. Stella pun akhirnya memberanikan diri membuka mulutnya dan berkata, “Nyonya Hellen, sedang apa kamu di sini?”

Akhirnya setelah mendengar ucapan Stella, hantu nyonya Hellen pun menoleh ke arah Stella. Kali ini wajahnya normal, tanpa lidah menjulur dan juga darah yang keluar dari matanya. Kemudian ia pun menunjuk ke layar TV yang kebetulan sedang ada liputan di kediaman nyonya Hellen.

“Ellie lihat beritanya!” ujar Stella.

Ellie pun langsung menoleh ke arah TV, saat ia tahu itu adalah liputan tentang kasus nyonya Hellen, ia pun langsung mengambil remote TV dan mengeraskan volume suaranya. Berita kali ini bisa di bilang sangat menghebohkan, karena di temukan petunjuk baru di kediaman nyonya Hellen.

Tim penyidik menemukan buku harian wanita tua itu di tempat sampah pekarangannya, dengan kondisi sebagian dari buku itu sudah terbakar. Polisi memanggil kembali putra bungsu Hellen untuk memberikan kesaksian, dimana dalam buku itu banyak sekali curahan hati Hellen yang sedikit kesal karena anak bungsunya itu selalu minta warisan secepatnya karena ia ingin menikahi gadis pujaannya. Mendengar berita itu pun Stella terkejut, karena ia tertipu dengan sosok Harris yang ramah tetapi mempunyai sifat buruk dalam hatinya.

“Ini jebakan… tidak mungkin Hariis,” sahut Ellie sambil menggelengkan kepalanya, “ini pasti rencana dia, Anne!”

“Kamu jangan asal sembarang menuduh, Ell!” tegas Stella, “jelas-jelas itu ada buktinya, curahan isi hati nyonya Hellen.”

“Itu pasti rekayasa, dan sudah di rencanakan olehnya!” bantah Ellie.

Ekspresi hantu Hellen pun berubah, ia terlihat geram dan terus menatap Stella, kemudian ia membuka mulutnya lebar-lebar dan tiba-tiba hantu Hellen melesat cepat ke arah Stella, dan berhenti saat jarak wajahnya tak sampai satu jengkal. Stella pun teriak ketakutan dan semuanya hitam saat teriakan Stella berakhir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status