*“Soalnya muka kamu manis kayak kolak labu buatan nenek kamu.”*
Ran terngiang ucapan Aryan ketika itu.
Manis?
“Aku minta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu.”
Ran tersadar dari ingatan masa lalu, saat suara Aryan kembali terdengar. Mereka saling pandang beberapa saat, sampai akhirnya Ran menghela napas panjang. Sepertinya wanita ini merasa tak ada gunanya lagi emosi karena masa lalu.
“Sudahlah. Saya tidak mau membahas hal itu lagi. Sebaiknya sekarang kamu pulang.”
“Kamu mau memaafkanku?” tanya Aryan penuh harap.
“Kamu merasa bersalah?”
Aryan mengangguk mantap sebagai jawaban.“Kejahilan kamu waktu itu hanya kejahilan anak kecil. Saya sebenarnya tidak mau mengungkitnya lagi, tapi kamu malah mengingatkan saya tentang itu. Tapi ya sudah lah, saya sudah memaafkan semua kejahilan yang kamu lakukan pada saya.”
“Aku bukan minta maaf karena ngejahilin kamu kok.”Ran mengernyitkan dahi bingung. Apa maksud pria di depannya ini.“Aku gak akan minta maaf karena pernah jahilin kamu. Aku minta maaf karena mulut kurang ajar Tara.”
“Tara?”“Temanku… yang… yang waktu itu ngatain kamu… ka-kamu—"
“Lahir dari batu?”Aryan hanya diam tanpa sanggup menjawab saat Ran menebak apa yang ingin dia katakan. Pria ini bahkan tak mampu mengatakan hal itu. Terlalu berat baginya mengatakan penghinaan yang dulu pernah dilontarkan Tara untuk Ran .
Ran bersedekap, menatap Aryan dengan ekspresi datarnya. “Kamu tidak perlu mewakili dia minta maaf sama saya, karena yang mengatakan hal menyakitkan itu bukan kamu.”
“Tetap aja itu salahku, karena awalnya aku jahilin kamu.”“Berarti kamu merasa bersalah karena jahilin saya kan?” tanya Ran sambil menyunggingkan senyum miring.“Aku udah bilang gak merasa bersalah sering jahilin kamu. Si Tara aja yang sok ikut-ikutan godain kamu! Pakai segala ngeluarin omongan sialan kasar itu!” ucap Aryan berapi-api, seolah bocah bernama Tara ada di depannya. Wajah Aryan saat ini mengingatkan Ran pada wajah Aryan semasa kecil, menggemaskan sekaligus mengesalkan.
Ran mengedipkan kedua matanya beberapa kali, karena tak menyangka jalan pikiran pria di depannya ini.
Tidak merasa bersalah karena sudah sering menjahili Ran? Enak saja pria ini bicara! Ran tadinya sudah ingin memaafkan Aryan karena berpikir Aryan meminta maaf karena kejahilan-kejahilan pria ini dulu. Tapi ternyata, Aryan tidak merasa bersalah? Cari mati!
Ran tertawa kesal. “Kamu lucu sekali!” sarkas Ran.
“Terima kasih pujiannya. Banyak yang bilang gitu.”
Ran kembali ternganga. “Kamu… kamu tidak tahu nada sindiran?”
“Tadi itu kamu nyindir aku?” tanya Aryan polos.
Ran kembali tertawa kesal. Lalu tak lama menatap Aryan garang. “Dasar pria sinting!”
Duk!
“Awh!! Kamu… kenapa… kenapa nendang aku??” pekik Aryan sambil meringis nyeri. Sebelah tangannya sudah mengusap tulang kakinya yang baru saja ditendang Ran tiba-tiba.
“Enak saja kamu tidak merasa bersalah karena sering menjahili saya!”
“Hah? Awhsshh!!” Aryan kembali meringis, karena Ran kembali menendang tulang keringnya, kali ini di kaki satunya lagi.
“Anggap saja tendangan saya yang ini sebagai jawaban atas rasa bersalah kamu karena ucapan teman kamu waktu itu, Aryan tanpa ‘Tuan’!” desis Ran. Ran segera berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya, tanpa peduli Aryan sedang membungkuk karena merasa kesakitan.
