Danurwenda berjungkir balik satu kali ke depan lalu balik badan.
Tepp!
Tepp!
Dua tangannya berhasil menjepit dua anak panah kecil, tetapi ternyata yang datang bukan hanya itu. Puluhan senjata lainnya melesat menyerbu Danurwenda.
Kontan saja Danurwenda tolakkan dua kaki ke tanah sehingga tubuhnya melenting ke atas sambil berputar. Segelombang angin menghempas dari badan si pemuda.
Werrrr!
Puluhan anak panah kecil berpentalan ke segala arah karena tidak mampu menembus gelombang angin yang merupakan pertahanan pelindung Danurwenda.
Danurwenda sudah mendarat dengan selamat, tatapannya begitu awas mencari si penyerang yang tidak menampakkan diri.
"Gelo, tidak ada orangnya!"
Kalau dilihat dari senjata tadi, sudah pasti si penyerang ini masih satu komplotan dengan orang bertopeng tadi.
"Hei, tunjukan wujudmu atau kau makhluk yang tak punya wujud?"
Beberapa saat Danurwenda menunggu serangan susulan, tapi tidak datang lagi setelah menunggu lama. Akhirnya si pemuda segera mengurus jasad si penunggang kuda yang bernama Janitra ini.
Dengan sebuah pukulan tenaga dalam, Danurwenda bisa membuat lubang besar di tanah. Lalu dia menguburkan Janitra di lubang tersebut.
Beberapa lama kemudian Danurwenda sudah melangkahkan kaki ke arah barat. Dia tetap waspada, siapa tahu si penyerang masih mengawasinya.
Danurwenda hendak ke Karang Kamulyan, kota raja baru dari kerajaan yang juga baru berdiri yaitu Galuh.
Sebelumnya masih bernama Kendan dan ibu kota atau kota rajanya tidak di sana. Namun, sejak Rahyang Wretikandayun menjadi Putra Mahkota, dia mulai membangun kota raja baru di Karang Kamulyan.
Akhirnya ketika Rahyang Wretikandayun naik tahta, pusat pemerintahan langsung dipindahkan ke Karang Kamulyan. Namun, belum sepenuhnya beres. Masih ada yang belum dibenahi.
Untuk itu di beberapa tempat di pinggiran wilayah Karang Kamulyan ditugaskan beberapa senapati untuk menjaga keamanan walaupun kemungkinan ada gangguan sangatlah kecil.
Salah satu senapati yang ditugaskan adalah Senapati Mandura yang namanya disebut Janitra sebelum meninggal tadi. Kepada senapati itulah Danurwenda harus menyampaikan amanat.
Semula Danurwenda ingin menggunakan kuda tunggangan yang dipakai Janitra, tetapi hewan itu sudah terluka oleh senjata anak panah kecil.
Untungnya tempat bertugas Senapati Mandura berada di batas kota sebelah timur, jadi tidak memerlukan perjalanan jauh.
"Ada yang tidak ingin benda ini sampai ke tangan senapati!" batin Danurwenda sambil meraba ikat pinggangnya.
"Benda ini pasti sangat penting. Aku hanya ketitipan, tidak boleh membuka isinya kecuali kalau sudah mendesak. Sesuai permintaannya harus menyerahkan langsung kepada senapati!"
Meski penasaran apa isi benda yang dititipkan Janitra, tetapi Danurwenda tidak mau berlaku lancang. Isinya pasti berurusan dengan kerajaan. Dia hanya bertugas menyampaikan saja.
***
Perbatasan kota sebelah timur letaknya di kaki sebuah gunung. Di sini Senapati Mandura ditugaskan. Terdapat sebuah rumah tinggal sementara untuk sang senapati. Sedangkan untuk prajurit di bawah pimpinannya tinggal di dalam barak.
Senapati Mandura seorang lelaki yang sudah berumur lima puluhan tahun. Sosoknya masih tampak gagah. Dia sudah mengabdi sejak kerajaan masih bernama Kendan dan belum pindah ibukotanya.
Di tempat tugas ini sang senapati didampingi beberapa bekel. Salah satunya adalah putra sulungnya sendiri yang bernama Sutasena yang baru berumur dua puluh lima tahun, tapi sudah mencapai pangkat bekel.
