Share

7. Racun Pepengeng

Orang-orang bertopeng bagai terlempar ke bawah. Prabarini menyaksikan dengan menahan napas. Ilmu Danurwenda yang satu ini cukup dahsyat.

Diam-diam gadis putri senapati ini semakin mengagumi Danurwenda.

Akan tetapi ada satu orang bertopeng yang masih bertahan. Kuda-kudanya begitu kuat bagaikan tertanam ke tanah. Sementara kedua tangannya memukul setiap gumpalan awan kecil.

Desss! Desss!

Danurwenda terperangah melihatnya, lalu dia hentikan Pukulan Awan Seribu. Para lelaki setengah baya yang berjumlah lima orang juga sudah berdiri di belakang si pemuda.

"Kau yang terhebat di antara mereka rupanya!" ujar Danurwenda.

Satu orang bertopeng yang tersisa ini membuat gerakan menguatkan diri, lalu sosoknya menerjang ke arah Danurwenda. Senjata goloknya berkelebat cepat.

Wutt!

"Jepitan Jari Dewa!" seru Danurwenda dengan sedikit menyeringai.

Tapp!

Dua jari tangan kanan Danurwenda berhasil menjepit bilah golok tepat waktu, sehingga senjata tersebut tertahan kuat bagai menacap di batu.

Sementara si topeng, karena mengerahkan tenaga yang cukup besar akibatnya membuat aliran hawa sakti di dalam tubuhnya menjadi kacau, karena merasaka seperti menabrak dinding raksasa.

Krakk!

Tangan yang memegang golok pun mengalami keretakan tulang. Seketika tubuhnya langsung lunglai. Danurwenda semakin menyeringai lebar.

"Rasakan!"

Bukk! Brugg!

Si topeng yang tersisa ini tak berkutik lagi ketika sebuah tendangan menghantam perut lalu tubuhnya terpental dan jatuh setelah menghantam sebuah pohon.

***

Lima lelaki setengah baya ini ternyata bersaudara. Wajah mereka mirip satu sama lainnya. Mereka adalah pembantu Ki Candala.

Atas jasa Danurwenda yang menyingkirkan orang-orang bertopeng, akhirnya si pemuda bersama Prabarini diperbolehkan bertamu.

"Saya memang sengaja datang ke sini untuk menanyakan sesuatu," ungkap Danurwenda.

"Aku kira kalian hendak memesan racun," timpal Ki Candala yang sudah nampak garis-garis ketuaannya.

"Tentunya berkenaan dengan racun juga, Ki!"

"Ada yang terkena racun, siapa dan di mana orangnya?" Ki Candala seperti mendapat rejeki besar.

Kemudian Danurwenda segera mengeluarkan bumbung bambu kecil yang berisi darah Senapati Mandura, lalu menyodorkan kepada Ki Candala.

"Orangnya sudah meninggal, ini darah yang saya ambil di bagian tubuh yang terluka. Mohon Aki memeriksanya dan kalau ada racun, maka apa nama dan jenis racunnya?"

Ki Candala menerima bumbung bambu kecil itu, lalu menuangkan isinya di atas sebuah daun yang cukup lebar. Dia memperhatikan lekat-lekat darah yang sudah membeku itu.

Danurwenda dan Prabarini terkejut ketika dua jari Ki Candala berani menyentuh dan mengambil darah tersebut lalu mendekatkan ke mata.

"Hati-hati, Ki. Bisa terkena racun!" seru Danurwenda.

"Tidak akan!" Ki Candala seperti menggumam. "Racun ini akan bekerja kalau mendengar suara serangga malam."

"Serangga malam?" Danurwenda ingat sebelum Senapati Mandura tewas, terdengar suara aneh yang mirip serangga.

"Ya, ini namanya Racun Pepengeng!"

"Racun Pepengeng?" ulang Danurwenda berbarengan dengan Prabarini.

"Seperti aku bilang tadi, racun akan bekerja menyerang sasaran yang dituju bila ada suara serangga malam. Racun Pepengeng sangat ganas sekali, tidak ada yang bisa selamat dari racun ini. Bahkan aku pun belum atau tidak bisa membuat penawarnya!"

"Aki tahu siapa pemilik atau pembuat racun ini?" Kali ini Prabarini yang bertanya.

"Pantas saja...." Ki Candala malah berkata lain, membuat sepasang pemuda itu penasaran.

Lalu dia menjelaskan orang-orang bertopeng yang menyerang tadi rupanya bermaksud melenyapkan keterangan. Mereka tahu Danurwenda dan Prabarini akan menemuinya.

"Aki tahu siapa mereka?" tanya Danurwenda semakin penasaran.

"Aku menduga mereka suruhan atau mungkin kelompok Macan Ucul!"

