Share

Psikopat bersaudara

Pemandangan setelah pintu terbuka adalah, kamar yang berantakan dan beraroma tak sedap, tapi Ellie sangat menikmatinya dan ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Stella yang mempunyai firasat tak enak, akhirnya mau tak mau mengikuti Ellie masuk ke dalam.

Ellie langsung berlari ke arah jendela nyonya Hellen, dan ia mengambil gambar goresan yang berada di sisi-sisi jendela nyonya Hellen dengan kamera ponselnya. Sedangkan Stella masih tak percaya kalau ia sampai sejauh ini, ia melihat sekeliling dan ia tak menemukan cermin di dalam kamar nyonya Hellen.

“Ell, aku merasa ada yang aneh dengan rumah ini…” bisik Stella.

Ellie yang sudah selesai mengambil gambar, langsung menghampiri Stella dan bertanya, “Apanya yang aneh?”

“Aku tidak melihat cermin di rumah ini,” jawab Stella sambil melirik ke kiri, ke arah kasur nyonya Hellen.

Ellie yang melihat gelagat aneh Stella pun langsung mengarahkan pandangannya ke arah kasur nyonya Hellen dan menyorotnya, kemudian Ellie pun terkejut karena kasur itu masih terpasang seprei dengan rapi.

“Apakah perasaanku saja atau memang ada orang lain di rumah ini…” bisik Ellie dengan nada gemetar.

“Ti—tidak mungkin… mana ada orang yang tahan tinggal tanpa listrik,” sahut Stella mematahkan statement Ellie.

Suasana seketika hening dan mereka berdua saling menatap. Tidak lama kemudian hening itu pecah dengan suara langkah kaki yang mulai mendekat. Suaranya tak begitu ramai, kemungkinan hanya satu orang saja yang menuju kamar itu, dan wajah panik mereka berdua pun mulai terlihat.

“Sembunyi, Stell!” ujar Ellie.

“Sembunyi di mana?” tanya Stella yang mulai panik.

Ellie menggerakkan kepalanya dan melihat ke sekeliling, dan ia tak menemukan tempat untuk bersembunyi. Stella yang panik berjalan mundur ke arah kasur nyonya Hellen sampai akhirnya Ellie mendapatkan ide untuk bersembunyi di bawah tempat tidur nyonya Hellen. Suara langkah kaki itu terdengar semakin dekat, membuat jantung kedua wanita itu berdegup kencang.

“Sudah aku peringatkan dari awal, sebaiknya kita tidak ke sini…” bisik Stella.

“Diam, nanti ketahuan!” tegas Ellie.

Bayangan seseorang pun terlihat memasuki kamar nyonya Hellen, dan tak lama kemudian sepatu pantofel berwarna hitam kusam pun terlihat. Seorang pria mengenakan celana bahan berwarna coklat tua semata kaki berjalan perlahan menuju lemari pakaian nyonya Hellen. Pria itu langsung membuka lemari dan mencari sesuatu, entah apa itu. Seperti layaknya pencuri profesional, ia melakukan itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

Sedangkan kedua wanita yang bersembunyi itu menutup mulutnya agar tak terdengar suara nafasnya.

“Kring-kring-kring” tiba-tiba ponsel yang berada di genggaman Ellie pun berdering, membuatnya semakin panik. Ia menatap ke layar ponselnya dan ternyata Joe menghubunginya, tanpa ragu ia pun menolak panggilan itu dan membuat suasana kembali hening, tapi kaki pria yang awalnya berada di depan lemari, tiba-tiba menghilang begitu saja, dan ponsel Ellie lagi-lagi berdering.

Dengan wajah pucat Ellie langsung menolak panggilan dari Joe, dan langsung mematikan ponselnya. Tatapan Ellie tajam kepada Stella yang sedang menutup mulutnya, dan Ellie pun bertanya, “Kamu kenapa?”

Stella menggelengkan kepalanya dan air matanya mulai menetes, Ellie yang melihat Stella menetesakan air mata, akhirnya bertanya lagi, “Kamu kok menangis, Stell?”

Tiba-tiba mulut Ellie di bekap dari belakang oleh pria misterius, dan pria misterius itu langsung menodongkan pistol ke kepala Ellie.

“Lepas … tolong lepaskan dia!” tegas Stella.

Ellie hanya bisa terdiam dan tak mampu melawan, karena ia tahu pistol yang menempel di kepalanya itu pistol sungguhan.

“Harris please, lepaskan dia!” teriak Stella. Ellie pun langsung melotot saat Stella menyebutkan nama Harris.

