Orang-orang bertopeng bagai terlempar ke bawah. Prabarini menyaksikan dengan menahan napas. Ilmu Danurwenda yang satu ini cukup dahsyat.
Diam-diam gadis putri senapati ini semakin mengagumi Danurwenda.
Akan tetapi ada satu orang bertopeng yang masih bertahan. Kuda-kudanya begitu kuat bagaikan tertanam ke tanah. Sementara kedua tangannya memukul setiap gumpalan awan kecil.
Desss! Desss!
Danurwenda terperangah melihatnya, lalu dia hentikan Pukulan Awan Seribu. Para lelaki setengah baya yang berjumlah lima orang juga sudah berdiri di belakang si pemuda.
"Kau yang terhebat di antara mereka rupanya!" ujar Danurwenda.
Satu orang bertopeng yang tersisa ini membuat gerakan menguatkan diri, lalu sosoknya menerjang ke arah Danurwenda. Senjata goloknya berkelebat cepat.
Wutt!
"Jepitan Jari Dewa!" seru Danurwenda dengan sedikit menyeringai.
Tapp!
Dua jari tangan kanan Danurwenda berhasil menjepit bilah golok tepat waktu, sehingga senjata tersebut tertahan kuat bagai menacap di batu.
Sementara si topeng, karena mengerahkan tenaga yang cukup besar akibatnya membuat aliran hawa sakti di dalam tubuhnya menjadi kacau, karena merasaka seperti menabrak dinding raksasa.
Krakk!
Tangan yang memegang golok pun mengalami keretakan tulang. Seketika tubuhnya langsung lunglai. Danurwenda semakin menyeringai lebar.
"Rasakan!"
Bukk! Brugg!
Si topeng yang tersisa ini tak berkutik lagi ketika sebuah tendangan menghantam perut lalu tubuhnya terpental dan jatuh setelah menghantam sebuah pohon.
***
Lima lelaki setengah baya ini ternyata bersaudara. Wajah mereka mirip satu sama lainnya. Mereka adalah pembantu Ki Candala.
Atas jasa Danurwenda yang menyingkirkan orang-orang bertopeng, akhirnya si pemuda bersama Prabarini diperbolehkan bertamu.
"Saya memang sengaja datang ke sini untuk menanyakan sesuatu," ungkap Danurwenda.
"Aku kira kalian hendak memesan racun," timpal Ki Candala yang sudah nampak garis-garis ketuaannya.
"Tentunya berkenaan dengan racun juga, Ki!"
"Ada yang terkena racun, siapa dan di mana orangnya?" Ki Candala seperti mendapat rejeki besar.
Kemudian Danurwenda segera mengeluarkan bumbung bambu kecil yang berisi darah Senapati Mandura, lalu menyodorkan kepada Ki Candala.
"Orangnya sudah meninggal, ini darah yang saya ambil di bagian tubuh yang terluka. Mohon Aki memeriksanya dan kalau ada racun, maka apa nama dan jenis racunnya?"
Ki Candala menerima bumbung bambu kecil itu, lalu menuangkan isinya di atas sebuah daun yang cukup lebar. Dia memperhatikan lekat-lekat darah yang sudah membeku itu.
Danurwenda dan Prabarini terkejut ketika dua jari Ki Candala berani menyentuh dan mengambil darah tersebut lalu mendekatkan ke mata.
"Hati-hati, Ki. Bisa terkena racun!" seru Danurwenda.
"Tidak akan!" Ki Candala seperti menggumam. "Racun ini akan bekerja kalau mendengar suara serangga malam."
"Serangga malam?" Danurwenda ingat sebelum Senapati Mandura tewas, terdengar suara aneh yang mirip serangga.
"Ya, ini namanya Racun Pepengeng!"
"Racun Pepengeng?" ulang Danurwenda berbarengan dengan Prabarini.
"Seperti aku bilang tadi, racun akan bekerja menyerang sasaran yang dituju bila ada suara serangga malam. Racun Pepengeng sangat ganas sekali, tidak ada yang bisa selamat dari racun ini. Bahkan aku pun belum atau tidak bisa membuat penawarnya!"
"Aki tahu siapa pemilik atau pembuat racun ini?" Kali ini Prabarini yang bertanya.
"Pantas saja...." Ki Candala malah berkata lain, membuat sepasang pemuda itu penasaran.
Lalu dia menjelaskan orang-orang bertopeng yang menyerang tadi rupanya bermaksud melenyapkan keterangan. Mereka tahu Danurwenda dan Prabarini akan menemuinya.
"Aki tahu siapa mereka?" tanya Danurwenda semakin penasaran.
"Aku menduga mereka suruhan atau mungkin kelompok Macan Ucul!"
