Share

Keluarga Watson

Ellie sudah kembali ke kamar apartemennya, dan sekarang hanya tinggal Stella seorang diri. Ia melanjutkan membaca buku romance yang belum selesai ia baca, dengan di temani sebotol bir ia membaca buku di sofa ruang tamunya. Terbesit olehnya bayangan nyonya Hellen yang berdiri tegak di bawah lukisan kantornya.

Stella pun menggelengkan kepalanya dan melanjutkan membaca buku, Stella melihat ke arah jam dan tak terasa sudah pukul 12:02 siang. Ia pun memutuskan untuk makan siang di luar. Hari ini ia libur, karena setelah shift siang keesokan harinya pasti ia mendapatkan jatah libur.

Untuk hari liburnya tak mesti weekend, bisa juga weekday seperti ini. Karena ia bekerja di layanan yang beroperasi 24 jam, jadi hari liburnya tidak menentu. Stella berjalan melewati lorong yang sepi di antara kamar-kamar yang tertutup rapat.

Stella sedang berjalan menuju lift, padahal ini siang hari, tapi suasananya mencekam seperti ini. Sepi memantulkan suara langkah kaki Stella, dan sepanjang lorong Stella hanya berani melihat ke bawah dan ke depan saja, ia tak berani melihat ke kanan dan ke kiri.

Mungkin ia masih trauma dengan penampakan nyonya Hellen saat di lorong tempat kerjanya. Langkah demi langkah membawanya sampai ke depan lift, ia pun mengelus dadanya sambil menghembuskan nafasnya. Jemari lentik dengan kuku berwarna merah muda menekan tombol ke bawah pada lift, dan Stella menunggu pintu lift terbuka sambil melipat kedua tangannya.

“Ting” suara lift berdenting dan tak lama kemudian pintunya pun terbuka. Stella masuk di lift kosong itu dan ia langsung menekan tombol G yang berada di urutan 3 paling bawah. Pintu lift pun mulai tertutup, dan terdengar suara “tunggu ... aku ikut!” Buru-buru Stella menekan tombol membuka pintu dan akhirnya lift pun kembali terbuka.

“Terima kasih,” ucap pria berwajah oriental dengan mata sipitnya.

Ia masuk ke dalam lift, dan terdengar jelas nafasnya yang terengah-engah. Pria itu juga mengibas-ngibaskan kerah bajunya dan beberapa kali mengeluarkan nafas dari mulutnya, sampai berbunyi.

“Aku belum pernah melihat ia sebelumnya, mungkin dia tamu seseorang yang kebetulan satu lantai denganku,” ucap Stella dalam hati sambil melirik ke arah pria itu.

Setelannya rapi dengan kemeja slim fit berwarna putih, dan juga celana bahan berwarna abu-abu. Pria itu juga mengenakan sepatu pantofel hitam dengan brand ternama. Pria itu pun mulai merasa kalau Stella sedang memperhatikannya, ia pun menoleh ke arah Stella dan tersenyum. Stella yang sudah terlanjur melihat senyuman pria itu pun langsung membalas senyumannya, sambil menundukkan kepalanya perlahan.

“Ting” suara lift berbunyi, menandakan kalau mereka sudah sampai di lobi. Pria itu bergeser sedikit dan mengisyaratkan tangannya sambil menundukkan badannya. Tangan pria itu mengarah ke pintu lift yang terbuka perlahan.

Stella pun tersenyum dan berjalan keluar dari lift. Saat Stella ingin sampai ke pintu lobi utama, tiba-tiba ia berpapasan dengan Ellie. Ellie pun tersenyum dan melambaikan tangannya, Stella membalas lambaian tangan Ellie dengan wajah masam.

“Mau ke mana, Stell?” tanya Ellie yang masih melambaikan tangannya.

Stella yang bingung, akhirnya menoleh ke belakang dan melihat pria yang bersamanya di lift tadi sedang membalas lambaian tangan Ellie. Seiring langkah kaki pria itu yang cepat, Stella pun merasa malu karena sudah membalas lambaian tangan Ellie.

“Stell, jawab... kamu mau ke mana?” tanya Ellie.

“Aa—anu ... aku mau mencari makan siang,” jawab Stella gugup.