Pria misterius yang awalnya mengenakan topeng ala perampok itu pun membuka topengnya sambil berkata, “Bagaimana kamu bisa tahu, kalau itu aku?”

Harris mendorong Ellie sampai ia terjatuh di kasur nyonya Hellen, dan Harris masih menodongkan pistol ke arah Ellie.

“Sedang apa kamu disini?” tanya Ellie.

“Harusnya yang bertanya seperti itu, aku … bukan kamu!” jawab Harris dengan nada tinggi.

Tanpa ragu Ellie pun menjawab, “Aku ingin menyelidiki kasus kematian ibumu!”

“Ha-ha-ha memangnya kalian bisa apa? Kalian itu hanya wanita sok tahu, yang ingin membuktikan kalau aku adalah pembunuhnya, kan?” tanya Harris.

Ellie pun bangun dari kasur nyonya Hellen dan ia berjalan ke arah Harris tanpa ragu, kemudian saat Ellie sudah sampai di hadapan Harris, Ellie pun berkata, “Aku percaya, kalau kamu sedang di fitnah.”

Harris yang mendengar itu langsung menurunkan pistolnya dan ia pun kemudian menundukkan kepalanya.

“Aku sayang mami …” ucap Harris lirih.

Ellie tersenyum dan tanpa aba-aba langsung memeluk Harris Watson, sontak Stella pun terkejut melihat Ellie yang bisa dengan mudahnya percaya kepada Harris yang sedang memegang pistol.

“Sekarang katakan kepadaku, sedang apa kamu disini?” tanya Ellie.

Harris menggelengkan kepalanya dan perlahan air matanya jatuh ke pipinya, Ellie pun melepaskan pelukannya dan bertanya lagi, “Kamu sedang mencari bukti-bukti untuk menunjukan kalau sebenarnya kamu tidak bersalah, kan?”

Harris mengganggukan kepalanya sambil mengusap air matanya, mulut dan tangannya pun mulai gemetar, seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi di tahan olehnya.

“Aku—aku memang benar merengek meminta warisan untuk menikahi tunanganku, tapi pikiranku tak sedangkal itu untuk membunuk ibuku sendiri,” ucap Harris.

“Maaf memotong pembicaraan kalian, aku ingin bertanya satu hal padamu,” ucap Stella, “kenapa di rumah ini tidak ada cermin?”

“Ohh soal itu, ibuku memang tidak suka dengan cermin, karena ia sedih melihat bayangannya sendiri,” balas Harris.

“Loh kenapa? Ada apa dengan bayangannya?” tanya Ellie penasaran.

“Entah lah, mungkin ada kenangan pahit di masa lalunya,” jawab Harris.

“Kamu sering kesini, setelah kematian nyonya Hellen?” tanya Stella.

“Tidak … baru kali ini, memangnya kenapa?” jawab Harris.

Stella dan Ellie nampak terkejut dengan jawaban Harris yang mengatakan kalau dia baru kesini lagi setelah nyonya Hellen meninggal. Mereka berdua bingung karena tempat tidur nyonya Hellen masih rapi seperti ada yang merapikannya, sepreinya juga terlihat seperti baru di ganti.

Stella dan Ellie pun saling menatap dan kompak ia berkata, “Ada orang lain disini!”

Harris terkejut dan terlihat sedikit panik, ia melihat ke sekeliling seperti mencari sesuatu. Sedangkan Ellie, menghidupkan lagi ponselnya dan ia terkejut melihat banyak sekali pesan dari Joe. “Astaga, aku paling tidak suka dengan pria yang posesif seperti ini,” gerutu Ellie sambil membuka pesannya.

Stella yang penasaran pun menghampiri jendela dan melihat dengan jelas bekas congkelan jendela itu, kemudian ia memegang dagunya seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia pun menjentikan jarinya sambil tersenyum, dan memanggil Ellie untuk menghampirinya, “Ellie kesini cepat!”

Ellie menggelengkan kepalanya sambil berjalan perlahan menuju ke arah Stella, matanya tetap ke layar ponselnya dan membaca satu persatu pesan dari Joe yang mengkhawtirkannya.

“Bukankah ada yang aneh dengan bekas congkelan ini?” tanya Stella.

Ellie pun mengangkat kepalanya dan melihat kembali goresan bekas congkelan yang tadi sudah di periksanya.

“Tidak ada yang aneh dengan goresan ini,” jawab Ellie.

“Kau bodoh atau apa? Jelas-jelas congkelan itu berasal dari dalam, bukan  dari luar!” tegas Stella.

Ellie terkejut dan menepuk pundak Stella sambil berkata, “Astaga kenapa aku baru sadar itu!”