"Macan Ucul?" ulang Danurwenda lagi. "Saya baru mendengar kelompok ini!"
"Kelompok Macan Ucul dipimpin oleh Birawayaksa, dialah satu-satunya yang bisa membuat Racun Pepengeng!"
Mulut Danurwenda terbuka, tapi tidak bersuara. Sedangkan Prabarini malah terkatup.
Sekarang sudah ada petunjuk sedikit tentang pelaku pembunuhan Senapati Mandura yang sebenarnya. Danurwenda cukup girang mendengarnya.
"Akhirnya!" ucap si pemuda tampan ini.
"Dia sangat kuat, kesaktiannya tidak bisa diukur. Apa kau hendak balas dendam atas kematian orang ini?" tanya Ki Candala.
"Saya dijebak. Aki tentu tahu cara meracuni sasarannya, bukan?"
Ki Candala tampak merenung beberapa saat, lalu angguk-angguk kepala. Keterangan Danurwenda yang sangat singkat tadi cukup membuat dia mengerti dan membayangkan bagaimana kejadiannya.
"Tapi dia sangat hebat!" ujar Ki Candala lagi.
"Saya tidak peduli, yang penting bisa membuktikan bahwa saya bukan pembunuh!"
"Baiklah, aku tidak akan ikut campur soal ini. Aku sudah memberikan keterangan,"
"Satu lagi, Ki!" kata Danurwenda.
"Ya?"
"Di mana markas Kelompok Macan Ucul?"
"Kalau itu mohon maaf, aku tidak mau celaka seperti tadi lagi. Silakan cari sendiri!"
"Oh, maaf!" Danurwenda garuk-garuk kepala bagian belakang.
"Kita cari keterangan di luar saja," kata Prabarini.
"Baiklah!" sahut Danurwenda.
"Nah, karena sudah larut malam, maka lebih baik kalian istirahat di sini saja. Biar besok pagi turun bukit!"
"Terima masih, Ki!" ucap Prabarini.
***
Pagi-pagi buta Danurwenda bersama Prabarini sudah meninggalkan bukit Gronggong. Mereka kembali menunggangi kuda yang sebelumnya ditambatkan di lereng bukit.
Sekarang Danurwenda akan mencari seseorang yang bernama Birawayaksa pemimpin Kelompok Macan Ucul.
Jadi, orang-orang bertopeng yang beberapa hari ini selalu mengganggu mereka merupakan anggota Kelompok Macan Ucul.
Untuk mengetahui markas mereka, maka harus menemukan orang-orang bertopeng tersebut. Baik itu memaksanya agar memberitahukan tempat mereka, atau diam-diam menguntit mereka sampai ke markasnya.
Akan tetapi, kapankah Danurwenda bertemu lagi dengan orang-orang Macam Ucul tersebut?
"Sekarang mereka pasti sudah tahu kita mencarinya, jadi tidak akan muncul di hadapanku!" tebak Danurwenda.
Seperti biasa, pemuda ini duduk di belakang Prabarini di atas punggung kuda.
"Aku akan membantumu menemukan markas mereka!" ujar Prabarini.
Ketika melewati sebuah jalan besar di perkampungan, sekitar sepuluh tombak ke depan ada sebuah perempatan jalan.
Di tengah perempatan jalan itu tampak berdiri seorang lelaki tinggi besar berpakaian prajurit kerajaan Galuh dengan ciri pangkat yang cukup tinggi.
Lelaki tinggi besar ini memegang sebuah tombak di tangan kanannya. Panjang tombaknya ini melebihi tinggi badannya. Kalau diukur panjangnya kira-kira satu setengah tombak biasa.
Sudah tinggi besar, tombaknya lebih tinggi pula.
Danurwenda merasa ada yang tidak beres, sepertinya orang ini sengaja menghadangnya. Maka, lima tombak sebelum ke perempatan jalan, Danurwenda menghentikan kudanya.
"Kau tunggu di sini saja," katanya kepada Prabarini setelah menepikan kuda ke pinggir jalan. Gadis cantik itu masih duduk di atas kuda.
Kemudian Danurwenda melangkah mendekati orang tinggi besar yang membawa tombak tersebut. Dia berdiri sejauh tiga tombak dari orang itu.
Sementara warga desa yang berlalu-lalang tampak keheranan melihat dua orang saling berdiri di tengah jalan.
"Kau Danurwenda?" Sudah tinggi besar, suaranya besar juga bagai gemuruh angin. Terasa bergetar sampai ke dada Danurwenda, pertanda dilapisi tenaga dalam.
"Benar, kenapa repot-repot menghadangku di tengah jalan? Apa tidak ada tempat lain lagi?"