"Macan Ucul?" ulang Danurwenda lagi. "Saya baru mendengar kelompok ini!"

"Kelompok Macan Ucul dipimpin oleh Birawayaksa, dialah satu-satunya yang bisa membuat Racun Pepengeng!"

Mulut Danurwenda terbuka, tapi tidak bersuara. Sedangkan Prabarini malah terkatup.

Sekarang sudah ada petunjuk sedikit tentang pelaku pembunuhan Senapati Mandura yang sebenarnya. Danurwenda cukup girang mendengarnya.

"Akhirnya!" ucap si pemuda tampan ini.

"Dia sangat kuat, kesaktiannya tidak bisa diukur. Apa kau hendak balas dendam atas kematian orang ini?" tanya Ki Candala.

"Saya dijebak. Aki tentu tahu cara meracuni sasarannya, bukan?"

Ki Candala tampak merenung beberapa saat, lalu angguk-angguk kepala. Keterangan Danurwenda yang sangat singkat tadi cukup membuat dia mengerti dan membayangkan bagaimana kejadiannya.

"Tapi dia sangat hebat!" ujar Ki Candala lagi.

"Saya tidak peduli, yang penting bisa membuktikan bahwa saya bukan pembunuh!"

"Baiklah, aku tidak akan ikut campur soal ini. Aku sudah memberikan keterangan,"

"Satu lagi, Ki!" kata Danurwenda.

"Ya?"

"Di mana markas Kelompok Macan Ucul?"

"Kalau itu mohon maaf, aku tidak mau celaka seperti tadi lagi. Silakan cari sendiri!"

"Oh, maaf!" Danurwenda garuk-garuk kepala bagian belakang.

"Kita cari keterangan di luar saja," kata Prabarini.

"Baiklah!" sahut Danurwenda.

"Nah, karena sudah larut malam, maka lebih baik kalian istirahat di sini saja. Biar besok pagi turun bukit!"

"Terima masih, Ki!" ucap Prabarini.

***

Pagi-pagi buta Danurwenda bersama Prabarini sudah meninggalkan bukit Gronggong. Mereka kembali menunggangi kuda yang sebelumnya ditambatkan di lereng bukit.

Sekarang Danurwenda akan mencari seseorang yang bernama Birawayaksa pemimpin Kelompok Macan Ucul.

Jadi, orang-orang bertopeng yang beberapa hari ini selalu mengganggu mereka merupakan anggota Kelompok Macan Ucul.

Untuk mengetahui markas mereka, maka harus menemukan orang-orang bertopeng tersebut. Baik itu memaksanya agar memberitahukan tempat mereka, atau diam-diam menguntit mereka sampai ke markasnya.

Akan tetapi, kapankah Danurwenda bertemu lagi dengan orang-orang Macam Ucul tersebut?

"Sekarang mereka pasti sudah tahu kita mencarinya, jadi tidak akan muncul di hadapanku!" tebak Danurwenda.

Seperti biasa, pemuda ini duduk di belakang Prabarini di atas punggung kuda.

"Aku akan membantumu menemukan markas mereka!" ujar Prabarini.

Ketika melewati sebuah jalan besar di perkampungan, sekitar sepuluh tombak ke depan ada sebuah perempatan jalan.

Di tengah perempatan jalan itu tampak berdiri seorang lelaki tinggi besar berpakaian prajurit kerajaan Galuh dengan ciri pangkat yang cukup tinggi.

Lelaki tinggi besar ini memegang sebuah tombak di tangan kanannya. Panjang tombaknya ini melebihi tinggi badannya. Kalau diukur panjangnya kira-kira satu setengah tombak biasa.

Sudah tinggi besar, tombaknya lebih tinggi pula.

Danurwenda merasa ada yang tidak beres, sepertinya orang ini sengaja menghadangnya. Maka, lima tombak sebelum ke perempatan jalan, Danurwenda menghentikan kudanya.

"Kau tunggu di sini saja," katanya kepada Prabarini setelah menepikan kuda ke pinggir jalan. Gadis cantik itu masih duduk di atas kuda.

Kemudian Danurwenda melangkah mendekati orang tinggi besar yang membawa tombak tersebut. Dia berdiri sejauh tiga tombak dari orang itu.

Sementara warga desa yang berlalu-lalang tampak keheranan melihat dua orang saling berdiri di tengah jalan.

"Kau Danurwenda?" Sudah tinggi besar, suaranya besar juga bagai gemuruh angin. Terasa bergetar sampai ke dada Danurwenda, pertanda dilapisi tenaga dalam.

"Benar, kenapa repot-repot menghadangku di tengah jalan? Apa tidak ada tempat lain lagi?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status