Share

6. Pukulan Awan Seribu

Serentak puluhan prajurit langsung mengepung ke sekeliling bangunan, tetapi sayang sosok Danurwenda sudah lenyap di kegelapan malam.

"Kurang ajar, dia lagi!" bentak Sutasena menyesali tidak bisa menangkap Danurwenda. "Segera edarkan kabar bahwa Danurwenda telah menculik putri senapati, sebagian yang lain tetap cari dia, mungkin saja masih sembunyi di sekitar sini!"

"Baik!"

Karena Sutasena anaknya Senapati Mandura, maka untuk sementara dia menggantikan posisi ayahnya sampai turun senapati baru.

Sementara itu, Danurwenda langsung membawa jauh Prabarini ke tempat yang tersembunyi. Walaupun gelap, tetapi Danurwenda mampu melihat dengan mengerahkan tenaga dalam ke bagian mata.

Untuk kedua kalinya Prabarini merasakan digendong yang menurutnya ada sensasi seperti terbang saat Danurwenda melesat menggunakan Ilmu Hampang Awak.

Setelah dirasa cukup aman, akhirnya Danurwenda mendarat dengan mantap. Prabarini masih keenakan dalam gendongan si pemuda sampai Danurwenda menurunkannya dengan pelan.

"Sudah aman," ujar Danurwenda.

"Gelap sekali di sini, aku tidak bisa melihat apapun," kata Prabarini.

"Nanti aku buat perapian. Sekarang, sampai urusan ini selesai kau harus tetap bersamaku."

Dalam waktu singkat Danurwenda sudah mengumpulkan ranting-ranting kering. Lalu dengan teknik mengubah tenaga dalam menjadi api, dia membakar ranting-ranting tersebut sehingga tempat itu menjadi terang. Kedua orang ini sudah duduk di dekat perapian.

"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Prabarini.

"Menemui Ki Candala, seorang ahli racun. Aku akan menanyakan darah ayahmu ini apakah mengandung racun atau tidak?"

"Baiklah, aku ikut rencanamu saja,"

"Kamu tenang saja, soal makan atau ganti baju biar aku yang tanggung. Biar begini juga aku bukan pendekar melarat!" Danurwenda menggerak-gerakkan kedua alisnya dan bibirnya sedikit melengkung.

"Tidak apa-apa, aku juga masih membawa bekal beberapa kepeng emas."

Prabarini menggeser duduknya hingga menempel dengan Danurwenda. Si pemuda sempat tersirap darahnya merasakan kulit hangat dan lembut.

"Api ini masih kurang hangat," ujar Prabarini, "aku ingin istirahat sambil bersandar di bahumu, boleh, kan?"

"Bo- boleh!"

Tetap saja Danurwenda gugup. Urusan kependekaran dengan urusan wanita sangat berbeda. Dia bisa tegas, keras atau kasar dalam menghadapi lawan, tetapi urusan wanita tidak seperti itu dan dia belum pengalaman.

Akhirnya dengan hati deg-degan Danurwenda membiarkan kepala Prabarini bersandar di bahunya sampai gadis ini terlelap.

Esok harinya di waktu 'Balebat' (subuh) kedua orang ini sudah siap berangkat. Danurwenda belum sempat pejamkan mata karena menahan perasaannya, tetapi hal ini sudah biasa baginya. Seorang pendekar sering 'lelaku' melek demi mendapatkan sebuah ilmu.

"Di mana tempat tinggal Ki Candala?" tanya Prabarini.

"Lumayan jauh di sebelah timur sana, di bukit Grongngong,"

Perjalanan mereka tentu saja tidak melalui jalan umum atau ramai, karena sudah tersiar kabar Danurwenda menculik putri senapati.

Ketika melewati sebuah pasar kecil, selain membeli makanan untuk bekal, mereka juga membeli caping agak lebar yang bisa menghalangi muka ketika dipakai.

Mereka juga membeli seekor kuda untuk tunggangan berdua agar lebih cepat sampai ke tempat tujuan.

Namun, belum setengah jalan mereka sudah mendapat hambatan.

"Mereka lagi, berapa banyak jumlah mereka? Sepertinya selalu mengikuti ke mana kita pergi!" umpat Danurwenda.

Kira-kira ada sebelas orang bertopeng kayu yang bentuknya mirip dengan orang-orang bertopeng kemarin. Sudah pasti mereka masih satu komplotan dengan yang terus mengincar Danurwenda atau Prabarini.

"Kau pergi duluan, biar aku atasi mereka!" Danurwenda kemudian menepuk pinggang kuda bersamaan dengan sosoknya melenting ke udara.

