“Hei penakut, bangun!”
Stella merasa ada yang menampar-nampar pipinya dengan pelan, tapi berulang-ulang kali. Ia pun memaksakan diri membuka matanya dan cahaya matahari dari jendela menyorot tepat ke wajah Stella sampai ia tak sanggup membuka matanya.
Saat Stella berhasil membuka matanya Ellie pun langsung bertanya “kamu kalau tidur segaduh itu, Stell?”
“Gaduh?” tanya Stella bingung dan mengubah posisinya menjadi duduk di kasur.
“Iya gaduh, teriak-teriak sendiri saat tidur!” tegas Ellie.
Stella mengangkat kedua pundaknya, dan ia tak membalas perkataan Ellie, lalu ia pun teringat dengan kepala Ellie yang copot dan menggelinding tadi malam.
Stella menghela nafas dan kemudian bersandar di kasurnya. “Syukurlah ternyata itu hanya mimpi...” ucap Stella lirih.
“Apa? Kamu bilang apa barusan?” tanya Ellie yang tak mendengar jelas ucapan Stella.
“Bukan apa-apa, lupakan saja!” Stella pun mengikat rambutnya sambil menoleh ke kanan, dan ia melihat buku yang ia baca semalam masih sama posisinya. Stella masih bingung dan membuat ia berpikir kembali tentang kejadian semalam, apakah itu mimpi atau benar-benar terjadi.
Jentikan jari Ellie pun menyadarkan Stella dari lamunannya, dengan mengerutkan dahi, Ellie bertanya, “Kamu mimpi jorok ya?”
Stella mendorong Ellie dengan wajah masam dan ia pun membantah, “Jangan ngomong sembarangan, El!”
“Ya... habisnya kamu baru bangun tidur langsung melamun,” ledek Ellie sambil tersenyum.
Stella bangkit dari tempat tidurnya dan ia menuju ke dapur, meninggalkan Ellie sendiri. Setibanya di dapur Stella terkejut saat roti tawarnya sudah habis dan stoples selai berbagai rasa semua ada di meja makannya.
“Ellie, kau habiskan semua rotiku!” teriak Stella dari dapurnya.
“Maaf Stell, aku lapar!” sahut Ellie yang ikut teriak dari dalam kamar.
“Dasar wanita idaman pria hidung belang, setidaknya bereskan kembali setelah selesai makan!” Stella menggerutu dalam hati, “kalau saja nyonya Hellen tidak menghantuiku, aku tidak akan sudi mengajaknya menginap di kamarku.”
Suara TV yang sedang menyala menyiarkan berita pagi hari ini, Stella pun berjalan ke arah TV dan berniat mematikannya karena tak ada yang menyaksikannya. Saat Stella mengangkat remote TV, penyiar berita tiba-tiba membacakan berita tentang kematian nyonya Hellen. Sontak Stella terkejut dan ia pun mengurungkan niatnya dan mengeraskan volume suaranya.
“Berita hari ini datang dari wanita tua yang tewas mengenaskan tergantung di kamarnya. Setelah melakukan penyelidikan lebih lanjut, polisi menemukan beberapa hal yang janggal dari kematian nyonya Hellen.”
Penyiar mengatakan hasil penyelidikan dan menemukan beberapa helai rambut yang ada di atas kasur nyonya Hellen. Polisi juga menemukan bekas goresan di jendela kamarnya, seperti ada yang memaksa membuka jendela itu. Polisi masih melanjutkan penyelidikan lebih lanjut dan masih belum bisa menyimpulkan terkait kematian nyonya Hellen, dan untuk sementara kasus ini masih di anggap kasus bunuh diri.
Stella menghela nafasnya dan ia terkejut karena Ellie sudah duduk di sampingnya, kemudian Stella bertanya “sejak kapan kamu di situ, Ell?”
“Baru saja... aku merasa ada yang aneh dengan kematian nyonya Hellen,” cetus Ellie sambil mengusap-usap dagunya.
“Lalu kamu mau apa, setelah merasa aneh dengan kematiannya?” tanya Stella sambil mengangkat kedua alisnya.
“Ya enggak mau apa-apa sih, hanya saja aku merasa ada yang ganjil dengan kematiannya,” jawab Ellie sambil tersenyum.
