Tempat yang nyaman ternyata sama sekali tidak membuat Inka tidur dengan nyenyak. Ia sering terbangun dan memeriksa kembali keadaan di sekitarnya. Dalam pikirannya Candra akan datang dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Inka dalam mode waspada.
Rasa kantuk yang tak tertahan itu terpaksa dilawannya dengan serangan kafein. Ia baru saja menghabiskan satu gelas kopi dan akan menambah lagi. Saat di sana, bertemulah ia dengan Giselle.
“Hei, Inka. Selamat pagi!” sapa Giselle dengan riang. “Kenapa tidak membalas pesanku? Semalam aku sampai tidak bisa tidur karena memikirkan bantuan apa yang bisa kuberikan.”
“Ah itu ….” Jika sudah begini, ia tak tahu hars menjawab bagaimana. Bantuan yang diinginkannya telah dipenuhi orang lain. “Aku ingin pinjam uang tetapi tak jadi.”
“Astaga! Maafkan aku. Seharusnya aku segera membalas. Kamu pasti butuh sekali ya kemarin?”
“Tidak apa-apa. Aku mengerti kalau Anda sibuk.”
“Ah iya, ini memang masih pagi. Um … Pak Presdir memanggilmu.” Giselle menepuk bahu Inka. “Tenang saja, tidak akan ada hal buruk,” imbuhnya lagi.
Inka lalu ke ruangan Candra. Saat tiba di sana, pria itu tidak sendiri. Ada orang lain dengan pakaian yang sangat rapi juga berdiri di sana.
“Dia adalah pengacaraku—maksudnya untuk menjadi saksi juga tentang kesepakatan kita,” jelas Candra meski belum mendapatkan pertanyaan. “Duduklah.”
Inka seketika menjadi sadar jika semua ini sangatlah serius.
“Satu tahun saja,” ucap Candra lagi. “Aku akan menyewa orang lain untuk berpura-pura menjadi orang tuamu. Tenang saja, tidak akan ada yang tahu tentang ini.”
“Aturlah saja. Aku bahkan belum memikirkan tentang mereka.”
Ucapan yang menarik perhatian Candra.
“Bagaimana bisa kamu tidak memikirkan itu? Apa kamu ini lari dari rumah?”
“Hm. Ya. Tepat seperti dugaanmu.”
Candra tidak menyangka akan mendapatkan balasan seperti itu.
“Tulislah jika penambahan di sini. Ingat, ini adalah kontrak yang sangat rahasia. Setelah itu, kamu harus bersiap-siap. Sebentar sore akan ada perayaan ulang tahun keponakanku di rumah. Kamu harus datang. Aku akan memperkenalkanmu pada keluargaku. Dan juga tentang pernikahan kita.”
“Secepat itu?”
“Lebih cepat, lebih baik. Dengan begitu usai kontrak ini akan lebih cepat, ‘kan?”
“Baiklah.”
Gadis itu membacanya sekali lagi isi kontrak kemudian menanda-tanganinya. Pernikahan kontrak ini adalah dosa. Namun, ini lebih baik dibandingkan menyetujui pilihan Neneknya di sana. Pada akhirnya ia akan menikahi pria yang tidak dicintainya. Jadi, untuk apa menolak ajakan sang presdir.
“Tidak ada kontak fisik jika tidak diperlukan. Artinya kita hanya berpura-pura mesra ketika ada orang di sekitar saja,” terang Candra.
“Boleh aku tanya sesuatu padamu?”
“Apa itu?”
“Apa kamu gay?”
“Jangan sembarangan!” Candra membenarkan dasinya setelah merasa gerah dengan pertanyaan Inka. “Setelah ini banyak hal yang harus kamu persiapkan. Aku ingin tahu tentang keluargamu.”
