Share

Tulip, no 77

Stella membuka matanya dan ia melihat ke langit-langit kamarnya, kemudian pandangannya mengarah ke jendela kamarnya. Awan sore yang cerah memberi warna biru yang indah dengan awan Altocumulus yang jadi pemanis pada sore itu, saat menuju senja.

“Kemana perginya Eliie?” tanya Stella dalam hati, saat mengetahui Ellie tak ada. Mungkin ia kembali ke kamarnya selagi aku tidur tadi, pikir Stella. Ia pun bangun dari tempat tidurnya dan menuju sofa, dan Stella pun tersenyum saat melihat Ellie tertidur pulas di sofa.

“Hei, wanita idaman pria, bangun!” ujar Stella.

Ellie pun langsung membuka matanya dan ia berkata, “Kamu sudah sadar?” Stella pun bingung dengan kata-kata “sudah sadar,” ia mengelak dan mengatakan kalau ia barusan itu tertidur. Ellie pun menghela nafasnya dan mengalah.

“Saat kamu pingsan tadi, aku mencari tahu alamat nyonya Hellen,” ucap Ellie.

“Apa pingsan?” tanya Stella bingung.

“Maksudku tertidur!” geram Ellie.

Stella pun menganggukkan kepalanya dan bertanya, “Apakah jauh dari sini, El?”

Ellie menggelengkan kepala sambil menunjukkan ponselnya, ia memperlihatkan GPS yang sudah di seting menuju rumah nyonya Hellen.

“Benarkah ini alamatnya … di jalan Tulip?” tanya Stella yang masih tidak percaya.

“Ya benar sekali, hanya  1km dari sini.”

Stella memegang dagunya dan terlihat ia memikirkan sesuatu, Ellie pun langsung merangkulnya dan berbisik, “Apa kamu tidak penasaran?”

“Jangan macam-macam, Ell!” bentak Stella, “aku tidak mau terlibat lebih jauh lagi.”

“Itu artinya kamu rela di hantui wanita tua itu terus,” balas Ellie.

Stella merasa sesak dan melepaskan tangan Ellie yang merangkulnya, Ellie tak menyerah begitu saja, ia juga menyampaikan kalau saat Stella pingsan tadi, ada berita baru mengenai penolakan Harris Watson untuk memberikan kesaksian, mengenai tulisan ibunya yang tertulis di buku catatannya itu. Stella mulai goyah, yang awalnya ia tak mau terlibat lebih jauh, nyatanya sekarang ia semakin penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada nyonya Hellen.

“Apa benar ia wafat bukan karena bunuh diri, melainkan di bunuh seseorang?” tanya Ellie dengan nada meledek.

Stella bertanya-tanya dalam hatinya. Rasa penasaran mendorong Stella untuk menyetujui ajakan Ellie, dan lagi-lagi senyum picik Ellie keluar dengan sendirinya.

“Setelah matahari terbenam, kita berangkat ke jalan Tulip nomor 77!” tegas Ellie.

Stella pun terkejut mendengarnya dan ia balas berkata, “Apa kamu sudah gila? Aku kira bukan hari ini!”

“Ayolah mumpung kita sedang libur,” ucap Ellie sambil menggandeng tangan Stella dan meletakan kepalanya di pundak Stella.

Stella menghembuskan nafasnya dan matanya terpejam, ia punya firasat tidak enak jika harus berangkat malam ini juga, tapi Ellie terus memaksa sampai Stella tak punya pilihan lagi, dan akhirnya Stella menyetujuinya. Ellie pamit untuk pulang sebentar dan bersiap-siap.

Matahari mulai terbenam, perlahan langit sore yang biru berubah jadi hitam dan gelap. Lampu-lampu dari gedung pencakar langit, menjadi hiasan setiap malam yang indah jika baru pertama kali melihatnya, jika sudah sering akan tampak biasa saja.

“Stell, ayo!” ujar Ellie yang tiba-tiba sudah ada di samping Stella. Stella pun terkejut dan spontan ia memegang dadanya sambil berkata, “Sejak kapan kamu ada di sini?”

“Belakangan ini kamu jadi sering melamun, ada apa sebenarnya, Stell?” tanya Ellie.

“Aa—anu … tidak apa-apa,” ucap Stella gugup.

Ellie pun langsung menarik tangan Stella dan segera meninggalkan apartemennya, dengan berat hati Stella hanya bisa mengikuti kemauan Ellie.

“Kita ke basement?” tanya Stella saat berada di dalam lift. “Memangnya kau mau berjalan sejauh 1km, Stell?”

Stella menggelengkan kepalanya dan tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang tak wajar mendekap ke sekujur tubuhnya. Stella menggigil sampai-sampai giginya beradu dan menghasilkan bunyi yang membuat ngilu telinga. Ellie yang mulai terganggu dengan bunyi itu pun langsung menoleh ke arah Stella dan terkejut saat melihat Stella sedang menggigil.

“Kamu kenapa, Stell?” Stella tak menjawab dan terus mengadu giginya.

“Ting...” Dentingan suara lift saat sudah sampai tujuan, membuat Ellie kaget, dan saat pintu lift terbuka Ellie merasa seperti ada angin kencang yang keluar dari lift. Stella pun sudah berhenti menggigil saat angin itu keluar dari dalam lift.

“Aku merasa ada yang tak beres, Ell!” ujar Stella.

“Aku tahu, dan ada baiknya kita segera cepat ke sana!” tegas Ellie.

Mereka berdua keluar dari lift dan menuju ke mobil berwarna kuning milik Ellie, dan tanpa basa-basi Ellie langsung tancap gas dan mengikuti arah GPS dari ponselnya.