“Kebetulan sekali aku juga ingin mencari makan siang,” sahut Ellie dengan senyuman menggodanya, “aku bersama gebetan baruku...”

“Ha? Orang itu?” tanya Stella.

Ellie menganggukkan kepalanya dan kemudian ia menyambut pria berwajah oriental itu, yang sudah sampai di dekatnya.

“Joe  kenalkan ini sahabatku, Stella.” Ellie mengenalkan gebetan barunya kepada Stella.

“Jonathan Lim,” ucap pria itu sambil menyodorkan tangannya. “Stella Agatha ... salam kenal ya, Joe.”

Stella menyambut tangan Joe dan mereka pun bersalaman.

“Sudah cukup kenalannya, sekarang kita pergi cari makan!” ujar Ellie sambil memisahkan kedua tangan mereka yang sedang bersalaman.

Mereka bertiga akhirnya ke luar dari lobi dan menuju tempat parkir, Joe berjalan di depan dan sudah menyiapkan kunci mobilnya. Suara alarm dari mobil mewah berwarna merah terang pun berbunyi. Joe menarik pintu mobil mewah itu dan ia kemudian masuk ke dalam mobilnya. Stella dan Ellie pun menyusul dan ikut masuk ke dalam mobilnya, Ellie memilih duduk di kursi depan bersebelahan dengan Joe.

“Kita mau makan dimana?” tanya Joe saat kedua wanita itu sudah masuk ke dalam mobil.

“Terserah kamu saja,” jawab Ellie.

“Bagaimana kalau steak?” balas Joe sambil menghidupkan mesin mobilnya.

“Boleh juga, aku dengar di dekat sini ada restoran steak yang enak,” ucap Ellie.

Stella hanya diam saja dan mengikuti kemauan pasangan muda-mudi yang belum punya status itu. Stella sedikit iri dengan Ellie yang begitu mudahnya berganti-ganti pasangan di setiap harinya.

“Stell kamu mau steak, kan?” tanya Ellie yang sudah memutar setengah badanya ke belakang.

Stella menganggukkan kepalanya dan tersenyum, Ellie pun mengedipkan matanya dengan tujuan meledek Stella. “Dasar playgirl,” gerutu Stella dalam hati.

Sabuk pengaman sudah terpasang, dan mobil sudah mulai bergerak. Joe terlihat keren saat memegang setir mobilnya yang di lapisi kulit berwarna merah terang. Kemejanya yang di gulung sampai siku, seolah ingin menunjukkan kulitnya yang putih dengan coretan tato berbahasa Thailand.

“Hari ini kamu libur, El?” tanya Joe.

“Iya aku sedang libur dua hari,” jawab Ellie sambil tersenyum dan menatap Joe, “kalau pekerjaanmu hari ini, bagaimana?”

“Tidak terlalu sibuk, makanya aku bisa menyempatkan makan siang bersamamu, El!” ujar Joe.

“Ahh so sweet,” ucap Ellie dengan nada menggoda. “Aku ingin muntah rasanya, mendengar percakapan kedua orang ini!” gumam Stella kesal dalam hati.

“Kalau Stella bekerja, atau masih kuliah?” tanya Joe kepada Stella yang sedang melamun menatap jendela mobil.

“Aa—anu... aku—“

“Dia bekerja juga dan satu kantor denganku,” ucap Ellie memotong ucapan gugup Stella.

“Oh ... cantik-cantik ya, costumer service itu rupanya,” ucap Joe.

“Sok tahu... tidak semuanya Joe, hanya beberapa saja!” bantah Ellie.

Mereka berdua pun asyik dengan obrolan yang tak jelas dan membuat Stella seperti nyamuk dimobil itu. Stella tak memedulikan itu, ia hanya ingin cepat-cepat sampai ke restoran karena perutnya sudah mulai menagih jatah harian kepadanya.

Tidak lama kemudian mereka pun akhirnya sampai ke restoran steak yang sedang ramai di bicarakan orang-orang perihal rasanya yang bintang lima, namun harganya bintang tiga. Security menunjukkan tempat parkir yang kosong, karena melihat mobil mewah Joe, ia mendapat fasilitas parkir di tempat VIP.

Mereka turun dari mobil, dan Joe mengeluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu dan memberikan kepada security itu.

