Stella membuka matanya dan ia melihat ke langit-langit kamarnya, kemudian pandangannya mengarah ke jendela kamarnya. Awan sore yang cerah memberi warna biru yang indah dengan awan Altocumulus yang jadi pemanis pada sore itu, saat menuju senja.
“Kemana perginya Eliie?” tanya Stella dalam hati, saat mengetahui Ellie tak ada. Mungkin ia kembali ke kamarnya selagi aku tidur tadi, pikir Stella. Ia pun bangun dari tempat tidurnya dan menuju sofa, dan Stella pun tersenyum saat melihat Ellie tertidur pulas di sofa.
“Hei, wanita idaman pria, bangun!” ujar Stella.
Ellie pun langsung membuka matanya dan ia berkata, “Kamu sudah sadar?” Stella pun bingung dengan kata-kata “sudah sadar,” ia mengelak dan mengatakan kalau ia barusan itu tertidur. Ellie pun menghela nafasnya dan mengalah.
“Saat kamu pingsan tadi, aku mencari tahu alamat nyonya Hellen,” ucap Ellie.
“Apa pingsan?” tanya Stella bingung.
“Maksudku tertidur!” geram Ellie.
Stella pun menganggukkan kepalanya dan bertanya, “Apakah jauh dari sini, El?”
Ellie menggelengkan kepala sambil menunjukkan ponselnya, ia memperlihatkan GPS yang sudah di seting menuju rumah nyonya Hellen.
“Benarkah ini alamatnya … di jalan Tulip?” tanya Stella yang masih tidak percaya.
“Ya benar sekali, hanya 1km dari sini.”
Stella memegang dagunya dan terlihat ia memikirkan sesuatu, Ellie pun langsung merangkulnya dan berbisik, “Apa kamu tidak penasaran?”
“Jangan macam-macam, Ell!” bentak Stella, “aku tidak mau terlibat lebih jauh lagi.”
“Itu artinya kamu rela di hantui wanita tua itu terus,” balas Ellie.
Stella merasa sesak dan melepaskan tangan Ellie yang merangkulnya, Ellie tak menyerah begitu saja, ia juga menyampaikan kalau saat Stella pingsan tadi, ada berita baru mengenai penolakan Harris Watson untuk memberikan kesaksian, mengenai tulisan ibunya yang tertulis di buku catatannya itu. Stella mulai goyah, yang awalnya ia tak mau terlibat lebih jauh, nyatanya sekarang ia semakin penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada nyonya Hellen.
“Apa benar ia wafat bukan karena bunuh diri, melainkan di bunuh seseorang?” tanya Ellie dengan nada meledek.
Stella bertanya-tanya dalam hatinya. Rasa penasaran mendorong Stella untuk menyetujui ajakan Ellie, dan lagi-lagi senyum picik Ellie keluar dengan sendirinya.
“Setelah matahari terbenam, kita berangkat ke jalan Tulip nomor 77!” tegas Ellie.
Stella pun terkejut mendengarnya dan ia balas berkata, “Apa kamu sudah gila? Aku kira bukan hari ini!”
“Ayolah mumpung kita sedang libur,” ucap Ellie sambil menggandeng tangan Stella dan meletakan kepalanya di pundak Stella.
Stella menghembuskan nafasnya dan matanya terpejam, ia punya firasat tidak enak jika harus berangkat malam ini juga, tapi Ellie terus memaksa sampai Stella tak punya pilihan lagi, dan akhirnya Stella menyetujuinya. Ellie pamit untuk pulang sebentar dan bersiap-siap.
Matahari mulai terbenam, perlahan langit sore yang biru berubah jadi hitam dan gelap. Lampu-lampu dari gedung pencakar langit, menjadi hiasan setiap malam yang indah jika baru pertama kali melihatnya, jika sudah sering akan tampak biasa saja.
