Pertanyaan yang jelas hanya gurauan di mata Inka. Mereka hanya tertawa setelah mendengarkan bagaimana Rehan mengeluarkan permintaannya. Tidak ada yang mengambil hati tentang keinginannya itu.“Hei, aku ini sangat serius, Inka.” Rehan mencoba untuk meyakinkan orang-orang di sana.“Berhentilah mengatakan seperti itu. Aku tidak akan tertipu. Ayo, kita sudahi kegiatan hari ini dan pergi makan di Lariza. Akan aku traktir kalian.” Inka lalu menuju kamar ganti.“Hei, jangan hanya mencoba satu baju, donk. Kami juga mau lihat saat kamu menggunakan gaun yang lain.” Sasha seakan memperingatkan gadis itu untuk tetap mencoba.“Ah, aku terlalu malas. Ini saja sudah bagus. Nanti kalau pakai yang lainnya, malah menjadi bingung.”Itu hanya alasan saja. Kenyataannya adalah Inka tak ingin banyak kenangan tentang persiapan pernikahan kontrak ini. Tidak akan berakhir bahagia dengan pernikahannya. Untuk itulah, ia memilih untuk tidak mencoba yang lainnya.Sayangnya, Rehan yang berada di sana tidak tinggal
“Betewe, kenapa kamu malah duduk di belakang? Sini di sampingku. Kamu membuatku seolah-olah jadi sopir beneran!” Rehan mulai kesal. Ia tidak seramah tadinya.Sasha yang berada dalam mobil itu mulai merasa tidak enak. Situasi ini berbeda saat Inka bersama mereka. Ia memilih diam saja sepanjang perjalanan menuju kantor. Ia merasa jika pertanyaannya tadi sedikit menyinggung Rehan. Namun, jika benar demikian, bisa jadi pria ini memiliki perasaan yang khusus pada Inka.“Kok kamu jadi diam?” tanya Rehan sambil memperhatikan Sasha dari kaca spion depan. “Apa aku membuatmu tidak nyaman? Meski kita cuma berdua sekarang, tenanglah, aku tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh.”“Tidak apa-apa. Aku hanya … entahlah.”Sasha masih memilih untuk membungkam mulutnya. Lagipula, pembicaraan apa lagi yang bisa ia sampaikan pada Rehan? Mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. Inka-lah yang menghubungkan mereka. Itu pun karena kegiatan hari ini.Mobil terus melaju sampai mengantar Sasha kembali ke PT. Luxi
“Kenapa diam saja?” Pertanyaan itu terus mendesak Inka.Candra bukan hanya sedang bertanya. Wajahnya pun bahkan telah berada di depan wajah Inka. Itu seperti seseorang yang sedang mengintrospeksi pelaku kejahatan. Inka mendorong tubuh Candra menjauh darinya.“Tidak sopan! Kamu memperlakukanku seperti seseorang yang sudah mencuri saja!” protesnya.Pria tampan di sana hanya bisa tertawa kecil. Ia tak menyangka jika tindakannya tadi sampai membuat wajah gadis itu memerah.“Kenapa lihat-lihat?” Inka masih dengan nada kesal. “Seharusnya aku menambahkan banyak hal di kontrak itu. Sekarang aku sangat menyesal telah tanda-tangan dengan santai.”“Ya memang seperti itu seharusnya. Aku bahkan sudah memberikanmu kesempatan untuk menambahkan perjanjian di sana. Kamu saja yang tidak menggunakan kesempatan itu dengan bijak.”“Cih!”Candra tak menanggapi bagaimana ketusnya Inka di sana. Ia menuju sekotak makan siang berwaran biru lalu menyuruh Inka untuk menyantapnya.“Kenapa kamu terus memintaku mak
Inka tidak ingin melepaskan kesempatan itu. Ia segera menghubungi ayahnya. Bisa jadi, hanya saat itu saja ayahnya bisa untuk berbicara. Inka tahu betul jika sang ayah harus mencuri kesempatan untuk menghubunginya. Itu artinya saat ini beliau sedang sendirian saja tanpa si ibu tiri.“Halo, Ayah. Bagaimana kabarmu?” Inka langsung bertanya saat panggilan itu dijawab. “Aku sangat khawatir tidak menerima pesan setelah hari ini.”“Tenanglah. Ayahmu ini baik-baik saja. Kami sudah akan menuju bandara sekarang. Pastikan kamu menjemput nanti tepat waktu ya?”“Ayah ini sangat lucu. Perjalanan ke sini saja masih sangat lama,” balasnya santai. Inka sedang membayangkan penerbangan yang panjang itu. “Ya, tenanglah, Ayah. Aku pasti akan menjemput!”“Ayah tak bisa memberimu kabar karena Ibumu menyembunyikan ponsel Ayah. Baru-baru ini ia masuk rumah sakit. Ayah tidak tega meninggalkannya begitu saja. Kamu juga pasti setuju dengan tindakan ayah, bukan?”Terdengar helaan napas yang cukup keras. Inka suda