“Titip mobilnya ya pak,” ucap Joe dengan nada yang ramah.

“Siap pak, aman pokoknya!” jawab security berkumis itu dengan senyum lebar, lantaran telah menerima uang tip yang lumayan besar dari Joe.

“Kamu enggak salah kasih uang kan, Joe?” tanya Ellie berbisik pada Joe.

“Tidak El, lagi pula apa salahnya membagi sedikit rezeki kepada orang lain,” jawab Joe.

Stella sudah menatap Ellie dengan tatapan sinis dan kata-kata sudah berada di ujung lidahnya. “Stop! Aku tidak butuh komentarmu, Stell!” tegas Ellie yang sudah tahu kalau Stella ingin berkomentar pedas. Stella pun menelan kata-katanya dan ia pun menutup mulutnya sambil tertawa.

Mereka bertiga masuk ke restoran steak yang lumayan ramai pengunjungnya siang ini. Joe melihat sekeliling berharap menemukan meja kosong, namun tampaknya harapan Joe mulai sirna karena setelah matanya menyisir ruangan itu, ia tak melihat satu pun meja yang kosong.

“Ada yang bisa saya bantu tuan,” ucap salah satu pelayan mengagetkan Joe.

“Oh astaga! Ummm… apakah masih ada tempat yang kosong?” tanya Joe.

“Untuk saat ini masih full, tuan... jika berkenan menunggu, sebaiknya mengisi daftar waiting list terlebih dahulu,” jawab pelayan itu dengan ramah sambil menyodorkan buku yang berukuran besar.

Joe menerima buku itu, dan langsung membukanya. Ia terkejut karena sudah ada 13 orang yang ada di dalam daftar waiting list.

“Bagaimana?” tanya Joe sambil menunjukkan daftar waiting list kepada Ellie.

Ellie melihat daftar itu dan menghela nafasnya sambil berkata, “Kita gagal makan steak kali ini.”

“El...” bisik Stella sambil menarik baju Ellie.

“Ada apa, Stell?” tanya Ellie dengan wajah bingung.

“Hellen Watson ada di sini dan sedang memperhatikan kita dari sudut ruangan,” jawab Stella.

“Apa? Siang-siang seperti ini?” Ellie pun terkejut mendengar ucapan Stella.

“Di sana!” ujar Stella sambil menunjuk ke arah meja paling pojok.

Mata Ellie langsung menuju arah yang di tunjuk Stella, dan ia melihat ada 3 orang di sana. Satu orang wanita dan dua orang pria sedang asyik makan steak, sambil mengobrol.

“Kalian kenal dengan orang itu?” tanya Joe, “jika kenal kita bisa gabung dengan dia.”

“Tidak kenal sama sekali!” bantah Ellie.

“Mereka itu bukannya anak-anak nyonya Hellen dan menantunya?” ucap Stella yang belum yakin dengan dugaanya.

“Mungkin hanya mirip saja,” balas Ellie yang meragukan ucapan Stella.

“Benar yang di katakan mbaknya, mereka itu keluarga Watson,” sahut pelayan itu dengan senyuman.

Mata Ellie dan Stella pun saling menatap, dan mereka berbicara dari mata ke mata, seakan tidak percaya kalau mereka adalah keluarga Watson.

“Apakah ini kebetulan?” bisik Stella.

Ellie menggelengkan kepalanya dan ia masih belum mengedipkan matanya. Mungkin ia sedang berpikir kalau ini semua ada kaitannya dengan pesan yang di sampaikan nyonya Hellen. Sampai-sampai terlintas di otak Ellie, untuk menghampiri mereka dan mengajukan beberapa pertanyaan.

“Ayo kita cari tempat lain saja,” cetus Joe.

“Tidak!” ucap Stella dan Ellie kompak.

“Kita tetap makan steak, dan bergabung dengan keluarga Watson!” ujar Ellie.

“Kamu sudah gila, El?” Stella pun terkejut.

“Aku ada ide,” jawab Ellie sambil menarik tangan Stella dan menuju ke meja keluarga Watson.

Langkah Ellie cepat dan penuh keyakinan, sedangkan Stella merasa ragu serta malu, karena ia sedang di tarik seperti hewan ternak.

“Selamat siang maaf mengganggu, apakah kalian benar keluarga Watson?” sapa Ellie setelah sampai di meja keluarga Watson.