“Keluargaku tinggal di Prancis. Ayah, tante, nenek, adik lalu sepupuku—haruskah aku menjelaskan semua?” Ia berhenti sejenak. Kemudian berpikir. Lalu berkata lagi, “Aku sudah memutuskannya. Aku akan memberitahukan keluargaku. Mungkin akan menyakitkan ketika mereka tahu tentang perceraian di tahun depan. Tidak apa-apa. Lagipula, Ayahku juga tidak akan datang.”
Mendengar ucapan Inka, Candra sedikit iba. Keluarga seperti apa yang dimiliki Inka?
“Akan kupastikan mereka semua datang. Tidak masalah dengan uang tiket.”
Inka ingin tertawa saat mendengar ucapan Candra. Ia bukanlah gadis yang sangat miskin. Mungkin benar jika di kota ini ia sangat miskin bahkan punya banyak hutang. Namun, keluarganya tidak kekurangan uang.
Pembicaraan itu berhenti di sana dan Inka diperbolehkan pulang. Tentu saja ada banyak hal yang perlu dipersiapkannya nanti. Ini tentang perubahan penampilan untuk ke pesta sore nanti.
Saat pulang, ia melihat satu kotak berwarna merah—lengkap dengan sebuah tulisan tangan di sana. Inka memeriksa isi dan terpana. Gaun yang sangat indah.
“Memangnya acara seperti apa di rumahnya sampai aku harus berpakaian seperti ini?’
Ting tong!
Gadis itu membuka pintu dan lebih terkejut lagi. Ada beberapa wanita di sana. Mereka datang dengan koper yang besar.
“Hari ini kami akan membuat Anda bersinar!”
Meski tidak mengerti apa yang mereka ucapkan, Inka mengikuti saja. Ini pasti tentang menjadi gadis yang sempurna di hari spesial. Dan tentu ini keinginan Candra.
***
Sebuah pesta meriah sama sekali tidak ada dalam bayangan Inka. Untuk acara ulang tahun anak kecil, acara ini terlalu mewah. Ia mulai berjalan perlahan—mencoba terlihat anggun.
Candra menangkap kedatangan Inka. Beberapa detik ia tidak bisa memalingkan pandangannya. Gadis itu sangat cantik. Ia tidak menyangka bila Inka bahkan lebih cantik dari semua gadis yang ada di acara ini.
“Inka, kemarilah,” katanya saat mendekat. “Tanganmu,” tambahnya lagi. Ia meminta Inka untuk menggandengnya. “Kita akan ke sana. Akan kukenalkan kamu pada banyak orang.”
Candra benar-benar melakukannya. Satu per satu ditemui Inka sampai ia mulai lelah.
“Ini Bella teman kuliahku di Sydney. Dan ini Roby kekasihnya.”
“Halo, senang berkenalan.”
“Ini Inka.” Candra lalu mengenalkan Inka pada Bella dan Roby.
“Aw, aku pikir kamu Giselle—ah, maafkan aku.”
Muncul banyak tanya dalam benak Inka. Namun, pada saat itu ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. Giselle adalah nama anak perempuan yang dimiliki banyak orang. Tidak mungkin jika Giselle yang dimaksudkan adalah sekretaris Pak Candra.
Hanya sebentar saja setelah itu, lalu Inka dibawa untuk berkenalan dengan orang tua dan keluarga Candra. Jantung gadis itu berdetak sangat kencang. Bagaimana pun bertemu dengan orang yang lebih tua adalah hal yang menegangkan.
“Saya Inka, Om,” sapanya dengan ramah dan ditutup dengan senyuman paling manis.
“Jadi, apa yang kamu sukai dari anak saya?” Tanpa basa-basi, pria itu langsung memberikan pertanyaan.”
“Um … apa aku boleh mengatakan yang sejujurnya?” tanya Inka. Ia mulai memikirkan kalimat yang bagus. “Anak Anda sangat kurang ajar dan suka seenaknya.”
