Share

2. Dijebak

Danurwenda berjungkir balik satu kali ke depan lalu balik badan.

Tepp!

Tepp!

Dua tangannya berhasil menjepit dua anak panah kecil, tetapi ternyata yang datang bukan hanya itu. Puluhan senjata lainnya melesat menyerbu Danurwenda.

Kontan saja Danurwenda tolakkan dua kaki ke tanah sehingga tubuhnya melenting ke atas sambil berputar. Segelombang angin menghempas dari badan si pemuda.

Werrrr!

Puluhan anak panah kecil berpentalan ke segala arah karena tidak mampu menembus gelombang angin yang merupakan pertahanan pelindung Danurwenda.

Danurwenda sudah mendarat dengan selamat, tatapannya begitu awas mencari si penyerang yang tidak menampakkan diri.

"Gelo, tidak ada orangnya!"

Kalau dilihat dari senjata tadi, sudah pasti si penyerang ini masih satu komplotan dengan orang bertopeng tadi.

"Hei, tunjukan wujudmu atau kau makhluk yang tak punya wujud?"

Beberapa saat Danurwenda menunggu serangan susulan, tapi tidak datang lagi setelah menunggu lama. Akhirnya si pemuda segera mengurus jasad si penunggang kuda yang bernama Janitra ini.

Dengan sebuah pukulan tenaga dalam, Danurwenda bisa membuat lubang besar di tanah. Lalu dia menguburkan Janitra di lubang tersebut.

Beberapa lama kemudian Danurwenda sudah melangkahkan kaki ke arah barat. Dia tetap waspada, siapa tahu si penyerang masih mengawasinya.

Danurwenda hendak ke Karang Kamulyan, kota raja baru dari kerajaan yang juga baru berdiri yaitu Galuh.

Sebelumnya masih bernama Kendan dan ibu kota atau kota rajanya tidak di sana. Namun, sejak Rahyang Wretikandayun menjadi Putra Mahkota, dia mulai membangun kota raja baru di Karang Kamulyan.

Akhirnya ketika Rahyang Wretikandayun naik tahta, pusat pemerintahan langsung dipindahkan ke Karang Kamulyan. Namun, belum sepenuhnya beres. Masih ada yang belum dibenahi.

Untuk itu di beberapa tempat di pinggiran wilayah Karang Kamulyan ditugaskan beberapa senapati untuk menjaga keamanan walaupun kemungkinan ada gangguan sangatlah kecil.

Salah satu senapati yang ditugaskan adalah Senapati Mandura yang namanya disebut Janitra sebelum meninggal tadi. Kepada senapati itulah Danurwenda harus menyampaikan amanat.

Semula Danurwenda ingin menggunakan kuda tunggangan yang dipakai Janitra, tetapi hewan itu sudah terluka oleh senjata anak panah kecil.

Untungnya tempat bertugas Senapati Mandura berada di batas kota sebelah timur, jadi tidak memerlukan perjalanan jauh.

"Ada yang tidak ingin benda ini sampai ke tangan senapati!" batin Danurwenda sambil meraba ikat pinggangnya.

"Benda ini pasti sangat penting. Aku hanya ketitipan, tidak boleh membuka isinya kecuali kalau sudah mendesak. Sesuai permintaannya harus menyerahkan langsung kepada senapati!"

Meski penasaran apa isi benda yang dititipkan Janitra, tetapi Danurwenda tidak mau berlaku lancang. Isinya pasti berurusan dengan kerajaan. Dia hanya bertugas menyampaikan saja.

***

Perbatasan kota sebelah timur letaknya di kaki sebuah gunung. Di sini Senapati Mandura ditugaskan. Terdapat sebuah rumah tinggal sementara untuk sang senapati. Sedangkan untuk prajurit di bawah pimpinannya tinggal di dalam barak.

Senapati Mandura seorang lelaki yang sudah berumur lima puluhan tahun. Sosoknya masih tampak gagah. Dia sudah mengabdi sejak kerajaan masih bernama Kendan dan belum pindah ibukotanya.

Di tempat tugas ini sang senapati didampingi beberapa bekel. Salah satunya adalah putra sulungnya sendiri yang bernama Sutasena yang baru berumur dua puluh lima tahun, tapi sudah mencapai pangkat bekel.

Tempat tugas sementara ini layaknya sebuah kediaman dilingkari oleh pagar pembatas terbuat dari batangan kayu kecil. Di depan gerbang atau pintu masuk tampak empat prajurit yang sedang kebagian tugas jaga.

"Lihat, ada seseorang yang hendak ke sini!" tunjuk salah satu prajurit.

"Masih muda, aku kira umurnya baru dua puluh dua tahun," ujar prajurit ke dua.

"Tapi dia cukup gagah dan tampan," sambung prajurit ke tiga.