“Iya benar,” jawab perempuan cantik berambut panjang terurai dan berwarna hitam pekat.

“Kalian?” sahut bingung dari pria yang duduk di sebelah wanita itu.

“Perkenalkan namaku Ellie dan ini temanku, namanya Stella.” Ellie melemparkan senyum ramah setelah memperkenalkan diri, tapi ketiga orang itu malah menatap sinis ke arah Ellie. Ellie pun mulai gugup, terlihat dari tangannya yang mulai memainkan kuku jarinya.

“Ada perlu apa?” tanya pria yang duduk di seberang wanita berambut hitam, sambil meletakan pisau dan garpunya.

Pria itu juga melipat tangannya dan menunggu jawaban dari Ellie.

“Aa—aku kenal dengan almarhum ibu kalian, nyonya Hellen.” Ellie yang mulai kehilangan percaya diri, mulai menurunkan nada bicaranya.

“Kami berdua turut berduka yang sedalam-dalamnya untuk nyonya Hellen,” sahut Stella yang akhirnya buka suara.

“Mertuaku memang orang yang ramah, sampai-sampai punya kenalan wanita cantik seperti kalian,” ucap wanita berambut hitam pekat yang mulai tersenyum.

“Kalau boleh tahu, kalian kenal di mana dengan Ibuku,” sahut pria yang duduk di sebelah wanita itu.

Ellie terus menatap kursi kosong di sebelah pria yang tampak lebih muda, dari pria yang barusan bertanya.

“Sebelum aku jawab, bolehkah kami gabung di meja kalian?” tanya Ellie.

Wanita berambut hitam pun berbisik ke pria yang ada di sebelahnya, ia menutup mulutnya dan berbicara langsung ke telinga pria itu. Ellie semakin cepat memainkan kuku jarinya, dan terlihat sangat gugup. Berbeda dengan Stella yang masih tenang, dan menunggu hasil diskusi kedua orang itu.

Wanita cantik itu pun sudah selesai berbisik, dan pria itu langsung berbicara, “Silakan jika kalian ingin bergabung.”

Ellie yang mendengar itu langsung berhenti memainkan kuku jarinya dan ia berkata, “Ada satu lagi teman kami, pria yang berdiri di depan pintu masuk itu.”

“Oh iya ... tidak masalah,” ucap wanita itu yang kemudian mengangkat tangannya memberi kode pada pelayan.

Ellie berjalan meninggalkan Stella yang masih berdiri, ia menuju ke arah Joe untuk mengajaknya bergabung dengan keluarga Watson. Joe tampaknya setuju dengan Ellie, dan ia pun berjalan lagi ke meja keluarga Watson.

“Kamu tidak lelah, berdiri terus?” tegur pria yang duduk di seberang wanita berambut hitam, kepada Stella.

“Silakan isi dulu kursi yang kosong itu,” sahut wanita itu.

Stella pun menganggukkan kepalanya dan ia berjalan menuju kursi kosong itu, dan mendaratkan tubuh langsingnya di kursi kosong. Pandangan pria yang duduk di sebelah wanita berambut hitam tak lepas dari Stella dan membuatnya agak risi.

Ellie pun datang dan susul oleh Joe di belakangnya. “Perkenalkan ini temanku juga, namanya Jonathan, biasa di panggil Joe,” ucap Ellie mengenalkan Joe pada keluarga Watson.

“Baik, sekarang kalian silakan isi kursi kosongnya... ada beberapa pertanyaan yang ingin aku tanyakan, kepada kalian!” wanita berambut hitam itu sudah mulai serius, terdengar dari suaranya yang lantang dan tak ada getaran sama sekali.

Ellie mengajak Joe untuk mengisi kursi yang kosong, dan Ellie memilih duduk di sebelah Stella ketimbang duduk di samping pria yang usianya sekitar 30 an. Pelayan datang menghampiri meja keluarga Watson, dan memberikan buku menu kepada mereka yang baru saja duduk. Mereka langsung memesan menu yang sama, dan pelayan langsung mengambil kembali daftar menunya.

“Jawab pertanyaanku tadi... kalian kenal dimana dengan Ibuku?” tanya pria yang duduk di sebelah wanita berambut hitam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status