“Jangan berlagak seperti detektif, El!” bantah Stella.
“Aku tidak berlagak seperti detektif Stell, tapi dari ekspresi wajah mayat nyonya Hellen saja, sudah terlihat kalau ia itu bukan korban bunuh diri!” tegas Ellie.
“Maksudmu?” tanya Stella yang mulai tertarik dengan apa yang di katakan dengan Ellie.
“90% orang meninggal karena bunuh diri dengan menggantung dirinya itu, biasanya posisi kepala mendangak ke atas, dan yang 10% menunduk ke bawah,” jawab Ellie dengan wajah yang serius kali ini.
Stella pun mulai mencerna ucapan Ellie dan menganggap kalau teori Ellie ada benarnya, dan ia pun akhirnya semakin penasaran. Sementara Ellie sibuk dengan ponselnya, seperti sedang mencari sesuatu. “Coba kamu lihat mayatnya nyonya Hellen baik-baik!” tegas Ellie sambil menyodorkan ponselnya.
“Tak ada yang aneh... ini seperti korban bunuh diri pada umumnya, El!” jawab Stella sambil fokus melihat ke ponsel milik Ellie.
“Lihat posisi kepalanya yang menoleh ke kiri, dan juga posisi tangan kirinya yang seperti ingin meraih sesuatu, sedangkan tangan kanan tetap lurus dengan posisi telapak tangan terbuka lebar,” ucap Ellie sambil menunjuk ke gambar itu.
Stella melihat lagi dengan jelas sesuai dengan instruksi Ellie, dan kali ini ia pun mulai merasa ada yang aneh dengan mayat nyonya Hellen yang menggantung. “Seperti dicekik seseorang, El?” ucap Stella setelah beberapa saat memperhatikan foto mayat nyonya Hellen.
“Bingo... itu dia yang aku maksud!” ujar Ellie sambil menepuk pundak Stella.
“Tapi El, kalau di cekik pasti ada bekas cekikkan di lehernya,” ucap Stella.
“Si pelaku tak menggunakan tangannya, ia menggunakan seprai untuk menjeratnya kemudian ia menggantung mayat nyonya Hellen dengan seprai itu,” jawab Ellie dengan gaya seperti detektif kelas kakap.
Setelah mendengar jawaban Ellie barusan, Stella mulai berpikir dan membayangkan kejadian pembunuhan itu di kepalanya. Ia membayangkan nyonya Hellen yang tertidur pulas di kamarnya, tiba-tiba di jerat dengan seprai yang di jadikannya alas tidur. Stella bahkan membayangkan si pelaku masuk dari jendela, dan saat ia menjerat nyonya Hellen, ia mendapatkan perlawanan sampai meninggalkan beberapa helai rambutnya.
Saat Stella sedang melamun membayangkan pembunuhan itu terjadi, Ellie justru sibuk dengan ponselnya. Ia mencari alamat rumah nyonya Hellen melalui GPS dan menampilkan mode gambar satelit, yang di mana ia bisa melihat secara keseluruhan area sekitar rumah nyonya Hellen.
“Terlalu renggang, pantas saja teriakkan wanita tua itu tak terdengar sampai ke rumah tetangga...” ucap Ellie lirih.
“Sudahlah... kenapa kita jadi bahas kematian nyonya Hellen,” balas Stella yang sudah ingin mengakhiri ini semua.
Stella mematikan TV dan ia pun beranjak meninggalkan Ellie yang masih sibuk dengan ponselnya, tapi Ellie masih tertarik dengan kasus kematian nyonya Hellen. Ia sampai mencari-cari komentar anak-anaknya pada saat di wawancara oleh media tentang kematian ibunya.
Satu persatu situs berita yang terkait kasus kematian nyonya Hellen pun sudah di buka, dan ia pun membacanya dengan detail tanpa ada yang terlewat kata demi katanya, tapi ada satu yang membuatnya penasaran.
Si anak bungsu nyonya Hellen selalu tenang dan berkata, “ibu memang sudah tua wajar saja jika ia kesepian, dan kami menyesal telah menelantarkannya.”
Dari sekian banyak media berita online yang Ellie baca, si anak bungsu mengatakan hal yang sama setiap wawancaranya.