Tempat tugas sementara ini layaknya sebuah kediaman dilingkari oleh pagar pembatas terbuat dari batangan kayu kecil. Di depan gerbang atau pintu masuk tampak empat prajurit yang sedang kebagian tugas jaga.
"Lihat, ada seseorang yang hendak ke sini!" tunjuk salah satu prajurit.
"Masih muda, aku kira umurnya baru dua puluh dua tahun," ujar prajurit ke dua.
"Tapi dia cukup gagah dan tampan," sambung prajurit ke tiga.
"Sepertinya dia seorang pendekar kalau dilihat dari cara berpakaiannya." Prajurit yang pertama tadi berpendapat.
"Tapi terlalu rapi dan bersih. Biasanya seorang pendekar kurang memperhatikan penampilan!" Prajurit yang ke empat menanggapi.
"Benar juga, dia tidak membawa senjata yang menjadi ciri khas pendekar." Prajurit ke dua setuju pendapat prajurit ke empat.
"Kita lihat saja dia mau apa ke sini," kata prajurit ke tiga.
Sementara pemuda yang sedang mereka bicarakan sudah mendekat. Pemuda itu tidak lain adalah Danurwenda.
"Sampurasun!" Danurwenda memberi salam sambil menjura tanda hormat.
"Rampes, siapa kau dan mau apa?" tanya prajurit jaga ke empat.
"Saya Danurwenda, hendak bertemu dengan Gusti Senapati Mandura,"
"Ada keperluan apa? Kami mewakili Gusti Senapati, kau bisa menyampaikan saja kepada kami!" tanya penjaga yang ke tiga.
"Maaf, saya mendapat amanat dari seseorang yang bernama Janitra untuk menyampaikan langsung kepada Gusti Senapati," sanggah Danurwenda.
"Maksudmu Bekel Janitra?"selidik penjaga tadi.
"Mungkin begitu, sebab dia hanya menyebut namanya saja." Karena Danurwenda tidak mengerti tentang kepangkatan dalam prajurit.
"Di mana dia?" tanya prajurit pertama penasaran.
Sebagai pendekar jujur maka Danurwenda menceritakan kejadiannya secara rinci tanpa ada yang dikurangi.
Keempat prajurit jaga ini terkejut dan menyimpulkan bahwa Danurwenda memang seorang pendekar muda.
Lalu dari arah dalam datang seseorang. Dari tanda keprajuritannya, orang ini lebih tinggi pangkatnya dari empat penjaga.
"Rupanya pendekar muda Danurwenda yang singgah kemari!" ujar prajurit yang baru datang mengenali Danurwenda.
"Oh, Danurwenda!" gumam yang lain.
"Tuan ini siapa?" tanya Danurwenda.
"Beliau Bekel Sutasena putra Gusti Senapati Mandura!" Salah seorang menjelaskan.
Danurwenda segera menjura. Sementara salah seorang penjaga menjelaskan maksud kedatangan Danurwenda.
"Kalau begitu ikut aku, silakan!"
Sutasena langsung membawa Danurwenda ke rumah tinggal sang senapati yang letaknya di tengah-tengah.
Sampai di depan pintu, Sutasena mempersilakan Danurwenda masuk sendirian sesuai permintaannya yang ingin bertemu Senapati Mandura empat mata saja.
Ketika hendak masuk, sudut mata Danurwenda melihat sesuatu yang berkelebat di atas wuwungan. Sangat cepat sehingga tidak bisa melihat dengan jelas.
Si pemuda tingkatkan waspada, siapa tahu saja dia si penyerang yang menggunakan senjata anak panah kecil.
Begitu di dalam Danurwenda langsung memberi hormat kepada lelaki setengah baya dengan pakaian khas prajurit berpangkat tinggi.
Sang senapati baru saja meneguk minuman dalam gelas bambu. Dia melambaikan tangan satunya sebagai tanda menerima hormat.
"Saya...." Suara Danurwenda terputus.
Tiba-tiba saja terdengar suara aneh mirip suara serangga malam di tengah hutan cukup santar.
Lebih mengejutkan lagi Senapati Mandura tiba-tiba menjerit kesakitan sambil memegang kepalanya. Wajahnya tampak memerah.