Orang tinggi besar ini menunjukkan muka dingin. Kedua matanya menyorot seperti elang. Hawa sakti memancar kuat dari tubuhnya."Aku Bardasora, senapati pengawal Rahyang Sempakwaja. Akan menangkapmu, pembunuh Senapati Mandura!"Danurwenda pikir tidak bisa tawar menawar dengan si tinggi besar ini. Senapati pengawal bernama Bardasora ini pasti tidak akan menerima penjelasan tentang pembunuhan Senapati Mandura."Dan juga, kembalikan Putri Prabarini!"Si pemuda hampir lupa bahwa dia juga dituduh sebagai penculik putri Senapati. Dia melirik sejenak ke arah gadis itu."Tidak perlu basa-basi, kau tahu sendiri, bukan?" Ucapan Danurwenda ini jelas merupakan tantangan.Derrr!Bardasora menghantamkan gagang tombak ke tanah sampai menimbulkan getaran. Hawa sakti semakin menyeruak seolah hendak mengikat tubuh Danurwenda.Namun, bukan Danurwenda kalau tidak bisa melawan serangan tak kasat mata ini. Bardasora pun sudah menduganya, si pemuda ini memang bukan pendekar rendahan.
Sepasang petani itu tampak ketakutan sampai terlihat gemetar. Walau tidak terlihat wajahnya, tapi tiga orang bertopeng ini bertindak menekan mereka."Ampun, Ki Sanak. Kami tidak membawa apa-apa karena ladang kami belum panen!" Si petani lelaki memelas. Wajahnya sudah penuh peluh."Iya, Den. Kami hanya merapikan kebun kami. Lihat saja, tidak ada yang kami bawa!" timpal istrinya."Bohong, kalian pasti sudah menjualnya. Berikan kepeng hasil penjualannya!" Bentak salah satu orang bertopeng.Sring!Tiga golok sudah mengancam jiwa sepasang petani ini. Wajah keduanya semakin seputih kapas. Mereka saling pandang seolah sedang berdiskusi."Ayo cepat keluarkan, atau nyawa kalian sebagai gantinya!"Akan tetapi sepasang petani ini menjadi kelu. Bingung dan takut. Apa yang harus mereka lakukan? Sedangkan mustahil kalau melawan."Ah, habisi saja mereka lalu ambil kepengnya!" teriak si topeng yang lain.Kemudian dua di antaranya segera m
Tidak lama kemudian lewatlah dua orang lelaki menunggang kuda yang berjalan pelan. Pakaian mereka tampak sederhana seperti rakyat biasa, tapi kuda yang ditunggangi terlalu mewah untuk orang kasta rendah.Tubuh keduanya terlihat tegap dan gagah, wajah bersih memancarkan kewibawaan. Jelas mereka bukan rakyat jelata, tapi orang berpangkat di istana."Kau kenal mereka?" tanya Danurwenda setelah melihat sinar mata Prabarini ketika menatap dua orang tadi."Mereka keluarga istana,""Oh..."Danurwenda memang mempunyai teman yang mempunyai jabatan di kerajaan Galuh, tapi bukan berarti tahu tentang keluarga istana."Yang sebelah kanan adalah Sang Jalantara alias Raden Amara, putra bungsu Prabu Wretikandayun. Yang satu lagi kakaknya Rahyang Jantaka!""Rupanya putra raja, apa mereka juga turun tangan demi membalas kematian ayahmu?""Entahlah, tapi sepertinya mereka ada urusan lain. Mana mungkin kematian ayahku sampai melibatkan mereka. Oh,
Dua orang ini perawakannya sama tegap dan kekar. Pendekar Tongkat Merah memiliki wajah bulat dengan sedikit berewok.Tongkat dari bahan rotan berwarna merah panjangnya setinggi badannya. Dengan senjatanya ini dia bisa menjangkau lawan lebih jauh.Yang sebelahnya berwajah agak lonjong dan kelimis, hanya rambutnya gimbal dibiarkan tanpa ikat kepala. Dia dijuluki Si Pecut Guludug.Danurwenda tahu dua pendekar ini mengincar dirinya demi bayaran tinggi."Menyerah baik-baik saja. Agar kami tidak banyak keluar tenaga!" kata Pendekar Tongkat Merah."Enak saja, harus bekerja dulu biar setimpal dengan upahnya!" hardik Danurwenda."Huh, jumawa!" maki Si Pecut Guludug."Kalian berdua yang mengambil resiko besar, apa itu juga bukan sombong?" balas Danurwenda dengan menyeringai yang membuat kedua orang di depannya naik pitam."Hari ini adalah waktu naasmu, Danurwenda!" teriak Pendekar Tongkat Merah yang sifatnya lebih temperamen dari kawanny
Ketika memasuki hutan tadi, hari baru lewat tengah hari. Di luar sana udara terasa terik. Anehnya setelah masuk ke hutan mendadak suasana berubah seperti malam hari.Benar-benar bagaikan di malam hari. Gelap dengan iringan suara serangga malam. Ramai, tapi terasa sunyi.Prabarini eratkan pegangan, bahkan sampai merangkul ke pinggang Danurwenda. Gadis ini tidak bisa melihat apa-apa, hanya kegelapan yang tampak.Berbeda dengan Danurwenda, dengan mengerahkan tenaga dalam, menjadikan kedua bola matanya mampu menerawang dalam gelap."Hutan ini aneh, tadi di luar masih siang. Kenapa di sini jadi malam? Apa kita tidak salah jalan?""Kalau lewat jalan lain, maka akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Ini jalan pintas menuju gunung Kunci!""Apa kau sanggup melewati hutan aneh ini?" Prabarini khawatir."Tenang saja!"Danurwenda melangkah sedang saja. Dia menyusuri jalan setapak yang berliku-liku. Tidak lupa dia tingkatkan kewaspadaan.
