Dom mengendarai jenis mobil sport yang bisa meluncur seperti peluru dan terus memacu kendaraan tersebut hingga batas maksimal. Dadanya terus berdentam-dentam untuk segera menemukan Amanda. Dom bersumpah akan membawa wanita itu kabur kemanapun asal Amanda mau memilihnya. Dia bisa mengabaikan apapun termasuk sakit hatinya ketika Amanda terus berkhianat dan tidak pernah memegang janjinya untuk setia.
Dom menemukan Amanda sedang berjongkok di tepi pagar jembatan dengan tubuhnya yang menggigil. Dom segera menepikan mobil dan menghampirinya.
"Kenapa kau di sini?"
"Aku tidak tahu."
Dom ikut turun untuk memeluk Amanda dari belakang hingga seperti gumpalan dan ikut merasakan tubuh rapuhnya yang bergetar.
YUK VOTE YA
Langit yang cerah, debur ombak, dan suara camar seolah menjadi pagi yang sempurna untuk mendapatkan seseorang masih berbaring di sampingnya setelah sepanjang malam mereka habiskan untuk saling bergelung dan berpelukan. Entah sudah berapa lama mereka tidak bisa merasakan kedamaian seperti ini. "Kau sudah bangun?" suaranya serak tapi lembut ketika pria itu baru menyapu helaian rambut di dahi Amanda yang ikut disisir angin pantai ringan. Amanda membuka kelopak matanya perlahan dan masih silau oleh cahaya yang benderang, kisi-kisi dinding kamar mereka juga sudah dibuka lebar untuk membiarkan angin masuk dan bersirkulasi dengan sempurna. Dom sedang tersenyum, senyum yang langsung mengingatkan Amanda pada pria yang telah begitu dia rindukan dalam waktu yang panjang.
Dom juga tidak tahu siapa yang akan datang, tapi bisa siapa saja dan dia jauh lebih sigap karena dirinya sedang bersama Amanda. Dia sedang bersama wanita yang akan dia jaga dengan nyawanya. Otot lengannya meregang kaku dan siaga dengan senjata api di balik pinggangnya. Dia sudah banyak belajar dari kekerasan hidup yang bisa berubah sewaktu-waktu menjadi kekejian. Dirinya masih hidup hingga detik ini juga bukan cuma karena keberuntungan. Dia hidup dari tiap goresan yang telah menjadi saksi di sekujur tubuhnya, bukan dunia yang manis tapi dia memang masih hidup sampai detik ini dan masih belum tahu apa yang kelak akan merenggut sisa napasnya. Andai Amanda mau mendengarkan peringatannya, untuk tetap diam di kamar mungkin bencana ini tidak akan perlu terjadi. Tapi segala sesuatu kadang memang bisa terjadi diluar kendali siapapun meski sering kali dimulai dari hal sepele.
Tidak ada suara kebisingan kecuali hanya suara camar dan debur ombak, tapi jika sebuah letupan peluru terlepas tanpa peredam menembus tengkorak kepala apa suaranya juga akan terdengar sampai ke pulau sebelah. Atau hanya akan ikut hilang terbawa angin sama seperti berbagai kenangan dan namanya yang akan ikut hilang tanpa ada yang mengingat atau merindukannya lagi. Sehebat apapun dirinya sudah pernah melewati berbagai ambang kematian dengan berbagai bentuk luka menganga, tapi sebenarnya Dom tidak pernah tahu hidupnya akan berakhir dengan cara bagaimana. Wanita itu masih menatap tajam dengan ujung logam dingin yang menempel di dahinya, seolah tanpa hati dan pengampunan lagi. Tapi jika memang hidupnya harus berakhir di tangan wanita yang dia cintai, Dom akan rela bila memang itu yang Amanda inginkan. Tidak akan ada yang mencari dan merindukannya lagi karena Dom juga sudah tidak memiliki siapapun yang mengharapkan hidupnya. Amanda adalah cahayanya dalam gelap, setitik warna teran
Kadang memang perlu untuk melihat dunia ini dari sisi yang lain. Tapi bagaimana otak masih bisa berpikir ketika seluruh aliran dari pembuluh darah berkumpul di kepala Amanda yang hampir meledak. Akan selalu ada beberapa sisi sudut pandang dari masing-masing pilihan. Meski ada sisi hatinya memberat tapi otaknya harus tetap berjalan karena dia tahu hal lebih besar apa yang sedang dia perjuangkan. Hari masih pagi ketika Dom melihat Amanda berdiri dengan posisi terbalik meluruskan tubuhnya di dinding kaca. Dom berjongkok di depannya untuk menunggu Amanda menyelesaikan gerakan yoganya. "Apa kau jadi ingin belajar menembak?" tanya Dom tiba-tiba. Amanda segera menurunkan kakinya yang lentur untuk kembali menyentuh lantai dan berdiri normal. "Ya."