“Tidak merasa bersalah?? Haha… lucu sekali dia! Setiap hari selalu jahil, tapi tidak merasa bersalah!” gerutu Ran di sela langkah kakinya.
“Hey… kamu gak merasa bersalah udah nendang aku?!” tanya Aryan tak terima, karena Ran langsung pergi dari hadapannya.
Ran menghentikan langkah, lalu membalikkan tubuh kembali sampai berhadapan dengan Aryan. “Buat apa merasa bersalah, toh kamu juga tidak merasa bersalah sering menjahili saya! Coba kamu ingat-ingat, sudah berapa sering kamu menjahili saya,” ucap Ran sambil menaikkan dagunya menantang Aryan. “Tadinya saya tidak mau mengungkit atau membalas. Tapi dasar kamu tidak punya malu dan dengan entengnya bilang tidak merasa bersalah! Sekarang, rasakan pembalasan saya, Aryan!” ucap Ran lagi dengan wajah angkuhnya, lalu wanita ini kembali membalikkan tubuh dan segera masuk ke dalam gerbang.
Sementara itu, satpam rumah keluarga ini hanya mampu terbengong melihat apa yang terjadi di depan mata. Majikannya yang terkenal dingin, bahkan amat sangat jarang berekspresi ini menendang pria? Wajah kesal Ran saat memasuki gerbang tak luput dari perhatian satpam rumahnya. Si muka datar ternyata bisa mengeluarkan ekspresi lain? Wah… berita yang luar binasa.
Sedangkan Aryan, tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat karena ucapan Ran. Ditambah lagi kedua kakinya benar-benar nyeri luar biasa. Bagaimana tidak nyeri, Ran menendangnya menggunakan ujung high heelsnya yang lancip, dan jangan lupakan bahwa Ran menendangnya sekuat tenaga. Seolah Aryan adalah kuman yang harus dibasmi.
“Bangs*t! Kaki gue teraniaya…” bisik Aryan tajam. “Tega banget si Labu nendang kaki calon suami!” gerutu Aryan sambil masih terus meringis nyeri. “Mana langsung kabur kayak gak punya dosa. Mama… anak Mama dianiaya calon mantu nih!” adu Aryan seolah mamanya ada di depan mata. Tapi tiba-tiba, senyuman mulai muncul dari bibirnya. “Dia inget gue…” lirih Aryan tak percaya. “Gila… dia inget gue!” pekik Aryan senang seperti para wanita yang histeris saat lihat barang-barang diskon. “Pak, dia inget saya, Pak!” ucap Aryan semringah ke arah satpam rumah Ran yang masih terbengong. “Gak pa-pa deh kena tendangan lucknat, yang penting dia inget saya. Bener kan, Pak?” tanya Aryan pada sang satpam yang tak tahu apa-apa ini.
Satpam rumah Ran semakin terbengong tanpa sanggup menjawab apa pun. Di dalam pikirannya hanya satu, apakah setelah mendapat tendangan maut dari putri sulung di rumah ini, bisa mengakibatkan kegilaan? Sepertinya iya, karena satpam ini melihat sendiri buktinya. Pria tampan yang mengantar majikannya pulang sepertinya memang sudah gila, karena tertawa tak jelas. Tampan sih, tapi kalau gila__
“Saya pulang ya, Pak. Tolong bilang sama Pumpkin, kalau saya senang dia ingat saya!” Aryan segera berbalik dan berjalan menuju mobilnya tanpa menunggu jawaban dari satpam rumah Ran. Hatinya sedang berbunga-bunga saat ini, karena ternyata sang cinta pertama mengingat jelas siapa dirinya. Aryan bersenandung riang sambil menjalankan mobilnya menuju rumahnya.
Sementara itu, satpam rumah Ran masih terbengong di depan pintu gerbang yang masih terbuka. Matanya menatap mobil Aryan yang perlahan menghilang dari pandangan. “Benar-benar mantap tendangan Non Ran, bisa buat tidak waras pria ganteng tadi.” Satpam ini geleng-gelang kepala tak percaya atas kesimpulan yang dibuatnya sendiri. “Jangan sampai saya kena tendang. Nanti yang ada saya ikut-ikutan gila juga.” Satpam ini bergidik ngeri sambil menuntup pintu gerbang.