Seolah lupa dengan tujuan mereka, sepasang manusia ini malah memadu asmara sambil berendam di air sungai yang dingin.Namun, mereka tidak merasakan dinginnya air karena terpanaskan oleh tubuh mereka yang mengeluarkan hawa panas saat saling menyatu tanpa penghalang.Gejolak nafsu telah menguasai kedua manusia yang sedang dilanda kasmaran berat ini. Yang ingin dirasakan saat ini adalah mengecap keindahan gelora dalam cinta."Ow! pekik Danurwenda tertahan ketika Prabarini melakukan hal yang berani. Rasanya seperti melayang ke awang-awang. Tubuhnya sedikit menegang."Waktu itu aku belum sempat, sekarang aku ingin memegangnya!" Prabarini mengulas senyum manja malah cenderung nakal. Dia memainkan jari-jari tangannya, membuat Danurwenda mengerang"Aku jadi tidak kuat!" ujar Danurwenda membalas perlakuan si gadis dengan cara yang sama, malah dengan dua tangannya meraba di tubuh indah bagian atas milik Prabarini.Keduanya mendesah tertahan mera
Sudah diduga sebelumnya, Danurwenda bakal mendapat sambutan yang tidak menyenangkan. Belasan orang bertopeng ini langsung berhamburan menyerang Danurwenda."Hah, di markas sendiri masih malu-malu nunjukin muka! Wajah kalian jelek-jelek, ya!"Danurwenda langsung gunakan Jurus Benteng Seribu sambil meloncat, menghindar serbuan lawan. Dia berniat menerobos masuk, bahkan kalau bisa langsung ke gua yang berada di atas.Namun, anggota Kelompok Macan Ucul yang berada di sini ternyata lebih tangguh daripada yang pernah dia hadapi sebelumnya.Pendekar muda ini harus mengerahkan tenaga dalam lebih besar pula. Serangan lawan lebih cepat dan banyak variasi yang tidak dapat ditebak.Lima pukulan dan tendangan datang bersamaan mengincar titik berbeda. Untungnya Danurwenda sudah menambahkan Ilmu Hampang Awak guna membantu gerakannya.Dalam sekali elak saja, kelima serangan tersebut bisa dihindari dengan mulus walaupun pada kejap berikutnya tujuh serangan l
Danurwenda terpental jauh hingga jatuh ke lereng. Wakil Ketua Selatan menyangka pemuda itu tidak akan bertahan lama begitu jatuh ke bawah karena pukulannya begitu kuat dan selama ini belum ada yang selamat dari pukulannya tersebut.Padahal Danurwenda sudah memperhitungkan seakurat mungkin. Dia memang terluka parah di bagian dalam, tetapi dia masih bisa menyelamatkan diri dengan posisi jatuh yang tepat. Kebetulan tidak jauh dari tempat Prabarini.Prabarini segera berlari menghampiri Danurwenda yang sedang berusaha bangkit. Gadis ini sangat panik."Kita kembali ke gua itu!" kata Danurwenda lirih menahan panas yang bergejolak di dalam.Untungnya Kelompok Macan Ucul tidak mengejar karena mengira Danurwenda tidak akan bertahan lama. Sehingga Prabarini bisa membawa pemuda itu tanpa hambatan.Danurwenda dibaringkan di atas batu datar. Kondisinya sekarang antara sadar dan tidak. Sementara Prabarini kebingungan harus berbuat apa karena tidak mengerti harus