“Apa? Hei jangan berbicara sembarangan tentang keponakan saya!” Bi Desti yang mendengar itu langsung angkat bicara.
Suasana menjadi tegang. Inka tahu ini tidak akan berjalan dengan mudah. Meski hanya pernikahan kontrak, tetap saja ia harus bisa meyakinkan pihak keluarga Candra.
“Gadis ini hanya mengatakan hal yang sejujurnya. Itu bagus, hahaha!”
Inka sedikit lega setelah mendengar tanggapan dari ayah Candra. Wajah seram dan suaranya yang keras ternyata tidak seburuk yang dipikirkan. Setidaknya ia sudah cukup ‘mengenal’ keluarga Candra. Sepanjang perjalanan pulang, Inka tidak bisa berpikir tenang. Semua sudah terlanjur. Tidak ada celah jika ingin mengembalikan keadaan.
Satu bulan lagi acara pernikahan itu akan diadakan. Inka sama sekali tidak pernah berpikir akan menikah karena sebuah perjanjian. Bermimpi pun tentang pernikahan tidak pernah.
Ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Ditariknya napas yang sangat dalam sebelum akhirnya memulai percakapan.
“Bagaimana kabar Ayah?”
“Senang sekali Ayah mendengar suaramu, Nak. Ayah baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”
“Ayah, aku punya sebuah kabar bagus untukmu—tidak, ini untuk keluarga kita.”
“Katakanlah, Nak. Apakah akhirnya kamu mau pulang dan kerja di kantor Ayah saja?”
“Bukan. Aku akan menikah.”
“Apa? Menikah?”
Meski ragu untuk mengatakannya lebih jauh, Inka pada akhirnya harus tetap memberitahukan kepada keluarganya. Ia tahu jika ‘nenek sihir’ yang berada di sisi ayahnya pasti akan berkomentar ini dan itu atau bahkan mebuat sang ayah tidak bisa datang ke pernikahan itu.“Ayah bisa datang, ‘kan?”“Kamu ini bicara apa? Ayah pasti akan datang ke acara pernikahanmu.”“Itu … aku juga mau menyampaikan kalau bulan depan. Maaf jika semua ini sangat mendadak. Candra dan keluarganya akan datang ke sana dan melamarku secara resmi.”“Tidak perlu. Ia akan mengeluarkan banyak uang jika terbang ke sini. Kasihan, pria jaman sekarang biasa tidak punya tabungan. Sayang sekali ya, pria yang ingin dijodohkan denganmu di sini sebenarnya orang kaya. Ayah jadi enak enak dengan keluarganya.”“Jadi karena dia anak orang kaya kalian mau menjodohkanku? Sayang sekali juga ya … aku menemukan orang lain yang lebih baik di sini.”Inka tertawa kecil sehingga membuat ayahnya berhenti berbicara. Soal uang sama sekali bukan
Inka lupa tentang sesuatu yang harus dikatakannya pada seseorang. Jika keluarganya sudah tahu, lain hal dengan Sasha. Entahlah nanti gadis itu akan terkejut atau sebaliknya. Sebenarnya, ia masih ingin menahannya lagi sampai saat acara lamaran. Namun, itu bisa saja membuat Sasha jadi benci padanya. Untuk seseorang yang sering terbuka dengan masalah, Inka merasa tidak adil jika tidak berbagi cerita ini.“Coba katakan sekali lagi, Inka?” Mata yang membesar dan raut wajah heran sudah ada pada Sasha. “Apa aku tidak salah dengar?”Sasha mengambil dokumen yang tipis lalu mengipas-ngipaskannya.“Tidak panas kenapa kipas-kipas, sih?”“Kamu! Bisa-bisanya kamu merahasiakan kalau Presdir kita adalah kekasihmu. Pantas saja sejak awal aku merasa kamu terlalu menghindarinya. Oh, ternyata ini adalah alasannya.”Kalimat bagaimana yang bisa meyakinkan Sasha jika Inka sendiri pun sebenarnya tidak tahu tentang keadaannya. Semua ini terjadi begitu saja pada hidupnya. Ia memang bersyukur telah lepas dari h