“Bruaak” terdengar suara benda jatuh di lantai satu, dan membuat mereka bertiga terkejut.

“Suara apa itu?” tanya Stella.

“Seseorang yang mengganti seprei ini,” jawab Ellie.

Stella dan Harris terlihat panik, berbeda dengan Ellie yang malah menunggu orang itu masuk ke kamar nyonya Hellen. Suara langkah kaki yang menaiki anak tangga pun mulai terdengar samar-samar, dengkul Stella pun mulai bergetar di buatnya, sedangkan tangan Harris terlihat jelas mulai gemetar. Langkah kaki itu semakin dekat dan sudah terdengar jelas suara langkah kakinya.

“Cepat datang kesini, Anne!” ucap Ellie.

Harris pun menoleh ke arah Ellie dan berkata, “Apa maksudnya Anne?”

Senyum culas Ellie pun terpapar jelas, seolah mengetahui sesuatu. “Anne, pasti Anne!” ucap Ellie sambil tersenyum.

“Apakah temanmu baik-baik saja?” tanya Harris pada Stella yang sedang ketakutan.

“Enn—entahlah dia memang sedikit aneh,” jawab Stella gugup.

Suara langkah kaki pun berhenti di depan pintu kamar nyonya Hellen dan perlahan pintu mulai terbuka. Sosok wanita bertubuh ramping pun terlihat saat pintu mulai terbuka lebar, dan ucapan Ellie benar kalau yang datang kesini adalah Anne.

“Astaga kau benar!” ujar Harris.

Ellie pun tersenyum dan ia langsung merebut pistol yang ada di genggaman tangan Harris, kemudian Ellie langsung menodongkan pistol ke arah Anne, tapi Anne tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menghampiri mereka bertiga.

“Berhenti, jangan bergerak!” teriak Ellie.

Anne tak menghiraukannya dan tetap berjalan perlahan tanpa ragu. “Kak Anne, kau sedang apa?” tanya Harris. Anne hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaan Harris.

“Tunggu dulu sepertinya senyuman itu tidak asing,” ucap Stella dalam hati.

Tiba-tiba Ellie mengubah arah tangannya dan sekarang ia menodongkan pistol ke arah Harris, sambil tersenyum.

“Apa-apaan ini sebenernya?” tanya Harris.

“HA-HA-HA kau bodoh sekali, Harris!” ejek Anne sambil tertawa.

“Apa maksudnya ini, Ell?” tanya Stella bingung.

“Kamu diam saja, setelah aku lubangi kepala Harris baru giliranmu, jadi mohon bersabar!” balas Ellie.

“Bercandamu tidak lucu sama sekali, Ell!” bentak Stella.

Ellie terlihat menarik nafasnya dalam-dalam dan ia pun teriak, “SIAPA YANG BERCANDA, ANNE ADALAH KAKAKKU!”

Harris dan Stella pun terkejut dan mata Harris mulai berkaca-kaca, dengan terbata-bata ia berkata, “Ja—jadi ma—mami kau yang bunuh, kak Anne?”

Senyum piciknya pun menjawab semua, sekilas garis wajahnya memang terlihat mirip dengan Ellie, hanya Ellie lebih cantik. Stella pun merasa dirinya bodoh sampai mau masuk ke permainan psikopat bersaudara ini. Stella menggigit bibir bawahnya sampai berdarah, berharap ia bisa terbangun jika memang ini hanya sekedar mimpi, tapi rasa asin dari darahnya membuktikan kalau ia sedang tidak bermimpi.

“Cepat habisi dia, dan buat ia menjadi tersangka agar asuransi jiwa nyonya Hellen bisa cepat di cairkan!” tegas Anne.

“Astaga, jadi itu alasan kalian membunuh nyonya Hellen?” tanya Stella lantang.

Harris menggelengkan kepalanya dan terlihat dari gerakan bibirnya kalau ia sedang berkata “jangan.”

Stella tak memperdulikan Harris dan ia berjalan ke arah Ellie, sambil berkata, “Ternyata benar kata orang, kalau kamu itu cantik-cantik tapi bodoh!”

“APA MAKSUDMU?” bentak Ellie.

Stella tak menjawab hanya tersenyum kepada Ellie. Saat Stella sampai di hadapan Ellie ia berbisik, “Game over ….”

Ellie pun tersenyum dengan terpaksa, dan tiba-tiba kepala Stella di pukul menggunakan gagang pistol sampai darah mengucur dari kepalanya, dan Stella pun tumbang tepat di kasur nyonya Hellen.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status