"Gusti Senapati, apa yang terjadi?" Danurwenda panik. Dia hendak memegang senapati, tetapi terasa hawa panas menyengat di udara yang membungkus tubuh sang senapati.
Danurwenda mundur beberapa tindak. Senapati Mandura roboh dengan muka gosong dan nyawanya lepas begitu saja. Setelah itu suara aneh mirip serangga hilang.
Dari luar, Sutasena yang mendengar suara jeritan ayahnya langsung menghambur masuk.
"Ayah!" teriak Sutasena tampak bergidik melihat kondisi ayahnya, lalu menuding ke arah Danurwenda. "Kau pembunuh!"
"Tidak, bukan aku!" Danurwenda mencoba tenang. Dia merasa telah dijebak.
Dia curiga pada suara mirip serangga tadi yang terdengar dari atas atap.
"Di dalam sini hanya ada kau. Kalau bukan kamu, siapa lagi pembunuhnya?"
"Tapi buk--"
"Prajurit, tangkap pembunuh ini!"
Tubuh senapati terlempar lalu ambruk. Dadanya terasa sangat sesak bagai dihimpit batu raksasa. Tenaga dalamnya seketika buyar, malah ada yang menghantam diri sendiri.Akibatnya tubuh sang Senapati tak bisa digerakkan lagi seperti lumpuh. Selain sesak, di bagian dalamnya terasa remuk dan panas menyengat.Pada saat itulah Sang Prabu keluar, meloncat dan langsung mendarat di depan senapati yang tergeletak tak berdaya."Kau ditangkap karena merencanakan tindakan makar!" seru Sang Raja.Para prajurit langsung terdiam begitu tahu siapa yang muncul."Jika kalian masih membela dia, maka kalian dianggap pembangkang!" teriak Sang Raja.Semua prajurit tidak ada yang berani bergerak. Sementara sang senapati sudah kehilangan harapan. Dia sangat dendam kepada Danurwenda, tetapi apa daya sekarang dia hanya manusia biasa tanpa kekuatan.Kemudian Sang Raja memerintahkan agak senapati ditangkap dan dibawa ke istana.Pagi-pagi buta di istana Nunuk. Danurwenda diundang ke kamarnya Nila Saroya. Kamar yang
Sang Prabu membuat gerakan mendorong dengan satu tangan ke arah mulut gua. Sekelebat angin lembut menderu membelah air sungai sehingga membentuk sebuah jalan."Mari!" ajak Sang Raja.Danurwenda dan Nila Saroya mengikuti Sang Raja melangkah di jalan air yang terbentuk secara ajaib ini sampai berada di sisi sungai sebelah barat. Setelah itu jalan air ini menutup kembali.Ternyata di luar sudah hampir gelap. Sang Raja yang mengenakan pakaian resi terus berjalan ke tengah hutan di dekat hulu sungai itu.Sampai di suatu tempat yang agak lapang, Sang Prabu berhenti lalu kedua tangannya bertepuk pelan. Tiba-tiba dari kegelapan muncul sebuah kereta kuda tanpa kusir dan berhenti di depan Sang Raja."Silakan naik," kata Sang Raja.Danurwenda langsung menjura. "Silakan Gusti Prabu dan Tuan Putri yang naik duluan, biar saya yang menjadi kusir!"Sang Raja tersenyum lalu naik ke kereta diikuti Nila Saroya yang agak ragu-ragu. Kereta kuda pun berangkat setelah Danurwenda duduk di tempat kusir dan me
Nila Saroya ingat kemarin hampir menikah dengan lelaki yang tak dicintainya. Sekarang setelah bersama Danurwenda dia lupa kalau sudah punya kekasih yang sangat dicintainya. Entah bagaimana kabar sang kekasih saat ini setelah ada kabar tentang ayahnya ini."Kau mau di bawah atau di atas?" Pertanyaan Danurwenda membuyarkan lamunan dan mengejutkannya."Ap- apa?""Kau mau tidur di mana, di atas dipan atau di lantai?" ulang Danurwenda."Kau di mana?" Nila Saroya balik tanya."Terserah kamu yang duluan, atau mau bareng-bareng saja di atas?" Danurwenda lemparkan kerlingan mata yang memikat.Dari awal dia tahu sifat gadis ini pendiam dan pemalu, tapi dia tahu apa yang dirasakan di dalam hati Nila Saroya."Ap-, tid-, eh. Aku di sini saja!" Nila Saroya segera naik ke atas dipan. Dia tak bisa menyembunyikan kegugupannya.Kemudian Nila Saroya berbaring membelakangi Danurwenda. Cukup lama keduanya saling diam. Akhirnya Danurwenda merebahkan diri di sebelah Nila Saroya.Nila Saroya kaget ketika mer