“Adi!”Teriakan seseorang dari depan resto membuyarkan dua pikiran yang sedang mereka-reka apa gerangan hubungan anak kecil itu dengan Pak Candra.“Mama!” teriak anak kecil yang bersama mereka. Anak itu juga turun dari kursi dan berlari menuju ibunya.“Adi, kamu membuat Mama khawatir!” Sesaat kemudian, wanita itu melangkah maju dan menemui Sasha dan Inka lalu berkata, “Terima kasih ya sudah menjaga anakku. Astaga, aku hampir gila dibuatnya!”“Kebetulan kami melihatnya.” Sasha langsung membalas.Mata wanita itu lalu tertuju pada makanan yang ada di atas meja. Ia menatap wajah anaknya dan mulai menatap dengan tajam.“Aku tidak memintanya, Ma. Mereka yang menawari aku makan,” ucapnya. “Iyakan, Kak?” Menunggu sebuah konfirmasi dari Sasha dan Inka.“Tidak apa-apa, Bu. Kami senang bisa membantu.”Lain di mulut dan lain di hati. Bagaimana pun juga Sahsa masih menganggap makanan seharga 80.000 itu mahal. Sasha dan Inka merasa seperti pahlawan kali ini.“Duh, aku kayak enggak sopan sekali ya.
“Papamu akan datang nanti. Kalau memang sudah waktunya.” Balasan dari belakang Andita membuatnya terkejut. Itu adalah Candra. Sungguh, ia sama sekali tidak ingin adik lelakinya menjanjikan sesuatu yang belum pasti. Anak laki-lakinya pasti akan menuntut semua itu. “Jangan dengarkan Pamanmu. Ia hanya berbicara sembarangan.” Andita mencoba untuk menjauhkan Adi dari Candra. “Hei, aku ini tidak sedang berbohong. Aku sendiri yang akan membawa laki-laki itu untuk datang. Ia perlu menjenguk Adi beberapa kali.” “Hentikan, Candra! Aku tidak mau bertemu dengannya!” “Bukan untukmu. Ini untuk keluarga kecil yang akan kubangun nanti. Aku tak mau istriku menyangka aku sama sekali tidak perhatian dengan keluargaku.” Candra lalu menunduk sejajar dengan Adi. “Papamu akan datang nanti.” *** Hari demi hari terus berganti. Mau tak mau, banyak persiapan yang harus diperbuat pasangan calon pengantin itu. Jika saja ia tidak menggunakan jasa WO, itu akan membuat mereka lebih sibuk lagi. Di sela-sela
Inka mengambil kesempatan untuk berbicara 4 mata dengan Candra. Ia membawanya ke luar, di dekat kolam. Ada tempat duduk di sana dan mereka bisa berduaan saja. Ini tidak seperti yang ada dalam perjanjian mereka. Tidak ada kontak fisik atau semacam itu. Bagaimana bisa muncul pembicaraan tentang anak?“Kamu ingin berduaan denganku, ya?” goda Candra.“Bukan! Sama sekali bukan itu! Kita perlu meluruskan semua ini. Mengapa mereka—tidak, kamu juga. Apa maksudnya tentang anak? Hei, tidak ada anak dalam perjanjian kita.”Candra menikmati rasa khawatir Inka. Ia ingin mempermainkannya lebih jauh.“Bukankah wajar jika dalam pernikahan ada anak. Aku dan kamu juga tidak bisa menjamin jika kita berdua ternyata bisa terjebak dalam nafsu nantinya—”Inka menutup kedua tangannya. “Hentikan! Aku tidak mau mendengarnya!”“Hahaha! Kau ini lucu sekali! Aku hanya sedang berusaha meyakinkan pihak keluargaku. Mana bisa mereka percaya begitu saja kalau aku akan menikah. Perkataanku tadi adalah cara yang paling