SEMBILAN TAHUN YANG LALU Amanda dan Ardi baru melewatkan libur akhir pekan di fila milik keluarga Ardi di kawasan puncak. Karena Amanda yang selalu ribut dengan berbagai pernak-pernik bawaannya yang tidak penting, akhirnya mereka pulang kemalaman setelah kelamaan menunggu Amanda berkemas. Sebenarnya mereka sudah mulai memasuki kawasan pinggiran kota ketika tiba-tiba dihadang oleh gerombolan geng motor yang sepertinya juga baru membuat huru-haran. Amanda sangat ketakutan hingga wajahnya memucat. Anak-anak muda urakan itu juga membawa berbagai senjata mulai gear motor yang mereka ayunkan berputar-putar dengan tali, belati dan bahkan samurai. Mereka menghentikan mobil Ardi dengan barisan motor yang berjejer di tengah jalan. Ardi terpaksa menghentikan mobilnya dengan kondisi lampu depan yang juga masih menyala jadi Amanda bisa melihat jel
Ardi sudah menunggu di depan kelas Amanda karena biasnya memang Ardi yang mengantar jemput Amanda ke sekolah."Hari ini aku mau jalan dulu sama teman-teman," bohong Amanda yang juga lupa memberi tahu Ardi karena keasikan membalas chat dengan Evan selama jam istirahat tadi."Kalian mau kemana?" heran Ardi."Cuma ke salon," alasan paling manjur karena Ardi alergi dengan kata salon."Oke." Ardi segera pergi setelah berpamitan pada teman-teman cowoknya yang tadi juga ikut nongkrong di depan kelas."Jadi Ardi tidak tahu kau berselingkuh?" tanya Vivi yang berjalan di samping Amanda."Aku dan Ardi saudara kembar bukan pasangan suami istri," tepis Amanda tiap kali teman-temannya mulai menganggap mereka pasangan kekasih sejak lahir hingga akhir jaman."Ya, kembar siam kemana-mana berdua," sahut teman wanita Amanda yang lain."Eh, tapi apa beneran kalian belum pernah nempel?" Vivi malah makin membumbui becandaan mereka dengan gerakan tangannya yang menepuk-nepuk lengan untuk menimbulkan suara."
Setelah ciuman Amanda besama Evan di jembatan waktu itu sekarang Amanda sudah tidak perlu diminta atau disuruh lagi untuk memeluk pinggang Evan yang juga semakin rajin mencium gadisnya. Evan adalah pemuda dua puluh empat tahun, sudah tahu dengan apa yang harus dia lakukan terhadap wanita, meskipun Amanda masih terlalu muda untuk dia ajak bercumbu.Amanda semakin sering pergi diam-diam bersama Evan, diajak nongkrong bersama teman-temanya yang mayoritas laki-laki dan memiliki gaya pergaulan yang keras. Amanda juga tidak pernah terlihat keberatan untuk membaur dengan mereka meskipun gadis itu sebenarnya tidak cocok sama sekali untuk sekedar Evan ajak duduk di atas motor."Mereka menyenangkan," kata Amanda ketika Evan membawanya pulang. Amanda memeluk pinggang pemuda itu erat-erat dan menyandarkan pipi ke punggungnya hingga tubuh mereka saling merekat.Selama ini orang-orang memang cuma selalu melihat sisi negatif dari pergaulan anak jalanan tapi setelah mengenal mereka sebenarnya juga ti
"Bagaimana kau tahu dia setia?" tanya Ardi yang sedang menyetir dan melihat Amanda masih sibuk menulis pesan karena kebetulan kekasihnya sedang dapat sinyal. "Dia sudah berjanji padaku." Amanda juga sudah bercerita pada Ardi jika mereka telah jadian. Ardi berusaha menanggapinya dengan santai karena dia pikir Amanda akan segera bosan dengan hubungan LDR yang susah sinyal macam itu, Ardi sangat mengenal sifat Amanda yang labil. Tapi ternyata Ardi salah, setelah hampir dua bulan tanpa kabar Amanda benar-benar masih bersikeras untuk setia pada Evan. Ardi tahu Amanda masih belum pernah dekat dengan siapapun sebelumnya karena selama ini Amanda hanya selalu bersamanya. Biarpun kelihatan pemberani, Amanda adalah gadis yang masih sangat naif dan polos, kombinasi yang bisa meletakkannya dalam bahaya jika bertemu dengan pria brengsek. "Minggu depan Evan akan pulang." Amanda tersenyum bahagia ketika menoleh pada Ardi dan kembali membalas pesannya. Dada Amanda sud