Kuda yang membawa Prabarini langsung lari menerobos barisan orang bertopeng. Beberapa di antara mereka hendak menghentikannya dengan segala cara. Namun, Danurwenda tidak membiarkannya. Di atas udara dia lepaskan pukulan jarak jauh dari ilmunya yang lain.

"Awas kalian!" teriak si pemuda.

Wushh!

Dia menggunakan Ilmu Pukulan Awan Seribu. Dari kedua tangannya melesat puluhan gumpalan putih kecil sekali pukul, bentuknya seperti awan.

Dess! Dess! Dess!

Gumpalan putih ini menghantam beberapa orang yang hendak menghambat lari kuda sampai terjengkang kembali ke belakang.

Prabarini selamat, Danurwenda sudah menukik ke bawah sambil kembali memukulkan kedua tangan di udara.

Wushh! Wushh!

Plak! Plak! Plak!

Belasan orang bertopeng kerepotan dihujani benda mirip awan putih berukuran segenggaman tangan ini. Soalnya benda ini begitu keras bagai batu.

Begitu mendarat, Danurwenda berlari ke depan sambil terus mengeluarkan ilmunya ini.

"Sial! Ilmunya selalu tak terduga!" rutuk salah seorang bertopeng.

"Hahaha... rasakan!" seru Danurwenda.

Orang-orang bertopeng dibuat tak berkutik, mereka memilih menjauh ketika Danurwenda mendekat.

Kali ini Danurwenda tidak memberikan serangan yang sampai membikin cacat, dia hanya memukul mundur lawan saja.

Setelah terbuka jalan, segera dia melesat dengan Ilmu Hampang Awak meninggalkan mereka karena ada yang lebih penting untuk segera dilakukan.

Prabarini terkejut tahu-tahu Danurwenda sudah duduk di belakangnya.

"Kau baik-baik saja?" tanya Danurwenda.

"Tadi aku panik karena tidak bisa mengendalikan kuda ini, lalu aku mencoba tenang membiarkan saja dia lari ke mana. Untungnya kau cepat datang."

"Baiklah, ayo kita lanjutkan!"

Jika dengan berjalan kaki membutuhkan waktu hingga tiga hari, maka dengan berkuda hanya membutuhkan satu hari lebih sedikit saja.

Bukit Grongngong tampak sepi karena jauh dari pemukiman warga. Danurwenda memacu kuda menaiki jalan kecil ke lereng bukit.

Saat itu hari sudah gelap, si kuda tidak bisa lagi berjalan di kegelapan. Akhirnya mereka berhenti lalu menambatkan kuda ke sebuah pohon.

"Mau digendong lagi?" tawar Danurwenda.

Si gadis tersenyum manja dengan tatapan penuh arti. Danurwenda langsung menggendongnya lagi, lalu melesat membelah gelapnya malam menuju lereng bukit.

Belum juga sampai ke sana, dari kejauhan sudah terdengar ribut-ribut seperti suara perkelahian.

"Ada apa, kenapa berhenti di sini?" tanya Prabarini yang pendengarannya tidak setajam telinga Danurwenda.

"Ada sesuatu yang terjadi di sana!"

Danurwenda menggandeng tangan Prabarini, lalu melangkah mendekati tempat kejadian.

Di lereng bukit tanahnya sebagian ada yang mendatar terdapat sebuah rumah yang diterangi beberapa obor di setiap sudutnya.

Di halaman rumah itu tengah terjadi pertarungan beberapa orang bertopeng melawan beberapa laki-laki setengah baya.

"Mereka lagi!" dengus Danurwenda.

Tanpa pikir panjang, pemuda ini langsung berkelebat ke arena pertarungan seraya mengirimkan pukulan jarak jauh dari Ilmu Pukulan Awan Seribu.

"Enyahlah kalian!" teriak Danurwenda.

Wushh! Wushh!

Dess! Dess!

Hujan awan kecil seketika membuat sekelompok orang bertopeng kayu ini kocar-kacir.

"Kurang ajar! Dia datang disaat yang tepat!" maki salah satu orang bertopeng.

Mereka mencoba terus bertahan dengan menghalau hujan awan kecil tersebut menggunakan senjata masing-masing.

Begitu Danurwenda sudah berada di antara para lelaki setengah baya, dia terus memukul mundur kelompok bertopeng, menghujani mereka dengan Pukulan Awan Seribu.

"Haha... Kalian belum merasakan ilmuku yang satu ini!" seru Danurwenda.

***

Jangan lupa vote-nya....

Wutt! Wushh!

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Selyn Horo
Mantapp novelnya ke nonton film aja
goodnovel comment avatar
Andi Suka
pindah kemana kang? pindah kesini aja ya.......
goodnovel comment avatar
Nandar Hidayat
lanjut, tapi mau pindah kayanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status