4 jam sebelumnya …. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi seorang wanita muda. Ia mengusap pipinya pelan berharap rasa sakit itu perlahan berkurang. Setelahnya, dipandangi wanita di depannya. Mata yang memicing dengan tatapan sangar kembali dilihatnya. “Bodoh! Kau memang bodoh! Aku tak menyangka telah membesarkan anak bodoh sepertimu!” Marah dan geram. Dua kata itu yang tepat menggambarkan bagaimana sosok wanita di sana saat ini. “Ma … aku hanya memilih jalanku sendiri. Lagipula, perusahaan itu bukan milik kita.” Ia berusaha membela dirinya. “Harusnya otakmu itu dipakai dengan baik. Apanya yang bukan milik kita? Aku adalah istri pemilik perusahaan itu. Harusnya bisa menjadi milikmu juga.” “Anak kandung orang itu yang paling berhak. Aku juga tak menginginkannya,” imbuhnya lagi. Plak! Lagi, satu tamparan mengenai pipinya. Belum puas juga wanita itu menampar, ia menaikkan tangannya lagi dan siap dengan serangan selanjutnya. “Hentikan!” cegah seorang pria. “Ca-Candra?” Mata wanit
Inka merasa terpojok saat ini. Keputusannya untuk mengijinkan Candra masuk ke dalam apartemen disesalinya sekarang. Jika saja ia tidak berani membuka pintu apartemen, mungkin kejadian itu tidak akan terjadi. Gadis itu perlahan berjalan mundur dan masuk ke dalam kamarnya. Ia mengunci secepat kilat.Tuk tuk tuk!Candra semakin agresif di sana. Beberapa kali diketuk pintu itu bahkan semakin keras.“Hei, Inka. Kenapa harus sampai begini, sih? Hahaha! Aku hanya bercanda! Bukalah pintunya dan kita bicara baik-baik.”Inka tidak bereaksi. Ia ada di atas tempat tidur dan menutupi telingannya dengan bantal. Untuk kali ini, tindakan Candra sama sekali tidak bisa lagi ditoleransi. Bukan untuk pertama kalinya Candra seperti ini dan masih terus berlanjut.Pria yang berdiri di balik pintu mulai merasa menyesal. Ia membuat seseorang di sana trauma. Dikirimkannyalah sebuah pesan dan permintaan maaf. Meski begitu, Inka belum mau menemuinya.Semalaman Candra menunggu Inka untuk berbicara tetapi tidak ad
“Bersihkan dengan benar lalu bersiap-siap. Jangan malah melamun!”Teriakan Candra membuat Inka langsung tersadar. Tidak ada gunanya memperhitungkan ucapan dan tingkah manis. Semua itu hanyalah permainan seorang pria dewasa. Inka segera membereskan piring lalu mandi. Ia mengunci rapat kamarnya dan kamar mandi. Rasa trauma karena candaan calon suaminya betul-betul membuatya jera.‘Sekarang meski ia tidak ada di sini, aku akan tetap mengunci pintu. Bahaya sekali hidup bersamanya. Aish, aku lupa menanyakan tentang status rumah setelah kami menikah nanti.’Itu adalah hal penting yang terlewatkan oleh Inka. Sekarang ia mulai memikirkannya dengan sangat serius. Jika tinggal bersama keluarga besar Candra, ia sudah pasti haru tidur satu kamar dengan pria itu. Ini membuatnya sama sekali tidak bisa bergerak.‘Semakin memikirkan itu, semakin pusing rasanya. Aku memang bodoh karena menyetujui semua ini!’30 menit kemudian, keduanya telah bersiap-siap. Kaos putih dan celana jeans sudah cukup untuk
Mobil itu mengantar keluarga Inka menuju apartemen. Saat masuk ke sana, ayah Inka mulai mengomentari Candra. Ini karena mereka tinggal bersama semalam. Pria itu itu mengira jika Candra setiap hari tinggal di sana. Itu sama saja dengan ‘kumpul kebo’. “Aku sama sekali tidak melarang jika kalian memilih hidup seperti anak-anak muda lainnya. Tapi ini berlebihan.” “Astaga, Ayah. Harus berapa kali Candra menjelaskan pada Ayah? Hm … dia ini masih tinggal di kediaman orang tuanya. Kalau tidak percaya, tanyalah nanti pada besan Ayah.” Inka sedikit kaku saat mengatakan kata ‘besan’. Tetiba, ia mengingat tentang pernikahan palsu yang akan berakhir tahun depan. Kebahagiaan sang nenek dan ayah saat mendengar berita pernikahan tentunya akan menjadi duka yang mendalam saat mendengarnya bercerai nanti. Sungguh, itu menyesakkan batin Inka. “Jadi, apa saja yang sudah kalian lakukan di rumah ini?” tanya ayah Inka sekali lagi. Kali ini dengan wajah yang serius. “Ayah!” Inka sedikit memerah. Pertanyaa