“Ah, daripada memikirkan tentang itu, bagaimana kalau kita turun ke bawah dan menikmati jamuan makan malam,” ajak Andita. “Meski ini acara keluarga, tenang saja … kali ini tidak ada meja besar yang terlalu kaku. Kamu bisa memilih mau makan di mana.”“Aku akan ikut kamu saja.”Begitulah Inka mengikuti ke mana Andita pergi. Candra sama sekali tidak muncul lagi selama makan malam. Ia menurunkan amarahnya terlebih dulu sebelum bertemu dengan Inka.Ia juga sudah berganti pakaian begitu pun dengan Andita. Hanya kemeja santai dan celana jeans. Meski keluarga yang lain masih lengkap dengan jas beserta gaun, asalkan ada seseorang yang sama dengannya, Inka tidak akan merasa minder.“Pakaian ini lebih nyaman dari gaun. Benar, ‘kan? Aku juga tidak setuju sebenarnya pertemuan keluarga menggunakan gaun. Apa-apaan itu?”“Mungkin biar terlihat formal.”Inka dan Andita terus bersama. Ada baiknya juga selama pesta kecil-kecilan itu Andita menjadi ‘pengawal pribadinya’. Sosok wanita lain dari sana menat
“Ada hal yang belum bisa kamu ketahui. Pelan-pelan ya, Inka. Nanti juga kamu akan tahu bagaimana kehidupan di keluarga kami dan segala problematic di dalamnya.” Untuk saat ini, Andita hanya bisa menjelaskan seperti itu. “Kuharap rumah tanggamu nanti tidak seperti aku.” Wanita itu menghela napas setelahnya.Inka belum mengetahui semuanya tetapi ia memilih untuk mendekati Andita. Dipeluknya tubuh wanita itu dan menepuk pelan bahunya.“Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Kak Andita.”“Haha! Kamu bahkan belum tahu apa yang sebenarya terjadi. Sebenarnya aku mau mengatakan sesuatu padamu.” Andita melepaskan pelukan Inka. “Selagi bisa, kamu harus menjauh dari keluarga kami.”Betapa terkejutnya Inka saat mendengar kalimat itu. Mengapa ia diminta untuk pergi? Apakah ini sebuah test atau sebenarnya ia tidak disukai oleh wanita yang terlihat baik padanya? Banyak sekali pertanyaan sekejap muncul dalam benaknya.“Kenapa aku harus pergi? Bukankah semakin banyak tantangan dalam hidup akan sema
Inka memeriksa kembali keadaan pintu apartemen. Mimpi itu tidak bisa disepelekan olehnya. Ia membayangkan jika semua itu benar-benar terjadi. Image Candra dalam bayangannya semakin buruk.“Aish! Kenapa bisa mimpi itu sangat mengganggu?!”Ia meminum air satu gelas lalu berusaha untuk tidur kembali. Pikirnya semudah itu, tetapi pada kenyataannya sampai menjelang pagi tak kunjung juga ia merasa kantuk. Saat ia memutuskan untu bangkit dari tempat tidur, dilihatnyalah matahari sudah terbit.“Ah, lama-lama bosan juga di sini tidak buat apa-apa. Masih jam tujuh pagi pula. Apa yang harus aku lakukan? Hari ini tidak banyak kegiatan. Fitting baju? Belum ditentukan.”Baru beberapa hari berada di apartemen sembari menunggu hari lamaran, Inka sudah mulai bosan. Entah mengapa, ia merindukan meja kantornya dan tentu saja Sasha. Terkadang juga omelan Diana menjadi hal yang dirindukan. Rasanya seperti ada yang kurang dalam sehari.“Dia pasti sedang dianiaya Diana di kantor. Aku ingin kembali bekerja t