“Stell, ayo!” ujar Ellie yang tiba-tiba sudah ada di samping Stella. Stella pun terkejut dan spontan ia memegang dadanya sambil berkata, “Sejak kapan kamu ada di sini?”
“Belakangan ini kamu jadi sering melamun, ada apa sebenarnya, Stell?” tanya Ellie.
“Aa—anu … tidak apa-apa,” ucap Stella gugup.
Ellie pun langsung menarik tangan Stella dan segera meninggalkan apartemennya, dengan berat hati Stella hanya bisa mengikuti kemauan Ellie.
“Kita ke basement?” tanya Stella saat berada di dalam lift. “Memangnya kau mau berjalan sejauh 1km, Stell?”
Stella menggelengkan kepalanya dan tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang tak wajar mendekap ke sekujur tubuhnya. Stella menggigil sampai-sampai giginya beradu dan menghasilkan bunyi yang membuat ngilu telinga. Ellie yang mulai terganggu dengan bunyi itu pun langsung menoleh ke arah Stella dan terkejut saat melihat Stella sedang menggigil.
“Kamu kenapa, Stell?” Stella tak menjawab dan terus mengadu giginya.
“Ting...” Dentingan suara lift saat sudah sampai tujuan, membuat Ellie kaget, dan saat pintu lift terbuka Ellie merasa seperti ada angin kencang yang keluar dari lift. Stella pun sudah berhenti menggigil saat angin itu keluar dari dalam lift.
“Aku merasa ada yang tak beres, Ell!” ujar Stella.
“Aku tahu, dan ada baiknya kita segera cepat ke sana!” tegas Ellie.
Mereka berdua keluar dari lift dan menuju ke mobil berwarna kuning milik Ellie, dan tanpa basa-basi Ellie langsung tancap gas dan mengikuti arah GPS dari ponselnya.
“Aku yakin kita akan dapatkan petunjuk di sana,” ucap Ellie dengan wajah serius.
“Lalu kalau sudah dapat petunjuk, kamu mau apa?” tanya Stella.
“Entahlah … aku belum berpikir sejauh itu,” balas Ellie sambil mengangkat pundaknya.
Stella sedikit menyesal mengikuti kemauan Ellie, kalau ujung-ujungnya hanya jadi kesenangan ia semata. Stella mulai menyadari ada yang tak beres dengan senyum Ellie, dan Stella berharap semoga firasatnya tentang senyuman Ellie selama ini tidak mengandung makna yang berarti.
Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah perumahan yang bisa di bilang cukup elit, dan seperti biasanya jika perumahan elit seperti ini, sudah pasti sepi dan penghuninya pun kurang bersosialisasi, tapi anehnya di perumahan elit seperti ini ada pohon beringin besar di tengah-tengah perempatan jalan, entah apa maksud dari developer perumahan ini.
Mereka masih mengikuti arahan dari GPS dan tak jauh dari perempatan, mereka akhirnya sampai di rumah nyonya Hellen yang tersegel oleh garis polisi.
“Sepi, tak ada polisi di sini,” ucap Ellie sambil menarik rem tangan tepat di depan rumah nyonya Hellen.
“Bisakah kita menepi jauh dari rumahnya? Aku takut jika ada seseorang yang melihat kita,” ucap Stella yang mulai cemas.
Ellie tak menghiraukan ucapan Stella dan ia langsung turun dari mobil, dan meninggalkan Stella. Stella mulai kesal dan ia pun ikut turun dari mobil dan berlari menyusul Ellie. Garis polisi juga tak di hiraukan olehnya, dan tanpa ragu ia pun menerobos garis polisi yang membentang di pekarangan rumah nyonya Hellen.
Saat Ellie sampai di depan pintu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apakah ada orang yang melihat dia atau tidak. Kemudian ia menoleh ke arah Stella dan melambaikan tangannya sebagai isyarat, agar Stella mempercepat langkah kakinya. Kemudian Ellie mengeluarkan sapu tangan dari dalam jaketnya, dan ia membuka pintu dengan alas sapu tangan tersebut.