"Ayo lari!"Danurwenda membawa dua orang yang jadi buruan ini masuk ke bukit, menyelinap ke balik bebatuan besar sehingga dalam waktu singkat jejak mereka hilang."Siapa yang melarikan mereka?" tanya si pemimpin di atas kuda setelah sampai di sana."Danurwenda!""Pendekar yang jadi kepercayaan istana Galuh itu?""Benar, Ketua!"Si pemimpin langsung maklum kenapa lima anak buahnya ini tidak menyerang."Cari terus, biar aku yang menghadapi Danurwenda!" perintah si pemimpin.Sementara itu Danurwenda sudah menyelinap ke tempat yang sulit di jangkau. Dengan kepiawaiannya dia bisa membawa dua orang yang sedang dilindunginya.Akhirnya mereka sampai ke sebuah gua kecil tersembunyi di lereng bukit. Lelaki setengah baya itu tergopoh-gopoh sambil mengatur napasnya.Sementara si gadis yang tidak lain Tuan Putri bernama Nila Saroya sudah duduk menyandar ke dinding gua."Terima kasih, Anak muda!" ujar lelaki setengah baya. Danurwenda hanya mengangguk pelan dengan tersenyum."Ki Narya, sebenarnya si
Di sebuah desa di wilayah kekuasaan Kerajaan Nunuk. Di dalam kamar sebuah rumah besar, tampak seorang gadis cantik sedang merenung menyendiri."Ini hari pernikahan Tuan Putri, kenapa masih menyendiri di sini, tukas rias sudah menunggu di kamar Tuan Putri!" kata seorang gadis lain yang merupakan pembantu di rumah ini."Aku tidak mau dijodohkan dengan dia, orangnya jelek, perangainya buruk lagi. Terus kenapa ayah belum juga pulang dari istana. Semakin kesal saja, aku mau kabur saja!""Heh, jangan, Tuan Putri!"Gadis yang dipanggil Tuan Putri ini tiba-tiba berbinar matanya begitu melihat sosok pembantunya. Bentuk tubuh dia dengan pembantunya ini hampir mirip, hanya wajah saja yang berbeda.Lalu si Tuan Putri ini tiba-tiba menarik si pembantu keluar menuju kamarnya yang sudah ada beberapa orang tukang rias. Dia ingat semua tukang rias tidak ada yang mengenali dirinya."Ini Tuan Putri yang akan dirias!" kata Si Tuan Putri sambil mendorong pembantunya. Si pembantu tampak bingung."Sudah, ik
Setelah ada pesta menyambut kemenangan atas bebasnya desa Cipeundeuy dari penindasan Raksana dan Gumara.Delapan orang pemanah diangkat menjadi kelompok keamanan desa. Beberapa orang sesepuh juga diminta untuk menjadi pejabat pengurus desa.Suasana di rumah itu sudah sepi. Tinggal Danurwenda bersama gadis berkulit hitam manis itu. Setelah diperhatikan, Kinasih cantik juga.Tubuh gadisnya sudah matang sehingga membentuk lekuk yang membuat para lelaki menelan ludah."Setelah tahu siapa kamu, aku tidak bisa menahanmu pergi!" ujar Kinasih sambil menatap tajam penuh arti. Bola mata gadis ini seakan ingin meloncat menembus kedua mata si pemuda."Padahal aku ingin kau lebih lama di sini, bahkan tetap tinggal di sini!" Lanjut si gadis mengharap."Mungkin lain kali, aku akan tinggal lebih lama. Apalagi bersama gadis secantik kamu!""Jangan mudah berjanji!" Kinasih tersipu. "Mungkin kau akan lupa, apalagi di kota raja banyak gadis-gadis cantik!"Danurwenda menatap gadis itu lekat. Tidak dapat d