“Orang ini mencurigakan, Harris Watson!” gumam Ellie dalam hati sambil melanjutkan pencariannya.
Ellie sudah kembali ke kamar apartemennya, dan sekarang hanya tinggal Stella seorang diri. Ia melanjutkan membaca buku romance yang belum selesai ia baca, dengan di temani sebotol bir ia membaca buku di sofa ruang tamunya. Terbesit olehnya bayangan nyonya Hellen yang berdiri tegak di bawah lukisan kantornya.Stella pun menggelengkan kepalanya dan melanjutkan membaca buku, Stella melihat ke arah jam dan tak terasa sudah pukul 12:02 siang. Ia pun memutuskan untuk makan siang di luar. Hari ini ia libur, karena setelah shift siang keesokan harinya pasti ia mendapatkan jatah libur.Untuk hari liburnya tak mesti weekend, bisa juga weekday seperti ini. Karena ia bekerja di layanan yang beroperasi 24 jam, jadi hari liburnya tidak menentu. Stella berjalan melewati lorong yang sepi di antara kamar-kamar yang tertutup rapat.Stella sedang berjalan menuju lift, padahal ini siang hari, tapi suasananya mencekam seperti ini. Sepi meman
Kini Stella dan Ellie sudah berada satu meja dengan keluarga Watson, dan salah satu anak nyonya Hellen bertanya dan belum mampu di jawab oleh Ellie. Ia masih memutar otaknya, untuk mendapatkan jawaban yang pas untuk pertanyaan pria itu.“Sebelumnya perkenalkan dulu nama kalian, agar kita lebih akrab lagi,” cetus Stella.“Stell, itu tidak sopan...” bisik Ellie.“Astaga kami sampai lupa memperkenalkan diri,” jawab wanita berambut hitam sambil tersenyum, “namaku Anne Lucyanne Watson, aku adalah menantu nyonya Hellen.”“Tak perlu memperkenalkan nama lengkapmu, Ann!” ujar pria yang ada di sampingnya.“Tidak masalah, aku yakin mereka ini orang baik,” bantah Anne.Sosok nyonya Hellen yang tadi sempat menghilang, kini tiba-tiba ia muncul kembali. Ia hanya menatap ke arah meja mereka dengan lidah
Stella membuka matanya dan ia melihat ke langit-langit kamarnya, kemudian pandangannya mengarah ke jendela kamarnya. Awan sore yang cerah memberi warna biru yang indah dengan awan Altocumulus yang jadi pemanis pada sore itu, saat menuju senja.“Kemana perginya Eliie?” tanya Stella dalam hati, saat mengetahui Ellie tak ada. Mungkin ia kembali ke kamarnya selagi aku tidur tadi, pikir Stella. Ia pun bangun dari tempat tidurnya dan menuju sofa, dan Stella pun tersenyum saat melihat Ellie tertidur pulas di sofa.“Hei, wanita idaman pria, bangun!” ujar Stella.Ellie pun langsung membuka matanya dan ia berkata, “Kamu sudah sadar?” Stella pun bingung dengan kata-kata “sudah sadar,” ia mengelak dan mengatakan kalau ia barusan itu tertidur. Ellie pun menghela nafasnya dan mengalah.“Saat kamu pingsan tadi, aku mencari tahu alamat nyonya Hellen,” ucap
Pemandangan setelah pintu terbuka adalah, kamar yang berantakan dan beraroma tak sedap, tapi Ellie sangat menikmatinya dan ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Stella yang mempunyai firasat tak enak, akhirnya mau tak mau mengikuti Ellie masuk ke dalam.Ellie langsung berlari ke arah jendela nyonya Hellen, dan ia mengambil gambar goresan yang berada di sisi-sisi jendela nyonya Hellen dengan kamera ponselnya. Sedangkan Stella masih tak percaya kalau ia sampai sejauh ini, ia melihat sekeliling dan ia tak menemukan cermin di dalam kamar nyonya Hellen.“Ell, aku merasa ada yang aneh dengan rumah ini…” bisik Stella.Ellie yang sudah selesai mengambil gambar, langsung menghampiri Stella dan bertanya, “Apanya yang aneh?”“Aku tidak melihat cermin di rumah ini,” jawab Stella sambil melirik ke kiri, ke arah kasur nyonya Hellen.Ellie yang