Lagi-lagi tanpa ragu, ia pun masuk ke dalam layaknya rumah sendiri. Stella pun sudah menyusul Ellie dan ia pun langsung membuntutinya.
Kondisi di dalam sangatlah gelap, wajar karena listrik sudah di padamkan dari pusat. Mereka berdua mulai masuk ke rumah besar itu dengan bermodalkan pencahayaan dari senter yang berasal dari ponsel mereka masing-masing. Rumah besar ini memiliki dua lantai, dan konsep dari rumah ini bergaya klasik, terlihat dari beberapa ornamen furnitur seperti lemari dan meja yang terbuat dari kayu jati asli dengan ukiran sebagai pengiasnya.
Kemudian ada juga beberapa lukisan dengan tema pedesaan terpajang di dinding rumah besar ini. Mereka berdua belum menemukan foto keluarga terpajang di dinding rumah itu. Baru beberapa hari di tinggalkan penghuninya, tapi udara rumah ini sudah sangat pengap dan berdebu, selain tak ada foto keluarga, ada satu hal lagi yang mengganjal, yaitu tak di temukannya cermin sama sekali di rumah besar ini.
Mereka berdua belum menyadarinya dan masih mengira kalau di kamar nyonya Hellen pasti ada cermin. Mereka berdua pun langsung menaiki anak tangga satu persatu dengan hati-hati. Kali ini ia menuju ke kamar utama, kamar dimana nyonya Hellen menggantung dirinya dengan seprei.
“Perasaanku mulai tidak enak, Ell…” bisik Stella.
“Jangan jadi wanita penakut seperti itu, aku tak suka!” tegas Ellie.
Mendengar sindiran Ellie, Stella pun memberanikan dirinya dan menghiraukan perasaannya, lalu mereka sampai di lantai dua rumah besar ini. Ellie pun menyorot ke seluruh ruangan dengan senter ponselnya untuk mencari kamar nyonya Hellen. Tiba-tiba saja saat senter Ellie menyorot pintu yang tak jauh dari tempatnya berdiri, Stella melihat ada sosok nyonya Hellen berdiri di depan pintu itu.
“Di sana! Itu di sana kamarnya nyonya Hellen,” ucap Stella sambil menunjuk ke arah pintu yang barusan di sorot Ellie.
“Kamu yakin, Stell?” tanya Ellie. Stella menganggukkan kepalanya dan berkata, “Ada sosok nyonya Hellen di depan pintu itu!”
Ellie pun tersenyum dan ia mulai berjalan menuju pintu itu, Stella mengikuti Ellie dari belakang. Saat mereka berdua sudah dekat dengan pintu itu, tiba-tiba hantu nyonya Hellen hilang begitu saja.
Stella menarik tangan Ellie dan berkata, “Tunggu dulu… kali ini perasaanku mengatakan kalu kita lebih baik tidak masuk kesana!”
Ellie melepaskan genggaman tangan Stella dan ia melangkahkan kakinya, kemudian saat ia sudah berada di depan pintu, Ellie langsung membukanya dengan sapu tangan untuk melindungi sidik jarinya. Benar saja yang di katakan oleh Stella, saat pintu terbuka tiba-tiba ada angin kencang yang keluar dari kamar itu, sampai membuat rambut panjang Ellie berantakan.
“Ha-ha-ha apa itu barusan, seru sekali!” ujar Ellie sambil merapikan rambutnya.