***
“Kamu sudah pul—”
“Thanks, Ma, Aryan seneng banget sama kejutannya!”
Kania hanya mampu terdiam kaku saat sang anak yang baru saja muncul, tiba-tiba saja menerjang tubuhnya. Sang anak memeluknya erat, seolah tak akan bisa memeluknya lagi.
“Aryan seneng, Ma, Pumpkin inget sama Aryan!”
Kania langsung mengurai pelukan sang anak, lalu menatap Aryan menuntut. “Maksud kamu apa?? Bukannya tadi saat kita makan bersama dia mengatakan tidak ingat kamu?”
Aryan hanya membalas dengan senyum misterius, lalu langsung mencium dalam pipi kanan sang mama. “Pokoknya Aryan seneng Mama bisa nemuin Pumpkinnya Aryan. I love you, Mama!”
Cup…Aryan kembali mencium pipi sang mama, kali ini pipi sebelah kiri sang mama sebelum pergi dari hadapan Kania yang penasaran.
“Anak Tampan!”
“Aryan Mada Kusumo!”Aryan menghentikan langkah saat akan menaiki tangga rumahnya menuju kamarnya di lantai dua. Pria ini membalikkan tubuh, mengernyitkan dahi bingung, karena mama serta sang papa yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping mamanya menatapnya kesal. “Ada apa? Aryan ada salah?”
“Kamu belum jawab pertanyaan mama!”
“Kamu ngapain cium-cium istri papa?!”Aryan mengerjapkan mata tak percaya saat mama dan papanya sama-sama mengeluarkan suara, tapi dengan kalimat yang berbeda.
“Hah?” tanya Aryan seperti orang bodoh.
“Kamu belum jawab pertanyaan mama!”
“Kamu ngapain cium-cium istri papa?!”Ulang Kania dan Admaja bersamaan.
Kania menatap kesal Admaja, lalu memukul gemas lengan sang suami. “Diam dulu, Mas!”
“Apanya yang diam dulu?! Sayang, aku tidak rela anak kita menciummu lebih dulu malam ini!”
Wajah Kania merona malu karena ucapan frontal sang suami.
“Ka-kamu apa-apaan sih, Mas!” kesal Kania, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
“Apanya yang apa-apaan! Aku tidak suka didahului bocah nakal itu!”
“Aw!! Mas!”
“Maaf, Sayang…”
“Maaf apa?! Sakit, MAS!”Aryan hanya memutar bola mata malas, saat melihat papanya sudah menarik pinggang sang mama, lalu mengusap bekas ciuman pria ini di pipi sang mama, membersihkan bekasnya. Papanya benar-benar posesif dan berlebihan!
Aryan membalikkan tubuh, lalu memilih melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Aryan sangat yakin jika mama dan papanya pasti lupa akan kehadirannya jika mereka berdua sudah bersama seperti itu.
“Pipi kamu harus dibersihkan pakai air, Kania!”
“Kamu berlebihan, Mas—AW, MASSSS!”“Maaf, Sayang, maaf…”
“Ck! Papa lebay banget, sumpah! Emang bekas ciuman gue senajis itu?! Mulut gue wangi odol 1000 bungkus gini malah mau dihapus pakai air! Ngadi-ngadi aja tuh bapak tuwa!” gerutu Aryan saat mendengar perdebatan kedua orang tuanya.
“Pipi kamu merah, Kania.”
“Itu semua karena kamu, MAS!!”
Aryan menutup telinga dengan sebelah tangan di sela langkah kakinya menjauh saat mendengar teriakan sang mama. Papanya itu benar-benar keterlaluan.
“Maafkan aku. Apakah sakit?”
“Kamu pikir saja sendiri ya, Admaja!”