Stella membuka matanya dan dia merasa heran karena sudah berada di apartemennya, dia lantas menyingkap selimut dan bangun dari kasurnya. Ia pun melihat ke ruang santainya dan tak ada seseorang pun di sana, kemudian Stella pun menyalakan TV dan tak sengaja ia langsung melihat berita yang sedang menyiarkan kasus lanjutan nyonya Hellen.Stella teringat kembali terakhir kali dia membuka mata, dan ia baru sadar kalau waktu itu ia di hajar menggunakan gagang pistol oleh sahabatnya sendiri, dan ia bingung kenapa sekarang ia bisa berada di apartemennya.Breaking news “Pembunuhan Hellen Watson akhirnya terungkap, tersangka yang tidak lain adalah menantunya sendiri dan di bantu adik perempuanya. Anehnya tak ada penyesalan di wajah mereka berdua, dan senyum lebar terpampang jelas di wajah mereka berdua.”Stella terdiam dan tak menyangka kalau Ellie benar-benar melakukan itu, tapi kenapa dia mengajak dan menyeret Stella
Stella yang sudah 2 jam tak sadarkan diri, akhirnya terbangun dan terkejut setelah melihat sosok pria duduk di sampingnya.“Kamu sudah sadar?” tanya pria itu. Stella menganggukkan kepalanya dan ia pun merubah posisi yang awalnya telentang menjadi duduk.“Kamu sedang apa di sini?” tanya Stella.“Menjengukmu, apa lagi?” jawab pria itu sambil tersenyum.Stella pun menggelengkan kepalanya dan ia pun melipat tangannya diperutnya, “kamu libur hari ini?”“Aku masuk nanti sore, makanya aku sempatkan utnuk menjengukmu,” jawab pria itu.Pria itu adalah Gibran Triguna, pria yang menyukai Stella dan selalu di campakkan oleh Stella. Wajahnya tidak terlalu buruk, tapi memang ia bukan tipe pria yang di sukai Stella. Meskipun Stella sering mencampakkannya dan cuek kepadanya, Gibran tetap berusaha untuk mendapatkan h
“Tolong…” “Ampun papa, aku janji tidak akan nakal lagi.” Terdengar suara anak perempuan yang meminta ampun. Gelap pun berubah menjadi terang dan Stella terbawa ke suatu kamar yang ia sendiri tak tahu di mana itu. Stella membuka matanya dan ia melihat sosok anak perempuan yang sedang terbaring di lantai sambil menangis. Badan anak perempuan itu penuh memar dan tampaknya ia tak bisa berdiri, Stella yang melihat itu pun langsung menghampirinya. “Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Stella. Anak perempuan itu tak menjawab, bahkan ia seperti tak menyadari kehadiran Stella. Stella pun menghampiri amak itu dan ia ingin membantu anak itu bangun, tapi ternyata Stella tak bisa menyentuh anak itu. Stella pun mencoba lagi dan lagi, tetapi tetap saja tak bisa. Tiba-tiba air mata anak itu jatuh dan ia berbisik, “Aku rindu kamu, mama….” Anak itu berusaha bang
Seketika semua orang yang ada di dalam ruangan menjadi panik dan suasana di dalam ruang kerja pun menjadi bising seperti di pasar. Semua orang menyalakan senter dari ponsel mereka masing-masing untuk penerangan.Stella berusaha agar tidak panik dan tetap duduk di kursinya, tapi tampaknya pikirannya terganggu oleh suara anak perempuan yang baru saja meminta tolong. “Apakah ini sama dengan kasus nyonya Hellen?” gumam Stella dalam hati.Tidak lama kemudian listrik kembali menyala, dan pak Diky masuk ke ruangan mengarahkan anak buahnya untuk kembali bekerja. Stella yang masih duduk di bangkunya langsung menyalakan kembali komputernya, dan lanjut bekerja seperti biasanya.Setelah listrik menyala kerjaan Stella kembali normal dan tak ada telepon yang aneh-aneh, sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul 13:00 dan Stella meninggalkan ruangan kerjanya untuk makan siang. Stella berjalan ke loker room untuk mengambil domp