Pemandangan setelah pintu terbuka adalah, kamar yang berantakan dan beraroma tak sedap, tapi Ellie sangat menikmatinya dan ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Stella yang mempunyai firasat tak enak, akhirnya mau tak mau mengikuti Ellie masuk ke dalam.Ellie langsung berlari ke arah jendela nyonya Hellen, dan ia mengambil gambar goresan yang berada di sisi-sisi jendela nyonya Hellen dengan kamera ponselnya. Sedangkan Stella masih tak percaya kalau ia sampai sejauh ini, ia melihat sekeliling dan ia tak menemukan cermin di dalam kamar nyonya Hellen.“Ell, aku merasa ada yang aneh dengan rumah ini…” bisik Stella.Ellie yang sudah selesai mengambil gambar, langsung menghampiri Stella dan bertanya, “Apanya yang aneh?”“Aku tidak melihat cermin di rumah ini,” jawab Stella sambil melirik ke kiri, ke arah kasur nyonya Hellen.Ellie yang
Stella membuka matanya dan dia merasa heran karena sudah berada di apartemennya, dia lantas menyingkap selimut dan bangun dari kasurnya. Ia pun melihat ke ruang santainya dan tak ada seseorang pun di sana, kemudian Stella pun menyalakan TV dan tak sengaja ia langsung melihat berita yang sedang menyiarkan kasus lanjutan nyonya Hellen.Stella teringat kembali terakhir kali dia membuka mata, dan ia baru sadar kalau waktu itu ia di hajar menggunakan gagang pistol oleh sahabatnya sendiri, dan ia bingung kenapa sekarang ia bisa berada di apartemennya.Breaking news “Pembunuhan Hellen Watson akhirnya terungkap, tersangka yang tidak lain adalah menantunya sendiri dan di bantu adik perempuanya. Anehnya tak ada penyesalan di wajah mereka berdua, dan senyum lebar terpampang jelas di wajah mereka berdua.”Stella terdiam dan tak menyangka kalau Ellie benar-benar melakukan itu, tapi kenapa dia mengajak dan menyeret Stella
Stella yang sudah 2 jam tak sadarkan diri, akhirnya terbangun dan terkejut setelah melihat sosok pria duduk di sampingnya.“Kamu sudah sadar?” tanya pria itu. Stella menganggukkan kepalanya dan ia pun merubah posisi yang awalnya telentang menjadi duduk.“Kamu sedang apa di sini?” tanya Stella.“Menjengukmu, apa lagi?” jawab pria itu sambil tersenyum.Stella pun menggelengkan kepalanya dan ia pun melipat tangannya diperutnya, “kamu libur hari ini?”“Aku masuk nanti sore, makanya aku sempatkan utnuk menjengukmu,” jawab pria itu.Pria itu adalah Gibran Triguna, pria yang menyukai Stella dan selalu di campakkan oleh Stella. Wajahnya tidak terlalu buruk, tapi memang ia bukan tipe pria yang di sukai Stella. Meskipun Stella sering mencampakkannya dan cuek kepadanya, Gibran tetap berusaha untuk mendapatkan h
“Tolong…” “Ampun papa, aku janji tidak akan nakal lagi.” Terdengar suara anak perempuan yang meminta ampun. Gelap pun berubah menjadi terang dan Stella terbawa ke suatu kamar yang ia sendiri tak tahu di mana itu. Stella membuka matanya dan ia melihat sosok anak perempuan yang sedang terbaring di lantai sambil menangis. Badan anak perempuan itu penuh memar dan tampaknya ia tak bisa berdiri, Stella yang melihat itu pun langsung menghampirinya. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Stella. Anak perempuan itu tak menjawab, bahkan ia seperti tak menyadari kehadiran Stella. Stella pun menghampiri amak itu dan ia ingin membantu anak itu bangun, tapi ternyata Stella tak bisa menyentuh anak itu. Stella pun mencoba lagi dan lagi, tetapi tetap saja tak bisa. Tiba-tiba air mata anak itu jatuh dan ia berbisik, “Aku rindu kamu, mama….” Anak itu berusaha bang