“Aku yakin kita akan dapatkan petunjuk di sana,” ucap Ellie dengan wajah serius.

“Lalu kalau sudah dapat petunjuk, kamu mau apa?” tanya Stella.

“Entahlah … aku belum berpikir sejauh itu,” balas Ellie sambil mengangkat pundaknya.

Stella sedikit menyesal mengikuti kemauan Ellie, kalau ujung-ujungnya hanya jadi kesenangan ia semata. Stella mulai menyadari ada yang tak beres dengan senyum Ellie, dan Stella berharap semoga firasatnya tentang senyuman Ellie selama ini tidak mengandung makna yang berarti.

Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah perumahan yang bisa di bilang cukup elit, dan seperti biasanya jika perumahan elit seperti ini, sudah pasti sepi dan penghuninya pun kurang bersosialisasi, tapi anehnya di perumahan elit seperti ini ada pohon beringin besar di tengah-tengah perempatan jalan, entah apa maksud dari developer perumahan ini.

Mereka masih mengikuti arahan dari GPS dan tak jauh dari perempatan, mereka akhirnya sampai di rumah nyonya Hellen yang tersegel oleh garis polisi.

“Sepi, tak ada polisi di sini,” ucap Ellie sambil menarik rem tangan tepat di depan rumah nyonya Hellen.

“Bisakah kita menepi jauh dari rumahnya? Aku takut jika ada seseorang yang melihat kita,” ucap Stella yang mulai cemas.

Ellie tak menghiraukan ucapan Stella dan ia langsung turun dari mobil, dan meninggalkan Stella. Stella mulai kesal dan ia pun ikut turun dari mobil dan berlari menyusul Ellie. Garis polisi juga tak di hiraukan olehnya, dan tanpa ragu ia pun menerobos garis polisi yang membentang di pekarangan rumah nyonya Hellen.

Saat Ellie sampai di depan pintu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apakah ada orang yang melihat dia atau tidak. Kemudian ia menoleh ke arah Stella dan melambaikan tangannya sebagai isyarat, agar Stella mempercepat langkah kakinya. Kemudian Ellie mengeluarkan sapu tangan dari dalam jaketnya, dan ia membuka pintu dengan alas sapu tangan tersebut.

Lagi-lagi tanpa ragu, ia pun masuk ke dalam layaknya rumah sendiri. Stella pun sudah menyusul Ellie dan ia pun langsung membuntutinya.

Kondisi di dalam sangatlah gelap, wajar karena listrik sudah di padamkan dari pusat. Mereka berdua mulai masuk ke rumah besar itu dengan bermodalkan pencahayaan dari senter yang berasal dari ponsel mereka masing-masing. Rumah besar ini memiliki dua lantai, dan konsep dari rumah ini bergaya klasik, terlihat dari beberapa ornamen furnitur seperti lemari dan meja yang terbuat dari kayu jati asli dengan ukiran sebagai pengiasnya.

Kemudian ada juga beberapa lukisan dengan tema pedesaan terpajang di dinding rumah besar ini. Mereka berdua belum menemukan foto keluarga terpajang di dinding rumah itu. Baru beberapa hari di tinggalkan penghuninya, tapi udara rumah ini sudah sangat pengap dan berdebu, selain tak ada foto keluarga, ada satu hal lagi yang mengganjal, yaitu tak di temukannya cermin sama sekali di rumah besar ini.

Mereka berdua belum menyadarinya dan masih mengira kalau di kamar nyonya Hellen pasti ada cermin. Mereka berdua pun langsung menaiki anak tangga satu persatu dengan hati-hati. Kali ini ia menuju ke kamar utama, kamar dimana nyonya Hellen menggantung dirinya dengan seprei.

“Perasaanku mulai tidak enak, Ell…” bisik Stella.

“Jangan jadi wanita penakut seperti itu, aku tak suka!” tegas Ellie.

Mendengar sindiran Ellie, Stella pun memberanikan dirinya dan menghiraukan perasaannya, lalu mereka sampai di lantai dua rumah besar ini. Ellie pun menyorot ke seluruh ruangan dengan senter ponselnya untuk mencari kamar nyonya Hellen. Tiba-tiba saja saat senter Ellie menyorot pintu yang tak jauh dari tempatnya berdiri, Stella melihat ada sosok nyonya Hellen berdiri di depan pintu itu.

“Di sana! Itu di sana kamarnya nyonya Hellen,” ucap Stella sambil menunjuk ke arah pintu yang barusan di sorot Ellie.

“Kamu yakin, Stell?” tanya Ellie. Stella menganggukkan kepalanya dan berkata, “Ada sosok nyonya Hellen di depan pintu itu!”

Ellie pun tersenyum dan ia mulai berjalan menuju pintu itu, Stella mengikuti Ellie dari belakang. Saat mereka berdua sudah dekat dengan pintu itu, tiba-tiba hantu nyonya Hellen hilang begitu saja.

Stella menarik tangan Ellie dan berkata, “Tunggu dulu… kali ini perasaanku mengatakan kalu kita lebih baik tidak masuk kesana!”

Ellie melepaskan genggaman tangan Stella dan ia melangkahkan kakinya, kemudian saat ia sudah berada di depan pintu, Ellie langsung membukanya dengan sapu tangan untuk melindungi sidik jarinya. Benar saja yang di katakan oleh Stella, saat pintu terbuka tiba-tiba ada angin kencang yang keluar dari kamar itu, sampai membuat rambut panjang Ellie berantakan.

“Ha-ha-ha apa itu barusan, seru sekali!” ujar Ellie sambil merapikan rambutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status