***
//0821234xxxPagi... Kamu gak terlambat bangun kan?Ran terbengong sambil menerka-nerka nomer ponsel siapa yang mengganggu ponselnya pagi-pagi buta seperti ini. Ini baru hampir pukul lima pagi, tentu saja dia tidak terlambat bangun.Nomer siapa sih ini?//0821234xxxKarena kamu udah baca chat aku, sepertinya kamu udah bangun : DAku harap harimu menyenangkan, Pumpkin <3Pumpkin?Ran melebarkan mata terkejut saat menyadari panggilan itu.Tidak salah lagi, ini pasti nomer ponsel musuh bebuyutannya saat SD dulu. Siapa lagi kalau bukan Aryan Mada Kusumo, pria yang semalam membuatnya kesal. Tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu selain Aryan.“What the Ffff__” Ran menarik dan membuang napasnya sebelum umpatan kasar itu keluar. “Dia tahu nomerku dari mana?!”
“Ayahmu belum datang?”“Hm.”“Aku antar?”“Terus tunanganmu nanti ngelabrak aku lagi seperti satu minggu yang lalu saat kamu juga pergi ke Bali?” tanya Ran sambil tersenyum miring.Juna terdiam sesaat. Pria ini menutup mata, lalu membukanya kembali. “Maafkan aku.”“It’s okay, Jun. Mungkin kalau aku ada di posisi tunanganmu, aku akan melakukan hal yang sama.”“Aku mencintaimu, Ba—”“Sudahlah, Juna. Ingat tunanganmu.”“Aku__"Juna menghentikan ucapannya, saat sebuah mobil berhenti tepat di depannya dan Ran. Mereka saat ini berada di depan restoran yang sudah terlihat gelap karena sudah tutup sejak setengah jam yang lalu. Walaupun masih ada satpam yang belum pulang dan masih berjaga di pos yang berada tak jauh dari tempat Ran dan Juna berada.Seorang wanita can
Ran memandangi sebuah toko perhiasan mewah di depannya. Di sampingnya, sudah ada seorang pria yang saat ini memasang senyum semringah seperti habis dapat jackpot. Bagaimana tidak dapat jackpot, tiba-tiba kemarin malam, sang mama memberitahunya melalui sambungan telepon kalau wanita pujaan sejak pria ini duduk di bangku sekolah dasar, menerima pertunangan mereka. Lebih jackpotnya lagi, wanita itu minta pertunangan mereka disegerakan. Pria ini yang tadinya hendak melepaskan kegalauannya di kelab malam karena masih teringat kedekatan manager Ran dan wanita itu, langsung membelokkan kemudi pulang ke rumahnya, karena ingin menanyakan secara langsung ucapan sang mama, dan berharap kabar itu bukan prank.“Bukankah kita mau ke rumahmu?” tanya Ran bingung.“Nanti, setelah kita pilih cincin pertunangan kita, Pumpkin.”Ran mendengus sebal. Panggilan ‘Pumpkin’ masih saja membuatnya kesal. Ran terkesiap saat pria di sampingnya tib
“Pilihanmu bagus.”“Kamu sudah mengatakan itu berkali-kali, bisakah kamu mengatakan hal yang lain?”Aryan terkekeh geli saat kembali berhasil memancing amarah cinta pertamanya ini. Mereka sudah melangkah ke luar toko perhiasan yang ada di salah satu mall di kota ini setelah Aryan selesai bertransaksi.“Kamu sensitif banget sih, Pumpkin.”“Aku sedang halangan, jangan sampai aku mengeluarkan semua aura hitamku saat ini!” desis Ran tak suka.“Keluarin dong, aku mau liat aura hitammu lebih banyak lagi.”“Kamu gila?”“Karena kamu.”“Tidak perlu menggombaliku! Itu tidak akan mempan!”“Iya aku tau gak akan pernah mempan gombalin kamu. Aku udah ngerasain hal itu saat kita dulu satu kelas.”Ran berdecih geli. “Saat itu kita masih sangat kecil, dan kamu sudah mencoba merayu perempuan. Jangan-jangan kamu melakuka