Seketika semua orang yang ada di dalam ruangan menjadi panik dan suasana di dalam ruang kerja pun menjadi bising seperti di pasar. Semua orang menyalakan senter dari ponsel mereka masing-masing untuk penerangan.Stella berusaha agar tidak panik dan tetap duduk di kursinya, tapi tampaknya pikirannya terganggu oleh suara anak perempuan yang baru saja meminta tolong. “Apakah ini sama dengan kasus nyonya Hellen?” gumam Stella dalam hati.Tidak lama kemudian listrik kembali menyala, dan pak Diky masuk ke ruangan mengarahkan anak buahnya untuk kembali bekerja. Stella yang masih duduk di bangkunya langsung menyalakan kembali komputernya, dan lanjut bekerja seperti biasanya.Setelah listrik menyala kerjaan Stella kembali normal dan tak ada telepon yang aneh-aneh, sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 13:00 dan Stella meninggalkan ruangan kerjanya untuk makan siang. Stella berjalan ke loker room untuk mengambil domp
Stella dan Gibran akhirnya tiba di loker room, kemudian Stella menceritakan mimpinya yang melihat Maldeva bunuh diri. Gibran pun fokus mendengarkan dan tak banyak berkomentar, ekspresinya terlihat seperti memikirkan sesuatu.“Yang buat aku bingung itu, mimpinya terlalu nyata,” ucap Stella mengakhiri ceritanya.Gibran masih belum berkomentar, dan ia terlihat menarik nafas dalam-dalam. Stella yang melihat tingakah laku Gibran, langsung mendorong bahunya sambil berkata “jika kamu tidak percaya, silahkan saja!”Gibran menggelengkan kepalanya dan ia pun menjawab, “Aku bukannya tak percaya, tapi aku sedang mencerna setiap ucapanmu, dan menurutku sepertinya itu bukanlah mimpi.”“Lalu kalau itu bukan mimpi, apa?” tanya Stella sambil berjalan menuju lokernya untuk menaruh dompetnya.“Mungkin itu ingatan Maldeva yang di transfer ke inga
Stella membuka matanya dan ia sudah berada di kamarnya lagi, ia membasuh pipinya yang basah karena air matanya, lalu ia melihat ke langit-langit dan bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi barusan. Ia pun kemudian bangun dan terkejut ketika melihat jam dinding sambil berkata “ah sial, kenapa aku terbangun di tengah malam.”Ia pun pergi ke kamar mandi untuk sekedar membasuh wajahnya dan menyalin pakaiannya, setelah keluar dari kamar mandi Stella pun mengambil ponselnya yang masih berada di dalam tasnya.Saat ia memeriksa tasnya, ia menemukan kertas yang sudah berbentuk seperti bola. Ia pun mengambilnya dan merapikannya.“Astaga, bukannya ini sudah aku tinggalkan di meja kerja,” ucap Stella dalam hati. Ia pun terlihat bingung kenapa kertas ini bisa ada di
Gibran tersenyum saat mendengar Stella menyebut nama Maldeva, ia tak menyangka kalau kali ini ia harus terlibat dengan kasus ini.“Kenapa kamu tersenyum?” tanya Stella.“Akhirnya aku dapat kesempatan untuk menyelidiki kasusnya,” jawab Gibran.Pelayan pun datang ke meja mereka dan mengantarkan iced cappuccino milik Stella, Stella pun menanggapi dan tersenyum sambil berterima kasih. Saat pelayan itu pergi Stella pun berkata, “Kali ini aku bukan ingin membahas tentang kasusnya.”Ekspresi bingung pun terlihat di wajah Gibran kemudian Stella menceritakan lagi tentang mimpinya yang baru saja di alaminya, dan Gibran pun terlihat antusias mendengarkan cerita Stella. Eva yang duduk di sebelah Gibran juga ikut fokus memperhatikan mereka berdua.“Jadi intinya kamu ingin membantumu, mencari ibu dari anak itu?” tanya Gibran setelah mendengar cer