"Sepertinya dia seorang pendekar kalau dilihat dari cara berpakaiannya." Prajurit yang pertama tadi berpendapat.

"Tapi terlalu rapi dan bersih. Biasanya seorang pendekar kurang memperhatikan penampilan!" Prajurit yang ke empat menanggapi.

"Benar juga, dia tidak membawa senjata yang menjadi ciri khas pendekar." Prajurit ke dua setuju pendapat prajurit ke empat.

"Kita lihat saja dia mau apa ke sini," kata prajurit ke tiga.

Sementara pemuda yang sedang mereka bicarakan sudah mendekat. Pemuda itu tidak lain adalah Danurwenda.

"Sampurasun!" Danurwenda memberi salam sambil menjura tanda hormat.

"Rampes, siapa kau dan mau apa?" tanya prajurit jaga ke empat.

"Saya Danurwenda, hendak bertemu dengan Gusti Senapati Mandura,"

"Ada keperluan apa? Kami mewakili Gusti Senapati, kau bisa menyampaikan saja kepada kami!" tanya penjaga yang ke tiga.

"Maaf, saya mendapat amanat dari seseorang yang bernama Janitra untuk menyampaikan langsung kepada Gusti Senapati," sanggah Danurwenda.

"Maksudmu Bekel Janitra?"selidik penjaga tadi.

"Mungkin begitu, sebab dia hanya menyebut namanya saja." Karena Danurwenda tidak mengerti tentang kepangkatan dalam prajurit.

"Di mana dia?" tanya prajurit pertama penasaran.

Sebagai pendekar jujur maka Danurwenda menceritakan kejadiannya secara rinci tanpa ada yang dikurangi.

Keempat prajurit jaga ini terkejut dan menyimpulkan bahwa Danurwenda memang seorang pendekar muda.

Lalu dari arah dalam datang seseorang. Dari tanda keprajuritannya, orang ini lebih tinggi pangkatnya dari empat penjaga.

"Rupanya pendekar muda Danurwenda yang singgah kemari!" ujar prajurit yang baru datang mengenali Danurwenda.

"Oh, Danurwenda!" gumam yang lain.

"Tuan ini siapa?" tanya Danurwenda.

"Beliau Bekel Sutasena putra Gusti Senapati Mandura!" Salah seorang menjelaskan.

Danurwenda segera menjura. Sementara salah seorang penjaga menjelaskan maksud kedatangan Danurwenda.

"Kalau begitu ikut aku, silakan!"

Sutasena langsung membawa Danurwenda ke rumah tinggal sang senapati yang letaknya di tengah-tengah.

Sampai di depan pintu, Sutasena mempersilakan Danurwenda masuk sendirian sesuai permintaannya yang ingin bertemu Senapati Mandura empat mata saja.

Ketika hendak masuk, sudut mata Danurwenda melihat sesuatu yang berkelebat di atas wuwungan. Sangat cepat sehingga tidak bisa melihat dengan jelas.

Si pemuda tingkatkan waspada, siapa tahu saja dia si penyerang yang menggunakan senjata anak panah kecil.

Begitu di dalam Danurwenda langsung memberi hormat kepada lelaki setengah baya dengan pakaian khas prajurit berpangkat tinggi.

Sang senapati baru saja meneguk minuman dalam gelas bambu. Dia melambaikan tangan satunya sebagai tanda menerima hormat.

"Saya...." Suara Danurwenda terputus.

Tiba-tiba saja terdengar suara aneh mirip suara serangga malam di tengah hutan cukup santar.

Lebih mengejutkan lagi Senapati Mandura tiba-tiba menjerit kesakitan sambil memegang kepalanya. Wajahnya tampak memerah.

"Gusti Senapati, apa yang terjadi?" Danurwenda panik. Dia hendak memegang senapati, tetapi terasa hawa panas menyengat di udara yang membungkus tubuh sang senapati.

Danurwenda mundur beberapa tindak. Senapati Mandura roboh dengan muka gosong dan nyawanya lepas begitu saja. Setelah itu suara aneh mirip serangga hilang.

Dari luar, Sutasena yang mendengar suara jeritan ayahnya langsung menghambur masuk.

"Ayah!" teriak Sutasena tampak bergidik melihat kondisi ayahnya, lalu menuding ke arah Danurwenda. "Kau pembunuh!"

"Tidak, bukan aku!" Danurwenda mencoba tenang. Dia merasa telah dijebak.

Dia curiga pada suara mirip serangga tadi yang terdengar dari atas atap.

"Di dalam sini hanya ada kau. Kalau bukan kamu, siapa lagi pembunuhnya?"

"Tapi buk--"

"Prajurit, tangkap pembunuh ini!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Juna Edi
cerita seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status