“Wow, followersnya tujuh juta orang?” Ran menatap takjub layar ponselnya. “Ternyata dia model dan selebgram.”Ran sibuk berselancar di dunia maya, tepatnya di salah satu aplikasi media sosial, setelah sebelumnya Ran mencari tahu lebih banyak di mesin pencarian tentang seseorang yang membuatnya penasaran.“Dan..teman wanitanya sebanyak ini? Hahaha… Dasar playboy cap cicak ekor buntung!” Ran tertawa setengah kesal, saat menemukan begitu banyak foto seseorang itu dengan banyak wanita berpakaian menggoda.Ran menghentikan jarinya menggeser layar ponsel yang dia genggam. Wanita ini menatap langit-langit ruang keluarga di rumahnya.Setelah seharian berada di rumah calon tunangannya untuk menentukan tema dekorasi acara pertunangan mereka yang akan diadakan tiga minggu lagi, Ran baru saja tiba di rumahnya setengah jam yang lalu, dan segera sibuk membuka mesin pencarian untuk menuntaskan rasa penasaran yang sejak siang ta
“Berita bagus untuk kita, karena restoran kita sudah resmi bekerja sama dengan salah satu hotel mewah di negara ini, Hotel Kusumo.”Terdengar riuh tepuk tangan pegawai restoran tempat Ran bekerja, saat Juna mengumumkan perihal kerja sama restoran mereka dengan Hotel Kusumo.“Dan, untuk satu atau dua minggu ke depan, Chef Ran akan stay di Hotel Kusumo, karena menu-menu andalan restoran ini, yang sebagian besar adalah menu yang Chef Ran buat, akan menjadi menu andalan juga di hotel itu.”Tepuk tangan kembali terdengar. Bahkan kali ini celotehan beberapa karyawan ikut meramaikan suasana briefing pagi ini sebelum mereka membuka restoran.“Wih… Chef Ran bisa ketemu sama Aryan Kusumo nih!”“Unchhh… iri ih~”“Aku gak liat pas Aryan Kusumo ke sini waktu itu. Huhuhu… nyesel kenapa hari itu aku libur!”“Aslinya ganteng banget… nget… nget! Sumpah
Ran terkejut saat ada seseorang yang menyodorkan minuman kaleng dingin ke arahnya. Wanita ini menengadahkan kepala melihat siapa yang melakukannya.Bola matanya memutar saat tahu siapa orangnya. “Sedang apa kamu di sini?”“Tentu aja kerja, Pumpkin. Kamu pikir ngapain lagi aku di hotel ini,” balas seseorang itu. Seseorang itu menarik kursi, lalu duduk di depannya.“Kamu pasti tahu bukan itu maksudku! Yang aku tanyakan, sedang apa kamu di kantin karyawan?”“Mau jenguk calon tunangan.”“Aku gak lagi sakit, Aryan Kusumo!”“Ya maksudku mau nemenin calon Nyonya Aryan Kusumo istirahat.”Semburat merah tiba-tiba saja muncul di kedua pipi Ran.“Aku sudah bilang, tidak perlu menggombaliku!”“Siapa yang mau gombal sih. Orang ngomong jujur dibilang gombal.”“Lalu apa namanya pakai bawa-bawa
“Bagus kan?”“Bagus, Tant__ ehm—Mama… maksud Ran, Mama,” ucap Ran meralat panggilannya untuk wanita paruh baya di depannya ini. Wanita ini sudah menatap Ran galak, sampai membuat Ran menciut.Sementara itu, di sebelah Ran, terdengar kekehan geli seorang pria. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Aryan. Pria ini sepertinya puas menertawakan calon tunangannya, karena bukan sekali ini saja Ran salah memanggil Kania dengan sebutan ‘Tante’.“Anak cantik harus biasain ya panggil ‘Mama’. Awas saja kalau tidak terbiasa!” ancam Kania.Aryan lagi-lagi terkekeh. Namun itu tak berlangsung lama, karena detik selanjutanya, pria ini meringis nyeri karena Ran menginjak kencang kakinya.“Barbar!” bisik Aryan tajam, yang hanya dibalas Ran wajah datar seperti biasa.“Kita beli dress kembaran ya, Sayang…” ucap Kania. Ran ingin menolak, karena sejak tadi Kania tak